Oleh:
Nur
Izzati (NIM : 20162550004)
Nur
Alam jurjani (NIM:20162550006)
Dosen
Pembina
Dr.
M.Arfan Mu’ammar M.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
Merupakan kenyataan yang tidak bisa
ditolak bahwa Negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis,
budaya, agama dan lainnya. Sehingga Negara-bangsa Indonesia secara sederhana
dapat disebut sebagai masyarakat “Multicultural”. Tetepi pada pihak lainnya,
realitas “Multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksikan kembali “kebudayan nasional Indonesia” yang dapat menjadi
“integrating forc” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Ada tiga kelompok yang memiliki
sudut pandang yang berbeda terhadap berkembangnya identitas dalam kaitannya
dengan konflik yang sering muncul. Yaitu:
Pertama, pandangan kaum
primoldialis.
Kelompok ini menganggap,
perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga
agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan entis
maupun agama.
Kedua, pandangan kaum
instrumentalis.
Menurut mereka suku, agama dan
identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok
untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun
non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan pra elit
itu untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan
“Islam” misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk
mem-back-up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum
instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prevence yang dikehendaki
elit, selama itu pula benturan antara kelompok identitas dapat dihindari bahkan
tidak terjadi.
Ketiga; kaum
konstruktivis,
Yaitu kaum yang beranggapan bahwa
identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang yang dibayangkan kaum
primordialis. Ethnisitas, bagi kelompok ini dapat diolah hingga membentuk
jaringan relasi pergaulan social. Karenanya, etnisitas merupakan sumber
kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya.
Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.
Dalam konteks ketiga, terdapat ruang
wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multicultural sebagai sarana
membangun toleransi atas keragaman. Kajian ini ramai terdengar di kalangan
akademisi, praktisi budayawan dan aktifis pada tahun 2000 di Indonesia.
Penulisan makalah ini dimaksudkan sebagai kajian tentang filsafat social
multiculturalisme dan pendidikan multicultural sebagai bahan kajian lanjutan
untuk mengetahui corak, peluang, dan tantangan pendidikan multicultural di
Indonesia.
BAB II
SEGNIFIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI BANGSA INDONESIA KINI
A. Pengertian Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme berasal dari dua
kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara
etimologi berarti keberagaman budaya[1].
Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan
mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya.
Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya
verbal, bahasa dan lain-lain
Multikulturalisme secara etimologis
marak digunakan pada tahun 1950-an. Pendidikan multicultural bisa di
definisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam
merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini seiring dengan pendapat Paulo Freire,
pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang beruaha menjauhi realitas
social dan budaya. Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat
yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan prestos social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya.
Pendidikan multicultural
(multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural merupakan pengembang kurikulum dan
aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan
perhatian terhadap terhadap orang-orang non eropa (Hilliard, 1991-1992).
Rangkaian kata pendidikan dan multikultural memberikan arti secara
terminologis adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai
pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku
dan aliran (agama). Zakiyuddin Baidhawi mendefinisikan pendidikan multikultural
adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman (teaching diversity).[2]
John W. Santrock mendefinisikan pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang menghargai diversitas dan mewadahi prespektif dari beragam
kelompok kultural atas dasar basis regular.[3]
Sedangkan secara luas pendidikan
multicultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya
seperti gender, etnic, ras, budaya, strata social, agama, bahasa, kemampuan,
dan umur sehingga proses belajar menjadi efektif dan mudah[4].
B. Konsep Pendidikan Multikultural
Dalam konsep pendidikan
multicultural fokus dari pendidikan multicultural tidak lagi diarahkan
semata-mata pada kelompok rasial, agama, dan cultural domain atau mainstream.
Focus demikian ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan intercultural yang
menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal
dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference)
atau “politic of recognition)” politik pengakuan terhadap orang-orang dari
kelompok miniritas.
Dalam konteks tersebut, pendidikan
multicultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar
bahwa sikap “indiferenc” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari
ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup
subyek-subyek menganai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social,
budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Paradigma seperti ini akan mendorong
tumbuhnya kajian-kajian tentang “etnic studies” untuk kemudian menemukan
tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai
pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Dalam konsep pendidikan, istilah pendidikan
multicultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normative, yang
menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan
masyarakat multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan
dalam masyarakat multicultural yang jelas mencakup subjek-subjek seperti:
toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya
diskriminasi, penyelesaian konflik, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan
universal dan lain sebagainya.[5]
Konsep tentang mutikulturalisme,
sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan tidak bebas nilai (value
free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk
diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal
dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan
dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak
terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan
orang-orang yang atheis. Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya
sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan
secara nasional.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan
memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui
perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang
menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa
betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap
keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.
Berbicara masalah konsep pendidikan
multikulturalisme, James Bank (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multicultural[6]
memiliki lima dimensi yang saling berkaitan diantaranya adalah sebagai berikut;
- Content integrations in instructional. adalah mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu
- The Knowladge Construction Process in instructiona, adalah membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
- An Equity Paedagogy in instructional. Adalah menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam, baik dari segi ras, budaya, maupun social
- Trainning participation in instructional. Adalah melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam rangka upaya menciptakan budaya akademik.
- Prejudice Reduction in instructional adalah mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka
Dalam aktifitas pendidikan manapun,
peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan.
Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu
dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara
umum peserta didik dapat dilihat dari empat cirri sebagai berikut:
- Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuannya, kemauannya, dan sebgainya
- Peserta didik memiliki keinginan untuk berkembang ke arah dewasa
- Peserta didik memiliki latar belakang budaya, etnis, agama yang berbeda
- Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimilikinya secara individu
C. Pendekatan Dalam Proses Pendidikan Multikultural
Dalam konteks teoritis, belajar dari
model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan
oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan: pertama; pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua; pendidikan
mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman budaya, ketiga;
pendidikan bagi pluralisme kebudayaan, keempat; pendidikan dwi budaya. Dan
kelima; pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
Ada beberapa pendekatan dalam proses
pendidikan multicultural, yaitu:
- Tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (scooling) atau pendidikan multicultural dengan progam-progam sekolah formal. Pandangan secara luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan yang membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena progam-progam sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah
- Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompoksosial yang relative self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama laindalam satu atau lebih kegiatan.
Dalam konteks pendidikan
multicultural pendekatan ini diharapkan mampu dan dapat mengilhami para
penyusun progam-progam pendidikan multicultural untuk melenyapkan kecenderungan
memandang anak didik secara streotip menurut identitas etnik mereka dan akan
meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan
perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik
- Dalam pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
- Pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan . kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi
- Kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningktkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran ini dapat menjauhkan kita pada konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non pribumi. Dikhotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural perpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada pada diri peserta didik (Depag RI, 2003).[7]
D. Tujuan Pendidikan Multikultural Bagi Indonesia
Pendidikan
Multikultural mempunyai dua tujuan yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal
merupakan tujuan sementara karena tujuan ini berfungsi sebagai perantara agar
tujuan akhirnya dapat dicapai dengan baik.
Tujuan
awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural
dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia
pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai
wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu
untuk membangun kecakapan dan keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang
diajarkannya, akan tetapi juga mampu untuk menjadi tranformator pendidikan
multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan
demokrasi secara langsung disekolah kepada peserta didiknya.
Adapun
tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah, peserta didik tidak hanya
mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi
diharapkan juga bahwa peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk
selalu bersikap demokratif, pluralisme dan humanis.[8]
Secara lebih operasional Kazt (dalam
Mogdil, 1986) menyatakan ada empat tujuan pendidikan multicultural, yaitu:
- memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang mengenalkan secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi, partisipatory, dan exime.
- mengembangkan keterampilan untuk klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten dan manifest
- untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada strategi pembelajaran guru
- mengkaji vareasi kebahasaan dan keberagaman gaya belajar sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai
E. Urgensi Pendidikan Multikultural Bagi Bangsa Ini
Urgensi pendidikan berbasis
multikultural Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa paradigma
pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas,
soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, dan budaya.
Kita perlu memberi dorongan dan spirit bagi peserta didik untuk menghargai
orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi
pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti,
menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai
kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah,
akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima
perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau
hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, pendidikan
multikultural perlu disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga
pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun
swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah
satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis,
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai
kultural dan kemajemukan bangsa.
Di
Indonesia manfaat pendidikan multikultural yaitu sarana alternative pemecahan
konflik, siswa tidak tercerabut dari akar budayanya, sebagai landasan
pengembangan kurikulum nasional, serta relevansi di alam demokrasi seperti
sekarang ini.
Secara konkret pendidikan
multikultural melibatkan guru, pemerintah juga masyarakat sebab adanya multi
dimensi aspek kehgidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
Upaya
untuk membangun Indonesia yang multikultur dapat terwujud jika: pertama, konsep
multikulturalisme menyebar luas dan dipahami urgensinya bagi bangsa Indonesia
pada tingkat nasional maupun local untuk untuk mengadopsi maupun menjadikannya
sebagai pedoman hidup. Kedua, adanya kesamaan pemahaman di antara para ahli
mengenai makna multikulturalisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga,
upaya-upaya lain yang diperlukan guna mewujudkan cita-cita.[9]
Bagaimana membangun pemahaman
keberagamaan siswa yang inklusif di sekolah? Dalam hal ini, guru mempunyai
posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di
sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi; pertama, seorang guru/dosen harus
mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak
diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi
terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Ketiga,
guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah
menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia. Keempat,
guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah
dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman
budaya, etnis, dan agama.
Pendidikan multikultural sebagai
sebuah konsep atau pemikiran muncul karena adanya interes politik, sosial,
ekonomi dan intelektual. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat
bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM)
dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan
sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan
sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang
mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan
hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot
karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga
pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut
lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai
perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh
dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan
dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari
konseptualisasi pendidikan multikultural.
Indonesia adalah negara
yang terdiri dari beragam masyarakat yang berbeda seperti agama, suku, ras,
kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya menjadikan masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Dalam kehidupan yang beragam seperti
ini menjadi tantangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu
kekuatan yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman masyarakatnya.
Hal
ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada
anak-anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru
bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan
dibantu oleh orang tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Namun pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak-anak
usia sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat acara
atau seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam keberagaman
menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup dalam
perbedaan dan keragaman.
Ada tiga
tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia,
yaitu:
1. Agama, suku
bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan
ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa.
Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang
harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas
individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada
etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
Masing-masing individu telah
menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat,
tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal
ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai
tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan
bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan
resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan
atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada
komunikasi di dalam masyarakat/plural.
3.Toleransi
Toleransi
merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi
dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan
adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu
mempertahankan keyakinannya.Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia
yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan
multikultural.[10]
Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai
sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak
meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan
digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sekarang.
1. Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat
menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di
masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam
unsur sosial dan budaya. Dengan kata laun, pendidikan multikultural dapat
menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya[11]
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan
bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset,
bukan sumber perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua
tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus
budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri
dari berbagai macam budaya.
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi
yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan
dapat mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model
masing-masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal
itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya
maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari
realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa
pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang.
Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil
apabila terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak
bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku,
bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila
prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya
multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman,
damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang
disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2. Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan
multikultural juga signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak
meninggalkan akar budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia berhubungan dengan
realitas sosial-budaya di era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’ serius
bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut
hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut
memiliki kemampuan global, termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya kebudayaan
baik di dalam maupun di luar negeri, peserta didik perlu diberi pemahaman yang
luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak melupakan asal budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap
tantangan globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan memudahkan
adanya persentuhan antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks.
Maka, upaya untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi
konkret. Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan
yang bertanggung jawab atas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta
didik tersebut akan kehilangan arah dan melupakan asal budayanya sendiri.
Sehingga dengan pendidikan
multikultural itulah, diharapkan mampu membangun Indonesia yang sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras
yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan
lestarikan.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi
sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang
harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan
berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti
sekarang menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang
mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi,
menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan
(skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c.Teori
belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok
dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut,
perbedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan
kelompok dan siswa terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.
e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan
kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
4. Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil
yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah yang
bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman dalam
masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan
kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan
keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang
keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap
saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama
lain.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah
demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa,
keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak
budaya komuniti, dan kosnep-konsep lain yang relevan.[12]
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
penelitian dan pemahaman yang dimiliki penulis terhadap penulisan makalah ini,
maka penulis menyimpulkan bahwa:
1.Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam)
dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti
keberagaman budaya.
2. Pendidikan
multicultural bisa di definisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan
3. Rangkaian kata pendidikan dan multikultural memberikan arti secara
terminologis adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai
pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis,
suku dan aliran (agama).
4. konsep
pendidikan multikulturalisme, James Bank (1994) menjelaskan bahwa pendidikan
multicultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan diantaranya adalah
sebagai berikut; Content integrations in instructional, The Knowladge
Construction Process in instructiona, An Equity Paedagogy in instructional, Trainning
participation in instructional, dan Prejudice Reduction in instructional.
5. Ada lima pendekatan yang dikenal dalam proses
pendidikan multicultural yaitu: pertama; pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua; pendidikan
mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman budaya, ketiga;
pendidikan bagi pluralisme kebudayaan, keempat; pendidikan dwi budaya. Dan
kelima; pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
6. Secara lebih operasional Kazt (dalam Mogdil, 1986)
menyatakan ada empat tujuan pendidikan multicultural, yaitu: a.memberikan
pengalaman belajar kepada siswa yang mengenalkan secara kritis dan kemampuan
evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi, partisipatory, dan
exime.
b. mengembangkan keterampilan untuk klarifikasi nilai,
termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten dan manifest
c. untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan
implikasinya kepada strategi pembelajaran guru
d. mengkaji vareasi kebahasaan dan keberagaman gaya
belajar sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai
7. Urgensi pendidikan berbasis multikultural Berdasarkan
uraian di atas dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan multikulturalisme
sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di
antara keragamannya etnik, ras, agama, dan budaya.
8. Ada tiga
tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia,
yaitu:1. Agama, suku
bangsa dan tradisi, 2. . Kepercayaan, 3.Toleransi.
9.Adapun
pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana
alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar
budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk
demokrasi yang ada seperti sekarang.
9. Di Indonesia
manfaat pendidikan multikultural yaitu sarana alternatife pemecahan konflik,
siswa tidak tercerabut dari akar budayanya, sebagai landasan pengembangan
kurikulum nasional, serta relevansi di alam demokrasi seperti sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Choirul Mahfud,
Pendidikan Multikultural , Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009
Baidhawi,
Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta:
Erlangga, 2005
Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural:
Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
John
W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S., Jakarta:
Kencana, 2007
James Banks, “Multicultural Education: Historical
Development, Dimensions,
And Practice”, Review of Research in Education, 1993.
Munib, Achmad, Pengantar
Ilmu Pendidikan: Semarang: Unnes Press, 2009.
Media Indonesia, Rabu,
08 September 2008
Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural
Approach
Oxrofd: Backwell, 1996
[1] Choirul
Mahfud,Pendidikan Multikultural ( Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet.3,
2009), 75
[2] Baidhawi, Zakiyuddin, Pendidikan
Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005),8
[3] John W. Santrock, Psikologi
Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2007), 184
[4]
Ainul Yaqin, M. Pendidikan
Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
keadilan (Yogyakarta: Pilar Media,
2005), 25
[5] Idem, 33
[6] James Banks, “Multicultural
Education: Historical Development, Dimensions, And Practice”
(Review of Research in Education, 1993),
3
[7] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,cet.3, 2009),
191-196
[8]
Ainul Yaqin, M. Pendidikan
Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
keadilan (Yogyakarta: Pilar Media,
2005), 26
[9] Choirul
Mahfudz, Pendidikan Multikultural ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.3,
2009), 216
[10] Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan: (Semarang: Unnes Press,
2009), 100 .
[11] Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008
[12]
Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural
Approach (Oxrofd:
Backwell, 1996), 203