8/31/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (12)

تَقْرِيْرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Taqrir = mengakui, membenarkan, menetapkan.
Taqrir Nabi SAW itu ditujukan kepada dua perkara, yaitu :
1.      Nabi SAW membenarkan (tidak menegur) omongan sahabat yang Beliau sendiri mendengarnya, atau yang disampaikan orang kepada Beliau.
2.      Nabi SAW membenarkan perbuatan sahabat yang beliau sendiri melihatnya, atau yang disampaikan orang kepada Beliau.
MAKSUDNYA :
Omongan shahabat yang Rasulullah dengar sendiri atau orang lain menyampaikannya kepada Beliau, dan perbuatan shahabat yang Rasulullah dengar sendiri atau orang lain menyampaikannya kepada Beliau, lalu Beliau diamkan semua itu serta tidak menegurnya, dinamakan TAQRIR.
1.      Taqrir Omongan Menjadi Sabdah Nabi
Bilamana Nabi SAW mentaqrir sesuatu omongan shahabat, itu menjadi seperti sabdah Nabi SAW :
عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ كُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ جَلَسَ فِي مُصَلَّاهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَيَتَحَدَّثُ أَصْحَابُهُ يَذْكُرُونَ حَدِيثَ الْجَاهِلِيَّةِ وَيُنْشِدُونَ الشِّعْرَ وَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Simak bin Harb dia berkata; "Aku pernah bertanya kepada Jabir bin Samurah, 'Apakah engkau pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wa Sallam? ' Ia menjawab, 'Ya. Bila Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wa Sallam shalat fajar, maka beliau duduk ditempat shalatnya hingga matahari terbit. Para sahabat bercerita tentang cerita-cerita jahiliyah, membacakan syair, dan tertawa, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wa Sallam hanya tersenyum.” {Nasa’i}
Oleh karena Nabi SAW tidak melarang syi’ir dan cerita yang diucapkan para sahabat, maka itu menjadi sebagai sabdah beliau. Artinya “seolah – olah Nabi yang mengucapkan”
Tiap – tiap sabdah Nabi, boleh kita ucapkan dan sampaikan (amalkan)
Jadi, tidak terlarang kita menyebut syi’ir atau cerita[1]

2.      Taqrir Perbuatan, Menjadi Fi’il Nabi
Kalau Nabi SAW mentaqrir sesuatu perbuatan shahabat, maka kelakuan itu menjadi sebagai fi’il Beliau.
Contohnya seperti :
عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا
pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kami biasa menunaikan dua raka'at setelah terbenamnya matahari dan sebelum shalat Maghrib." Saya bertanya lagi padanya, "Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukannya?" Ia menjawab, "Beliau melihat kami melakukannya, namun beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang.” {Muslim}

KETERANGAN :
Karena Nabi SAW tidak melarang apa yang dilakukan para shahabat dihadapan Beliau, maka dianggap sebagai perbuatan Nabi SAW sendiri.
Tiap – tiap perbuatan Nabi SAW yang berkenaan dengan Ibadah, seperti Shalat tersebut, pada asalnya wajib kita kerjakan.
Tetapi kita telah mengetahui, bahwa shalat yang wajib itu hanya 5x sehari, maka shalat sebelum maghrib itu, dihukumi “Sunnah”
Jadi, sebelum mengerjakan shalat maghrib, Sunnah mengerjakan shalat 2 rakaat.




[1] Syi’ir dan cerita ini, tentulah yang sopan, sebab tidak mungkin Nabi membiarkan sesuatu yang tidak senonoh

8/27/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (11)

قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Qaul artinya : sabdah, ucapan, omongan, dan sebagainya.
Untuk beberapa omongan atau sabdah disebut : Aqwal
Dalam pembahasan ini, sebenarnya sudah termasuk dalam pembahasan Af’al Nabi SAW. Disini kita pelajari dengan ringkas saja :
Aqwal atau sabdah – sabdah Nabi SAW itu mempunyai hukum – hukum sebagai berikut :
1.      Ada yang hukumnya “wajib”, yakni wajib dikerjakannya.
2.      Ada yang hukumnya “Sunnah” yakni Sunnah dilakukannya.
3.      Ada yang hukumnya “haram”, yakni haram diperbuatnya
4.      Ada yang hukumnya “makruh”, yakni lebih baik tidak dikerjakannya
5.      Ada yang hukumnya “mubah”, yakni boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakannya.
Contoh – contohnya banyak terdapat dalam pembahasan Amr dan Nahi
Diantara sabdah – sabdah Nabi SAW pula, ada yang mengandung I’tibar atau pelajaran, pendidikan dan lain – lain lagi.
Dalam Agama kita, tidak akan terdapat satupun Qaul Nabi yang berlawanan dengan Qaul beliau sendiri.
Juga tidak akan terdapat satupun qaul Nabi SAW yang menentang fi’il beliau sendiri.
Yang mungkin kita dapati hanya anggapan bahwa itu bertentangan, padahal tidak, dan dapat didudukkan tujuannya.

8/17/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (10)

فِعِلْ النَّبِي
Fi’il : perbuatan
Kalau banyak pekerjaan atau perbuatan, disebut Af’al
Fasal ini memperbincangkan beberapa hal yang berhubungan dengan perbuatan – perbuatan Rasulullah SAW sebagai berikut :
1.      BAGIAN AF’AL NABI
Perbuatan atau perilaku Nabi SAW itu, terbagi dalam tiga bagian :
1.      قُرْبَةٌ = Qurbah (Ibadah)
2.      طَاعَةٌ = Tha’at (Ikutan)
3.      جِبِلِيَّةٌ = Jibilliyah (Tabiat)
KETERANGAN :
1.      Yang dikatakan Qurbah atau Ibadah itu seperti : Shalat, Puasa, Hajji dan lain – lain amalan yang berkenaan dengan keakhiratan.
2.      Yang disebut Tha’at atau ikutan : Nikah, Jual – beli, dan lain – lain amal yang berhubungan dengan keduniaan.
3.      Yang dinamakan Jibilliyah atau tabiat : makan, minum, tidur, dan lain – lain perbuatan dan kelakuan yang menjadi tabiat (sifat kemestian) bagi manusia, dari semenjak ia lahir.

2.      TIAP – TIAP QURBAH WAJIB DITURUTI
Tiap – tiap fi’il Qurbah, seperti : Shalat, Puasa, dan yang lainnya itu pada asalnya semuanya wajib diikuti sebagaimana yang diperintahkan dan dicontohkan Agama, dengan tidak ditambahi, dikurangi, diubah, dan sebagainya.

3.      QURBAH JADI SUNNAH
Fi’il – fi’il Qurbah yang pada asalnya berketetapan “wajib”, bias berubah menjadi Sunnah, bila ada keterangan. Seperti : Puasa Asyura’[1]. Puasa ini, satu Qurbah (Ibadah). Tiap – tiap Qurbah, asalnya wajib dituruti. Jadi, puasa Asyura’ tiu mestinya wajib dikerjakan.
Akan tetapi ada hadits Nabi menyatakan bahwa puasa Asyura’ itu tidak wajib :
إنَّ هَذَا يَوْمُ عَاشُوْرَا ءَوَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ وَأَنَا صَاءِـمٌ
sesungguhnya hari ini, hari Asyura’, dan tidak diwajibkannya atas kamu, tetapi aku berpuasa {Bukhari}
Dengan Hadits ini, berubahlah hukum yang asalnya tadi wajib menjadi sunnah.

4.      QURBAH JADI TERTENTU
Fi’il – fi’il Qurbah yang asalnya wajib dituruti itu, bisa menjadi tertentu untuk Nabi saja, jika ada dalilnya
Seperti puasa siang dan malam bersambung dalam beberapa hari, dikerjakan oleh Nabi.
Puasa ini, satu Qurbah, tiap – tiap Qurbah asalnya wajib dituruti. Jadi, wajib kita melakukan puasa siang dan malam dalam beberapa hari, seperti yang dikerjakan oleh Nabi SAW, tetapi ada hadits yakni :
عَنْ أبِيْ هُرِيْرَةَ, قال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلام. عَنِ الْوِصَالِ. فقالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَإِنَّكَ تَوَاصِلُ يَارَسُلَ الله ؟ فقَالَ : وَ أيُّكُمْ مِثْلِى ؟
“Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW melarang menyambung puasa, maka salah seorang dari shahabat berkata : sesungguhnya engkau sendiri menyambung puasa, ya Rasulullah ! Nabi menyahut : siapakah diantara kamu seperti aku ?” {Bukhari}
Maksud dari hadits ini, melarang puasa terus menerus, yaitu siang bersambung malam, tanpa bebuka di waktu maghrib, sedangkan Nabi sendiri melakukannya.
Karena Nabi pernah melakukan, akan tetapi beliau melarang ummatnya berbuat demikian, berarti, Ibadah Puasa wishal hanya tertentu dilakukan untuk Nabi Muahammad saja.

5.      TIAP – TIAP FI’IL THA’AT WAJIB DITURUTI
Tiap – tiap perbuatan, kelakuan, amal Nabi SAW, yang berupa Tha’at, pada asalnya wajib dituruti.
Seperti Hadits berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَسْلَمَتْ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَزَوَّجَتْ فَجَاءَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ وَعَلِمَتْ إِسْلَامِي فَنَزَعَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَوْجِهَا الْآخِرِ وَرَدَّهَا عَلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ
“dari Ibnu Abbas ia berkata; Seorang wanita masuk Islam pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu ia menikah, kemudian suami yang pertamanya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata; Wahai Rasulullah, Sesungguhnya aku telah masuk Islam dan ia juga telah mengetahui keIslamanku. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melepaskannya dari suami (kedua) lalu mengembalikannya kepada suami pertamanya” {Ahmad}

KETERANGAN :
Riwayat ini, menunjukkan bahwa seorang perempuan kafir yang bersuami, jika masuk islam lalu nikah dengan laki – laki Islam, kemudian suaminya yang pertama itu masuk islam pula, maka perempuan tadi mesti dikembalikan kepada suami yang pertama, bila si suami tadi mau.
Perbuatan itu suatu Tha’at, sedangkan Tha’at wajib dituruti
Kalau ada kejadian seperti tersebut, maka wajib kita perbuat sebagaimana Nabi perbuat tadi.
Karena tidak ada keterangan lain yang mengubahnya, maka tetap mengikuti hukum asalnya tadi, yaitu “wajib”

6.      THA’AT MENJADI SUNNAH
Fi’il Tha’at yang asalnya mempunyai ketetapan “wajib” dapat berubah menjadi “sunnah jika ada dalil yang mengubah ketapan asalnya itu.
Seperti : mendera peminum arak (khomer)
Di masa Nabi SAW hidup. Beliau mendera peminum arak 40x deraan. Ini satu Tha’at. Tiap – tiap Tha’at asalnya wajib dituruti. Jadi, mestinya mendera 40x itu, wajib kita ikuti.
Tetapi, ketika Baginda Umar menjadi Khalifah, beliau mendera peminum arak 80x. Perbuatan ini Baginda Umar lakukan dengan diketahui shahabat – shahabat lain dan tidak ada teguran dari mereka. Kejadian seperti ini merupakan ijma’ shahabat.
Perbuatan Umar mendera 80x itu.menunjukkan bahwa perbuatan Nabi SAW mendera 40x itu bukan “wajib” melainkan “sunnah” (dalam memilih salah satunya).
Ini Riwayatnya :
جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendera peminum khamer sebanyak empat puluh kali, Abu Bakar juga pernah melakukan hal yang sama, sementara Umar bin Khattab pernah melaksanakan hukuman dera sebanyak delapan puluh kali. Sebenarnya semua itu adalah sunnah (pernah dilakukan), dan itulah yang lebih aku sukai” {Muslim}

7.      THA’AT TERTENTU UNTUK NABI
Fi’il Tha’at yang asalnya wajib di turuti sebagaimana yang dikerjakan Nabi, ada kalanya menjadi tertentu untuk Nabi SAW saja. Bilamana ada keterangan yang menunjukkan ke situ.
Seperti : beristri lebih dari 4
Nabi SAW beristri lebih dari 4, yaitu 9. Perkawinan Nabi ini, tidak salah, karena Firman Allah :
...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ...
“... maka nikahilah perempuan – perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat....” {An – Nisa’ : 3}
Perkataan “dua, tiga, atau empat” itu, bukan sebagai suatu batasan sampai empat saja. Kalau sekiranya Ayat tadi membatasi hingga empat, tentu Nabi SAW tidak akan menikah lebih dari empat.
Perbuatan Nabi itu, sebagai Tha’at. Tiap – tiap Tha’at, pada asalnya “wajib” diikuti.
Jadi, mestinya setiap orang, boleh nikah lebih dari empat.
Tetapi bagi umatnya, Nabi SAW telah membatasi sampai empat saja, sebagaimana diriwayatkan, Umar berkata :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ
“dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari mereka.” {Tirmidzi}
Perintah untuk memilih 4 istri kepada Ghailan itu menetapkan bahwa kita juga tidak boleh beristri lebih dari 4.
Maka, nikah lebih dari 4 itu khusus bagi Nabi. Maka dikatakan, Tha’at itu tertentu bagi Nabi.
Sesuatu yang tertentu bagi Nabi SAW, disebut khushushiyah.

8.      TIAP – TIAP FI’IL JIBILLIYAH TIDAK WAJIB DITURUTI
Tiap – tiap perbuatan yang berhubungan dengan tabiat (jibilliyah), yang dilakukan Nabi SAW, pada asalnya “tidak wajib” dituruti oleh ummatnya.
Seperti : Nabi SAW makan, minum, berjalan, tidur, tertawa, senyum, duduk dan sebagainya yang berhubungan dengan Tha’at kebiasaan manusia
Ini semua dikatakan “jibilliyah”.
Tiap – tiap jibilliyah, pada asalnya, tidak wajib dituruti. Maka, semua yang tersebut tadi itu tidak wajib kita turuti.

9.      FI’IL JIBILLIYAH MENJADI WAJIB
Fi’il Jibilliyah Nabi SAW, yang asalnya “tidak wajib” di turuti itu, dapat berubah menjadi wajib, jika ada keterangan. Seperti berikut :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَلْيَسْتَطِبْ بِهَا فَإِنَّهَا تَجْزِي عَنْهُ
“Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, " Bila salah seorang dari kalian pergi ke WC, maka bawalah tiga buah batu dan bersucilah dengannya. Itu telah mencukupi.” {Nasa’i}
Pada asalnya tiap – tiap perbuatan jibilliyah ialah tidak wajib dituruti, ketidak wajiban itu, berubah menjadi wajib lantaran hadits diatas tersebut. “wajib beristinja dengan batu atau lainnya”

10.  JIBILLIYAH MENJADI SUNNAH
Fi’il jibilliyah yang pada asalnya tidak wajib dituruti itu, dapat berubah jadi “sunnah”, jika ada keterangannya
Seperti : mendahulukan tangan kanan dan kaki kanan dalam beberapa perbuatan dan kelakuan. Ini dikerjakan oleh Nabi SAW.
Mendahulukan kanan, satu fi’il jibilliyah. Tiap – tiap fi’il jibilliyah, pada asalnya “wajib” dituruti, dan tidak Sunnah
Jadi, “tidak wajib dan tidak Sunnah” mendahulukan kanan dalam kelakuan dan perbuatan.
Tetapi ada Riwayat, yaitu :
عَنْ عاإشَةَ : كَانَ النَّبِيّ ص. يُحِبُّ التَّيَا مُنَ مَااسْتَطَاعَ فِيْ شَأْ نِهِ كُلِّهِ.
“Dari Aisyah, adalah Nabi SAW, suka sekali menggunakan anggota – anggota kanan beliau, selama sempat, dalam semua halnya” {Abu Dawud}
Selain dari riwayat tersebut, ada beberapa riwayat lagi yang menggemarkan berkanan, bukan perintah.
Semua itu menunjukkan bahwa menggunakan anggota kanan (fi’il jibilliyah), “Sunnah” dituruti sebagaimana yang dilakukan dan digemari Nabi SAW.

11.  FI’IL BERTENTANGAN DENGAN FI’IL ?
Dalam Ushul Fiqh ada pembicaraan tentang fi’il Nabi SAW, yang dianggap bertentangan dengan fi’ilnya sendiri.
Sebenarnya, kalau kita periksa benar – benar, tidak akan terdapat satupun fi’il Nabi yang berlawanan dengan fi’ilnya sendiri, maupun fi’il – fi’il yang berkenaan dengan Qurbah, Tha’at dan lainnya.

12.  PERBUATAN DENGAN OMONGAN
Tentang perbuatan Nabi SAW yang orang anggap berlawanan dengan sabdah beliau, juga ada masalahnya dalam kitab – kitab Ushul.
Tetapi dengan pemeriksaan dan perhatian yang teliti, tidak akan kita dapati satupun perbuatan Nabi SAW yang mungkin bertentangan dengan sabdahnya sendiri, maupun tentang fi’il Qurbah, Tha’at, dan jibilliyah.
Sebagai contoh, hadits yang sepintas lalu kelihatan bertentangan antara satu dengan yang lainnya, yaitu :
·        عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ قالَ : سَقَيْتُ رَسول اللهِ ص. مِنْ زَمْزَمَ فَسَرِبَ وَهُوَ قَاءِمٌ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Aku memberi minum kepada Nabi SAW, dari air zamzam, lalu beliau minum sambal berdiri” {Muslim}

·        قَالَ رسول اللهِ ص. لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدُكُمْ قَاءِمًا
“Rasulullah bersabdah : “Tidak boleh sekali – kali seorang dari antara kamu minum sambil berdiri” {Muslim}

KETERANGAN :
Riwayat pertama menunjukkan Nabi SAW minum dengan berdiri. Ini dikatakan fi’il Nabi SAW.
Riwayat kedua melarang umatnya minum sambil berdiri. Ini qoul (sabdah/perkataan) Nabi SAW.
Zhahirnya, kelihatan fi’il Nabi SAW itu bertentangan dengan sabdah beliau sendiri, benarkah demikian ?
Mari kita perhatikan :
a.       Kalau dikatakan sabdah Nabi SAW, lebih kuat derajatnya fi’il dari fa’il beliau, maka tentu kita mesti berpegang kepada larangan beliau, yaitu : “tidak boleh sekali – kali minum dengan berdiri”.
Jika kita berpegang kepada sabdah ini, sedangkan Nabi SAW pernah mengerjakan minum dengan berdiri, maka ini tidaklah munasabah[2]. Karena tidak patut Nabi SAW, melarang sesuatu, tetapi Beliau sendiri mengerjakannya, kecuali kalau ada alasan yang tegas.
b.      Bilamana dikatakan, Nabi SAW minum sambil berdiri itu, maksudnya untuk menunjukkan, bahwa larangan minum sambil berdiri tadi, ialah larangan makruh, bukan haram, maka ini juga tidak pada tempatnya, karena tidak patut seorang Nabi berbuat sesuatu yang makruh
c.       Apabila ditakdirkan Nabi SAW, tadi, diucapkannya kemudian dari perbuatan beliau, boleh jadi akan ada orang yang berkata, bahwa sabdah yang kemudian ini dihapuskan perbuatan beliau yang terdahulu.
Kepada yang berpendirian demikian, kita bertanya : “siapakah yang menetapkan, bahwa semata – mata sabdah, kemudian menghapuskan fi’il yang lebih dulu ? dan siapakah yang menentukan, semata – mata fi’il yang kemudian menggugurkan qaul yang lebih dulu ?
Penetapan ini, jika memang dari Nabi SAW sendiri tentu diterima, sedang ini, tidak terdapat satupun dalilnya dari Rasulullah SAW.
Karena itu semua, tetap Riwayat dan Hadits tersebut diatas, kedua – duanya, masih terpakai. Jadi, mendudukkannya begini :
A.    Kata – kata “berdiri” dalam larangan itu, ada yang mengartikan “berjalan”, karena kata mereka dalam bahasa Arab ada arti demikian.
Kalau demikian, makna hadits itu : “ Tidak boleh sekali – kali seorang dari antara kamu minum sambil berjalan”.
Sedangkan perkataan “berdiri” dalam riwayat fi’il Nabi itu tetap artinya “berdiri” biasa.
Dengan demikian, Riwayat dan Hadits itu dapat dipakai kedua – duanya, dan tidak bertentangan.
B.     Perkataan “berdiri” yang ada dalam Hadits larangan itu, ditunjukkan kepada suatu cara berdiri yang dapat mengganggu kesehatan mengenai jantung, kerongkongan dan sebagainnya.
Maka maknanya : “ Tidak boleh sekali – kali seorang diantara kamu minum sambil berdiri (dengan cara yang mengganggu kesehatannya)”
Adapun “berdiri” yang Nabi SAW perbuat itu, ialah dengan sifat yang tidak mengganggu kesehatan
Dengan cara ini juga, kedua – dua hadits dan riwayat itu tadi, terpakai dan tidak bertentangan.


[1] Puasa Asyura’ = puasa tgl 10 Muharram
[2] Munasabah : cocok, sesuai

8/11/18

Asas - Asas Bimbingan Konseling

BAB I

PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang

Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan semesta alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Asas – Asas Bimbingan dan Konseling”.
Bimbingan dan Konseling merupakan mata kuliah yang sangat penting karena, menyajikan berbagai prinsip fundamental (asas dasar) yang berkaitan dengan sistem dan metode bimbingan bagi anak didik. Salah satu fungsi bimbingan adalah mengetahui kelebihan dan kekurangan anak didik, serta menemukan solusi dan jalan keluar bagi anak didik kita.

Keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh kaidah-kaidah yang berlaku atau dalam kata lain disebut “asas”. Asas-asas bimbingan dan konseling adalah merupakan dasar yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang  konselor  dalam menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling.



2.        Rumusan Masalah



1.      Apa yang dimaksud dengan asas bimbingan dan konseling?

2.      Apa saja asas-asas dalam pelayanan bimbingan dan konseling?





3.        Tujuan Makalah

1.      Untuk mengetahui maksud asas – asas bimbingan konseling.

2.      Untuk mengetahui macam – macam asas – asas bimbingan konseling.




BAB II

PEMBAHASAN

Asas adalah Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat). Adapun Bimbingan adalah Proses bantuan yang sistematis (teratur) yang diberikan oleh pembimbing atau konselor kepada kline, agar kline dapat memahami dirinya, mengarahkan dirinya, memecahkan masalah yang dihadapinya.
Konseling (disebut juga penyuluhan) adalah Hubungan tatap muka antara konselor dan kline dalam rangka membantu kline untuk mencapai tujuan – tujuan di atas[1].

Dengan demikian asas – asas bimbingan konseling ialah dasar yang menjadi proses bantuan secara teratur yang diberikan oleh pembimbing atau konselor kepada kline, agar kline dapat memahami dirinya, mengarahkan dirinya, memecahkan masalah yang dihadapinya dengan cara bertatap muka antara konselor dan kline dalam rangka membantu kline untuk mencapai tujuan – tujuan tersebut.

Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan profesional, pekerjaan profesional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah – kaidah atau biasa di sebut asas – asas.
Asas – asas bimbingan konseling yaitu ketentuan – ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu. Apabila asas – asas itu di ikuti dan terselenggara dengan baik sangat dapat diharapkan proses pelayanan mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan, sebaliknya, apabila asas – asas itu diabaikan atau di langgar, sangat dihawatirkan kegiatan yang terlaksana itu justru berlawanan dengan tujuan bimbingan dan konseling, bahkan akan dapat merugikan orang – orang yang terlibat di dalam pelayanan, serta profesi bimbingan dan konseling itu sendiri.[2]

Betapa pentingnya asas – asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling.[3]

Asas – asas yang dimaksutkan adalah asas kerahasiaan, Kesukarelaan, keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan kasus, tutwuri handayani. Yang akan di uraikan berikut ini :



1.      Asas kerahasiaan

Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan kline yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.[4] Disinilah peran konselor. Jika tidak bisa menjaga kerahasiaan maka kline tidak akan percaya pada konselor.



2.      Asas kesukarelaan

Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan kline mengikuti kegiatan yang diperuntukkan baginya. Konselor berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.[5] Kline diharapkan secara suka dan rela tanpa ragu – ragu ataupun merasa terpaksa, menyampaikan masalah yang dihadapinya itu kepada konselor, dan konselor memberikan bantuan dengan tidak terpaksa.[6]



3.      Asas keterbukaan

Asas yang menghendaki agar kline yang menjadi sasaran kegiatan bersikap terbuka dan tidak pura – pura, baik dalam keterangan dengan dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya.[7]  Keterbukaan disini ditinjau dari dua arah. Dari pihak kline diharapkan pertama – tama mau membuka diri sendiri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat diketahui orang lain (dalam hal ini konselor), dan kedua, mau membuka diri dalam arti mau menerima saran – saran dan masukanlainnya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan kesediaan menjawab pertanyaan – pertanyaan kline dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang di kehendaki oleh kline. Dalam hubungan yang bersuasana seperti itu, masing – masing bersifat transparan (terbuka) terhadap pihak lainnya.[8]



4.      Asas kegiatan

Asas yang menghendaki agar kline yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan bimbingan. Konselor harus mendorong dan memotivasi kline untuk aktif dalam setiap kegiatan yang diberikan kepadanya.[9]



5.      Asas kemandirian

Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yaitu kline sebagai sasaran kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu – individu yang mandiri, dengan ciri – ciri : mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Konselor hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian siswa.[10]  Kemandirian merupakan tujuan dari layanan bimbingan dan konseling. Dalam memberikan layanan, para petugas bimbingan dan konseling hendaklah selalu berusaha menghidupkan kemandirian pada diri konseli, jangan sampai menjadi tergantung pada orang lain, khususnya pada pembimbing.[11]



6.      Asas kekinian

Permasalahan yang dihadapi kline adalah dalam kondisi sekarang. Adapun kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat kline pada saat sekarang.[12]



7.      Asas kedinamisan

Usaha pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri kline, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tidaklah sekedar mengulangi hal yang lama, yang bersifat monoton, melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan, sesuatu yang lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan kline yang dikehendaki.[13]



8.      Asas keterpaduan

Pelayanan bimbingan dan konseling berusaha memadukan sebagai aspek kepribadian kline. Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang kalu keadaannya tidak seimbang, serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah. Untuk terselenggaranya asas keterpaduan, konselor perlu memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan klien dan aspek – aspek (tanda – tanda) lingkungan klien.[14]



9.      Asas kenormatifan

Asas yang menghendaki agar seluruh layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma – norma (aturan – aturan), baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku.[15]



10.  Asas keahlian

Asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah – kaidah profesional. Profesionalitas konselor harus terwujud, baik dalam penyelenggaraan jenis – jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.[16] Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi (pendidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian) misalnya; pendidikan sarjana bidang bimbingan dan konseling, juga kepada pengalaman. Teori dan praktek bimbingan dan konseling perlu dipadukan.[17]


11.  Asas alih tangan

Dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling, asas alih tangan jika konselor sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu individu, namun individu yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim individu tersebut kepada petugas atau badan yang lebih ahli.[18]



12.  Asas Tut Wiri Handayani

Asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberi rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberi dorongan, serta kesempatan yang seluas – luasnya kepada kline untuk maju.[19]  Asas ini makin dirasakan keperluannya dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngaro sung tulodo, ing madya mangun karso[20]”(seseorang yang berada di depan atau pemimpin, harus bisa memberi contoh pada para anggota, seseorang pemimpin harus mampu menempatkan diri di tengah – tengah anggotanya sebagai pemberi semangat, motivasi agar dapat mencapai kinerja yang lebih baik.).


BAB III

KESIMPULAN

1.      asas – asas bimbingan konseling ialah dasar yang menjadi proses bantuan secara teratur yang diberikan oleh pembimbing atau konselor kepada kline, agar kline dapat memahami dirinya, mengarahkan dirinya, memecahkan masalah yang dihadapinya dengan cara bertatap muka antara konselor dan kline dalam rangka membantu kline untuk mencapai tujuan – tujuan.

2.      Asas – asas bimbingan konseling ada 12 yaitu :

1)      Asas Kerahasiaan

2)      Asas Kesukarelaan

3)      Asas Keterbukaan

4)      Asas Kegiatan

5)      Asas Kemandirian

6)      Asas Kekinian

7)      Asas Kedinamisan

8)      Asas Keterpaduan

9)      Asas Kenormatifan

10)  Asas Keahlian

11)  Asas Alih Tangan Kasus

12)  Asas Tutwuri Handayani.


[1] Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : Pustaka Setia,2010), 39
[2] H. Prayitno dan Erman Amti, Dasar – Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : Rineka Cipta, 2013), 115
[3] Anas S, Bimbingan........ ,40
[4] Ibid, 40
[5] Ibid, 40
[6] Prayitno dan Erman A, Dasar – Dasar Bimbingan........116
[7] Anas S, Bimbingan........ ,40
[8] Prayitno dan Erman A, Dasar – Dasar Bimbingan........116
[9] Anas S, Bimbingan........ ,40
[10]Ibid, 41
[12] Anas S, Bimbingan........ ,41
[13] Prayitno dan Erman A, Dasar – Dasar Bimbingan........118
[14] Ibid, 118
[15] Anas S, Bimbingan........ ,41
[16] Ibid , 42
[17] Prayitno dan Erman A, Dasar – Dasar Bimbingan........119
[18] Ibid, 119
[19] Anas S, Bimbingan........ ,42
[20] Prayitno dan Erman A, Dasar – Dasar Bimbingan........120
 




DAFTAR PUSTAKA



Ø  Prayitno, Erman Amti : Dasar – Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta, 2013

Ø  Anas Salahudin,: Bimbingan dan Konseling. Bandung : Pustaka Setia,2010




TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner