5/27/17

HAQIQAH, MAJAZ, TASYBIH, ISTI’AROH, SHORIH DAN KINAYAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas dan terang. “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya” (QS: Yusuf : 2).
Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tidak akan mampu dikuasai.
Al-Qur’an yang terangkum di dalamnya tentang tauhid, syari`at, akhlak, dan sebagainya memiliki berbagai macam cara dalam penyampaian makna yang disebut dengan gaya bahasa al-Qur’an.
Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti`arah, haqiqah, majaz, dan sebagainya. Pada beberapa kalimat pada al-Qur’an, ada yang bermakna khusus, ada pula yang bermakna umum. Namun pada kesempatan ini, penulis akan membahas pokok bahasan dari gaya bahasa al-Qur`an tersebut yaitu Haqiqah dan Majaz, juga pembahasan sekelumit Tasybih, Isti’arah dan Kinayah.
                     

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Haqiqah
1.      Pengertian Haqiqah dalam Al Quran
Haqiqah dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Arab yang artinya nyata, kenyataan, atau asli. Haqiqah  dari kata haqqa yang berarti tetap. Sebagai makna subjek (fā’il) memiliki arti yang tetap, atau sebagai objek (maf’ūl) yang berarti ditetapkan[1]. Haqiqah berarti adalah sebuah kata yang maknanya asli sebagaimana yang ditetapkan di dalam al-Qur’an.
Haqiqah menurut istilah, adalah kata yang digunakan sebagaimana pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan[2]. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu[3].
Berdasarkan beberapa istilah diatas, haqiqah adalah sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang digunakan seperti makna semulanya yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu.
2.      Klasifikasi Haqiqah dalam al-Qur’an
Haqiqah diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk, yaitu :
a.      Lughawiyyah Wadh`iyyah
Lughawiyyah Wadh`iyyah atau biasa disebut dengan al-haqiqah al-lughawiyyah ini adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Contohnya kata ar-rajul yang digunakan untuk mennyebut laki-laki dewasa.

b.      Lughawiyyah Manqulah
Lughawiyyah Manqulah ini adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi atau perubahan makna. Perubahan ini dilakukan oleh ahli bahasa, atau syari’at. Pada bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu :
1)      Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah
Yaitu kata yang mengalami transformasi makna, dari makna asal penggunaannya kepada makna lain yang kemudian makna tersebut menjadi populer sehingga makna asalnya ditinggalkan.
Contohnya, kata ad-dabbah yang artinya hewan melata, konotasinya bisa manusia dan hewan. Namun kemudian digunakan oleh orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat saja sehingga makna awalnya ditinggalkan.
2)      Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah
Yaitu kata yang mengalami trasformasi makna, dari makna asal kepada makna yang lain yang digunakan oleh pembuat syri`at. Makna yang lain ini berdasarkan dalil syari’at, contohnya shalat, shiyam, al-kufr, dan sebagainya[4].
Dari beberapa klasifikasi haqiqah tersebut,  dapat disimpulkan bahwa haqiqah lughowiyyah wadh`iyyah adalah kata yang digunakan sesuai makna hakikinya, sedangkan haqiqah lughowiyyah manqulah adalah makna yang menunjukkan makna asal setelah mengalami transformasi makna, baik secara bahasa, maupun secara syari`at.


3.      Signifikansi Haqiqah dalam al-Qur’an
Setelah memahami haqiqah dari berbagai macam pengertian, dan melihat dari klasifikasinya, haqiqah memiliki signifikansi sebagai berikut :
a.       Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami suatu makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik;
b.      Kemudian dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi;
c.       Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.

B.     Majaz
Bentuk majaz dalam al-Quran, dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz). Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.[5]
1.      Definisi Majaz
Majaz secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab المجاز, bentuk masdar (infinitif) dari kata جاز.[6] Sedangkan secara terminologis para ulama telah banyak mendefinisikannya dengan beberapa ibarah atau perkataan, diantaranya :[7]
a.       Ibn Qutaibah mendefinisikannya sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur.
b.      Sibawayh mendefinisakannya dengan seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna.
c.       Al-Mubarrad mengatakan bahwa majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya.
d.      Al-Qaadhy ‘Abd al-Jabbaar mengatakan bahwa majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya, yang lebih luas.
e.       Ibn Jinny dan Al-Jurjaany menempatkan majaz sebagai lawan dari haqiqat, dan makna haqiqat menurut Ibnu Jinny adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Sedangkan menurut Al-Jurjaany haqiqah adalah sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut, sedangkan majaz adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya.
2.      Klasifikasi Majaz Dalam Al Quran
a.       Majaz Fi Al-Mufrad
Majaz fi al-murad adalah majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam beberapa macam :[8]
1)      Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz yang tersembunyi.
Contohnya dalam surat Yusuf: 82
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Artinya: "Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu".
Di dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum lafadz  القرية (negri), yaitu    lafadz أهل (penduduk).
2)      Az-Ziyaadah,yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz atau hurup tambahan.
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 11
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia"
Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup ك di depan lafadz مثله secara makna muradnya merupakan tambahan.
3)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz plural (jama') namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 19:
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
Artinya: "Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya".
Kata أصابع di atas secara leksikal atau makna yang sebenarnya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang-orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud أصابع dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya.
4)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz yang merupakan bagian dari suatu nama benda, namun yang dimaksudkan adalah keseluruhannya; bukan sebagiannya.
Contohnya dalam surat Ar-Rahman: 27
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
Artinya: "Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu".
Lafadz وجه (Wajah) di dalam ayat ini merupakan bagian dari ذات (Dzat) Tuhan, namun di dalam ayat tersebut tidak di ambil makna وجه tetapi dimaknai ذات (Dzat).
5)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz khas(khusus), namun yang dimaksudkan adalah 'aam (makna umumnya).
Contohnya dalam surat Al-Munafiqun: 4
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
Artinya:"Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka".
Lafadz العدو (musuh) di dalam ayat tesebut maksudnya adalah الأعداء (semua musuh).
6)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz 'aam(umum), namun yang dimaksudkan adalah khas (makna khususnya).
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 5
وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ
Artinya: "Dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi".
Lafadz من (orang) di dalam ayat tersebut di maksudkan khusus bagi المؤمنون (orang-orang yang beriman.
7)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-'malzuum(yang diharuskan), namun yang dimaksudkan adalah al-laazim (yang mengharuskan).
Contohnya dalam surat Al-An'am: 39
صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ
Artinya: "Pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita".
Kalimat في الظلمات (dalam kegelapan) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz عمي (buta), karena di dalam ayat lain di sebutkan: صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ, maka penyebutan في الظلمات di dalam ayat tersebut dikarenakan kalimat tersebut termasuk dari keharusan orang yang buta, artinya mata orang yang buta pasti merasakan gelap gulita.
8)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-laazim(yang mengharuskan), namun yang dimaksudkan adalah al-'malzuum (yang diharuskan).
Contohnya dalam surat Al-Maaidah: 112
هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ
Artinya: "Sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?"
Lafadz يستطيع (sanggup/bisa) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz يفعل (melakukan), hal ini dikarenakan kesanggupan mengharuskan untuk melakukan.
9)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-musabbab (akibat), namun yang dimaksudkan adalah as-sabab (sebab).
Contohnya dalam surat Al-Mu'min: 13
وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ رِزْقاً
Artinya: "Dan menurunkan untukmu rezki dari langit".
Lafadz رزقا (rizki) di dalam ayat ini merupakan akibat dari turunnya مطر (hujan)
10)  Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz as-sabab(sebab), namun yang dimaksudkan adalah al-musabbab(akibat).
                        Contohnya dalam surat Al-Baqarah:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Artinya: "Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu".
Lafadz اعتدوا makna asalnya adalah "Lakukanlah kezaliman" Makna ini tidak bisa dipakaikan karena bertentangan dengan ajaran Islam, yang melarang dari berbuat zalim. Jika kita artikan dengan makna majaz, bisa dipahami bahwa kata اعتدوا merupakan sebab dari makna yang dimaksud, karena kezaliman merupakan penyebab adanya جزاء (balasan). Jadi makna dari اعتدو  adalah "Balaslah".
11)  Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan setelah ia mengalami proses tertentu.
Contohnya dalam surat Yusuf: 36
إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْراً
Artinya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur".
Lafadz خمر (arak) yang di sebutkan di dalam ayat ini adalah nama minuman yang di buat dari perasan عنب (anggur).
12)  Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-hal(keadaan), namun maksudnya adalah al-mahal (tempat) yang keadaannya seperti yang di ungkapkan tersebut).
Contohnya dalam surat Ali Imron: 107
فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: "Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya".
Lafadz رحمة الله (rahmat Allah) di dalam ayat ini, maksudnya adalah الجنة (surga), hal ini karena keadaan surga penuh dengan rahmat Allah.
13)  Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-mahal(tempat), namun maksudnya adalah al-hal (keadaannya).
Contohnya dalam surat Al-'Alaq: 17
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ
Artinya: "Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)".
Lafadz نادية adalah nama suatu tempat, dan yang di maksudkan di dalam ayat ini adalah penduduk yang mendiami tempat tersebut.
Menamakan sesuatu dengan nama alatnya.
Contohnya dalam surat Ibrahim: 4
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ
Artinya: "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya".
Lafadz لسان (lisan) di dalam ayat ini merupakan alat untuk melafalkan bahasa, oleh karena itu lafadz tersebut di maknai secara majaz, yaitu bahasa.
14)  Menamakan sesuatu dengan nama kebalikannya atau mengungkapkan suatu lafadz yang biasa di gunakan untuk sesuatu kebalikannya.
Contohnya dalam surat Al-Insyiqaaq: 24
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: "Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih".
Lafadz بشّر di dalam ayat ini biasanya di gunakan untuk الخبر السار (kabar/berita yang menyenangkan/menggembirakan), namun di dalam ayat tersebut di gunakan untuk kabar berita yang tidak menyenangkan sekali, yaitu عذاب أليم (azab yang pedih).
15)  Mengidhafahkan atau menghubungkan fi'il (kata kerja) kepada sesuatu yang tidak biasanya di hubungkan dengannya.
Contohnya dalam surat Al-Kahfi: 77
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَاراً يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ
Artinya: "Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka (Khidhr) menegakkan dinding itu".
Fi'il يريد (ingin) di dalam ayat ini biasanya di hubungkan dengan الحي (makhluk hidup), sedangkan di dalam ayat ini di hubungkan dengan lafadz جدار (dinding).
16)  Menyampaikan ungkapan tentang sesuatu dengan fi'il (kata kerja), namun maksudnya adalah dari segi kedekatan makna fi'il tersebut terhadapnya atau dari segi kemulyaannya atau keinginannya.
Contohnya dalam surat An-Nahl: 61 dan Al-Maaidah: 6

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: "Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya".
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
Artinya: "Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah.."
Fi"il جاء (telah tiba) yang di kaitkan dengan lafadz أجل (saat kematian) di dalam ayat pertama maksudnya قرب مجيئه(mendekati tibanya saat kematian). Dan fi'il قمتم (kalian mengerjakan) yang di hubungkan dengan lafadz الصلاة(shalat) di dalam ayat kedua maksudnya أردتم القيام (kalian ingin mengerjakan).
17)  Menempatkan dua lafadz secara terbalik.
Contohnya dalam surat Ar-Ru'd: 38
لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Artinya: "Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)".
Lafadz كتاب (kitab) seyogyanya di dahulukan dan lafadz أجل(masa akhir) di akhirkan, yakni لكل كتاب أجل (bagi tiap-tiap kitab ada masa akhirnya).
18)  Menempatkan suatu shighah (bentuk suatu lafadz) pada kedudukan shighah lain.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 255
وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ
Artinya: "Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah".
Lafadz علم (ilmu) di dalam ayat ini bershighah مصدر (kata dasar), sedangkan yang seyogyanya adalah shighah المفعول(kata kerja transitif) dari lafadz tersebut, yakni: معلوم (yang di ketahui), sehingga seyogyanya ayat tersebut bermakna:"Dan mereka tidak mengetahui apa-apa yang diketahui oleh Allah".
19)  Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan sebelumnya.
Contohnya dalam surat Thaahaa: 74
مَنْ يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ
Artinya: "Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam".
Di dalam ayat ini orang yang datang kepada Tuhannya pada hari kiamat di namai مجرم (penjahat), hal itu di sesuaikan dengan keadaan dia sewaktu melakukan kejahata/dosa di dunia ini.
b.      Majaz Fi At-Tarkiib
Majaz fi at-tarkiib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad.[9]
Contohnya dalam surat Al-Anfaal: 2
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً
Artinya: "Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".
Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu الزيادة(penambahan), yang di sandarkan kepada الآيات (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.
Majaz ini terbagi ke dalam empat macam, yaitu sbb:
1)      Penyandaran yang kedua sisnya adalah haqiqat (makna asli).
Contohnya dalam surat Az-Zalzalah: 2
وَأَخْرَجَتِ الأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya: "Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya".
Penggunaan lafadz أخرج (telah mengeluarkan) dan الأرض(bumi) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat.
2)      Penyandaran yang kedua sisanya adalah majaz.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 16
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Artinya: "Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka".
Penggunaan lafadz ربح (beruntung) dan تجارة (perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara majaz.
3)      Penyandaran yang sisi pertamanya haqiqat dan sisi lainya majaz.
Contohnya dalam surat Ar-Ruum: 35
أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً
Artinya: "Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan".
Penggunaan lafadz أنزل (telah menurunkan) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat, sedangkan penggunaan lafadz سلطان(kekuasaan) adalah secara majaz sehingga ia di maknai برهان(dalil/keterangan).
4)      Penyandaran yang sisi pertamany majaz dan sisi lainya haqiqat.
Contohnya dalam surat Al-Ma'aarij: 15-17
كَلَّا إِنَّهَا لَظَى.  نَزَّاعَةً لِلشَّوَى.  تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى
Artinya: "Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama)".
Penggunaan lafadz تدعو (memanggil) di dalam ayat ini adalah secara majaz karena di sandarkan kepada lafadz النار (api neraka).
3.      Signifikasi Majaz
Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah sebagai berikut :[10]
a.       Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan.
b.      Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi.
c.       Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.

C.    Tasybih
1.      Pengertian Tasybih
Tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik disebutkan maupun tidak.[11]
2.      Rukun-rukun Tasybih
Adapun rukun-rukun Tasybih adalah sebagai berikut :
a.             Musyabbah (sesuatu yang hendak diserupakan)
b.             Musyabbah bih (sesuatu yang diserupai)
c.             Wajhus syibhi (sifat yang terdapat pada kedua hal itu)
d.            Adaatut tasybih (huruf/kata yang menyatakan penyerupaan)
e.             Musyabbah dan musyabbah bih disebut juga tharafait tasybih.
3.      Klasifikasi Tasybih
a.       Tasybih mursal
Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya disebutkan.
b.       Tasybih muakkad
Tasybih muakkad adalah tasbih yang adat tasybihnya tidak disebutkat
c.       Tasybih mujmal
Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajh syibhnya
d.      Tasybih mufashal
Tasybih mufashal adalah tasybih yang disebutkan wajah syibhnya
e.       Tasybih baligh
tasybih yang tidak disebutkan wajah syibh dan adat tasybihnya.
4.      Maksud dan Tujuan Tasybih
a.       Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah
b.      Menjelaskan keadaan musyabbah
c.       Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
d.      Menegaskan keadaan musyabbah
e.       Memperindah atau memperburuk musyabbah

D.    Isti’aroh
Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaif nya (musyabbah/musyabbah bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling menyerupai).[12]
Adapun macam-macam isti’aroh sebagai berikut:
                    1.            Isti’aroh Tashrihiyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbahnya
                    2.            Isti’aroh Makniyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbahbihnya
                    3.             Isti’aroh Ashliyyah, yaitu isti’aroh yang menggunakan isim jamid.
                    4.             Isti’aroh Tabaiyyah, adalah isti’aroh yang menggunakan lafadz isim fi’il.
                    5.            Isti’aroh Murasyahah, adalah isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih
                    6.            Isti’aroh Mujarrodah, adalah Isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah.
                    7.            Isti’aroh Muthlaqoh, adalah isti’aroh yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih atau musyabbah.
                    8.            Isti’aroh Tamtsiliyyah, adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan antara makna asli dan makna majazi, dengan disertai karinah yang mencegah peletakkan pada makna asli.

E.    Shorih dan Kinayah
Secara arti kata, sharih dari kata sharaha berarti terang ; ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin.
Dalam pengertian istilah hukum, sharih berarti :
كل لفظ مكشو ف المعنى والمراد حقيقة او مجا ز ا
Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau majaz”.
Maksud yang dikehendaki oleh pembicara dapat diketahui dari lafadz yang digunakan tanpa memerlukan penjelasan lain. Umpamanya pada waktu seseorang ingin menceraikan isterinya, ia berkata kepada isterinya, “engkau saya ceraikan”.
Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.
Dalam pengertian istilah hukum, kinayah adalah :
ما يكو ن المرا د باللفظ مستو را ا لى ان يتبين با لد ليل
“Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil”.
Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah, karena masih memerlukan penjelasan.
Penggunaan nama seseorang dengan memakai kata ganti-nama termasuk kinayah. Kalau dikatakan “Si Ahmad sedang sholat dengan tekun,” akan mudah orang memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, “ia sedang shalat dengan tekun,” orang akan bertanya, “siapa yang sedang shalat itu?”.
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk kinayah. Umpamanya seseorang mengatakan kepada isterinya, “pulanglah kau ke rumah ibu mu,”. Ungkapan ini mengandung beberapa maksud : dapat berarti cerai dan dapat pula berarti pulang sementara. Bila seseorang menggunakan ucapan tersebut kepada isterinya dan yang dimaksud dengan ucapannya itu untuk cerai, bearti ia menggunakan lafaz kinayah untuk “cerai”.
Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz. Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu :
Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud oleh lafaz sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya orang “pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya menamai seseorang dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat orang itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya pemberani dinamai dengan suja’ secara kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja’. Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan adalah berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya, tanpa memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula menggunakan ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan, maka berlangsunglah perceraian, seperti : “saya ceraikan engkau”, “hai, cerai”, “kita bercerai”, atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati ; atau cara lain yang sama artinya dengan itu.[13]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Haqiqah adalah sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang digunakan seperti makna semulanya yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu. Haqiqah diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk, yaitu : Haqiqah Lughawiyyah Wadh`iyyah dan Haqiqah Lughawiyyah Manqulah (Pada bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah dan Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah). Haqiqah memiliki signifikansi di antaranya : Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami suatu makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik, Kemudian dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi, Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.
Majaz adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya. Majaz ada dua, yaitu: Majaz Mufrad dan Majaz Fi at-Tarkib. Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah : Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan, Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi, Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.
Tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik disebutkan maupun tidak. Adapun rukun-rukun Tasybih adalah : Musyabbah, Musyabbah bih, Wajhus syibhi, dan Adaatut tasybih. Klasifikasi Tasybih di antaranya : Tasybih mursal, Tasybih muakkad, Tasybih mujmal, Tasybih mufashal, dan Tasybih baligh. Maksud dan Tujuan Tasybih diantaranya adalah menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah, menjelaskan keadaan musyabbah, menjelaskan kadar keadaan musyabbah, menegaskan keadaan musyabbah, dan memperindah atau memperburuk musyabbah.
Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaif nya (musyabbah/musyabbah bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling menyerupai). Adapun macam-macam isti’aroh di antaranya: Isti’aroh Tashrihiyyah, Isti’aroh Makniyyah, Isti’aroh Ashliyyah, Isti’aroh Isti’aroh Murasyahah, Isti’aroh Mujarrodah, Isti’aroh Muthlaqoh, dan Isti’aroh Tamtsiliyyah.
Shorih Adalah Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau majaz, sedangkan kinayah yaitu Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri




DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz. 2004. Ulumul Qur’an. Bogor.
Al-Ibyaarii,  Ibrahim, 1405 H , Al-Mausuu'ah al-Qur'aaniyah , Muassasah Sijil Al-Arab.
Al-Qoi'ii, Dr. Muhammad Abdulmun'im, 1996,  Al-Ashlaan Fi 'Ulum Al-Qur'an, , Dar Al-Mun'im Al-Qoi'ii,.
Arufin, Miftahul dan A. Faisal Haq. 1997. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam. Cet. I. Surabaya: Citra Media.
Ashari, S.Pd.I, Rahmat, Al-Haqiqah Dan Al-Majaz Dalam Al-Qur’an, (24 Juli 2013), http://rahmadashariuinsuska.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015.
As-Sudais, Abdullah, Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa Al-Maani'iin,, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
As-Suhuud, Ali, Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
As-Suyuti, Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
Halimi, Majazi (Tasybih, Istiarah, Dan Kinayah), http://pascasarjana-halimi.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015.
Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqih. Jilit 2Cet. V. Jakatra: Kencana.


[1] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, (Jakatra: Kencana, 2008), h. 345
[2] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an, Bogor, 2004,h.125.
[3] Miftahul Arufin dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 175
[4] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an, Bogor, 2004,h.125-126.
[5] http://www.referensimakalah.com/2012/12/bentuk-majaz-dalam-al-quran.html
[6] Abdullah As-Sudais, Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa Al-Maani'iin,, Al-Maktabah Asy-Syaamilah, hal. 7
[7]http://infopesantren.web.id/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/dialektika_gaya_bahasa_quran.single.
[8] As-Suyuti, Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an hal. 122-128

[9] As-Suyuti, Al-Itqan …. hal. 120-121
[10] Ali As-Suhuud, Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, hal. 42
[11] http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html
[12] http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html
[13] Amir Syarifudin. Ushul Fiqih. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001), hlm.25-37

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner