8/4/17

SEGNIFIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI BANGSA INDONESIA KINI

Oleh:
Nur Izzati (NIM : 20162550004)
Nur Alam jurjani (NIM:20162550006)

Dosen Pembina
Dr. M.Arfan Mu’ammar M.Pd.I

 BAB I 
 PENDAHULUAN

Merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa Negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lainnya. Sehingga Negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “Multicultural”. Tetepi pada pihak lainnya, realitas “Multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksikan kembali “kebudayan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating forc” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Ada tiga kelompok yang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap berkembangnya identitas dalam kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Yaitu:
Pertama, pandangan kaum primoldialis.
Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan entis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis.
Menurut mereka suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan pra elit itu untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back-up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prevence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antara kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi.
Ketiga; kaum konstruktivis,
Yaitu kaum yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang yang dibayangkan kaum primordialis. Ethnisitas, bagi kelompok ini dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan social. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.
Dalam konteks ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multicultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Kajian ini ramai terdengar di kalangan akademisi, praktisi budayawan dan aktifis pada tahun 2000 di Indonesia. Penulisan makalah ini dimaksudkan sebagai kajian tentang filsafat social multiculturalisme dan pendidikan multicultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang, dan tantangan pendidikan multicultural di Indonesia.
 

BAB II
SEGNIFIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI BANGSA INDONESIA KINI

A. Pengertian Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya[1]. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an. Pendidikan multicultural bisa di definisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini seiring dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang beruaha menjauhi realitas social dan budaya. Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestos social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multicultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural merupakan pengembang kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap terhadap orang-orang non eropa (Hilliard, 1991-1992).
Rangkaian kata pendidikan dan multikultural memberikan arti secara terminologis adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Zakiyuddin Baidhawi mendefinisikan pendidikan multikultural adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman (teaching diversity).[2]
John W. Santrock mendefinisikan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai diversitas dan mewadahi prespektif dari beragam kelompok kultural atas dasar basis regular.[3]
Sedangkan secara luas pendidikan multicultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata social, agama, bahasa, kemampuan, dan umur sehingga proses belajar menjadi efektif dan mudah[4].
B. Konsep Pendidikan Multikultural
Dalam konsep pendidikan multicultural fokus dari pendidikan multicultural tidak lagi diarahkan semata-mata pada kelompok rasial, agama, dan cultural domain atau mainstream. Focus demikian ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan intercultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference) atau “politic of recognition)” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok miniritas.
Dalam konteks tersebut, pendidikan multicultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiferenc” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup subyek-subyek menganai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “etnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Dalam konsep pendidikan, istilah pendidikan multicultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normative, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multicultural yang jelas mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal dan lain sebagainya.[5]
Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis. Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.
Berbicara masalah konsep pendidikan multikulturalisme, James Bank (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multicultural[6] memiliki lima dimensi yang saling berkaitan diantaranya adalah sebagai berikut;
  1. Content integrations in instructional. adalah mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu
  2. The Knowladge Construction Process in instructiona, adalah membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
  3. An Equity Paedagogy in instructional. Adalah menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam, baik dari segi ras, budaya, maupun social
  4. Trainning participation in instructional. Adalah melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam rangka upaya menciptakan budaya akademik.
  5. Prejudice Reduction in instructional adalah mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik dapat dilihat dari empat cirri sebagai berikut:
  1. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuannya, kemauannya, dan sebgainya
  2. Peserta didik memiliki keinginan untuk berkembang ke arah dewasa
  3. Peserta didik memiliki latar belakang budaya, etnis, agama yang berbeda
  4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimilikinya secara individu
C. Pendekatan Dalam Proses Pendidikan Multikultural
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan: pertama; pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua; pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman budaya, ketiga; pendidikan bagi pluralisme kebudayaan, keempat; pendidikan dwi budaya. Dan kelima; pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultural, yaitu:
  1. Tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (scooling) atau pendidikan multicultural dengan progam-progam sekolah formal. Pandangan secara luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan yang membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena progam-progam sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah
  2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompoksosial yang relative self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama laindalam satu atau lebih kegiatan.
Dalam konteks pendidikan multicultural pendekatan ini diharapkan mampu dan dapat mengilhami para penyusun progam-progam pendidikan multicultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara streotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik
  1. Dalam pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
  2. Pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan . kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi
  3. Kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningktkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran ini dapat menjauhkan kita pada konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non pribumi. Dikhotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural perpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada pada diri peserta didik (Depag RI, 2003).[7]
D. Tujuan Pendidikan Multikultural Bagi Indonesia
            Pendidikan Multikultural mempunyai dua tujuan yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya dapat dicapai dengan baik.
            Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk membangun kecakapan dan keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkannya, akan tetapi juga mampu untuk menjadi tranformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi secara langsung disekolah kepada peserta didiknya.
            Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah, peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratif, pluralisme dan humanis.[8]
Secara lebih operasional Kazt (dalam Mogdil, 1986) menyatakan ada empat tujuan pendidikan multicultural, yaitu:
  1. memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang mengenalkan secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi, partisipatory, dan exime.
  2. mengembangkan keterampilan untuk klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten dan manifest
  3. untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada strategi pembelajaran guru
  4. mengkaji vareasi kebahasaan dan keberagaman gaya belajar sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai
E. Urgensi Pendidikan Multikultural Bagi Bangsa Ini
Urgensi pendidikan berbasis multikultural Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, dan budaya. Kita perlu memberi dorongan dan spirit bagi peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, pendidikan multikultural perlu disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Di Indonesia manfaat pendidikan multikultural yaitu sarana alternative pemecahan konflik, siswa tidak tercerabut dari akar budayanya, sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional, serta relevansi di alam demokrasi seperti sekarang ini.
            Secara konkret pendidikan multikultural melibatkan guru, pemerintah juga masyarakat sebab adanya multi dimensi aspek kehgidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
Upaya untuk membangun Indonesia yang multikultur dapat terwujud jika: pertama, konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami urgensinya bagi bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun local untuk untuk mengadopsi maupun menjadikannya sebagai pedoman hidup. Kedua, adanya kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, upaya-upaya lain yang diperlukan guna mewujudkan cita-cita.[9]
Bagaimana membangun pemahaman keberagamaan siswa yang inklusif di sekolah? Dalam hal ini, guru mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi; pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama.
Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran muncul karena adanya interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
              Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam masyarakat yang berbeda seperti agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Dalam kehidupan yang beragam seperti ini menjadi tantangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu kekuatan yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman masyarakatnya.
              Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak-anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak-anak usia sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat acara atau seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman.
              Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia, yaitu:
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
              Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
              Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
              Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural. 
3.Toleransi
              Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.[10]
              Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sekarang.
1. Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya[11]
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar  di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing-masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang.
Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2. Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan akar budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia berhubungan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’ serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan global, termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri, peserta didik perlu diberi pemahaman yang luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak melupakan asal budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks. Maka, upaya untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi konkret. Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab atas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut akan kehilangan arah dan melupakan asal budayanya sendiri.
            Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi, menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c.Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut, perbedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok  dan siswa terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.
e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
4. Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama lain. 
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan kosnep-konsep lain yang relevan.[12]



BAB III
 PENUTUP

            Berdasarkan penelitian dan pemahaman yang dimiliki penulis terhadap penulisan makalah ini, maka penulis menyimpulkan bahwa:
1.Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya.
2. Pendidikan multicultural bisa di definisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan
3. Rangkaian kata pendidikan dan multikultural memberikan arti secara terminologis adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).
4. konsep pendidikan multikulturalisme, James Bank (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multicultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan diantaranya adalah sebagai berikut; Content integrations in instructional, The Knowladge Construction Process in instructiona, An Equity Paedagogy in instructional, Trainning participation in instructional, dan Prejudice Reduction in instructional.
5. Ada lima pendekatan yang dikenal dalam proses pendidikan multicultural yaitu: pertama; pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua; pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman budaya, ketiga; pendidikan bagi pluralisme kebudayaan, keempat; pendidikan dwi budaya. Dan kelima; pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
6. Secara lebih operasional Kazt (dalam Mogdil, 1986) menyatakan ada empat tujuan pendidikan multicultural, yaitu: a.memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang mengenalkan secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi, partisipatory, dan exime.
b. mengembangkan keterampilan untuk klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten dan manifest
c. untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada strategi pembelajaran guru
d. mengkaji vareasi kebahasaan dan keberagaman gaya belajar sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai
7. Urgensi pendidikan berbasis multikultural Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, dan budaya.
8. Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia, yaitu:1. Agama, suku bangsa dan tradisi, 2. . Kepercayaan, 3.Toleransi.

9.Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sekarang.
9. Di Indonesia manfaat pendidikan multikultural yaitu sarana alternatife pemecahan konflik, siswa tidak tercerabut dari akar budayanya, sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional, serta relevansi di alam demokrasi seperti sekarang ini.


DAFTAR PUSTAKA

Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural , Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009
Baidhawi, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta:
 Erlangga, 2005
Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
 Demokrasi dan keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S., Jakarta:
Kencana, 2007
James Banks, “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions,
And Practice”, Review of Research in Education, 1993.
Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan: Semarang: Unnes Press, 2009.
Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008
Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach
Oxrofd: Backwell, 1996




[1] Choirul Mahfud,Pendidikan Multikultural ( Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet.3, 2009), 75
[2] Baidhawi, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005),8
[3] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2007), 184
[4] Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
  keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 25
[5] Idem, 33
[6] James Banks, “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, And Practice
  (Review of Research in Education, 1993), 3
[7] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,cet.3, 2009), 191-196
[8] Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
  keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 26
[9] Choirul Mahfudz, Pendidikan Multikultural ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.3, 2009), 216
[10] Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan: (Semarang: Unnes Press, 2009), 100 .
[11] Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008
[12] Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach (Oxrofd:
    Backwell, 1996), 203
   

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner