1/27/19

MUSTHOLAH HADITS (6) TAHAMUL WA ADA'UL HADITS

BAB VII
CARA MENYAMPAIKAN
DAN MENERIMA HADITS
(tahamul wa ada’ul-hadits)

1. Pengertian tahammul wa ada’ul-hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.

b. Ada’ al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
1. ketahanan ingatan informator (dlabitur rawi)
2. integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqatur rawi).
3. mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya

2. Syarat-syarat tahammulul-hadits.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
A. Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
B. Berakal sempurna.
C. Tamyis.

3. Syarat-syarat ada’ul-hadits.
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
A. Islam,
B. Balig,
C. Berakal,
D. Takwa.
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti diungkapkan al zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya. Sigaht tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya terhadap-persambungan sanad

4. Sighat tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya terhadap persambungan sanad.
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :

a. Sima’ (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.

b. Al qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah sendiri memaparkan yang juga disebut al ard memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al zuhri, al bukhari, mayoritas ulama kufah, hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.

c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.

d. Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut shiddiq basyir nashr dalam bukunya dlawabith al riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
1. Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
2. Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
3. Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.

e. Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.

f. Al-i’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” Lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh al-ghozali dan ibnu sholah dalam bukunya al-muqoddimah.

g. Wasiat.
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan i’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.

h. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1. jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-qodhi iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2. jika proses tahamul itu dengan menggunakan qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3. ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4. ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5. ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6. ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7. ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
ketika proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Ringkasan Shighat Tahammul Hadits
Shigat Metode Tahammul

سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني السماع
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه القراءة
أجازنى فلان, أنبأنى الاجازة
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة المناولة
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة الكتابة
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام الاعلام
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية الوصية
وجدت بخط فلان, قال فلان
الوجدة

1/20/19

MUSTHOLAH HADITS (5) SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

BAB VI
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
PERIODE MUTAQODDIMIN
A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits

Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.

Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,

"بلغوا عنى ولو أية"

“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”

Dalam hadits lain disebutkan
,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "

“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku).
Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.

c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya

Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi,

"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"

“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.

"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"

“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.”
B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab

Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits
(عصر تقليل رواية الحديث).
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya."
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua."
2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.

Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.

a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :

a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
b. Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
c. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
d. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
e. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
f. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
g. Mesir
-Yazid ibn Habib
h. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani

PERIODE MUTAAKHIRIN
Yang dimaksud dengan mutaakhkhirin adalah periode anatara Abab IV-VII Hijriyah. Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi pada masa dinasti ’Abba siyah angkatan ke dua yaitu pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim Billah.
Pada periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi tudak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak sedikit ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan hadis.
Pada periode ini ulama pada umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis terdahulu, sebab pada IV H hadis-hadis telah terhkodofikasi dalam bentuk kitab sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling menonjol pada periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis Nabi saw yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh mutaqaddimin.
Para ulama hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan mnyusun hadis dalam bentuk mus}annaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;
1. Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan saanad dan matannya, ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah; Atraf alSahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H), Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H), Atraf Kutub al-Sittah karya Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H), Atraf al-Ahadis} al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H), Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H), Atraf al-Masand al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).
2. Kitab Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian penyusun meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah; Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ih}ya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij ahadis al-Baagawi karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij ahadis al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).
3. Kitab al-Mustadrak adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya, dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah : al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni(w. 385 H).
4. Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitan yang telah adalah, dianatar kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk seperti ini adalah;
1. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim:
1) Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
2) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-H{umaidi (w. 488 H)
3) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)
2. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadi dari Kutub al-Tis’ah:
1) Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan oleh Ibnu al-Asir al- Jazairipada kitab yang diberi judul ”al-Jami’u al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
2) Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
3. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
1) Maabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al- Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih}”
2) Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w. 579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-T{abari.
3) Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).
4. Kitab yang disusun berdasarkan pokok masalah, dianatara kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan masalah-masalah tertentu dari kitab-kitab hadis terdahulu adalah :
1. Himpunan Hadis-hadis hukum
1) Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majdu al-Din Abdussalam Ibnu Abdillah (w. 625 H)
2) Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baihqi (w. 458 H)
3) Al-Ah}kam al-Sugra, karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H)
4) ’Umdatu al-Ahkam, karya Abdulgani al-Maqdisi (w. 582)
5) Bulug al-Maram min Adillat al-Ah}kam karya Ibnu H{ajar al-’Asqalani.
2. Himpunan hadis-hadis al-Targib wa al-Tarhib (hadis-hadis tentang menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri perbuatan dosa yang dibenci) salah satu diantara kitab tersebut adalah kitab al-Targib wa al-Tarhib karya al-Munziri (w. 656 H)
Pada abad VII selain karya-karya ulama dalam bidang hadis yang disusun dalam bentuk mustakhrajat dan atraf, juga para ulama abad VII dan seterusnya menyusun karya dalam bentuk syuruh, mukhtas\arat, al-zawaid, dan ma’ajim. Adapun karya-karya para ulama pada abad VII dan seterusnya dapat diklasifikasiakan sebagai berikut:
1. Kitab al-Syuruh mrupakan kitab hadis yang memuat uraian dan penjelasan terhadap atas kandungan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya ulama Mutaqaddimin dengan memberikan beberapa hubungan dengan atau relasi baik dari Al-Qur’an , hadis, maupun kaodah-kaidah syara’ lainnya. Adapun karya-karaya yang disusun dalam bentuk syuruh dapat diklasifikasikan berdasarkan kitab-kitab himpunan sebagai berikut:
1. Kitab Syarah untuk Sahih al-Bukhari
1) Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani
2) Irasyad al-Sari oleh al-Qast}lani (w. 923 H)
3) ’Umadat al-Qari’ oleh al-’Aini (w. 855 H)
2. Kitab Syarah untuk Sahih Muslim
1) Al-Minhaj oleh al-Nawawi
2) Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi (w. 743 H)
3. Kitab Syarah untuk al-Sahihain: Zad al-Muslim oleh al-Syinqiti
4. Kitab Syarah untuk Sunan Abu Daud
1) ’Aun al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-’Azim al-Abadi bersama dengan syarah Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah.
2) Ma’alim al-Sunan oleh al-Khattabi (w. 388 H)
5. Kitab syarah untuk Sunan al-Tirmizi
1) Tuhfat al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
2) ’Arid} al-Ah}wazi oleh Ibnu al-’Arabi (w. 543 H)
6. Kitab Syarah untuk Sunan al-Nasa’i
1) Ta’liq oleh al-Suyuti
2) Ta’liq oleh al-Sindi
7. Kitab syarah untuk Sunan Ibnu Majah
1) Ihdau al-Dibajah oleh Ahmad al-’Adawi
2) Syarah Suanan Ibnu Majah oleh al-Maglatayi (w.767 H)
8. Kitab-Kitab Syaraj untuk Himpunan Hadis-hadis Ahkam
1) Subul al-Salam oleh al-San’ani terhadap Bulug al-Maram oleh Ibnu Hajar al-’Aqalani
2) Nail al-Autar oleh al-Syaukani terhadap muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Abdussalam.
2. Kitab Mukhtasarat adalah kitab yang berisi ringkasan-ringkasan dari satu kitab hadis. Diantara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk muktasarat adalah: kitab al-Jami’ al-Sagir karya al-Suyuti dan kitab Mukhtasar Sahih Muslim.
3. Kitab Zawaid adalah kitab yang didalamnya terhimpun hadis-hadis yang terdapat dalam satu karya mutaqaddimin tertentu dan tidak terdapat dalam kitab himpunan hadis lainnya, salah satu kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah Zawaid al-Sunan al-Kubra oleh al-Busiri, yang mnghimpun riwayat-riwayat yang terdapat dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihqi yang tidak terdapt dalam Kutub al-Tis’ah.
4. Kitab Ma’ajim atau disebut juga dengan kitab indeks hadis yakni kitab yang berisi perunjuk-petunjuk praktis untuk mempermudah pencarian matan-matan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab himpunan hadis riwayah tertentu, salah satu dianttara kitab tersbut adalah Miftah Kunuz al-Sunnah yang merupakan terjemahan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dari karya A.J. Wensink, kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam 14 kitab himpunan hadis, dan disusun dalam bentuk tematik.
Selain dari kitab-kitab di atas pada abad VII dan seterusnya tersusun pula kitab himpunan hadis-hadis Qudsi dianatar kitab himpunan hadis-hadis Qudsi adalah : Al-tuhfah al-Saniyyah oleh Al-Munnawi dan al-Kalimat al-Tayyibah oleh Ibnu Taymiyyah, dan banyak lagi lainnya.

PENELITIAN HADITS PERIODE KONTEMPORER
Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimi>n dan disempurnakan pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai berikut:
1. Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
2. Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtas\ar Sahih Muslim.
3. Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4. Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah :
1. Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah sanad.
2. Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah, maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-H{adis}.
3. Program Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh para ulama baik dari kalangan mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n, sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.

1/14/19

Mengamalkan sifat muhammadiyah

Nama kelompok 2 : -   Syafira Berliana
-         Mega aulia
-         Annis dwi
-         Ivan riski 
-         M ali
-         M eka

Mengamalkan sifat muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, berdasarkan Islam, berjuang menuju terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah Swt, bukan dengan jalan politik, bukan dengan jalan ketatanegaraan, melainkan melalui pembentukan masyarakat, tanpa memperdulikan struktur politik yang menguasai. Muhammadiyah berpikir layaknya politisi yang mempunyai tujuan jangka pendek, tapi berpikir layaknya negarawan yang mempunyai tujuan jangka panjang. Ketahanan hingga jangka satu abad ini juga tak lepas dari menjadi karakter kepribadian organisasi. Tak hanya itu, berbagai sifat kebajikan itu juga ditransformasikan pada warganya melalui ragam pengajaran 
Sebagai organisasi dakwah islam Muhammadiyah memiliki sifat-sifat yang wajib dipelihara, yaitu :

1. "Beramal dan Berjuang Untuk Perdamaian dan Kesejahteraan".
Dengan sifat ini, Muhammadiyah tidak boleh mencela dan mendengki golongan lain. Sebaliknya, Muhammadiyah harus tabah menghadapi celaan dan kedengkian golongan lain tanpa mengabaikan hak untuk membela diri kalau perlu, dan itu pun harus dilakukan secara baik tanpa dipengaruhi perasaan aneh. Tapi, membela itu pun harus dilakukan secara baik. Muhammadiyah merupakan elemen bangsa yang berhasil melampaui satu abad dalam mewarnai dinamika kehidupan sosial dan politik di indonesia. Salah satu kunci ketahananini tak lepas dari keberhasilan dakwahnya yang selalu mengedepankan perdamaian.
Di muhammadiyah tidak ada dakwah dengan kekerasan, karena dakwah yang menggunakan kekerasan adalah dakwah yang kekanak – kanakan. Seyogyanya dakwah agama dilakukann dengan menghilangkan nuansa kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda. Ayat – ayat Allah dan risalah kenabian harus didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menasehati dan meluruskan yang kurang dan tidak lurus. Bukan malah dijadikan alat untuk memaki yang salah atau untuk memanipulkasi untuk menebar kebencian kepada kelompok yang berbeda.
Berjuang untuk perdamaian ini tidak lepas dari hakikat ajaran islam sebagai jalan serta menjamin keselamatan (slavery), cinta, perdamaian serta nilai – nilai kemanusiaan lainnya.  Dengan kata lain, ajaran agama memang seharusnya mendorong pemeluknya untuk bersikap saling mencintai dan mengasihi antar sesama dikarenakan faktor agama. Kemuliaan dan keluhurana agama ini sudah tentu harus diamalkan dalam berdagai kegiatan yang mendorong terciptanya sifat beramal dan berjuang untuk perdamaian ini tak hanya dipraktikkan muhammadiyah dalam pergaulan lokal indonesia, tetapi juga dilakukan dalam tingkat internasional. Di antatra peran yang sudah dilakukan atas kepercayaan dunia adalah menjadi bagian dari penyelesaian konflik muslim thailand dengan pemerintah thailand, pemerintah filiphina dengan muslim moro, keterlibatannya dalam world peace forum (forum perdamaian dunia), serta steering comite di persatuan bangsa – bangsa (pbb)dalam komisi antar agama dan antar budaya untuk perdamaian.    
Lewat berbagai forum internasional, muhammadiyah juga tidak segan – segan menggali dan memperkuat gagasan perdamaian. Tidak hanya aktif sebagai tamu tetapi juga sebagai tuan rumah dengan menghadirkan peserta dari dalam dan luar negeri: pemuka agama, tokoh politik, akademis, cendekiawan, pengambil kebijakan, praktisi media, dan pegiat perdamaian. Dan yang bpaling penting adalah pesan – pesan perdamaian akan disampaikan kederbagaiorganisasi internasional.
Selain perdamaian, perjuangan muhammadiyah ini diarahkan untuk ikut serta memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Muhammadiyah mengadakan berbagai usaha kesejahteraan sosial dengan mengadakan garis kedijaksanaan dan ketentuan – ketentuan yang berlaku. Amal usaha ini tak lepas dari ajaran al qur an surat al maun yang menganjurkan umat islam perduli terhadap kalangan yang bermasalah dalam kesejahteraan sosial.
 
2."Memperbanyak Kawan dari Mengamalkan Ukhuwah lslamiyah"
Setiap warga Muhammadiyah, siapa pun orangnya, termasuk para pemimpin dan da'inya, harus memegang teguh sifat ini. Dalam rangka untuk "Memperbanyak Kawan dan Mengamalkan Ukhuwah Islamiyah". Inilah, pada umumnya ceramah atau kegiatan dakwah lainnya yang dilancarkan oleh dai-da'i Muhammadiyah memakai gaya "sejuk penuh senyum", bukan dakwah yang agitatif menebar kebencian ke sana ke mari.
Di kalangan Muhammadiyah di Surakarta terkenal semboyan "Jiniwit Katut". Jiniwit artinya dijiwit (dicubit), tetapi justru lama-lama orang yang njiwit akan katut atau terpiat oleh Muhammadiyah yang selalu bertingkah simpatik kepada siapa pun.
Dan tampaknya sifat inilah salah satu rahasia, mengapa Muhammadiyah terus berkembang makin mengakar dalam masyarakat.
Terkait dengan kalangan yang berbeda dengan pengalaman sekalipun, muhammadiyah telah memberi garis jelas sebagaimana tertuang dalam kaidah majelis tarjih. Dalam memahami sebuah pengalaman agama, sesuai namanya, tarjih akan memilih pendapat yang “dipandang” lebih arjah (kuat), baik menurut dalil al qur an, sunnah maupun kaidah. Meski punya dalil yang diyakini sebagai terkuat, tapi tidak ada sifat perlawanan, menentang atau menjatuhkan pemahaman lain yang tidak dipilih oleh tarjih. Sebab, sifat dari hasil pertajihan punya catatan tidak membatalkan faham lain yang tidak sependapat.
Muhammadiyah memandang pemahaman ajaran islam yang berbeda – beda sebagai warisan sejarah umat islam. Keragaman justru memperkaya pengetahuan, tapi tetap dengan catatan tidak boleh memmbelengguh pikiran. Muhammadiyah merujuk langsung kepada al qur an dan asunnah nabi dan tidak terikat oleh golongan, paham, maupun aliran manapun. Muhammadiyah bisa memiliki pemikiran yang sama atau berbeda dengan aliran – aliran yang sudah ada, tetapi sifatnya hanya kebetulan. Muhammadiyah tidak mengikuti aliran (firkah atau mahzab) manapun, tetapi tidak anti-aliran.
Ukhuwan islamiyah merupakan implementasi ajaran etik al qur an surat al hujurat (42):10, yang artinya “sesungguhnya orang – orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara dua saudaramu dan bertakwalah pada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” Ayat ini menegaskan bahwa sepanjang iman masih dalam dada, maka seberapa besar perbedaan di antara paham dalam islam, masih bersaudara. Ukhuan tentu tidak dimakhsudkan untuk menyatukan paham – paham dalam islam yang sejatinya memiliki perbedaan, terutama dalam persoalan yang bersifat furu’ (cabang).
Ukhwan yang dimakhsud adalah tetap terjalinnya persaudaraan antar golongan yang berbeda pemahaman tersebut. Harapannya terwujud sikap yang saling menghormati dalam penyikapi perbedaan, dengan menyusung spirit bersepakat dalam perbrdaan (agree in disagreement). Dialog, diskusi atau perdebatan untuk mencari kebenaran adalah kebajikan asal tetap dengan semangat ukhuwan (persaudaraan) tanpa perasaan ‘adawah (permusuhan).        

3.  "Lapang Dada, Luas Pandangdan Dengan Memectanct Teguh Ajaran Islam"
Lapang dada atau toleransi adalah satu keharusan bagi siapapun yang hidup dalam masyarakat, apalagi hidup dalam masyarakat yang majemuk seperti masyarakat Indonesia. Tanpa adanya lapang dada, kehidupan akan goncang. Dan prinsip "Memperbanyak Kawan" tentu berubah menjadi "Memperbanyak Musuh". Namun bagaimana, pun dalam berlapang dada, kita tidak boleh kehilangan identitas sebagai warga Muhammadiyah yang harus tetap memegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, bebas tetapi tetap terkendali.
Sikap toleransi ini bukan berarti ragu – ragu, karena setiap orang justru dituntut memiliki pendirian yang jelas dan yakin atas kebenaran pendiriannya yang jelasdan yakin atas kebenaran pilihannya. Tetapiu ia harus tetap menjunjung tinggi hak orang lain untuk berbeda pendapat, sekalipun dalam keyakinannya itu adalah salah. Umat harus menjadi semakin cerdas dan dewasa dalam menyikapin perbedaan. Terlepas dari sikap pribadi seseorang “bersepakat” atau tidak terdapat satu agama, ras, suku, dan golongan tertentu, gerakan apresiasi terhadap yang “lain” adalah mutlak untuk diimpelementasikan. Kurangnya toleransi dalam rana sosia akan berdampak serius dalam keharmonisan hidup antar sesama, karena akan menimbulkan sikap tidak menghargai yang lain. Kemajemukan yang sudah didesain oleh Allah SWT seharusnya dibarengi oleh sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi pluralitas. Toletansi bukanlah sikap yang bertujuan untuk menipiskan keimanan seseorang atau pindah keyakinan, kecuali menimbulkan sikap saling memahami dan menghargai dalam nuansa kedamaian.   

4. "Bersifat Keagamaan Dan Kemasyarakatan "
Sifat "Keagamaan dan kemasyarakatan" sudah merupakan sifat Muhammadiyh sejak lahir. Karena ini sifat yang tidak mungkin terlepas dari jiwa dan raga Muhammadiyah. Mengapa? Muhammadiyah sejak lahir mengemban misi agama, sedang agama diturunkan oleh Allah melalui para Nabi-Nya juga untuk masyarakat, yakni untuk memperbaiki masyarakat. Masyarakat adalah "lahan" bagi segala aktivitas perjuangan Muhammadiyah.
Dua sifat ini, yakni keagamaan dan kemasyarakatan, tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Harus berjalin berkelindan. Karena itu, Muhammadiyah bukan gerakan sosial semata-mata, dan bukan juga gerakan keagamaan semata-mata. Muhammadiyah adalah gerakan kedua-duanya, ya keagamaan ya kemasyarakatan.
Tetapi Muhammadiyah juga bukan gerakan politik, sebab kalau gerakan politik, tercermin dalam berbagai amal usaha yang telah tertekuninya selama ini.
Sifat keagamaan organisasi muhammadiyah bisa dilihat dari kejatiannya sebagai gerakan islam. Dalam pelaksanaannya, muhammadiyah memberikan tuntunan keagamaan pada warganya berdasarkan al qur an dan asunnah. Secara organisatoris, muhammadiyah memberikan pedoman hidup yang islami kepada warganya dalam urusan aqidah, akhlak, ibadah serta muamalah duniawiyah. Muhammadiyah telah menetapkan aturan tersendiri tentang hukum islam untuk kalangan mereka. Mulai dari tuntutan kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan dernegara, dan lain – lain.
Sifat keagamaan muhammadiyah ini juga dilengkapi dengan sifat kemasyarakatan, karena masyarakat adalah “lahan” bagi segala aktivitas perjuangannya. Sebagaimana sejarah para nabi yang mendakwahkan agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk masyarakat, begitu juga muhammadiyah punya tujuan untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Karena itu, sebagai tuntutan kehidupan islamu yang dibuatnya memang harus dijadikan materi yang didakwahkan kepada masyarakat ialam secara umum.
Yang tak kalah pentingnya, muhammadiyah berjuang melalui berbagai kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan. Adapun dalam dunia politik, muhammadiyah melakukan kegiatan politik tidak langsung (high politics)yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral. Tujuan yang ingin dicapainya bersifat kemasyarakatan, yaitu terwujudnya kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara. Muhammadiyah mengambil kemasyaratan karena pemberdayaan terhadap mereka tidak kalah penting dan strategis dari pada aspek perjuangan politik kekuasaan. Muhammadiyah bukan organisasi politik, danjuga tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organosatoris dengan kekuatan – kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip kenegaraan yang berkeadaban. Muhammadiyah memberikan kebebasan pada angggotanya untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing – masing. Jika ada warganya yang berpolitik, maka muhammadiyah mendorong agar perjuangan mereka selaras upaya memperjuangkan misipersyarikatan dalam melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar.

5. "Mengindahkan, segala Hukum, Undang-undang Serta dan Falsafah Negara Yang Sah"
Muhammadiyah sebagai satu organisasi, mempunyai sejumlah anggota. Anggota ini adalah warga negara dari suatu negara hukum. Hukum negara mempunyai kekuatan mengikat bagi segenap warga negaranya. Ini adalah kenyataan. Karena itu, Muhammadiyah mengindahkan peraturan yang ada selama dalam karidor kebajikan. Meski islam tidak pernah menawarkan bentuk ideal sebuah negara, tetapi agama ini memberikan rambu – rambu penting bagaimana sebuah negara disebut negara “negara islam”. Keberadaan negara mengharuskan adanya pemerintah yang melindungi warga negaranya, bersikap adil, seta memenuhin hak – hak orang miskin dan teraniaya.
Terkait dengan pancasila sebagai dasar negara indonesia, muhammadiyah memandang sebagai rahmat Allah SWTuntuk bangsa indonesia sebagai Dasar untuk memajukan dan membangun indonesia yang merdeka dan berkemajuan. Pancasila bukan agama, tetapi intinya mengandung dan sejalan dengan nilai – nilai islam. Sila pertama mengandung makna ketauhidan, disusul sila berikutnya tentang kemanisiaan, persatuan (ukhuwwah), musyawarah, dan keadilan, yang seluruhnya tidak bertentangan dengan ajaran islam.
Muhammadiyah menegaskan sikap dan pandangan bahwa pancasila merupakan konsensus nasional yang diisi dengan persaingan secara sehat (fastabiq al-khairat). Indonesia yang berdasarkan pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (dar al-‘ahdi), aman dan damai (dar al- salam). Sengan demikian, diperlukan instutisionalisasi dan substansialisasi atas nilai – nilai pancasila yang terbuka dan dinamis dalam berbangsa dan bernegara.
Jika ada peraturan negara yang dianggap menyalahi prinsip islam atau merugikan kepentingan rakyat indonesia, muhammadiya merasa berkewajiban untuk membetulkan. Dalam konteksinilah dapat dipahami jika muhammadiyah berdiri digarda terdepan dalam mengajukan gugatan kepada mahkama konstitusi (MK) atas undang – undang yang merugikan kedaulatan indonesia diantara salah satu keberhasilan yang telah dicapai adalah pembatalan MK atau UU UU tentang migas. Sebab, UU ini bertentangan dengan berbagai pasal yang terkandung dalam UUD 1945 dan berlawanan dengan semangat pancasila.  

6. "Amar Maruf Nahi Munkar Dalam Segala Lapangan Serta Menjadi Contoh
Teladan Yang Baik"
Salah satu kewajiban tiap muslim ialah beramar ma'ruf dan bernahi munkar, yakni menyuruh berbuat baik dan mencegah kemunkaran. Yang dimaksud kemunkaran ialah semua kejahatan yang merusak dan menjijikkan dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya amar ma'ruf dan nahi munkar, tidak akan kebaikan dapat ditegakkan, dan tidak akan kejahatan dapat diberantas. Untuk itu, Muhammadiyah harus sanggup menjadi suri teladan dalam kegiatan ini, baik ke dalam tubuh sendiri ataupun ke luar, ke tengah-tengah masyarakat ramai, dengan penuh kebijaksanaan dan pendekatan yang simpatik.
Amar ma'ruf nahi munkar, bagaimanapun harus kita lakukan dengan cara yang baik, sebab kalau tidak begitu, adalah Machiavellisme namanya.
Namun, semuanya itu dilakukan dengan cara yang penuh kebijaksaan dan perdekatan yang simpatik sesuai dengan karidor hukum yang berlaku. Beramar makruf nahi munkar tidak dimakhsudkan untuk mencela atau mencari aib orang lain, tetapi memang mengajak kepada kebajikan dengan hati yang ikhlas. Karena itu, saat mengamslkan sifat ini, muhammadiyah akan selalu berusaha untuk memberi peringatan pada tewmpatnya. Yaitu berdasarkan “menarik nmaslahat dan menjauhkan madharat”, serta diiringi dengan hikmah, dan nasehat yang baik.
Berdasarkan sifat amar makruf nahi munkar ini dapat dipahami jika muhammadiyah melakukan berbagai kritik konstruktif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sifat ini telah menjadi panggilan sejarah bagi muhammadiyah sejak zaman pegerakan hingga awal kemerdekaan. Maka dari itu anggota muhammadiyah bahkan pimpinanya harus punya sifat sebagai “shalihul muslih”. Yaitu orang yang pribadinya shaleh, mau dan sanggup berjuang untuk menshalehkan orang lain.
Selain lantang menyuarakan amar makruf nahi munkar, muhammadiyah tidak lupa dengan dirinya. Sebab, selain bersuara keras terhadap kondisi keutamatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang sedang rusak, muhammadiyah harus menjadi teladan dalam mengatasi dalam mengatasi masalah tersebut. Ketika menyuarakan pentingnya negara bebas dari korupsi musalnya, muhammadiyah harus menjadi teladan. Lembaga pendidikan dan kesehatan yang dimiliki harus memperhatikan ragam pengelolaan yang transparan atau antikorupsi. Begitu juga dengan warganya yang betrkiprah dalam bidang apapun adalah orang – orang yang bersih dari korupsi.

7. "Aktif Dalam Perkembangan Masyarakat Dengan Maksud !slab dan Pembangunan Sesuai Dengan Ajaran Islam"
Kapan pun dan dimana pun Muhammadiyah memang harus selalu aktif dalam perkembangan masyarakat, sebab tanpa begitu, Muhammadiyah akan kehilangan peran dan akan ketinggalan oleh sejarah. Tetapi keaktifan Muhammadiyah dalam perkembangan masyarakat, tidak berarti sekedar ikut arus perkembangan masyarakat, Muhammadiyah adalah kekuatan ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran.
Muhammadiyah menyakini bahwa agama islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama, baik itu tentang tetangga maaupun anggota masyarakat lain. Kehadiran warga muhammadiyah membawa rasa aman bagi masyarakat sekitarnya, bukan sebaliknya malah menjadi “masalah” bagi masyarakat. Karena itu, setiap anggota dan keluarga muhammadiyah harus menunjukkan keteladanan dalam sikap baik kepada anggota masyarakat, termasuk dengan yang berlain agama.
Relasi ini harus dibangun berdasarkan pada perinsip saling memelihara hak dan kehormatan baik sesama musling atau dengan non-muslim. Terhadap mereka yng tidak seiman, islam memberikan beberapa batasan khusus seperti tidak boleh mengadakan perkawinan dengan mereka, ikutmerayakan ibadah natal bersama – sama, dan lain – lain. Ukuran hubungan dengan mereka yang tidaj seiman adalah selama tidak masuk pada rana aqidah dan syariah. Diluar itu, islam tidak melarang umat islam berhubungan dalam membangun hidup masyarakat yang rukun dan menghomati.
Dalam hubungan – hubungan sosial yang lebih luas, setiap anggota muhammadiyah baik sebagai individu, keluarga, maupun jama’ah (warga) dan jam’iyah (organisasi) haruslah menunjukkan sikap – sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai kehirmatan manusia. Selain itu, warga muhammadiyah juga harus menunjukkan etos kerja yang islami secara makhsimal dalam berbagai amal kegiatan yang bersifat perbaikan dan pembangunan. Seperti kerja keras, disiplin, tidak menyia nyiakan waktu berusaha secara maksimal \ optimal untuk mencapai suatu tujuan.    

8. "Kerjasama Dengan Golongan Lain Mana Pun, Dalam Usaha Menyiarkan Dan Mengamalkan Ajaran Islam Serta Membela Kepentingannya"
Menyiarkan Islam, mengamalkan dan membela kepentingan Islam, bukan hanya tugas Muhammadiyah, tetapi juga tugas semua umat Islam. Karena itu, Muhammadiyah perlu menjalin kerjasama dengan semua golongan umat Islam. Tanpa kerjasama ini, tidak mudah kita melaksanakan tugas yang berat ini. Karena itu, muhammadiyah harus melakukan ta’aruf dan ta’awun dengan siapapunn untuk kemaslahatan umat, bangsa dan dunia kemanisiaan sesuai pesan risalah islam untuk tampil sebagai rahmatan lil-‘alamin.
KH. Ahmad Dahlan pun telah memberi contoh teladan dengan keluwesan dan kepiawaian dalam berkomunikasi dan berkerja samadengan berbagai kalangan. Pergaulan pendiri muhammadiyah ini luas sekali, karena diajuga aktif di budi utomo, jam’iyatul khair, dan syarikat islam. Selain itu, dia juga  selalu berkomunikasi dan bergaul dengan tokoh – tokoh nasional dari mana pun. Dengan rahmat pergaulan tersebut, terbuka ragam kesempatan bekerja sama dalam hal pengajaran agama islam.
Lewat Budi utomo misalnya, KH. Ahmad Dahlan bisa mengajar agama islam kepada umat islam yang sedang menempuh pendidikan di sekolah – sekolah yang didirikan Belanda. padahal sebelumnya, tidak pernah ada cerita tentang pengajaran agama di sekolah – sekolah tersebut. Bahkan, berkat bantuan dan nasehat dari para aktivis Budi utomo pula, yang mempermudah persyarikatan muhammadiyah.
Menurut Dr. Haedar Nashir MSi, bukan suatu yang aneh dan baru jika PP muhammadiyah kini sering berkomunikasi dengan berbagai pihak yang bersifat lintas golongan. Termasuk dengan mengundang tokoh – tokoh lain dalam sejumlah acara. Pergaulan yang luas tidak akan melunturkan kepribadian dan mengorbankan kepentingan muhammadiyah. Sebaliknya dapat memberi kemanfaatan dan kemaslahatan bagi muhammadiyah lebih – lebih untuk umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan.
Semangat untuk menebar islam sebagai rahmatan lil-‘alamin, kerahmatan islam tidak hanya dirasakan oleh umat islam saja, yang dijalani muhammadiyah dalam melakukan kerja sama untuk peningkatan program kemanusiaan. Bagi muhammadiyah, tiak ada masalah bekerja sama dengan pihak mana pun selama masih dalam karidor islam. 

9. "Membantu Pemerintah Serta Kerjasama Dengan Golongan Lain Dalam Memelihara Negara dan Membangunnya, Untuk Mencapai Masyarakat Yang Adil dan Makmur Yang Diridhai"
Negara Indonesia adalah memiliki semua warga negaranya, termasuk warga Muhammadiyah. Adalah suatu keharusan dijalinnya kerjasama di antara semua unsur pemilik negara, untuk membangun Negara dan bangsa menuju tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah.
Muhammadiyah kemakmuran masyarakat ini, sebab kemakmuran mempersubur iman dan takwa, sedang kemelaratan mempersubur kriminalitas sosial dan kekufuran. Bukankah telah disabdakan oleh Nabi kita, "kada al-faqru ayyakuna kufran" (Kekafiran itu dapat menyebabkan kekufuran).
Muhammadiyah berpandangan bahwa agama islam mengangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlat, dan mu’amalat duniawiah yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Muhammasdiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan bernegara merupakan salah satu aspek dari ajaran islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkain oleh nilai – nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu di perlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk ntegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar makruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita – cita leluhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
Menurut muhammadiyah, pemerintahan adalah institusi yang bertugas meneruskan misi kenabian untuk memelihara agama, serta memberikan kesejahteraan kepada warganya. Sejauh ini muhsmmadiyah telah membuktikan selalu mendukung pemerintah, siapapun yang berkuasa, asalkan berada dalam jalan yanmg benar. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka muhammadiyah tidak pernah ragu untuk mengingatkan. Inilah cara muhammadiyah untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

10. "Bersifat Adil Serta Korektif Ke Dalam dan Keluar, Dengan Bijaksana"
Dengan sifat adil dan korektif, Muhammadiyah tidak senang melihat sesuatu yang tidak semestinya, dan ingin mengubahnya dengan yang lebih tepat dan lebih baik, meskipun mengenai diri sendiri. Jadi Muhammadiyah tidak tinggal diam saja dan taqlid. Tetapi koreksi pada diri sendiri dan ke luar ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus dengan adil dan bijaksana. Kesalahan adalah kesalahan, sekalipun ada pada orang atau golongan lain. Bukan sifat Muhammadiyah tetap bersikukuh membela suatu hal, padahal misalnya jelas-jelas yang dibelanya itu salah atau tidak baik.
Dalam konteks perjuangan dan dakwah, segala usaha dan pekerjaan organisasi selain diperbesar dan dikembangkan, yang tidak boleh dilupakan agar lebih sempurna. Untuk memperbaiki sudah tentu harus dilakukan evaluasi atau koreksi secara menyeluruh, teliti dan cermat. Korektif merupakan amal yang dapat mendatangkan kebaikan dan kesempurnaan, dan ia menjadi syarat pokok dalam usaha menuju perbaikan dan kesempurnaan.
Berbekal sikap korektif, maka warga muhammadiyah harus bisa mengetahui segala apa yang ada pada dirinya, yang baik maupun buruk. Barulah menambah apa – apa yang telah baik, Dan berubah segala yang tidak atau kurang baik. Sikap korektif ini secara organisatoris di implementasikan dalam berbagai musyawarah secara periodik di setiap jenjang pimpinan. Selain muktamar sebagai hajatan tertinggi, juga ada musyawarah wilayah (musywil), musyawarah daerah (musyran), musyawarah cabang (musycab), musyuawarah ranting (musyran), tanwir, dan juga musyawarah pimpinan (musypim).    
(Kamal Pasha dkk, 1971: 58-65).

1/13/19

MUSTHOLAH HADITS (4) KITAB-KITAB HADITS

BAB V
KITAB-KITAB HADITS

1) Pengertian Kitab Hadis
Para muhaddisin telah menulis berbagai jenis kitab dalam berbagai bidang bahasannya. Hal ini merupakan suatu khazanah ilmu hadis yang dapat menjawab semua masalah yang di jumpai oleh para ulama dan peneliti berbagai kitab . Selanjutnya inilah yang disebut sebagai kitab hadis.

2) Kitab Hadis Ditinjau dari Kriterianya

i) Kitab Shahih
kitab shahih merupakan kitab yang penyusunannya hanya menyatakan hadis-hadis yang shahih saja . Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis-hadis shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Kemudian disusul oleh sahabat yang juga muridnya Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi. Kedua kitab ini adalah kitab yang paling shahih. Tetapi Bukhari lebih kuat karena Bukhari dalam mengeluarkan hadis mensayaratkan dua hal, yakni:

1. Perawi harus semasa dengan gurunya.

2.Perawi benar-benar bertemu atau mendengar langsung dari gurunya. 
Sedangkan Muslim tidak mensyaratkan poin yang kedua, tetapi hanya mensyaratkan yang pertama .


ii) Kitab Sunnan
Kitab Sunnan adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu' dan disusun berdasarkan bab-bab fikih. Kitab-kitab yang masyhur adalah Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah.
Keempat kitab sunan ini masyhur dengan sebutan al-Sunnan al-Arba'ah. Bila dikatakan al-Sunan al-Tsalasah, maka maksudnya ketiga sunan yang pertama, yakni selain Sunan Ibnu Majah.
Bila dikatakan al-Khamsah, maka yang dimaksud adalah al-Sunan al-Arba'ah dan Musnad Ahmad.
Bila dikatakan al-Sittah, maka yang dimaksud adalah Shahihaini dan al-Sunnan al-Arba'ah.


iii) Kitab Musnad
Di dalam sistem ini pengatur mengatur secara sistematis (tertib) mulai nama-nama dari sahabat yang lebih utama beserta seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta sahabat yang lebih rendah derajatnya beserta hadis-hadisnya. Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a dengan menyebut seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan nama Umar r.a dengan mencantumkan seluruh hadis yang beliau riwayatkan dan seterusnya berturut-turut nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Umar dengan seluruh hadisnya.

iv) Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis shahih dan kitab tersebut mengikuti syarat kitab hadis shahih yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah al-Mustadrak al-Hakim. Di situ al-hakim menyebutkan hadis-hadis shahih yang sesuai syarat dri Bukhari-Muslim atau salah satu syarat dari keduanya, tetapi keduanya tidaka mengeluarkan hadis tersebut.

3) Kitab Hadis Ditinjau dari Cara Penggunaannya

i) Kitab Mu'jam
Kitab Mu'jam menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan susunan guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, sehingga penyusun mengawali pembahasan kitab mu'jamnya dengan hadis-hadis yang diterima dari Aban, lalu yang dari Ibrahim dan seterusnya.
Diantara kitab mu'jam yang terkenal adalah tiga buah kitab mu'jam karya al-Muhaddits al-Hafidz al-Kabir Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani (w. 360 H). Ketiga kitab mu'jam itu adalah: al-Mu'jam al-Shaghir , al-Mu'jam al-Ausath , dan al-Mu'jam al-Kabir .
Satu lagi kitab mu'jam adalah Mu'jam al-Buldan. Kitab ini disusun berdasarkan nama kota. Merupakan karya dari Abi Ya'la Ahmad bin Ali al-Muslihi. Beliau wafat pada tahun 307 H.

ii) Kitab Takhrij
Yaitu kitab yang disusun untuk mentakhrij hadis-hadis kitab tertentu. Di antara kitab takhrij yang terpenting adalah:

Nahbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafidz Jamluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila'I al-Hanafi (w. 762 H). kitab ini merupakan takhrij hadis-hadis kitab al-Hidayah, sebuah kitab fikih madzhab Hanafi, yang disusun oleh ali bin Abu Bakar al-Marghinani, salah satu seorang pemuka fuqaha Hanafi (w. 593 H).
Kitab ini mengungkp secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faedah, dan mengupas setiap hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah dusertai riwayat dan hadis-hadis lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkpkan pembahasan mengenai hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat dengan ulama hanafiah secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.

iii) Kitab Jarh wa Ta'dil
Lahirnya kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil merupakan jerih payah para kritikus dan kajian mereka terhadap perilaku para perawi, dilihat dari sisi diterima atau tidak diterimanya hadis mereka.
Para ulama yang menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil menggunakan methode yang berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang menyebutkan para pendusta dan para perawi yang lemah di dalam kitabnya. Ada yang menambahkan dengan menyebutkan sebagian hadis palsu. Ada yang menulis kitab hanya tentang perawi yang tsiqah, dan ada pula yang menulis kitab tentang para perawi yang lemah dan perawi yang tsiqah.

iv) Kitab al-Athraf
Kitab al-Athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pad kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan lengkap dan sebagian lainnya hany menyebutkan sebagiannya. Kitab-kitab ini tidak memuat matan hadis secara lengkap dan bagian hadis pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual. Kitab ini disusun berdasarkan nama perawi pada tingkat sahabat.

4) Kitab Hadis Ditinjau dari Sejarahnya
Buku-buku dan catatan kecil yang muncul pertama kli tau bahkan pada awal abad kedua, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok; pertama, buku-buku yang berisi hadis-hadis Nabi semata, koleksi acak, tanpa sistemasi bahan. Kedua, buku-buku kecil (catatan) yang berisikan hadis-hadis Nabi yang msih bercampur dengan keputusan (resmi) yang diarahkan oleh para khalifah dan sahabat lainnya, bahkan para tabi'in.
Pada abad kedua, terjadi perubahan trend sedikit dan buku-buku yang kebanyakan membahas masalah hukum muli bermunculan. Al-Muwatha' termasuk dalam kategori ini. Buku tersebut telah diatur menurut judul-judul dalam masalah hukum yang berkaitan dengan keseluruhan jaringan kehidupan manusia; dari ibadah (ritual), zakat, haji, perkawinan, perceraian, pertnian, perdagangan dan lain-lain.
Berikutnya pada abad ketiga, kebanyakan buku-buku yang muncul adalah berisikan hadis-hadis semata. Sejumlah buku muncul, pada periode ini, yang mengikuti pada pola abad kedua, seperti Mushannaf, karangan Abdur Razaq dan Ibnu Abu Syaibah (w. 235 H), al-Awsath, karangan Ibnu al-Mundzir (w. 319 H). Buku-buku inti dikarang dengan pola yang berbeda dan disebut Musnad, Jami', Shahih, Sunan, Mustakhraj atau Mu'jam.
Abad keempat dan kelima adalah masa pengisnadan hadis dan muncul kitab al-Mustadrak, yaitu kitab hadis yang standar keshahihannya sama dengan standar Imam yang lain tetapi tidak terdapat dalam kitab asli. Abad ketujuh dan kedelapan mulai muncul kritik sanad dan matan. Yaitu dengan munculnya kitab jarh wa ta'dil.

5) Urgensi Pengkajian Kitab Hadis
• Membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwiyatkan oleh
para sahabat dari Nabi SAW dan mempermudah pengecekannya.
• Mempermudah mengetahui sanad-sanad hadis, kerena sanad-sanad itu terkumpul dalam satu tempat.
• Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan hadis
tersebut serta bab hadis dalam sumber-sumber tersebut.

6) Contoh-Contoh Kitab Hadits

JENIS KKITAB NAMA KITAB PENGARANG TAHUN
الجامع صحيح الإمام البخاري , محمد بن إسماعيل 256 هـ
صحيح الإمام مسلم الإمام مسلم 261 هـ
صحيح ابن خزيمة محمد بن إسحاق 311 ه
صحيح الإمام ابن حبان محمد بن حبان 354 هـ
السنن سنن أبي داود السجستاني أبي داود السجستاني 275 هـ

سنن الترمذي – ويسمى بالجامع أيضا الترمذي 279 هـ

سنن النسائي ( المجتبى ) أحمد بن شعيب
302 هـ .
السنن الكبرى أحمد بن شعيب

سنن ابن ماجة القزويني
ابن ماجة القزويني
275 هـ .
سنن سعيد بن منصور
سعيد بن منصور
227 هـ
سنن الدارمي عبد الله بن عبد الرحمن 255 هـ
سنن البيهقي سنن البيهقي , أحمد بن الحسين 458 هـ
المعجم المعجم الكبير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الأوسط لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الصغير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
معجم الصحابة لأحمد بن علي بن لال الهمداني 398 هـ
معجم الصحابة لأبي القاسم عبد الله بن محمد البغوي 317 هـ
المصنف المصنف لأبي بكر عبد الله بن محمد بن أبي شيبة الكوفي
المصنف لأبي بكر عبد الرزاق بن همام الصنعاني ( 211 هـ)
المصنف لبقي بن مخلد القرطبي 276 هـ
المصنف لأبي سفيان وكيع بن الجراح الكوفي 196 هـ
المصنف لأبي سلمة حماد بن سلمة البصري 167 هـ
المسند مسند أحمد بن حنبل أحمد بن حنبل 204 هـ
مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي 212
مسند أبي داود سليمان بن داود الطيالسي أبي داود سليمان بن داود الطيالسي 228 هـ
مسند أسد بن موسى الأموي أسد بن موسى الأموي 229 هـ
مسند مسدد بن مسرهد الأسدي البصري مسدد بن مسرهد الأسدي البصري 213 هـ
مسند نعيم بن حماد نعيم بن حماد 234 هـ
مسند عبيد الله بن موسى العبسي عبيد الله بن موسى العبسي 307 هـ
مسند أبي خيثمة زهير بن حرب أبي خيثمة زهير بن 249هـ
مسند أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي 307 هـ
مسند عبد بن حميد (249 عبد بن حميد (249هـ
الاطراف تحفة الأشراف بمعرفة الأطراف للحافظ الإمام أبي الحجاج يوسف بن عبد الرحمن المزي 742هـ .
إتحاف المهرة بأطراف العشرة للحافظ ابن حجر العسقلاني
أطراف المسانيد العشرة لشهاب الدين أبي العباس أحمد بن أبي بكر الكناني البوصيري الشافعي نزيل القاهرة ، المتوفى سنة 840هـ
ذخائر المواريث في الدلالة على مواضع الحديث لشيخ عبد الغني النابلسي المتوفى سنة 1143هـ
اطراف المسند المعتلى بأطراف المسند الحنبلي للإمام ابن حجر
أطراف الأحاديث المختارة للضياء المقدسي للإمام ابن حجر
أطراف مسند الفردوس للإمام ابن حجر
المستدرك المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner