1/29/17

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

Tugas Mata Kuliah Kajian Kependidikan Islam

Oleh :
MAS’UD RUHUL
NPM: 20162550035

Dosen Pembina
Dr. H.Moch Tolchah, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA 2016


A. LATAR BELAKANG

Sejarah Pendidikan Islam adalah keterangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari waktu ke waktu yang lain, sejak zaman lahirnya Islam sampai dengan masa sekarang. Pendidikan islam mempunyai sejarah yang panjang, dalam pengertian luas pendidikan islam berkembang seiring dengan kemunculan islam itu sendiri.[[1]]

Terbukti adanya catatan sejarah perjalanan perkembangan pendidikan Islam, yang dimulai dari periode klasik sampai dengan periode pertengahan dan modern.[[2]]

Oleh sebab itu periodesasi perjalanan Sejarah Pendidikan Islam sangat berpengaruh bagi kemajuan pendidikan Islam itu sendiri. Maka dari itu rumusan masalah yang akan di buat pemateri adalah


B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakan pengertian dari Periodesasi Sejarah Islam ?
2. Bagaimana periodesasi Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik, pertengahan dan modern ?
3. Bagaimana periodesasi Sejarah Pendidikan Islam pada periade pertengahan?
4. Bagaimana periodesasi Sejarah Pendidikan Islam pada periade modern ?

C. TUJUAN

Untuk mengetahui Periodesasi Sejarah Pendidikan Islam, supaya kita lebih memahami arti sebenarnya bagaimana proses pendidikan Islam itu sendiri dari zaman awal datangnya Islam sampai zaman sekarang.


D. PEMBAHASAN

A. Pengertian Periodesasi Sejarah Pendidikan Islam

Sejarah berasal dari bahasa arab “ syajaratun” artinya pohon. Secara sistematik, sejarah sama seperti pohon yang mempunyai cabang dan ranting, bermula dari bibit, kemudian tumbuh dan berkembang , lalu layu dan tumbang.

Menurut definidi umum, kata sejarah berarti “ masa lampau umat manusia”. Dalam pengertian lain, sejarah adalah catatan berbagai pristiwa yang terjadi pada masa lampau.

Menurut Zuhairini kata sejarah dari bahasa arab yaitu tarikh , secara etimologi berarti ketentuan masa dan perhitungan tahun. Yang dimaksud ilmu tarikh adalah suatu pengetahuan yang gunanya untuk mengetahui keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian yang telah lampau maupun yang terjadi dikalangan umat.

Periode peradaban Islam merupakan ciri bagi ilmu sejarah yang mengkaji pristiwa dalam konteks waktu dan tempat dengan tolak ukur yang bermacam-macam.

Jadi periodesasi peradaban Islam adalah ilmu sejarah atau pembabakan sejarah yang mengkaji perkembangan peradaban Islam dalam konteks dan tolak ukur tertentu.

Sejarah Pendidikan Islam pada hakikatnya tidak terlepas dari sejarah Islam. Oleh sebab itu sejarah Pendidikan Islam dapat dikatakan berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besar Dr. Harun Nasution membagi sejarah islam kedalm tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern. Yang mencakup masa hidupnya nabi Muhammas SAW, masa khalifah Khulafaur Rasyidin, masa kekuasaan Umawiyah, masa kekuasaan Abbasiyah dan masa jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad sampai sekarang. [[3]]

Definisi sejarah pendidikan Islam adalah kata pendidikan. Pendidikan dalam arti luas adalah bimbingan yang dilakukan oleh seseorang terhadp dirinya sendiri, seseorang terhadap orang lain atau oleh lingkungan terhadap seseorang. Pendidikan dalam arti sempit adalah bimbingan yang dilakukan seseorang yang kemudian disebut pendidik, terhadap orang lain yang kemudian disebut peserta didik.

Sejarah pendidikan Islam adalah proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia di bawah sinar bimbingan ajaran Islam, yaitu yang bersumber dan berpedomankan ajaran Islam. [[4]]

B. Periodesasi Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik(650-1250M)

1. Pendidikan Islam di masa Nabi Muhammad SAW ( 571-632 M)

Sejak nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul sebagai tana datangnya Islam sampai sekarang telah berjalan sekitar 14 abad lamanya. Pendidikan sejarah Islam mempunyai sejarah yang panjang dimulai sejak periode klasik.

Pendidikan Islam pada masa nabi Muhammad SAW merupakan sifat atau model yang pertama yang terus menerus dikembangkan umat islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya. Nabi Muhammad SAW mlakukan pendidikan islam setelah mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Sebagai mana tercantum di alam surat Al-Mudatsir ayat 1-7, menyeru yang berarti mengajak, mengajak berarti mendidik, dan dari wahyu yang mula-mula turun itu dapat disimpulkan, bahwa pendidikan Islam dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu :
a. Pendidikan Keagamaan
b. Pendidikan aqliyah dan Ilmiyah
c. Pendidikan ahlak dan budi pekerti
d. Pendidikan jasmani

Pada masa ini pendidikan islam diartikan pembudayaan ajaran Islam yaitu memasukan ajaran-ajaran Islam dan menjadikan sebagai unsur buadaya bangsa arab serta menyatu kedalamnya, denagan pembudayaan ajaran Islam kedalam sistemdan lingkungan budaya bangsa arab tersebut, maka terbentuklah sistem budaya Islam dalam lingkungan budaya bangsa arab.[[5]]


2. Pendidikan Islam di masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M )

Setelah Rasulullah wafat, peradaban Islam memberi contoh bagaimana cara mengendalikan negara dengan bijaksana dalam politik yang mengandung hikmah berpikir, berhak, berprilaku yang berbau kelincahan dan kelicikan.

Setelah Rasulullah wafat pemerintahan Islam dipegang secara bergantian oleh Abu Bakar, Ummar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa Abu Bakar pedal Pemerintahan di guncang oleh para pemberontak dari orang murtad, orang-orang yang mengaku nabi dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat, oleh sebab itu Abu Bakar memusatkan perhatian untuk memerangi pemberontakan-pemberontakan tersebut yang mana dapat mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari Islam.

Pada masa khalifah Ummar bin Khattab, situasi politik dalam keadaan stabil dan untuk pendidikan, untuk mengangkat guru-guru untuk bertugas untuk memajukan isi Al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam, Ummar juga memerintahkan panglima untuk masjid-masjid sebagai tempat ibadah sekaligus sebagai tempat belajar. Pada masa ini sudah terdapat pengajaran bahasa arab dengan itu orang-orang yang baru masuk Islam dari daerah atau wilayah lainnya harus belajar bahasa arab, jika mereka ingin belajar dan mendalami pelajaran Islam.

Pada masa khalifah Ustaman bin Affan kedudukan peradaban Islam dan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Para sahabat diperbolehkan mennggalkan madinah untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang di miliki. Proses pendidikan Islam pada masa ini sebagian besar memang diwarnai oleh pengajaran atau pembudayaan dan sunnah kedalam lingkungan budaya bangsa-bangsa secara luas pula. Begitu pula dalam pendidikan Islam tidak jauh berbeda di masa nabi Muhammad SAW yang menekankan pada pengajaran baca tulis dan ajaran-ajaran Islam oleh perhatian ummat Islam terhadap perluasan wilayah Islam dan terjadi gejolak politik, khususnya pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib.


3. Pendidikan Islam di masa Muawiyyah, Abbasiyyah dan kekhalifahan selanjutnya ( 661- 1250 M)

Dengan berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin mulailah kekuasaan bani Umayyah. Adapun kemajuan pendidikan dan peradaban Abasiyyah mencapai kemajuan terutama pada khalifah Al-Mahdi ( 775-785 M ) dan puncak kejayaan terutama pada masa khalifah Al-Mahdi dan puncak popularitasnya baru setelah pemerintahan Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan diteruskan putranya Al-Makmun (813-833 M )

Pada masa Muawiyyah ini ( dinasti bani Umayyah ) Abdul Malik merubah admisnistrasi dan bahasa yunani dan bahasa pahlawan kedalam bahasa Arab. Pada masa tahun 659 M beliau juga merubah mata uang bizantium dan persia seperti dinar dan dirham dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, dan pada masa inilah dimulai adanya ilmu Tafsir, Hadist, Fiqih dan ilmu Kalam, yang menjadi pusat dari kegiatan-kegiatan ilmiah kuffah dan basrah di Iraq. Pada masa dinasti Umayyah meninggalkan beberapa monument terbaik adalah kbah Al-Sakhr ( dome of the rock ) di Al-quds, masjid cardova yang dibangun. Pada tahun 750 M kekuasaan mereka menurun sehingga akhirnya di gantikan oleh bani abbasiyyah.

Di masa bani Abasyyah inilah ilmu pengetahuan dan filsafat yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Buku tersebut didatangkan dari Bizantium. Yang kemudian di terjemahkan kedalam Bahasa Arab, kegiatan ini berlangsung selama satu abad. Adapun Bait Al-Hikmah merupakan tempat pusat penterjemah dan juga akademi yang mempunyai perpustakaan yang didirikan Al-Ma’mun.

Dimasa inilah untuk pertama kalinya alam sejarah terjadi kontak antara islam dengan kebudayaan barat/ yunani, adapun perguruan tinggi yang didirikan di zaman ini diantaranya adalah Al-Hikmah di Baghdad dan Al-Azhar di Kairo, yang hingga kini namanya masih harum sebagai Universitas Islam yang tertinggi di seluruh dunia.

Al-Ma’mun adalah khalifah yang banyak jasanya dalam penerjemahan. Ilmuan muslim ini membaca karya yunani sebagai motivasi untuk menggunakan logika dalam membahas ajaran Islam dan mengembangkan serta menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang baru.

Melalui orang-orang kreatif seperti Al-Kindy, Al-Rozy, Al-Faraby, Ibnu Sina, Al-Ghozali, Ibnu Khaldun, Ibnu Thufail, dll. Pengetahauan Islam telah melakukan investigasi dalam ilmu kedokteran, tekhnologi, matematika, geografi dan sejarah.


C. Pendidikan Islam dalam Periode Pertengahan (1250-1800 M)

Islam dalam periode pertengahan dapt dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Zaman kemunduran

Zaman ini berlangsung sekitar 250 tahun. Kemunduran ini di awali dengan hancurnya baghdad oleh hulaqohan. Dia membunuh semua keluarga khalifah, tetapi untunglah salah satu seorang anak khalifah Abasyyah bisa melarikan diri kemesir, lalu diangkat oleh sultan Mahluk menjadi khalifah yang berkedudukan di kota kairo.

Dengan demikian ibu kota alam islam berpindah ke Kairo, Mesir. Begitu juga pusat pendidikan pengajaran ke Kairo ke Al-Jami, Al-Azhar, sistem pengajaran saat itu ialah dengan menghafal matan-matan.


2. Zaman tiga kerajaan besar

Kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki (1290-1924 M), kerajaan Safawi di Persia (1501-1736 M), dan kerajaan Maghon di India (1526-1858 M).

Pada kerajaan Usmani pendidikan mengalami kemunduran. Karena di sebabkan banyaknya para ulama dan guru-guru yang hanya mempelajari kaidah-kaidah ilmu agama dan bahasa arab, serta sedikit sekali mempelajari ilmu berhitung dan ilmu miqat. Mereka tidak terpengaruh oleh pergerakan ilmiah di Eropa. Demikianlah keadaan pendidikan pada masa kerajaan Usmani sampai jatuhnya sultan yang terakhir.

Sepanjang sejarah Islam Persia di kenal sebagai bangsa yang telah beradaban tinggi dan berjasa mengembangkan Ilmu pengetahuan. Sepeninggal raja Abbas I kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukan grafik kenaikan dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kehancuran. Dan berakhir pula ilmu pengetahuan di kerajaan Safawi di Persia

Ilmu pengetahuan di kerajaan Mughol di India antara lain kebahasaan Akbar Syah, yakni telah menjadikan tiga bahasa sebagai bahasa Nasional, yaitu bahasa arab sebagai bahasa agama, bahasa Turki sebagai bahasa bangsawan dn bahsa persia sebagai bahsa istana dan kesusastraan. Di bidang filsafat cukup maju dan satu di antara tokohnya adalah Akbar Syah, sementara ahli Tassawuf yang terkenal pada masa itu adalah Mubarok,Abdul Faidhl, dan Abul Fadl.

D. Periode Modern (1800 M- Sampai Sekarang)

Periode ini merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir, membuka mata dunia Islam, akan kemunduran umat Islam di samping kemajuan barat, raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir untuk mengembalikan kejayaan umat Islam.

Dengan demikian timbulnya apa yang di sebut pemikiran dan aliran pembeharuan atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran untuk untuk membuat Islam kembali maju. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali Basyah setelah menguasai Mesir tahun 1805 M. Beliau membangun Al-Azhar kembali dan menghidupkan semangat para ulama dan belajar yang sebelumnya hampir menghilang. Beliau mengirim para ulama ke eropa untuk belajar ilmu kedokteran, ilmu teknik, kalam dll.



E. KESIMPULAN

Sejarah pendidikan Islam adalah proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia di bawah sinar bimbingan ajaran Islam, yaitu yang bersumber dan berpedomankan ajaran Islam.


Sejarah pendidikan Islam adalah peristiwa atau cabang Ilmu pengetahuan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari segi ide, konsep, lembaga operasionalisasi dari sejak zaman nabi Muhammmad SAW sampai sekarang, atau catatan pristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak lahirnya sampai sekarang ini.


Periodesasi sejarah pendidikan Islam secara umum terbagi tiga periode yaitu periode klasik, priode pertengahan, dan periode modern, periode sejarah pendidikan Islam terkait dengan periodesasi peradaban Islam, karena di samping aspek pendidikan merupakan bagian dari peradaban Islam.





DAFTAR PUSTAKA


Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara,2010
Azra Azyumardi. Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana, 2012
M. Arifin..Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta : Bumi Aksara,2008
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010







[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana,2012) 5
[2] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara ,2010 ) 7
[3] Ibid,7
[4] Ibid,7
[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010). 139

1/23/17

Selayang Pandang Tugas Akhir

TUBUH UTAMA TUGAS AKHIR 
Oleh:
Ahmad Fathullah

1. Bagian Tubuh Utama

Dalam tubuh utama tugas akhir, keseluruhan isi tubuh utama sepenuhnya adalah tanggung jawab mahasiswa dan pembimbing. Tubuh utama dibagi menjadi beberapa bab, diawali dengan bab pendahuluan dan di akhiri dengan daftar pustaka. Jumlah bab tidak distandarkan, melainkan menurut keperluan mahasiswa yang wajar dalam mengemukakan tugas akhirnya.

2. Bab Pendahuluan

Bab pendahuluan sedikitnya memuat (boleh dirinci dalam bentuk sub bab) hal – hal berikut :
(1) Dekskripsi topik kajian dan latar belakang
(2) Masalah yang dikaji (statement of the problem), tujuan, dan lingkup permasalahannya
(3) Cara pendekatan dan metode penelitian yang digunakan
(4) Sistematika (outline) tugas akhir

Judul bab, yaitu pendahuluan yang ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama, di cetak sejajar dengan Bab I tanpa titik di belakang huruf akhir dan diletakkan secara simetrik (centeret) pada halaman.

3. Bab Tinjauan Pustaka

Bab tinjauan pustaka berisi uraian tentang alur pikir dan perkembangan keilmuan topik kajian. Pada hakikatnya, hasil penelitian seorang peneliti bukanlah satu penemuan baru yang berdiri sendiri melainkan sesuatu yang berkaitan dengan hasil penelitian sebelumnya. Dengan tinjauan pustaka ini mahasiswa juga ingin menunjukan bahwa ia menguasai ilmu pengetahuan yang mendasari atau terkait dengan permasalahan yang dikaji

Tinjauan hendaklah disusun sesuai dengan urutan perkembangan cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya. Tinjauan pustaka berisi pula ulasan tentang kesimpulan yang terdapat dalam setiap judul dalam daftar pustaka dan dalam hubungan ini mahasiswa menunjukkan mengapa dan bagaimana dipilihnya topik kajian serta arah yang akan dittempuhnya dalam menyelesaikan pembahasan atau penyelesaian topik kajian tersebut. Bila dipandang perlu untuk tinjauan pustaka dapat disisipkan pada bab – bab isi (sesuai dengan keperluan penulisan dan kelaziman pada masing – masing disiplin keilmuan), dan tidak harus ditulis dalam bab terpisah.


4. Bab – Bab Dalam Tubuh Utama Tugas Akhir

Jimlah bab disesuaikan dengan keperluan. Dalam bab – bab tersebut diuraikan secara rinci, cara dan pelaksanaan kerja, hasil pengamatan, percobaan, atau pengumpulan data dan informasi lapangan, pengolahan data dan informasi, analisis dan pembahasan data dan info tersebut serta pembahasan hasil (discussion)

5. Bab Kesimpulan

Bab ini memuat elaborasi dan rincian kesimpulan yang dituliskan pada abstrak. Saran untuk kajian lanjutan serta practical implication dari kerja mahasiswa dapat dituliskan pada bab ini, setiap bab dimulai pada halaman baru


DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka bukanlah bab tersendiri. Oleh karena itu tidak diberi nomer bab. Daftar pustaka ditulis pada halaman baru dan judul DAFTAR PUSTAKA dicetak 3 cm di bawah batas atas halaman, dengan huruf kapital tanpa titik dibelakang huruf terakhir. Ada beberapa caara untuk menuliskan daftar pustaka, tetapi cara yang diusulkan untuk dijadikan format adalah cara yang akan diuraikan berikut ini. Daftar pustaka berisi semua pustaka yang digunakan mahasiswa dalam menyiapkan dan menyelesaikan tugas akhirnya. Semua pustaka yang tercantum pada daftar pustaka harus benar – benar dirujuk dalam penulisan tugas akhir.

Daftar pustaka terdiri atas makalah dan buku yang diterbitkan dan lazimnya dapat ditemukan diperpustakaan, pustaka yang mengambil halaman website internet merujuk pada aturan yang berlaku di depertemen masing – masing, tugas akhir, tesis, dan disertasi termasuk dalam daftar pustaka sebab, meskipun tidak diterbitkan, pada umumnya dapat ditemukan diperpustakaan. Sumber – sumber yang tidak diterbitkan tidak dimuat dalam daftar pustaka, tetapi dicantumkan pada catatan kaki (foot – note) pada halaman bersangkutan. Buku ajar (texbook) yang dimuat dalam daftar pustaka supaya diusahakan pustaka yang paling mutakhir. Pustaka yang berupa makalah di majalah ditulis sebagai berikut :

1/15/17

HADITS AHAD

HADITS AHAD
Tugas Mata Studi Hadits 


Oleh :
Ahmad Fathullah
20162550005


Dosen Pembimbing:
Muhammad Hambal Shofwan, Lc, M.Pd.I


PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER STUDI ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA 2016




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, tidak dapat diragukan lagi. Dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para Ulama Hadits demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadits Ahad.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Hadits Ahad ?
2. Apa saja Macam – Macam Hadits Ahad ?
3. Bagaimana Kehujjahan Hadits Ahad ?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian hadits ahad
2. Mengetahui Macam – Macam Hadits Ahad
3. Mengetahui Kehujjahan Hadits Ahad



BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADITS AHAD

Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.

Menurut istilah, hadits ahad adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir[1]
Maka, hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad.[2]

Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”. Yakni ia masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian lebih lanjut.[3]

Menurut Ibn Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah (Hadist gharib dan hadist fard) diklasifikasi ke dalam tiga kategori:

Pertama, riwayat perawi tsiqah yang bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah. Riwayat seperti ini harus ditolak dan dianggap syadzdz. Kedua, riwayat perawi yang bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah lainnya. Riwayat jenis ini diterima. Ketiga, riwayat yang berada diantara dua jenis kategori di atas. Contoh, menambah sebuah kata dalam hadist yang tidak disebutkan oleh semua perawi lain yang turut meriwayatkan hadist tersebut. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Anna rasul Allah faradha zakat al-fithr min ramadhan ala kulli hurrin au ‘abdin dzakarin au untsa min al-muslimin”. Dilaporkan bahwa Malik adalah satu-satunya perawi diantara para perawi yang menambah kata “min al-muslimin”.

Ubaidillah Ibn Umar, Ayyub dan lain-lain meriwayatkan hadist tersebut dari Nafi’ tanpa tambahan tersebut. Untuk kategori ketiga ini, Ibn Ash-Shalah tidak memberikan penilaian sama sekali. Al-Khathib Al-Baghdadi tidak keberatan dengan tambahan tersebut, dengan syarat dilakukan oleh perawi yang tsiqah. Dalam hal ini, ia bahkan mengklaim mengikuti pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadist. Menurut Ibn Katsir (701-774), tambahan yang dilakukan oleh perawi tsiqah diterima oleh mayoritas fukaha dan ditolak oleh mayoritas para ahli hadist. Namun, At-Tarmidzi dalam Al-‘Ilal menganggap shahih apabila tambahan tersebut dilakukan oleh orang yang kuat hafalannya (dhabith).

Hadist gharib atau fard (tunggal) dapat diketahui melalui tiga cara: 1) dari aspek lokalitas, hadist tersebut diriwayatkan oleh perawi tunggal dari sebuah daerah; 2) perawi tunggal dari seorang imam yang terkenal; 3) perawi dari sebuah daerah tertentu meriwayatkan hadist dari orang Madinah. Al-Khitab Al-Baghdadi, Ibn Ash-Shaleh, As-Suyuthi, dan Ibn Katsir mengikuti pendapat Asy-Syafi’I bahwa keshahihan sebuah riwayat tunggal tergantung pada ke-tsiqah-an perawinya. Dengan kata lain, untuk menilai ke-tsiqah-an hadis gharib tergantung pada apakah hadist tersebut memenuhi syarat-syarat hadist shahih ataukah tidak. Jadi, historitis riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi. Jumlah perawi dalam setiap tingkatan adalah penting, tetapi tidak menentukan historisitas dan kepalsuan riwayat tersebut. Dengan kata lain, status “ketunggalan” perawi tsiqah dalam setiap tingkatan tidak berarti bahwa riwayatnya tertolak atau palsu.[4]

Jumlah periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk setiap (tsabaqah) sanadnya tidak sebanyak jumlah periwayat pada hadist mutawwatir. Akibatnya, tingkat keakuratan riwayat hadist ahad tidak setinggi hadist mutawwatir. Untuk hadist mutawatir tingkat keakuratan riwayatnya mencapai qath’i (meyakinkan kebenaran beritanya), sedang untuk hadist ahad, tingkat keakuratan riwayatnya hanya mencapai zhanni (dugaan keras). Karenanya, untuk mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist ahad dapat dipercaya ataukah tidak, maka terlebih dahulu sanad dan matannya harus diteliti. Untuk hadist mutawatir, penelitian yang demikian itu tidak diperlukan karena sudah pasti kebenaran wurud-nya.[5]

B. MACAM – MACAM HADITS AHAD

Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist Gharib.

1. Hadits Masyhur

Hadist masyhur menurut bahasa yaitu kata “Masyhur” berbentuk isim maf’ul dari kata “syaharats Al-Amru” yang berarti sesuatu yang telah terkenal setelah disebarluaskan dan ditampakkan dipermukaan.[6]

Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batasan mutawatir. Apabila dalam salah satu thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat sanad terdapat tiga perawi maka hadist tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada thabaqah sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.[7]

Hadist masyhur terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, hadist masyhur yang shahih, hasan, dan dha’if. Kedua, hadist masyhur yang hanya dikenal dikalangan terbatas, seperti hadist yang populer dikalangan ahli hadist atau hadist yang telah cukup populer dikalangan masyarakat.

Di antara kelompok hadist masyhur adalah hadist mutawatir yang hanya populer, misalnya dalam disiplin ilmu fiqih dan ushul fiqih, di mana hadist itu tidak pernah disebutkan secara khusus oleh ahli hadist. Hadist seperti ini sedikit sekali dan hampir tidak ditemukan pada periwayatan-periwayatan ahli hadist. Hadist ini seperti pada hadist yang dinukil oleh seseorang yang memperoleh ilmu dengan kejujuran, sesuai kebutuhan dari orang-orang yang selevel dengannya, mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya.

Karenanya hadist Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min al-nar (Barangsiapa yang berdusta pada ku secara sengaja, maka bersiaplah untuk menempati tempat tinggalnya yang telah disiapkan untuknya nanti di neraka) adalah hadist mutawatir. Dan hadist Innama al-a’malu bi al-niyyat (Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya), menurut sudut pandang ini, adalah bukan hadist mutawatir.[8] Hadis Nabi SAW:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba” {Bukhari}.

Hukum hadist masyhur adakalanya shahih, hasan, atau dha’if bahkan ada yang bernilai maudhu’. Akan tetapi hadist masyhur yang berkualitas shahih memiliki kelebihan untuk ditarjih (diunggulkan) bila ternyata bertentangan dengan hadist aziz dan hadist gharib.[9]

2. Hadits Aziz

Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi dalam salah satu thabaqahnya. Ini adalah definisi Ibn Shalah dan diikuti pula oleh Imam Nawawi. Hadist riwayat dua atau tiga perawi dapat dikategorikan aziz. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat dua orang untuk definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.

Contoh hadist yang dikategorikan aziz, di antaranya:
لا يؤمن احدكم حتي أكون أحب إليه من والده و الناس اجمعين

Artinya: Belum sempurna iman seseorang jika ia belum mencintaiku melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan semua orang.

3. Hadits Gharib

Hadist gharib adalah hadist yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah satu thabaqahnya. Dinamakan demikian karena ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh terasing dari sanak keluarganya.



C. KEHUJJAHAN HADITS AHAD

Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.

Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:

a. Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut. Demikian kata Imam Syafi’i.

b. Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info pengalihan seperti ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi SAW kemudian datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi seperti itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan menggubris informasi pemindahan arah kiblat tersebut.

c. dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad adalah hadist yang berbunyi:
نضر الله امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعي من سامع

Artinya: Semoga Allah membaguskan wajah orang yang mendengar dari kami sebuah hadis lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar, bias jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari pada orang yang mendengar.

Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.[10] Namun demikian, pembelaan kaum ahlu sunnah wa al jama’ah terhadap hadist ahad, bukan berarti tanpa alasan. Mereka yakin bahwa memanfaatkan hadist sekalipun ahad, jauh lebih bernilai dibandingkan dengan ketiadaan rujukan dalam penetapan hukum.[11]



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab penutup ini, penulis Menyimpulkan bahwa:

1. Hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir.

2. Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist Gharib.

3. Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993)
Kamaruddin, Amin, Phil, H, Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009)
Smeer, Zeid, B, Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press)
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007)
Usuf Saefullah, dan Cecep Sumarna, Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)





_____________________________________
[1] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007), 36
[2] Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press), 43
[3] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist..36
[4] Phil. H. Kamaruddin Amin, MA. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009), 36-37
[5] M. Syuhudi Ismail. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993), 36
[6] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist..36
[7] Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. 42
[8] Imam Al-Nawawi. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 115-116
[9] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist… 40-50
[10] Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis…………..44-48
[11] usuf Saefullah, dan Cecep Sumarna, Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). 68

1/8/17

BERBAGAI SISTEM DALAM KEHIDUPAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

BERBAGAI SISTEM DALAM KEHIDUPAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Makalah Diajukan untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Kajian Kependidikan Islam 


Oleh :
AHMAD FATHULLAH
NIM. 20162550005

Dosen Pembina,
Dr. H. Moch. Tolchah, M.Ag.


PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA 2016



A. Pendahuluan

Sebagai suatu sistem, pendidikan Islam berada di tengah berbagai sistem yang ada dalam kehidupan manusia. Sistem tersebut mempengaruhi kualitas dan keberhasilan pendidikan Islam secara faktul tidak bisa, dari sistem dalam kehidupan itu sendiri karena pendidikan itu merupakan sub dari sistem dari sistem kehidupan manusia secara makro. Bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah sistem yang terintegrasi dengan hampir semua sistem dalam kehidupan manusia yang melibatkan banyak unsur dan pihak yang saling mempengarahui. Pengaruh sistem-sistem tesebut disebut selama ia mampu menunjang tercapainya tujuan pendidikan dan sebaliknya, dikatakan negatif bila pengaruh tersebut justru menghambat keberhasilan tujuan pendidikan tersebut.

Selanjutnya sistem pendidikan Islam, yang selama ini di identikkan dengan sistem pesantren dan madrasah, dalam perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai sistem yang terdapat dalam kehidupan baik sistem sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Oleh karenanya makalah ini yang menjadi permasalahannya adalah berbagai sistem dalam kehidupan yang mempengaruhi sistem pendidikan Islam, semoga tulisan yang singkat ini akan sedikit menambah keilmuan tentang Ilmu Pendidikan Islam ditinjau dari judul tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja sistem dalam kehidupan yang mempengaruhi sistem pendidikan islam ?

C. Tujuan

1. Mengetahui sistem dalam kehidupan yang mempengaruhi sistem pendidikan Islam


D. Sistem Sosial Budaya

Pendidikan dengan pendekatan sosiologi dapat diartikan sebagai subuah studi yang memanfaatkan sosiologi untuk menjelaskan konsep pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapi.[1] Pendidikan dengan pendekatan sosiologi ini menarik dan penting untuk dikaji dan diketahui karena. Beberapa alasan, yaitu :

Pertama, konsep pendidikan. Selain didefinisikan melalui pendekatan individual sebagaimana aliran nativisme, juga dapat diketahui melalui pendekatan masyarakat sebagaimana aliran behaviorisme. Dengan kata lain masyarakat mempunyai nilai-nilai pendidikan yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan diibaratkan seperti bangunan rumah tampak jelas warisan intelektual, seni, ekonomi, politik, agama dan lain-lain.

Kedua. Pendidikan adalah salah satu bentuk interaksi manusia. Ia adalah salah satu bentuk tindakan sosial yang memungkinkan terjadinya suatu interaksi melalui suatu jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan.[2] Dalam kaitannya dengan pendidikan islam maka hal ini tidak dapat dipisahkan karena bagaimanapun juga sistem sosial dalam masyarakat sangat erat hubungannya dengan pendidikan islam.

Ketiga. Di kalangan aliran progresivisme, sebagaimana yang banyak diterapkan saat ini, dinyatakan bahwa setiap anak didik memeiliki kecerdasan. Akal dan kecerdasan merupakan kelebihan manusia dibandingan dengan makhuluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif dan dinamis tersebut, anak didik mempunyai bekal untuk mengehadapi dan memcahkan problem-problemnya.[3]

Sistem budaya merupakan rangkain hubungan komponen-komponen budaya sebagai ungkapan perilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sebagai mahluk berbudaya. Namun demikian, dalam mekanisme budaya tersebut, tidak terpisahkan dari hubungan antara manusia sebagai mahluk sosial yang menghubungkan antara individu, antara indivdu kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok manusia liannya. Di sini terbentuk suatu tatanan yang kita konsepkan sebagai sistem sosial. Sistem ini berbentuk, sebagai akibat hubungan sosial antara komponen-komponen sosial individu, kelompok dalam bentuk tindakan dan prilaku pendukungnya.[4]

Hal ini dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh para para pengambil kebijakan, perancang dan praktisi pendidikan. Visi, misi dan arah tujuan, kurikulum, kualitas lulusan, pengelolaan sarana dan prasarana, keuangan, lingkungan dan evalusai pendidikan yang dirancang dan dilaksanakan harus memperhatikan factor kebudayaan sebagaimana dijelaskan di atas.

Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan dapat dirumuskan antara lain menjadikan pendidikan sebagai perantara yang kuat dan berwibawa dalam memelihara, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Sedangkan misi pendidikan yang berbasis kebudayaan antara lain :

1. Mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan Indonesia kedalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan pendidikan islam.

2. Menjadikan pendidikn sebagai wahana bagi masyarakat nilai-nilai budaya kepada generasi muda.

3. Mengupayakan terhindarnya peserta didik dari pengaruh budaya global yang negatif

4. Mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang mendorong lahirnya etos kerja yang tinggi.

Adapun tujuan pendidikan yang berbasis kebudayaan adalah melahirkan peserta didik yang memiliki karakter yang merupakan keseluruhan dinamika rasional antar pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya agar pribadi itu semakin dapat mengahayati kebebasaanya sehingga ia mampu bertaggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. (pendidikan karater bertujuan membentuk insan yang berkeutamaan).

Sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah merupakan sistem tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari integrasi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang secara kebetulan,melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan standar penilaian yang disepakati oleh para pengikutnya yakni anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian tersebut adalah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial.[5] Dalam sistem budaya inilah manusia belajar, berkreasi, berinovasi, berilmu, dalam suatu tatanan kehidupan yang disebut dengan kehidupan berbudaya.

Dalam perkembangan masyarakat terdapat tiga tipe masyarakat yaitu : masyarakat tardisional, masyarkat fedoal berkembang, dan masyarkat modern. Tipe masyarakat trdisional adalah masyarakat dengan kelompok-kelompok tradisional dari dunia luar dan jumlahnya relative sedikit. Pola hidup mereka masih sangat sederhana dan statis kehidupan mereka bergantung kepada alam.

Tipe ideal masyarakat feodal adalam masyarkat yang memiliki stara kehidupan lebih rendah-mereka terdiri dari masyarakat petani yang tinggal di pinggiran pedesan, dan menggunakan teknologi rendah, ditambah dengan beberapa tenaga trampil, di samping masyarkat yang tinggal berbasis di kota terdiri dari birokrat, ulama, sarjana, tuan tanah, dan perjurit, dengan kombinasi yang bervariasi.

Masyarakat feodal juga ditandai dengan instuisi administrasi, keagamaan dan pendidikan yang sudah jauh dikembangkan, yang digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk mengabdikan posisinya di struktur masyarakat. Bagaimanpun, keadaan aman yang penting antara masyarakat fedoal dan tradisional. Keduanya adalah masyarakat yang statis dan lugu, dan ditandai dengan tingkat keharamonisan yang tinggi.

Tipe ideal masyarakat modern memang sangat berbeda mereka bercirikan legalitarisme dan tingkat mobilitas yang tinggi itisusi-intisusinya sangat berbeda secara khusus dan rasional, tatanan ekonomi, politik dan sosialnya terus menerus mengalami perubahan, dan kriteria menetukan status.

Bagaimanapun, perbedaan utama antara tipe masyarakat itu adalah sifat dinamis dari masyarkat modern jika dibandingkan dengan karakter masyarakat berkembang dan relait statis. Disisi lain sistem modern memiliki keluwesan dan kemampuan beradaptasi untuk mengatasi perubahan yang demikian cepat dan mendasar di semua sektor masyarakat.[6] Dari ketiga karakter sistem sosial budaya tersebut diatas dapat dipahami bagaimanapun berkembang pesatnya suatu zaman, tipe-tipe masyarakat seperti yang telah disebutkan diatas tetap eksisi, baik masyarakat tradisional berkembang maupun modern. Tipe tersebut cenderung kepada pola pikir dan bertindak yang akan berimplikasi terhadap sistem pendidikan Islam.

Dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia kita dapat melihat betapa besar pengaruh sosial budaya terhadap pendidikan Islam. Pada masa dahulu pesantren banyak dipengaruhi oleh masyarakat tradisional yang identik dengan pola pemikiran tradisionalnya juga beranggapan bahwa yang dikatakan pendidikan Islam itu adalah belajar membaca al-Qur’an dan ilmu agama semata masyarakat perkotaan yang identik dengan pola pikir modern cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah umum. Seiring dengan perkembangan zaman, orientasinya telah berubah. Masyarkat berkembang pada saat sekarang tidak hanya membutuhkan pendidikan agama dalam makna sempit, akan tetapi pendidikan agama yang kompetitif. Hal ini ditandai dengan munculnya pesantren terpadu atau modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu Sains dan teknologi.

Sebaliknya, masyarakat modern tidak hanya membutuhkan pendidikan sains dan teknologi, tetapi juga membutuhkan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak karena semakin intensnya terjadi kemerosotan akhlak dikalangan anak-anak mereka karena pengaruh arus era globalisasi, hal ini ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan umum yang bersifat plus seperti SD Plus, SMP, SMA UIN yang mengintegrasikan antara pengajaran sains dan teknologi dengan nilai-nilai ke Islaman secara komprehensif.

Sanafial Faisal mengemukakan bahwa hubungan antara sekolah (pendidikan) dengan masyarakat paling tidak, bisa di lihat dari dua segi, yaitu:

1) Sekolah sebagai patner masyarakat di dalam melaksanakan fungsi pendidikan. Dalam konteks ini, berarti keduannya yaitu sekolah dan masyarakat dilihat sebagai pusat-pusat pendidikan yang potensial, dan mempunyai hubungan yang fungsional.

2) Sekolah sebagai prosedur yang melayani pesan-pesan pendidikan dari masyarakat lingkungannya. Berdasarkan hal itu, berarti keduannya antara sekolah dengan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional berdasarkan kepentingan kedua belah pihak.[7]

Dengan demikian hubungan masyarakat dengan pendidikan sangat bersifat korelatif seperti bambo dengan tebing masyarakat akan maju karena pendidikan dan pendidikan akan maju sangat ditentukan oleh masyarakat.

E. Sistem Ekonomi

Secara ekonomi merupakan aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam keluarga baik dalam keluarga rumah tangga rakyat (volkshuishouding).[8] Masalah pokok ekonomi menurut para pakar antara lain : (1) jenis dan jasa yang diproduksi, (2) sistem yang didistribusikan (untuk siapa barang dan jasa itu), (3) efesiensi penggunaan, (4) Inflasi, resesi,dan depresi, dan lain-lain.

Sistem ekonomi sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena menyangkut kebutuhnan pokok manusia, yang meliputi sandang, pangan, papan serta kebutuhan lainnya. Sistem ekonomi berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dan menjadi sebuah corak masyarakat yang mengetahuinya.

Pendidikan dan ekonomi merupakan sistem yang mempunyai pengaruh timbal balik, saling mengait dan menunjang karena disatu sisi instusi pendidikan mempu menghasilkan tenaga kerja dan mampu membentuk manusia-manusia yang sanggup membangun masyarakat dan ekonomi Negara.[9] Sebaliknya ekonomi merupakan tulang punggung kehidupan bangsa yang menentukan maju dan mundurnya. Lemah kuatnya, lamban-cepatnya suatu proses pembudayaan bangsa.[10] yang merupakan fungsi pendidikan.

Menurut laporan UNESCO Tahun 1957 yang dikemukan oleh Pleh Page Hasan Langgulung bahwa menurut kajian lapangan, semakin tersebar pendidikan di Negara maka semakin cepat pertumbuhan perekonomian Negara, berkaitan dengan semakin meningkatnya pembelajaran yang diberikan kepada pendidikan.[11] hal ini menyangkut kebijakan pemerintah sebagi instuisi dan bertanggung jawab terhadap tataran kehidupan masyarakat termasuk pendidikan.

Semakin banyak alokasi dana yang diperuntukan bagi pembinaan pendidikan maka semakin besar kemungkinan untuk pengembangan pendidikan yang pada gilirannya menunjang keberhasilan pendidikan itu sendiri. Tentu saja hal tersebut harus dibarengi dengan pengelolaan dana yang baik adanya pengelolaan atau menejemen yang baik, dan sebesar papun tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan.

Ketresediaan alat-alat pendidikan yang tergolong pada perangkat keras seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, alat peraga dan perlengkapan lainnya, maupun perangkat lunak seperti pengelolaan kurikulum, metode mengajar, administrasi pendidikan tidak bisa terlepas dari pendanaan, artinya tanpa dana pendidikan yang berkualitas sangat sulit dilaksanakan.

Dari sejarah pendidikan Islam pada zaman pertengahan yakni zaman kemajuan dalam Islam, dapat diketahui tidak adanya kesadaran perlu biaya untuk membangun dan mengelola instuisi pendidikan yang bermutu. Dalam beberapa buku sejarah pendidikan Islam dinyatakan bahwa perdana menteri Mizan al-Mulk telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membiayai pendidikan. Dana sebesar 600.000 dinar setiap tahun untuk pembiyayaan pendidikan sekolah madrasah yang diasuh oleh nya dan dana sebanyak 60.000 dinar untuk membiayayi madrasah Anizamiyah Bagdad saja. Bila dihitung dengan emas maka satu gram emas harganya 4,025 gram emas, maka biaya madrasah Nizamiyah mencapai 240 kg emas setahun untuk seluruh madrasah yang diasuhnya menghabiskan 2,4 ton emas dalam setahun. Ini adalah jumlah yang sangat besar. Bagi ilmuan yang menulis karya ilmiah maka diberi imbalan sebesar berat timbangan buku yang ditulisnya.

Hal tersebut bisa terlaksana dikarenakan ekonomi Islam pada saat itu mencapai puncaknya dan sistem perekonomian yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah sistem ekonomi Islam yang menuntut keredaan Allah SWT semata-mata.

F. Sistem Politik

Sistem politik adalah pola hubungan dengan masyarakat yang dibentuk berdasarkan keoutusan-keputusan yang sah dan dilaksanakan dalam masyarakat. Sistem politik dapat dibedakan dari sistem lain : Pertama, daya jangkau yang universal, meliputi semua anggota, Kedua, control mutlak atas pemakain kekerasan fisik, Ketiga, hak membuat keputusan-keputusan yang mengikat dan diterima secarah absah, dan Emapat, keputusan bersifat otoritatif, artinya mengandung daya pengabsahan dan kerelaan yang besar karena keemepat ciri khas tersebut adalah juga ciri khas Negara, maka sistem politik dipakai sebagai kolektifitas hubungan dari suatu Negara.[12]

Eksistensi agama dalam Negara dan kaitannya dengan otoritas kepala Negara di ibaratkna al-Ghazali sebagai anak kembar.

وا الدين وا لملو ك تو اما ن فلا يستغني احد هما عن الاخر

Agama dan kekuasaan (politik ) adalah dua anak yang kembar, keduannya itu tidak bisa dipisahkan).

Prinsip –prinsip politik pemerintahan, mneurut teori islam, Negara yang dibentuk seyogyannya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah, artinya, nilai-nilai syari’ah direailisir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[13]

Endang Syaifuddin Anshari mengatakan : Negara adalah organisasi ( organ, badan, atau alat), bangsa untuk mencapai tujuan… Bagi setiap muslim, Negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridha’an Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesame manusia dan alam lingkungannya.[14]

Selanjutnya sistem politik meliputi : sistem pemerintahan, segala urusan dan tindakan, kebijakan siasat dan lain sebagainya, mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain; kebijakan dalam menghadapi atau mengatasi masalah lain.[15]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa politik sebagai sistem sangat erat pola hubungannya dengan masyarakat dan negara. Wujud dari hubungan ini adalah lahirnya istilah demokrasi. Dalam prakteknya, demokrasi sebagai sistem bagi sebuah masyarakat akan memberikan corak/karakteristik terhadap segala aspek kehidupan yang salah satunya adalah aspek pendidikan.

Pengaruh politik terhadap pendidikan Islam adanya kebijakan pemerintah suatu Negara memberikan perhatian dan dukungan, baik moral maupun materil, untuk terlaksanakannya pendidikan Islam. Keadaan seperti ini akan memberi pengaruh yang sangat besar untuk keberhasilan pendidikan Islam. Apabila suatu negara mengalami kegoncangan politiknya, atau dipimpin oleh orang yang anti terhadap Islam, maka mustahil pendidikan Islam akan menjalankan perannya secara baik.

Pendidikan yang bermutu juga akan mempengaruhi perkembangan lajunya politik generasi yang berkulitas munculnya dari Negara yang berkualitas, karena pendidikan yang berkulitas akan mempengaruhi peradaban suatu bangsa. Apabila hal itu terjadi maka akan mempengaruhi sistem ekonomi yang baik.[16]

Kalau dilihat perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut seirama perkembangan politik di Indonesia.pada zaman kolonial belanda pendidikan tidak diberikan di sekolah, hal ini dapat dimengerti karena pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan pendidikan yang netral agama (sekuler), walaupun sebenrnya belanda ingin sekali memasukan pendidikan agama keristen.

Dalam perkembangannya demi menjaga citranya dikalangan penduduk pribumi dan raja muslim yang berkuasa, akhirnya belanda dapat menunjukan sikap netralnya.[17] Selanjutnya, atas desakan tokoh-tokoh islam akhirnya diberikan diluar jam pelajaran resmi dan guru agama tidak mendapat gaji dari pemerintahan.

Pada zaman jepang pendidikan Islam terlihat lebih baik, terutama setelah dibentuk lembaga pendidikan agama setelah mendapat persetujuan dari kantor pusat Departemen Agama dan guru mendapat gaji dari pemerintahan setempat. Artinya pendidikan Islam sangat tergantung kepada kebutuhan masyarakat setempat dan kesediaan pemerintah lokal menggaji . seringkali guru agama tidak mendapatkan gaji tetapi ada juga yang mendapat gaji dari swadaya masyarakat setempat atau dipungut dari gaji guru yang lain.[18]

Pada masa kemerdekaan, keadaan pendidikan semakin baik setelah dibentuknya Departemen Agama sebagai hasil barganing (tawar menewar), politik umat Islam dihapuskannya piagam Jakarta. Depertemen Agama mengusulkan tiga : memberikan pengajaran agama disekolah negeri dan partikular, memberi pengetahuan umum di madrasah,dan mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Agama Islam Negeri (PHIN). Dalam Undang-Undang Nasional No. 4 tahun 1950 Jo. UUPN No.12 tahun 1954 juga ditetapkan bahwa disekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama dengan catatan orang tua murid yang menetapkan keikutsertaan anaknya. Dengan demikian, secara jujur posisi pendidikan agama relatif kuat atau paling tidak memiliki kekuatan hukum.

Dari sisi tersebut di atas, UU No. 4 tahun 1950 Jo UU No. 12 tahun 1954 ini simple tapi padat, tapi pada sisi lain UU ini belum maksimal dalam merefleksikan keinginan umat Islam –yang mayoritas jumlah penduduknya- dalam memasukkan pendidikan Islam.

Sampai akhir decade 60-an pelaksanaan pendidikan secara nasional masih bertumpu pada Undang-Undang No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 “tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah”. seperti dapay dipahami dari namanya, Undang-Undang tersebut pada pengaturan pendidikan di sekolah. Dalam kenyataan tidak memberi perhatian yang cukup pada pendidikan di sekolah. Dalam kenyataannya tidak memberi perhatian yang cukup pada pendidikan. Dibawah ini akan dikemukakan isi dari pada Undang-Undang Nasional No. 4 tahun 1950 Jo. UUPN No.12 tahun 1954 tentang pendidikan agama antara lain :

Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat”.

Mengenai Madrasah hanya diisyaratkan dalam pasal 10 ayat 2 sebagai berikut :

Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”.

Undang-Undang tersebut ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 2 April 1950 oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan S. Mangoensarkoro, kemudian diundangkan pada tanggal 5 April 1950 oleh Menteri Kehakiman pada saat itu A.G. Pringgodigdo. Selanjutnya Presiden Republik Indonesia menyatakan berlakunya Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia terdahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1954 di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1954 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 1954 yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Muhamad Yamin serta Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo.

Pendidikan agama memang benar-benar memiliki posisi yang kuat setelah orde baru yang berhaluan anti komunis mengambil alih kekuatan. Kebijakan tentang pendidikan agama dilaksanakan berdasarkan pokok kebijakan. Pertama, orde baru memang condrong kepada Islam, karena hanya Islamlah yang benar-benar anti komunis. Diwajibkannya pendidikan agama semua jenjang dan jenis pendidikan, merupakan rangkaian dari pemberantasan komunisme sampai keakar-akarnya. Kedua, sebagai ucapan terimakasih kepada umat Islam yang telah berstau dengan ABRI telah menyelamatkan ideologi Negara pancasila dan Negara kesatuan Republik Indonesia dari G.30 September PKI yang hendak mengganti ideologi pancasila dengan komunisme, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang secara objektif sangat memerlukan pendidikan agama. Sebab fungsi pemerintah disamping mengemban amanah yang bersifat politis juga mengemban amanah yang di bidang edukatif termasuk di dalalmnya pendidikan agama Islam.

Atas dasar itulah, pemerintah Orde Baru melalui Golkar sebagai mesin penggeraknya (politiknya) senantiasa mengadakan control terhadap pendidikan agama mulai dari kurikulumnya sampai pada pelaksanaannya terutama mengenai kulifikasi gurunya. Dan bahkan lebih dari itu, Golkar semakin intensif dalam mengembangkan atau mengkampanyekan Islam yang sesuai dengan persepsi dan haluan politiknya.[19]

Dengan demikian bahwa sistem yang berlaku pada saat itu atau pada suatu Negara cukup besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan sistem pendidikan Islam, baik terhadap kurikulum dan materi pelajaran dan pengadaan guru maupun kebijakan lain yang menyangakut identitas sebuah lembaga pendidikan Islam.

Secara harifah politik dapat diartikan sebagai usaha atau rekayasa yang diatur maka politik yang diartkian merupakan dalam rangka mencapai tujuan. Dengan pengertian demikian ini. Politik dalam bahasa Arabnya dikenal dengan asy-Siyasah berlaku pada semua aspek kehidupan, seperti pendidikan,[20] keluarga, ekonomi, budaya, kenegaraan, dan lain lain. Dalam perkembangan selanjutnya, politik sering dikaitkan dengan masalah kekuasaan suatu pemerintah. Di dalamnya, dibahas tentang bagimana usaha-usaha untuk mendaptkan kekuasaan, mengelola dan mempertahankannya agar supaya kekuasaan itu tetap dapat dipertahankan. Pengertian politik, dalam arti kekuasaan atau kebijaksanaan yang berkaitan dengan urusan pemerintahan tersebut, tampaknya yang paling menonjol dibandingkan dengan pengertian politik lainnya.

Sesungguhnya hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru, sejak zaman plato dan Aries Toteles, para filosuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens terhadap maslah ini, Kenyataan ini, misalnya, ditegaskan dengan ungkapan :” As Is The State, So Is The School” ( sebagaimana Negara, seperti itu pula sekolah).

Signifikasi dan inplikasi politik dan pengembangan madrasah atau pendidikan Islam, pada umumnya, bagi para pengausa muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah terebut didirikan untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik-politik tertentu dari penguasa muslim, diantaranya untuk memperkokoh citra pengausa sebagai ornag-orang yang mempunyai kesalehan mental, minat dan kepedulian kepada kepentingan umat, dan ini lebih penting lagi sebagai pembeda antara ortodoksi dan pembeda.

Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara sistem pendidikan tradisional dengan munculnya lembaga pendidikan modern dari Barat. Namun, disadari oleh Ki Hajar Dewantara bahwa peran ulama telah melahirkan system budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping spiritual. Hal ini terbukti banyaknya para alumni pesantren yang melanjutkan studi ke universitas terkemuka baik di dalam maupun di luar negeri.[21]

Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian halnya denga madrasah yang dikelola oleh NU orientasi pendidikanya lebih menitik beratkan pada kemurnian mazhab.

Sejarah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga amat menarik untuk dijadikan sebagai sample mengenai korelasi signifikan antara pendidikan Islam dan politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi mediasi untuk menumbuh kembangkan institusi pendidikan Islam. GUPPI yang sejak awal berdirinya merupakan wadah organisasi Islam yang terbentuk sebagai sikap peduli para tokoh muslim setelah melihat gejala besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang berakibat kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.[22]

Secara umum bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia) pada masa orba jelas hanya berorietasi mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan manusia penganalis sebagimana di canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya adalah generasi yang apatis dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka jelas bukan manusia yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana pencerahan, pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagi anak bangsamenjadi landasan kiprahnya.

Signifikansi dan implikasi politik terhadap pendidikan Islam pada umumnya bagi para penguasa muslim sudah jelas. Dalam banyak kasus madrasah- madrasah didirikan untuk menunjang kepentingan – kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, di antaranya untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang- orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian terhadap kepentingan umat, dan ini lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam.

Semua ini pada giliranya untuk memperkuat legitimasi penguasa vis-à-vis rakyat mereka. Persoalanya kemudian, sejauh mana madrasah dan lembaga–lembaga pendidikan Islam lainya sebagai wahana “ pendidikan politik” anak- anak didik atau masyarakat muslim umumnya.

Menurut Azyumardi, bahwa lembaga – lembaga pendididkan Islam sejak masa klasik hingga masa pertengahan, atau tepatnya masa pramodern, tidak menjadikan “ pendidikan politik” sebagai agenda. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga- lembaga pendidikan Islam, dimasa- masa tersebut lebih merupakan salah satu wahana utama bagi transmisi bahkan” pengawetan ilmu- ilmu Islam”, meski pendirian madrasah misalnya sering dikaitkan erat dengan motif- motif politik, namun jika ditelusuri lebih jauh terdapat indikasi yang kuat bahwa ia tidak terlibat dalam proses- proses politik. Absolutisme politik muslim sebagaimana terlihat dalam eksistensi berbagai macam dinasti tidak memberikan ruang bukan hanya bagi keterlibatan komunitas madrasah, melainkan bahkan masyarakat muslim umumnya, untuk turut serta dalam proses – proses politik, dan mewujudkan partisipasi politik mereka.[23]

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting daam system social politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduannya saling dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduannya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu Negara. Lebih dari itu, keduannya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut.

Di dunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik sudah jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan para umara dalam memperhatikan persoalaan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi social politik kelompok dan pengikutnya.[24]

Disini dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, Intuisi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan, kurikulum.

G. Kesimpulan
Kita telah sedikit banyak membahas akan sistem pendidikan Islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan nasional dari segi jalur, jenjang, sekaligus jenis pendidikan. Belum lagi kita telah mengetahui kedudukan dan peran pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional dengan berikut pembagiannya. Serta tidak lupa yang terakhir berbagai sistem kehidupan yang mempengaruhi sistem pendidikan Islam dengan tiga pembagiannya (sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya), walau tidak menutup kemungkinan masih ada faktor kehidupan yang lain dapat ikut berperan dalam mempengaruhi sistem pendidikan Islam.

Dilihat perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalam pasang surut seirama perkembangan politik di Indonesia. Pada zaman kolonial Belanda pendidikan tidak diberikan di sekolah, hal ini dapt dimengerti karena pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan pendidikan yang netral agama (sekuler), walaupun sebenarnya Belanda ingin sekali memasukan pendidikan agama kristen. Sistem pemerintahan dari pemerintahan, segala urusan dan tindakan, kebijakan siasat dan lain sebagainya, mengenai pemerintahan atau terhadap Negara lain; kebijakan dalam menghadapi atau mengatasi masalah lain




DAFTAR PUSTAKA

Ahmaed Husain, S. Waqar, Islam Evironnemental System Engineering. ( London, the Macmillan press, 1980). Cet ke 1

Azra, Azumardi, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (Sebuah Pengantar) dalam charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H.Afandi dan Hasan Asari,( Jakarta, Logos, 1994)

Daud, Ali, Muhammad, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004)

Karton, Kartini, Quo Vadis Tujuan Pendidikan, ( Bandung, Bandar Maju, 1991)

Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke -21, ( Jakarta Pusat: Al-Husna, 1988)

Muhaimin, Abdul, Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, ( Bandung, Triganda Karya, 1993)

Nasikum, Sistem Nasional Indonesia,( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 205)

------------Social Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995)

Nata, Abudin, Ilmu Pendidikan Islam Denan Pendekatan Multidisiplin Normative Perenialis, Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Manejemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008)

----------------, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, ( Jakarta, Grasindo, 2001)

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)

Samsul Arifi, dan Tobroni, Islam Pluralism Budaya Dan Politik: Refleksi Teologi Untuk Aksi Dalamkeberagamaan Dan Pendidikan, ( Yogyakarta, Sipres, 1994)

Sanafial Faisal dalam Hasbulah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta Rajawali Press, 2001)

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Permaslahan Umat, (Bandung, Mizan,1998)

Sirozi, M., Politik Pendidikan Dalam Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan Dan Politik Penyelenggaraa Pendidikan, ( PT Rajagrafindo Persada, 2005)

Stenbrink, Kareil A, Pesantren Sekolah Madrasah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, ( Jakarta: LP3ES,1996)

Sumaatmadja, Nursyid, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, (Bandung Alfabet, 2002)

Syaifuddin, Anshari, Endang, wawasan Islam, ( Jakarta, rajawali press. 1986) 






[1] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Denan Pendekatan Multidisiplin Normative Perenialis, Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Manejemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), 203-213


[2] Ibid, 206


[3] Ibid


[4] Nursyid Sumaatmadja, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, (Bandung Alfabet, 2002), 2


[5] Nasikum, Sistem Nasional Indonesia,( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 205), 12


[6] Nasikum, Sistem Social Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995), 12


[7] Sanafial Faisal dalam Hasbulah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta Rajawali Press, 2001), 101


[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Permaslahan Umat, (Bandung, Mizan,1998), 402


[9] Kartini Karton, Quo Vadis Tujuan Pendidikan, ( Bandung, Bandar Maju, 1991), 101


[10] Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, ( Bandung, Triganda Karya, 1993), 317


[11] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke -21, ( Jakarta Pusat: Al-Husna, 1988), 109


[12] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), 48-49


[13] S. Waqar Ahmaed Husain, Islam Evironnemental System Engineering. ( London, the Macmillan press, 1980). Cet ke 1, 93


[14] Endang Syaifuddin Anshari, wawasan Islam, ( Jakarta, rajawali press. 1986), 167


[15] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), 67


[16] Kartini Karton, Quo Vadis Tujuan Pendidikan, 101


[17] Kareil A. Stenbrink, Pesantren Sekolah Madrasah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, ( Jakarta: LP3ES,1996), 54


[18] Tobroni dan Samsul Arifi, Islam Pluralism Budaya Dan Politik: Refleksi Teologi Untuk Aksi Dalamkeberagamaan Dan Pendidikan, ( Yogyakarta, Sipres, 1994), 124


[19] Upaya Golkar di atas dilakukan misalnya dengan dengan mendirikan GUPPI,MDI,AMPI,BAZIZ dan lain sebagainya. Walaupun aktivitas keislaman yang dilakukan Golkar itu pada umumnya bersifat politisi atau minimal syarat dengan muatan politis, akan tetapi ternyata memiliki hikmah tersendiri bagi kehidupan keagamaan dalam era Baru ini.


[20] Kegunaan istilah politik untuk kegiatan pendidikan, antara lain digunakan oleh Ibnu Sina. Ia, misalnya menggunakan istilah al-Siyasah al-Tarbiyah, yang secara harfiyah berarti pengaturan dan daya upaya yang berkenaan dengan pendidikan.


[21] Azumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (Sebuah Pengantar) dalam charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H.Afandi dan Hasan Asari,( Jakarta, Logos, 1994), 23


[22] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, ( Jakarta, Grasindo, 2001), 65


[23] Ibid.


[24] M. Sirozi, Politik Pendidikan Dalam Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan Dan Politik Penyelenggaraa Pendidikan, ( PT Rajagrafindo Persada, 2005), 1-8

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner