4/25/17

KONSILI NICEA

Konsili di Nicea diadakan dua kali, yaitu pada tahun 325 dan 787.
Konsili Nicea I dipanggil oleh Kaisar Constantinus untuk menyelesaikan pertikaian tentang Trinitas (Arianisme). Konsili direncanakan semula diadakan di Ancyra namun kemudian dipindahkan ke Nicea dan dibuka pada 20 Mei 325. Konsili dibuka oleh kaisar, Constantinus.
Tujuan utama Constantinus adalah untuk menjamin adanya kesatuan dan kestabilan politik dalam kerajaannya jika dibandingkan dengan perumusan keputusan teologis tentang Trinitas.
Sesudah pidato pembukaan oleh kaisar, pimpinan konsili dialihkan kepada Hosius, uskup Cordoba yang telah menemani Constantinus dari Barat, meskipun ada beberapa pandangan yang menginginkan agar Eusthathius, uskup Antiokia, yang menjadi pemimpin konsili.
Golongan Arian mempersembahkan Pengakuan Iman Arianisme yang disusun oleh Eusebius dari Nikomedia, namun konsili segera menolaknya. Kemudian Eusebius dari Kaesarea mempersembahkan Pengakuan Iman baptisan yang berlaku dalam jemaatnya di Palestina. Pengakuan iman ini diterima oleh konsili sebagai pengakuan iman yang sah setelah ditambahkan kata homoousios di dalamnya.
Pengakuan Iman Nicea berbunyi:
Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.
Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang diperanakkan dari Bapa, yang dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang. Allah sejati dari Allah sejati, yang diperanakkan, bukan dijadikan, sehakikat (homoousios) dengan Bapa, yang oleh-Nya segala sesuatu ada, yaitu apa yang di surga dan yang di bumi. Yang demi kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjadi daging, menjelma menjadi manusia, menderita sengsara dan bangkit pula pada hari yang ketiga, naik ke surga, dan akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
Dan kepada Roh Kudus.
Konsili memutuskan empat anathema anti Arianisme. Pengakuan ini ditandatangani oleh semua uskup yang hadir kecuali dua orang uskup, yaitu Theonas dari Marmanika dan Sekondus, uskup Ptolemais. Keduanya dipecat dan diusir oleh konsili.
Jumlah uskup yang hadir dalam konsili ini sulit ditetapkan. Pada umumnya dianggap jumlah peserta adalah 318 uskup. Data ini didasarkan pada tulisan Athanasius. Tampaknya angka ini hanyalah perelambang dari jumlah hamba Abram dalam Kejadian 14:14. Jumlah peserta mungkin 220 hingga 250 orang. Itulah sebabnya konsili ini dikenal juga dengan sebutan Sinode 318 Bapa Gereja. Konsili Nicea I ini disebut juga sebagai konsili oikumenis yang pertama.
Konsili Nicea II (787) dipanggil oleh Ratu Irene atas permintaan Tarasius, patriarkh Constantinopel untuk menyelesaikan pertikaian Ikonoklastik.
Paus Hadrianus I menerima undangan Ratu Irene dan ia mengirim dua orang wakilnya dengan syarat: Sinode Ikonoklasik di Hiera pada tahun 753 harus dikutuk.
Patriarkh Antiokia, Aleksandria dan Yerusalem tidak dapat menghadiri konsili karena wilayah mereka berada dalam kekuasaan Islam. Mereka masing-masing diwakili oleh dua biarawan. Konsili dibuka pada 17 Agustus 786 namun konsili dibubarkan oleh tentara Ikonoklastik sehingga tidak bersidang hingga 24 September 787.
Konsili menyatakan bahwa ikon hanya mendapat penghormatan (proskunesis) seperti penjelasan Paus dalam suratnya kepada konsili. Namun konsili menambahkan bahwa mereka menghormati ikon dengan kasih yang relatif (schtikoi pothoi) karena pemujaan (latreia) hanya ditujukan kepada Tuhan Allah saja.
Keputusan konsili ditandatangani oleh semua yang hadir dan juga oleh kaisar serta anaknya Constantinus. Konsili menghasilkan 22 kanon yang berhubungan dengan masalah disiplin gereja seperti membatalkan pemilihan uskup, imam dan diakon oleh pemerintah, simoni dikutuk, imam dilarang meninggalkan diosis-nya tanpa seizin uskup, wanita dilarang tinggal di rumah uskup dan dalam biara laki-laki, dan kesederhanaan para klerus dipertegaskan lagi.
Konsili Nicea II merupakan konsili oikumenis yang ketujuh.

4/20/17

PERADABAN ISLAM MASA ABU BAKAR

Oleh : Ahmad Fathullah

A. Pendahuluan
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, beliau tidak meninggalkan wasiat tentang yang akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tampaknya Nabi Muhammad SAW menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin itu sendiri untuk menentukannya. Karena beliau sendiri tidak pemah menunjuk di antara sahabatnya yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam, bahkan tidak pula membentuk suatu dewan yang dapat menentukan siapa penggantinya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat bahkan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di Balai Kota Bani Saidah Madinah untuk memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Dalam musyawarah tersebut cukup berjalan alot, karena dari masing-masing pihak, baik dari Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.
Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar secara demokratis terpilih menjadi pemimpin umat Islam menggantikan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Rasa semangat ukhuwah Islamiyah yang dijiwai sikap demokratis tersebut dapat dibuktikan adanya masing-masing pihak menerima dan mau membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW.
Untuk membatasi dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan tentang biografi Abu Bakar, peran Abu Bakar pada periode Makkah dan Madinah, proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, Jasa dan peninggalan Abu Bakar, kemajuan-kemajuan masa pemerintahan Abu Bakar.
B. Biografi Abu Bakar
Abu Bakar As Siddiq lahir pada tahun 568 M atau 55 tahun sebelum hijrah. Dia merupakan khalifah pertama dari Al-Khulafa'ur Rasyidin , sahabat Nabi Muhammad SAW yang terdekat dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamini.
Pada masa kecilnya Abu Bakar bernama Abdul Ka'bah. Nama ini diberikan kepadanya sebagai realisasi nazar ibunya sewaktu mengandungnya. Kemudian nama itu ditukar oleh Nabi Muhammad SAW menjadi Abdullah bin Kuhafah at-Tamimi. Gelar Abu Bakar diberikan Rasulullah SAW karena ia seorang yang paling cepat masuk Islam, sedang gelar as-Siddiq yang berarti 'amat membenarkan' adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia amat segera memberiarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa "Isra Mikraj".
Ayahnya bernama Usman (juga disebut Abi Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Saad bin Taim bin Murra bin Kaab bin Luayy bin Talib bin Fihr bin Nadr bin Malik. Ibunya bernama Ummu Khair Salma binti Sakhr. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada neneknya bernama Kaab bin Sa'd bin Taim bin Muarra. Kedua orang tuanya berasal dari suku Taim, suku yang melahirkan banyak tokoh terhormat.[1]
Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang baik dan sabar, jujur, dan lemah lembut, dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati. Sifat-sifat yang mulia itu membuat ia disenangi oleh masyarakat. la menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW semenjak keduanya masih remaja. Setelah dewasa ia mencari nafkah dengan jalan berdagang dan ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat dermawan, dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses.
Keberhasilannya dalam perdagangan itu disebabkan oleh pribadinya dan wataknya, berperawakan kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangannya yang tampak jelas, begitulah dilukiskan oleh putrinya Aisyah Ummulmukminin. Begitu damai perangnya, sangat lemah lembut dan sikapnya yang tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Ia memiliki pandangan yang jernih serta pikiran yang tajam dan juga cara bicaranya sedap dan pandai bergaul.
Selain itu, Abu Bakar adalah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka, ia adalah orang yang menerima dakwah tanpa ragu dan ia adalah orang pertama yang memperkuat agama Islam serta menyiarkannya. Di samping itu ia suka melindungi golongan lemah dengan hartanya sendiri dan kelembutan hatinya.
Di samping itu, Abu Bakar dikenal mahir dalam ilmu nasab (pengetahuan mengenai silsilah keturunan). la menguasai dengan baik berbagai nasab kabilah dan suku-suku arab, bahkan ia juga dapat mengetahui ketinggian dan kerendahan masing-masing dalam bangsa arab.
Dalam usia muda itu ia menikah dengan Qutailah binti Abdul Uzza. Dan perkawinannya ini lahir dua orang putra bernama Abdur Rahman dan Aisyah. Kemudian setelah di Madinah ia menikah dengan Habibah binti Kharijah, setelah itu menikah dengan Asma' binti Umais yang melahirkan Muhammad.[2]
C. Peran Abu Bakar di Makkah dan Madinah
Abu Bakar masuk Islam pada hari-hari pertama Islam didakwahkan. Tidak sulit baginya meyakini ajaran-ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW, karena sejak usia muda ia sudah kenal betul akan keagungan Nabi Muhammad SAW. Setelah masuk Islam, ia menumpahkan seluruh perhatiannya untuk pengembangan Islam.[3] Sebagai orang yang disegani di kalangan bangsawan Arab, keislaman Abu Bakar membuat banyak orang tertarik masuk Islam, seperti Usman bin Affan, Abdur Rahman bin Aufdan Zubair bin Awwam.
Perjuangan Abu Bakar dan darmabaktinya bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam banyak sekali yang dapat disebutkan. Di antaranya ia sangat menaruh perhatian kepada penderitaan yang dialami kaum yang lemah, khususnya para budak yang menerima dakwah Nabi Muhammad SAW. Sejumlah budak yang disiksa oleh tuannya karena mereka memeluk Islam ditebus oleh Abu Bakar dengan hartanya kemudian dimerdekakan. Salah satu dari budak yang dimerdekakan seperti Bilal bin Rabah.
Peran yang dimainkan Abu Bakar ketika di Makkah banyak sekali, seperti di bidang materi segala kekayaan yang dimilikinya digunakan untuk perjuangan dan kejayaan Islam dan demi kebenaran ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW dalam waktu suka maupun duka.
Dalam pertempuran yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW Abu Bakar tidak pemah absen, melainkan selalu berada di dekat Nabi Muhammad SAW. Contoh dalam perang Tabuk, bukan hanya jiwa yang dipertaruhkannya, namun seluruh harta bendanya habis dikorbankan untuk memenangkan perjuangan Islam.[4]
Pengorbanan dan jasanya ketika di Makkah di samping harta benda ia selalu berusaha mendampingi dan melindungi Nabi Muhammad SAW ketika banyak orang kafir yang mengejeknya, bahkan ia adalah yang mendampingi Nabi Muhammad SAW pada saat hijrah ke Madinah.
Pada saat di Madinah Abu Bakar selalu mendampingi, melindungi dan membantu Nabi Muhammad SAW dalam proses penyebaran Islam. Di samping itu banyak peperangan yang diikuti Abu Bakar selama di Madinah, seperti perang Badar, perang Uhud, perang Khandak dan sebagainya. Karena kesibukan Nabi Muhammad SAW di Madinah, maka pada saat kota Makkah berhasil ditundukkannya dan umat Islam akan menunaikan ibadah haji , maka untuk memimpin jamaah haji dipercayakan kepada Abu Bakar. Dalam banyak kesempatan Abu Bakar sering mendapatkan kepercayaan untuk mewakili dirinya, seperti pada saat Rasulullah SAW uzur (berhalangan) tidak dapat mengimami shalat di Masjidil Haram Madinah, Nabi Muhammad SAW menunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam shalat.[5]
D. Proses Pengangkatan Abu Bakar
Berita wafatnya Nabi Muhammad SAW, bagi para sahabat dan kaum Muslimin adalah seperti petir di siang belong karena sangat cinta mereka kepada beliau. Apalagi bagi para sahabat yang biasa hidup bersama di bawah asuhan beliau . Mereka paling diperlihatkan adalah beliau, sehingga ada orang tidak percaya akan kabar wafatnya beliau.
Di antaranya adalah sahabat Umar bin Khattab yang dengan tegas membantah setiap orang yang membawa kabar wafatnya beliau, bahkan Umar bin Khattab mengancam akan membunuh barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW wafat.
Di saat keadaan gempar yang luar biasa ini datanglah sahabat Abu Bakar untuk menenangkan kegaduhan itu, ia berkata di hadapan orang banyak; "Wahai manusia, siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah wafat, dan barang siapa menyembah Allah, Allah hidup tidak akan mati selamanya".
Setelah kaum Muslimin dan para sahabat menyadari tentang wafatnya Rasulullah SAW, maka Abu Bakar dikagetkan lagi dengan adanya perselisihan faham antara kaum Muhajirin dan Anshar tentang siapa yang akan menggantikan Nabi sebagai khalifah kaum Muslimin. Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin dan pihak Anshar menghendaki pihak yang memimpin. Situasi yang memanas inipun dapat diatasi oleh Abu Bakar, dengan cara Abu Bakar menyodorkan dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan baiat memilih Abu Bakar.
Setelah Rasulullah SAW wafat pada 632 M, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin negara dan umat Islam. Waktu itu daerah kekuasaan hampir mencakup seluruh Semenanjung Arabia yang terdiri atas berbagai suku Arab.
Ada beberapa faktor yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, yaitu: [6]
  1. menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin) haruslah berasal dari suku Quraisy; pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi "al-aimmah min Quraisy" (kepemimpinan itu di tangan orang Quraisy).
  2. Sahabat sependapat tentang ketokohan pribadi Abu Bakar sebagai khalifah karena beberapa keutamaan yang dimilikinya, antara ia adalah laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi SAW pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia.
  3. Beliau sangat dekat dengan Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan. Beliau seorang dermawan yang mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam.
Sebagai khalifah Abu Bakar mengalami dua kali baiat. Pertama di Saqifa Bani Saidah yang dikenal dengan Bai 'at Khassah dan kedua di Masjid Nabi (Masjid Nabawi) di Madinah yang dikenal dengan Bai’at A 'mmah.
Seusai acara pembaitan di Masjid Nabawi, Abu Bakar sebagai khalifah yang baru terpilih berdiri dan mengucapkan pidato. la memulai pidatonya dengan menyatakan sumpah kepada Allah SWT dan menyatakan ketidakberambisiannya untuk menduduki jabatan khalifah tersebut. Abu Bakar selanjutnya mengucapkan "Saya telah terpilih menjadi pemimpin kamu sekalian meskipun saya bukan orang yang terbaik di antara kalian. Karena itu, bantulah saya seandainya saya berada di jalan yang benar dan bimbinglah saya seandainya saya berbuat salah. Kebenaran adalah kepercayaan dan kebohongan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian menjadi kuat dalam pandangan saya hingga saya menjamin hak-haknya seandainya Allah menghendaki dan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah dalam pandangan saya hingga saya dapat merebut hak daripadanya. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bila saya mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, janganlah ikuti saya".[7]
Di masa awal pemerintahan Abu Bakar, diwarnai dengan berbagai kekacauan dan pemberontakan, seperti munculnya orang-orang murtad, aktifnya orang-orang yang mengaku diri sebagai nabi (nabi palsu), pemberontakan dari beberapa kabilah Arab dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat.
Munculnya orang-orang murtad disebabkan oleh keyakinan mereka terhadap ajaran Islam belum begitu mantap, dan wafatnya Rasulullah SAW menggoyahkan keimanan mereka. Mereka beranggapan bahwa kaum Quraisy tidak akan bangun lagi setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Dan mereka merasa tidak terikat lagi dengan agama Islam lalu kembali kepada ajaran agama sebelumnya. Tentang orang-orang yang mengaku diri nabi sebenarnya telah ada sejak masa rasulullah SAW, tetapi kewibawaan Rasulullah SAW menggetarkan hati mereka untuk melancarkan aktivitasnya. Diantara nabi palsu seperti Musailamah Al Kadzab dari Bani Hanifah, Tulaihah bin Khuwailid dari Bani As'ad Saj'ah Tamimiyah dari Bani Yarbu, dan Aswad Al Ansi dari Yaman.
Mereka mengira, bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang lemah, sehingga mereka berani membuat kekacauan. Pemberontakan kabilah disebabkan oleh anggapan mereka bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat bersama Nabi SAW bersifat pribadi dan berakhir dengan wafatnya Nabi SAW, sehingga mereka tidak perlu lagi taat dan tunduk kepada penguasa Islam yang baru. Orang-orang yang enggan membayar zakat hanyalah karena kelemahan iman mereka. Terhadap semua golongan yang membangkang dan memberontak itu Abu bakar mengambil tindakan tegas. Ketegasan ini didukung oleh mayoritas umat.
Untuk menumpas seluruh pemberontakan, ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh, seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Syurahbil bin Hasanah. Dalam waktu singkat seluruh kekacauan dan pemberontakan yang terjadi dalam negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Meskipun fase permulaan dari kekhalifahan Abu Bakar penuh dengan kekacauan, ia tetap berkeras melanjutkan rencana Rasulullah SAW untuk mengirim pasukan ke daerah Suriah di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Pada mulanya keinginan Abu Bakar ditentang oleh para sahabat dengan alasan suasana dalam negeri sangat memprihatinkan akibat berbagai kerusuhan yang timbul. Akan tetapi setelah ia meyakinkan mereka bahwa itu adalah rencana Rasulullah SAW, akhirnya pengiriman pasukan itu pun disetujui.
Langkah politik yang ditempuh Abu Bakar itu ternyata sangat strategis dan membawa dampak yang positif. Pengiriman pasukan pada saat negara dalam keadaan kacau menimbulkan interpretasi di pihak lawan bahwa kekuasaan Islam cukup tangguh sehingga para pemberontak menjadi gentar.
Di samping itu, bahwa langkah yang ditempuh Abu Bakar tersebut juga merupakan taktik untuk mengalihkan perhatian umat Islam dalam perselisihan yang bersifat intern. Pasukan Usamah berhasil menunaikan tugasnya dengan gemilang dan kembali dengan membawa harta rampasan perang yang berlimpah.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Madinah. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan) dan pahlawan yang banyak berjasa dalam perang tersebut adalah Khalid bin Walid.[8]
Bahwa kekuasaan yang dijalankan oleh Abu Bakar adalah sebagaimana yang dijalankan pada masa Rasulullah Saw yaitu bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Meskipun demikian, Abu bakar selalu mengajak para sahabat untuk bennusyawarah.[9]
E. Jasa dan Peninggalan Abu Bakar
Di masa awal pemerintahan Abu Bakar, diwarnai dengan berbagai kekacauan dan pemberontakan, seperti munculnya orang-orang murtad, aktifnya orang-orang yang mengaku diri sebagai nabi (nabi palsu), pemberontakan dari beberapa kabilah Arab dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat merupakan tantangan dari negara yang baru berdiri.
Adanya orang murtad disebabkan karena mereka belum memahami benar tentang Islam, mereka baru dalam taraf pengakuan, atau mereka masuk Islam karena terpaksa. Sehingga begitu Rasulullah SAW wafat, mereka langsung kembali kepada agama semula. Karena mereka beranggapan , bahwa kaum Quraisy tidak akan bangun lagi setelah pimpinannya Nabi Muhammad Saw wafat.
Golongan yang tidak mau membayar zakat banyak timbul dari kabilah yang tinggal di kota Madinah, seperti Bani Gatfan, Bani Bakar dll. Mereka beranggapan bahwa membayar zakat hanya kepada Nabi Muhammad SAW, dan setelah beliau wafat maka tidak lagi wajib membayar zakat.
Orang yang mengaku sebagai nabi sebenarnya sudah ada pada hari-hari terakhir kehidupan Nabi Muhammad SAW, walaupun mereka masih sembunyi-sembunyi.
Dari kekacauan yang muncul di awal pemerintahan tersebut, Abu Bakar bekerja keras untuk menumpasnya .
Untuk menumpas kelompok-kelompok tersebut di atas, Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat dan kaum Muslimin menentukan apa tindakan yang harus diambil mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut.
Di dalam kesulitan yang memuncak inilah terlihat kebesaran jiwa dan ketabahan hati Abu Bakar. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa beliau akan memerangi semua golongan yang telah menyeleweng dari kebenaran, baik yang murtad, yang mengaku Nabi palsu, maupun yang enggan membayar zakat, sehingga semuanya kembali kepada kebenaran. Setelah bermusyawarah Abu Bakar menugaskan antara lain kepada : Usamah bin Zaid, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sofyan untuk memerangi golongan tersebut.
Setelah berbagai macam gejolak dan kekacauan dapat ditangani secara tuntas, maka Abu Bakar selalu berusaha untuk melakukan berbagai langkah demi kemajuan umat Islam.
F. Kemajuan-kemajuan yang dicapai Abu Bakar
Kemajuan yang telah dicapai pada masa pemerintahan Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun, antara lain:
1. Perbaikan sosial (masyarakat)
2. Perluasan dan pengembangan wilayah Islam
3. Pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an
4. Sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam
5. Meningkatkan kesejahteraan umat.
Perbaikan sosial yang dilakukan Abu Bakar ialah usaha untuk menciptakan stabilitas wilayah Islam dengan berhasilnya mengamankan tanah Arab dari para penyeleweng (orang-orang murtad, nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat).
Adapun usaha yang ditempuh untuk perluasan dan pengembangan wilayah Islam Abu Bakar melakukan perluasan wilayah ke luar Jazirah Arab.
Daerah yang dituju adalah Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua daerah itu menurut Abu Bakar harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan ke Suriah dipimpin tiga panglima yaitu : Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan dan Surahbil bin Hasanah.
Sedangkan usaha yang ditempuh untuk pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an adalah atas usul dari sahabat Umar bin Khattab yang merasa khawatir kehilangan Al Qur'an setelah para sahabat yang hafal Al Qur'an banyak yang gugur dalam peperangan, terutama waktu memerangi para nabi palsu.
Alasan lain karena ayat-ayat Al Qur'an banyak berserakan ada yang ditulis pada daun, kulit kayu, tulang dan sebagainya. Hal ini dikhawatirkan mudah rusak dan hilang.[10]
Atas usul Umar bin Khattab tersebut pada awalnya Abu Bakar agak berat melaksanakan tugas tersebut, karena belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad SAW. Namun karena alasan Umar yang rasional yaitu banyaknya sahabat penghafal Al Qur'an yang gugur di medan pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya, akhirnya Abu Bakar menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan kepada Zaid bin Sabit, penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW, untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.
Kemajuan yang diemban sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam, Abu Bakar senantiasa meneladani perilaku rasulullah SAW. Bahwa prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW selalu dipraktekkannya. Ia sangat memperhatikan keadaan rakyatnya dan tidak segan-segan membantu mereka yang kesulitan. Terhadap sesama sahabat juga sangat besar perhatiannya.
Sahabat yang telah menduduki jabatan pada masa Nabi Muhammad SAW tetap dibiarkan pada jabatannya, sedangkan sahabat lain yang belum mendapatkan jabatan dalam pemerintahan juga diangkat berdasarkan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki..
Sedangkan kemajuan yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan umum, Abu Bakar membentuk lembaga "Baitul Mal", semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi SAW yang digelari "amin al-ummah" (kepercayaan umat). Selain itu didirikan pula lembaga peradilan yang ketuanya dipercayakan kepada Umar bin Khattab .[11]
Kebijaksanaan lain yang ditempuh Abu Bakar membagi sama rata hasil rampasan perang (ghanimah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.
Persoalan besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon khalifah yang akan menggantikannya. Dengan demikian ia telah mempersempit peluang bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan khalifah. Dalam menetapkan calon penggantinya Abu Bakar tidak memilih anak atau kerabatnya yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sahabat Umar bin Khattab. Pilihan tersebut tidak diputuskannya sendiri, tetapi dimusyawarahkannya terlebih dahulu dengan sahabat-sahabat besar. Setelah disepakati , barulah ia mengumumkan calon khalifah itu.[12]
Abu Bakar dengan masa pemerintahannya yang amat singkat ( kurang lebih dua tahun ) telah berhasil mengatasi tantangan-tantangan dalam negeri Madinah yang baru tumbuh itu, dan juga menyiapkan jalan bagi perkembangan dan perluasan Islam di Semenanjung Arabia.
H. Kesimpulan
Pemerintahan Abu Bakar punya jati diri sendiri serta pembentukannya yang sempurna, mencakup kebesaran jiwa yang sungguh luar biasa, bahkan sangat menakjubkan. Kita sudah melihat betapa tingginya kesadaran Abu Bakar terhadap prinsip-prinsip yang berpedoman pada Al-Qur'an sehingga ia dapat memastikan untuk menanamkan pada dirinya batas antara kebenaran untuk kebenaran dengan kebohongan untuk kebenaran.
Prinsip-prinsip dalam Islam, dilukiskan Abu Bakar dengan mendorong kaum Muslimin memerangi orang-orang yang ingin menghancurkan Islam seperti halnya orang-orang murtad, orang-orang yang enggan membayar zakat, dan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi. Oleh karena itu Abu Bakar melaksanakan perang Riddah untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran.
Perjuangan Abu Bakar tidak hanya sampai di situ, ia juga melakukan berbagai peperangan demi kemajuan Islam. Bahkan ia tidak hanya mengorbankan jiwanya, hartanyapun ia korbankan demi Islam. Sampai pada akhir menjelang wafatnya pun peperangan belum terselesaikan, akan tetapi ia sempat memilih Umar bin Khatab sebagai penggantinya dengan meminta persetujuan dari kalangan para sahabat.
G. Penutup
Demikianlah makalah yang saya susun dengan menganalisa dari berbagai sumber kepustakaan yang sudah saya pelajari. Saya sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Hal ini dikarenakan minimnya buku referensi yang saya pelajari, serta keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna perbaikan dalam penyusunan berikutnya.
Akhirnya tiada gading yang tak retak, seperti halnya saya tiada manusia tanpa salah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya pribadi khususnya dan bagi khalayak pada umumnya.




DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Haekal, Muhammad Husein, Biografi Abu Bakar As Siddiq, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1995.
Umam, Chatibul, H, Prof. DR., Sejarah Kebudayaan Islam, Kudus: Menara Kudus.2003.
Syalabi, A, Prof. Dr. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1990.
Fachrudin, Fuad Mohd. Dr., Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Yatim, Badri, Dr. M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Abiyan, Amir, Drs., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Departemen Agama RI 1990.



[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, (Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 1997), 37
[2] Muhammad Husain Haekal, Biografi Abu Bakar As Siddiq, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1995), 3
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I..........., 38
[4] H. Chatibul Umam, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, (Kudus: Menara Kudus, 2003), 140
[5] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1990), 226
[6] Mohd Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 77
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I..........., 39
[8] Badri Yatim. M. A.. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 3
[9] Ibid.., 36
[10] Amir Abiyan dkk, Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1990), 10
[11] Ibid.., 40
[12] Ibid.

4/10/17

POLA PENDIDIKAN ISLAM PADA PERIODE DINASTI BANI ABBASIYAH

Oleh : Ahmad Fathullah



A.      PENDAHULUAN
Daulah Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam yang berkuasa di Baghdad. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah Bani Umaiyah yang berhasil merebut dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul Muththalib (566-652 M).
Secara kronologis nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari al-Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan pertalian keluarga antara bani Abbas dengan Nabi. Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah merekalah yang merupakan penerus dan penyambung keluarga Rasul.1
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah Daulah Umaiyah (717-720), Umar memimpin dengan adil dan membuat peraturan yaitu dengan memberi kesempatan kepada gerakanAbbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di Humayun yang dipimpin oleh Ali bin Abdullah bin Abbas yang selanjunya digantikan oleh anaknya Muhammad bin Ali al-Abbas dan kemudian memperluas gerakannya.
Setelah Muhammad bin Ali wafat kemudian digantikan oleh anaknya Ibrahim al-Imam yang kemudian memilih panglima perang yaitu Abu Muslim al-Khurasani yang berhasil merebut Khurasan dan menyusul berbagai kemenangan, akan tetapi pada awal 132 H/749 M Ibrahim al-Imam ditangkap oleh Pemerintah Daulah Umaiyah dan dipenjara sampai meninggal. Kemudian digantikan oleh saudaranya Abu Abbas dan tidak lama stelah itu pasukan Umaiyah dan Abbasiyah bertempur.
Dalam pertempuran tersebut Abu Abbas dan bala tentaranya mendapat kemenangan. Dan pada tahun 132 H/750 M dijadikan tahun awal berdirinya Daulah Abbasiyah dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Saffah.
Ada sejumlah alasan mengapa gerakan yang dilakukan oleh keturunan Abbas ini berhasil dan mendapat dukungan masa. Yaitu karena banyak kelompok umat yang tidak mendukung kekuasaan Bani Umaiyah yang menurut mereka memihak pada sebagian kelompok. Kelompok Syi’ah pada awal berdirinya daulah Umaiyah telah memberontak karena mereka merasa hak kekuasaannya dirampok oleh Muawiyah. Kelompok Khwarij juga merasa bahwa para khalifah Bani Umaiyah menjalankan kekuasaan secara sekuler, kelompok lain yang juga membenci Daulah Umaiyah adalah Mawali yaitu orang-orang non Arab yang baru masuk Islam, mereka merasa tidak diperlakukan setara dengan orang-orang Arab karena mendapat beban pajak yang tinggi. Kelompok-kelompok inilah yang mendukung Abbasiyah untuk menggulingkan kekuasan Bani Umaiyah.[2]
Dinasti Abbasiyah secara turun temurun sekitar tiga puluh tujuh khalifah pernah berkuasa, pada masa ini Islam mencapai puncak kejayaan dalam segala bidang. Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti terpanjang dibanding dengan dinasti-dinasti dalam Islam lainnya yaitu berkisar antara 750-1258 M sekitar kurang lebih lima ratus tahun.
           Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
           Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun ar-Rashid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun ar-Rashid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.[3]
           Al-Ma'mun, pengganti Harun ar-Rashid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli, Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan BaitulHikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
           Para ilmuan pada masa Daulah Abbasiyah melakukan kajian-kajian keilmuan dengan cara menerjemahksan kitab-kitab dari Yunani dan mempelajarinya. Dengan cara seperti itulah ilmu pengetahuan pada masa itu dapat berkembang pesat.
           Permulaan lahirnya ilmu pengetahuan sebenarnya telah lahir pada masa-masa sebelum dinasti Abbasiyah yang lebih tepatnya pada masa Yunani kuno, akan tetapi keilmuan-keilmuan ini berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah. Jika disusur sebenarnya ilmu telah ada pada permulaan manusia atau labih tepatnya pada zaman manusia purba. Pada masa ini manusia telah mnemukan Besi, tembaga, dan perak untuk berbagai peralatan. Baru setelah itu muncul keilmuan di Yunani.[4]
    

B.       PERKEMBANGAN DAULAH ABBASIYAH
1.      Kemunduran Daulah Umayyah
           Perpecahan antar suku, etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang menganggu stabilitas negara. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun-temurun menimbulkan gangguan yang serius di tingkat negara. Mu’awiyah mengantisipasi masalah itu dengan menunjuk putranya sebagai pengganti dirinya, tetapi prinsip kesukuan Arab klasik dalam persoalan kepemimpinan menjadi ganjalan besar yang menghalangi ambisi seorang ayah yang ingin memberi kadaulatan kepada anaknya. Selain perpecahan antar suku dan konflik di antara anggota kerajaan, faktor lain yang menjadi sebab utama jatuhnya kekhalifahan Umaiyah adalah munculnya berbagai kelompok yang memberontak dan merongrong kekuasaan mereka. Kelompok Syiah yang tidak pernah menyetujui pemerintahan Dinasti Umaiyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Husain, yang semakin aktif dibanding masa-masa sebelumnya. pengabdian dan ketaatan mereka yang tulus terhadap keturunan Nabi berhasil menarik simpati public.[5]
          
2.      Berdirinya Daulah Abbasiyah
           Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya. Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:[6]
1.       Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.      Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama 1
3.      Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.      Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.      Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Tonggak berdirinya dinasti Bani Abbas, berawal sejak merapuhnya sistem internal dan performance penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan dinasti Umayah di Damaskus, maka upaya untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan bani Abbasiyah. Propaganda revolusi Abbasiyah ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan Syi’ah, karena bernuansa keagamaan, dan berjanji akan menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh khulafaurrasyidin.[7]
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al- Abbas.[8]
Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.[9]
Kekuasaan Bani Abbasiyah berlangsung selama lima abad sejak tahun 750 – 1258 M,[10] melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah. Al-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga - setelah khulafa al-Rasyidun dan dinasti Umayyah - yang sangat besar dan berusia lama.[11]
Setelah meruntuhkan dinasti Umayyah dengan cara membunuh Marwan sebagai khalifahnya, pada tahun 750 M, Abu al-‘Abbas mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama dinasti Abbasiyah. Ketika Abbas menjabat khalifah, dia diberi gelar al-Saffah yang berarti penumpah atau peminum darah. Sebutan tersebut diberikan karena dia mengeluarkan dekrit kepada gubernurnya yang berisi perintah untuk membunuh tokoh-tokoh Umayyah. Bukan hanya itu saja, al-Saffah juga melakukan perbuatan keji dengan menggali kuburan para khalifah bani Umayyah (kecuali Umar II), dan tulang-tulangnya dibakar. Berdirilah sebuah dinasti menuju kekuasaan yang bersifat internasional, dengan assimilasi corak pemikiran dan peradaban Persi, Romawi Timur, Mesir dan sabagainya.
           Sebelum wafat, al-Saffah mengangkat saudaranya Abu Ja’far dengan gelar al-Mansur (754-775)[12] (artinya sultan Tuhan di atas bumi-Nya). Ialah khalifah terbesar dinasti Abbasiyah, meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya yang membangun dinasti, tiga puluh lima orang khalifah berasal dari keturunannya. Madinah as-Salam, nama resmi kota al-Mansur. Al-Mudawwarah (kota lingkaran), gerbang emas; kubah biru ‘al-qubbah al-khadhra’. Al-Mansur berbadan tinggi, berkulit gelap dan berjanggut tipis, gigih dan tegas. Berbagai kebijakannya dijadikan acuan bagi para penerusnya, sebagaimana kebijakan muawiyyah menjadi acuan bagi khalifah-khalifah Umayyah.
           Masa kekuasaan ini berhasil mencapai kejayaan dan kemegahan yang tidak ada tandingannya pada abad pertengahan, kecuali mungkin oleh Konstantinopel. Menjadi pewaris kekuatan dan prestise kota Ctesiphon, Babilonia, Nineceh, Ur, dan Ibukota-ibukota bangsa Timur Kuno.[13]
           Menjadi ibu Kota kerajaan Orang Irak yang baru, di bawah raja Arab, Fayshal. Membuka jalan bagi tumbuhnya gagasan dan pemikiran dari timur, khalifah meniru model Chosroisme Sasaniyah. Islam Arab jatuh dalam pengaruh Persia; cenderung melestarikan  sistem despotisme Iran dibanding sistem kesukuan Arab. Secara bertahap, gelar, anggur, istri, pembantu, lagu, gagasan, dan pemikiran persia mendominasi kehidupan masyarakat.
           Pada kenyataannya diakui atau tidak, pengaruh Persia memperhalus sisi-sisi kasar kehidupan primitif Arab dan melapangkan jalan bagi era baru yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kepelajaran. Orang Arab hanya berhasil mempertahankan dua warisan budaya aslinya: (1) Islam mejadi agama negara; (2) Bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi negara.
           Al Mansur wafat 7 Oktober 775, dekat Mekah dalam perjalan ibadah haji, di usia 60 tahun. Seratus liang kubur digali di dekat kota suci, dan dimakamkan di sebuah tempat yang tidak bisa dilacak dan digali kembali oleh musuh. al-Mansur mewariskan tahtanya kepada anaknya yang bernama al-Mahdi.  Pada masa kekhalifahan al-Mahdi,[14] perekonomian mulai membaik. Pertanian ditingkatkan dengan mengadakan irigasi, sehingga hasil gandum, beras, kurma dan minyak zaitun bertambah. Begitu pula dengan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, besi dan lainnya juga bertambah. Dagang transit antara Timur dan Barat membawa kekayaan. Basrah dijadikan pelabuhan yang cukup penting saat itu. Ialah Khalifah pertama mengumandangkan perang suci melawan bizantium, dipimpin anaknya Harun dan sukses. Selama ekspedisi inilah, ayahnya memberi gelar al-Rasyid ‘pengikut jalan yang lurus’. Kekhalifahan al-Mahdi digantikan oleh al-Hadi atas dasar wasiat ayah al-Mahdi. Namun kekhalifahan tersebut hanya berjalan satu tahun,[15] dan kemudian ia digantikan oleh Harun al-Rasyid.
           Pada masa kepemimpinan Harun al-Rasyid,[16] masyarakat hidup cukup mewah, seperti yang digambarkan dalam hikayat “Seribu Satu Malam”.
           Kekayaan yang banyak dipergunakan khalifah untuk kepentingan sosial. Rumah sakit didirikan, pendidikan dokter diutamakan dan farmasi di bangun. Pada saat itu, Bagdad telah mempunyai 800 dokter. Selain itu, Harun al-Rasyid juga mendirikan pemandian-pemandian umum, sehingga dirinya cukup terkenal pada zamannya. Lembaran sejarah abad ke-9, dua nama raja yang menguasai percaturan dunia: Charlemagne di Barat dan Harun al-Rasyid di Timur.[17]
           Titik tertinggi yang pernah dicapai oleh pasukan dinasti Abbasiyah dengan menguasai Raqqah tepi sungai efrat, Asia Kecil, dan Heraclea dan Tyna pada 806.[18] Pada masa ini, meskipun usianya kurang dari setengah abad, Baghdad pada saat itu muncul menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional yang luar biasa. Serangan ke tanah Romawi terutama pada masa Harun menjadi jalan masuk manuskrip Yunani. Terutama dari Amorium dan Ankara.
           Baghdad menjadi saingan satu-satunya bizantium. Kejayaannya berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan. Baghdad menjadi kota yang tiada bandingnya di seluruh dunia. Masuknya berbagai pengaruh asing, sebagian indoPersia dan Suriah,[19] dan yang paling penting adalah pengaruh Yunani. Gerakan intelektual itu ditandai dengan proyek penerjemahan karya-kara berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu pengetahuan, filsafat,  atau sastra yang tidak terlalu banyak, orang Arab memiliki keingintahuan yang tinggi dan minat belajar yang besar, segera menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua dan berbudaya yang mereka taklukkan, atau yang mereka temui.
           Selama kekuasaan mereka tersebut, peradaban Islam sangat berkembang. Jika pada masa Bani Umayyah lebih dikenal dengan upaya ekspansinya, maka pada masa Bani Abbasiyah yang lebih dikenal adalah berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti Umayyah terdiri atas orang-orang ‘Arab Oriented’, dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional, assimilasi corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya.
           Begitulah bani Abbasiyah membawa peradaban Islam pada puncak kejayaannya, dan terutama pada perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat maju. Pada masa inilah buat pertama kalinya dalam sejarah terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.[20]
           Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Diktum dari Tsalabi: ‘ al-Mansur sang pembuka, al-Ma’mun sang penengah, dan al-Mu’tadhid sang Penutup’ mendekati kebenaran, Setelah al-Watsiq pemerintahan mulai menurun hingga alMu’tashim khalifah ke 37, jatuh dan mengalami kehancuran di tangan orang Mongol 1258 M.
          


3.      Menuju Kebangkitan Pendidikan Masa Bani Abbasiyah
           Gerakan Kebangkitan intelektual ditandai oleh proyek penerjemahan karyakarya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan terutama yang berbahsa Yunani ke bahasa Arab,[21] pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan yaitu Bait al-Hikmah, dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan  sebagai buah dari kebebasan berpikir.[22]
           Ada beberapa upaya yang dilaksanakan terkait dengan kemajuan dan perkembangan peradaban Islam. Peradaban-peradaban tersebut pada dasarnya merupakan akulturasi dari peradaban Islam dengan peradaban lainnya, terutama  Persia atau Yunani, di antaranya:
1.      Gerakan Penerjemah
Pada abad ke-9 M, dilakukan  penerjemahan besar-besaran buku, dalam penerjemahannya ikut berperan serta orang-orang Yahudi dan Kristen di samping orang-orang Islam sendiri.[23]
     Mereka menerjemahkan manuskrip – manuskrip terutama yang berbahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Para Ilmuan diutus untuk ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Sedangkan untuk perburuan manuskrip di daerah Timur seperti Persia, adalah pada bidang tata negara dan sastra. Sebelum diterjemahkan kedalam bahasa Arab, naskah yang berbahasa Yunani diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Syiria. Hal ini disebabkan karena para penerjemah adalah para pendeta Kristen Syiria yang memahami bahasa Yunani.[24]
     Pelopor gerakan penerjemahan adalah khalifah al-Mansur, dengan mempekerjakan orang-orang Persia untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia, di antaranya: Buku tentang ketatanegaraan (Kalila wa Dimna dan Shindind). Sedangkan manuskrip yang berbahasa Yunani, seperti Logika karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachu dari Gerasa, Geometri karya Euclid.[25]
     Pada masa Harun al-Rasyid, dikenal Yuhanna Yahya ibn Masawayh (w.857) yang menerjemahkan beberapa manuskrip tentang kedokteran yang dibawa oleh khalifah dari Ankara dan Amorium. Pada masa Makmun dikenal Hunayn ibn Ishaq. (Joannitius, 809-873) ia dijuluki “ketua para penerjemah” (sebutan orang Arab), seorang sarjana terbesar dan figur terhormat. Makmun mengangkatnya menjadi pengawas perpustakaan akademinya. Dan bertugas menerjemahkan karya-karya ilmiah, dibantu oleh anaknya Ishaq, dan keponakannya Hubaisy ib al-Hasan yang telah ia latih.[26]
     Kegiatan penerjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad,  babak penerjemahan itu dalam rentang ±750-850. Di antara cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan ialah Ilmu Kedokteran, Matematika, Optika, Geografi, Fisika, Astronomi, dan Sejarah di samping Filsafat.[27]

2.      Aktivitas Kreatif Karya-karya Orisinil
     Babak berikutnya setelah adanya era penerjemahan yang berkembang pada dinasti Abbasiyah adalah babak aktivitas kreatif penulisan karya-karya orisinil. Penulisan karya-karya tersebut melahirkan beberapa tokoh utama yang yang menekuni bidang masing-masing
     Pada bidang kedokteran beberapa tokoh yang muncul seperti Ali ibn Sahl Rabban al-Thabari, pertengahan abad ke sembilan; Abu Bakr Muh ibn Zakariyya al-Razi (Rhazes, 865-925); Ali ibn al Abbas (w.994); Ibn Sina, 980-1037.[28]
     Dalam perkembangan filsafat Islam, peneliti muslim memahami bahwa falsafah merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia. Filsafat dan kedokteran Yunani senyatanya ilmu yang dimiliki orang Barat, dan orang Arab percaya bahwa Alquran dan Teologi adalah rangkuman hukum dan pengalaman Agama. Karenanya, kontribusi filsafat dan agama di satu sisi dan di antara filsafat dan kedokteran di sisi lain menjadi tren keilmuan saat itu.
     Para penulis Arab akhirnya menerapkan kata: falasifah atau hukam (filosof atau sufi) terhadap para filosof yang pemikiran spekulatifnya tidak dibatasi agama; dan Mutakallimun atau ahl al-kalam (ahli bicara, ahli dialektika) pada orang-orang yang memosisikan sistem pemikirannya di bawah ajaran agama samawi. Ahli membuat proposisi. Seiring perkembangannya, kalam berubah maknanya menjadi teologi, dan mutakallimin akhirnya bersinonim dengan teolog, upaya harmonisasi filsafat Yunani dengan Islam dilakukan oleh namanama besar dalam bidang filsafat yaitu al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina. Al-Kindi, sistem pemikirannya beraliran ekletisisme,[29] menggunakan pola neo-Platonis untuk menggabungkan pemikran Plato dan Aristoteles serta menjadikan matematika neo-Phytagorean sebagai landasan semua ilmu.
     Al-Farabi, sistem filsafatnya merupakan campuran antara Platonisme, Aristotelianisme, dan Mistisisme. Sedangkan Ibn Sina mengadopsi pemikiran alFarabi, namun ia seorang pemikir yang sanggup menyatukan berbagai kebijaksanaan Yunani dengan pemikirannya sendiri, terutama pemikiran Philo yang dapat ia selarakan dengan ajaran Islam.
     Fenomena lain yang perlu dikemukakan di sini yang turut mewarnai pergerakan filsafat dalam Islam adalah munculnya satu kelompok persaudaraan sufi, sekitar pertengahan abad ke 4 H. (±970M).
     Tradisi perjalanan mencari ilmu (al-rihlah fi thalab al-‘ilm) dipandang sebagai bentuk kesalehan paripurna, sama dengan jihad dalam perang suci.[30]
     Abad ke 3 Hijriah disaksikan penyusunan enam kitab hadis yang saat itu menjadi kitab hadis standar. Yang paling otoritatif adalah yang dihimpun Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (810-870) dengan shahih Bukharinya; diikuti Muslim ibn al-Hajjaj (w.875) dengan shahih muslimnya, Sunan Abu Dawud dari Bashrar (w.888), jami’ al-Tirmizi (w.±892), Sunan Ibn Majah dari Qazwin (w.886), dan Sunan al-Nasa’i (w.915)
     Begitulah perjalanan sejarah kebangkitan intelektual Islam, dimulai dari era penerjemahan berlanjut pada babak aktivitas kreatif penulisan karya-karya orisinil mengantarkan peradaban Islam menjadi perdaban terhormat di abad pertengahan. Era ini ditandai sebagai proyek pembangunan budaya melalui dua pendekatan atau strategi, (1) membaurkan kebijakan kuno Persia dan klasik Yunani, (2) Mengadaptasi keduanya sesuai kebutuhan khusus dan paradigma ‘pola pikir’ peneliti.
     Upaya transmisi pengetahuan tersebut masuk ke daratan Eropa melalui Suriah, Spanyol dan Sisilia, dan gerakannya mendominasi pemikiran eropa abad pertengahan yang mendobrak munculnya renaisan Eropa


3.      Membangun Bait al-Hikmah
     Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Instuisi ini merupakan kelanjutan dari instuisi yang serupa di masa imperium Sasania Persia yang bernama Jundishapur Academy. Perbedaannya, pada masa Persia institusi ini hanya menyimpan puisipuisi dan cerita-cerita untuk Raja, sedangkan pada masa Abbasiyah (Harun AlRasyid) instutusi ini diberi nama Khizanah al-Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.  Pada masa al-Makmun diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah dipergunakan untuk menyimpan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan Etiopia dan India.[31]
     Langkah-langkah yang dilakukan khalifah al-Makmun membentuk lembaga Bait al-Hikmah pada tahun 832 M. bertujuan untuk mendorong atau untuk memasukkan hal-hal yang positif dari kebudayaan Yunani ke dalam pengetahuan khususnya wilayah filsafat Islam.[32]
     Setelah adanya upaya penerjemahan dan pembentukan kajian keilmuan melaui pendirian Bait al-Hikmah, kaum muslim telah mengalami perkembangan yaitu mulai bergaul dengan orang luar Islam. Deskripsi institusi Bait al-Hikmah dapat diurai sebagai berikut:
     Pertama, nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Hal ini melingkupi dalam aktivitas penyelenggaraan Bait al-Hikmah, baik kepada para sarjana muslim maupun non muslim. Penghargaan yang diberikan al-Makmun (sang khalifah) kepada mereka adalah dengan membayar mahal kepada para penerjemah dengan emas setara bobot buku yang mereka terjemahkan.[33] Interaksi positif antara orang Arab muslim dengan kalangan bukan muslim melebur dalam suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan.[34]
     Kedua, perbedaan etnik kultural dan agama bukan halangan dalam melakukan penerjemahan. Para penerjemah tersebut antara lain; (1) Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht, berkebangsaan Persia; (2) Alan al-Syu’ubi, berkebangsaan Persia; (3) Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh (w.857),[35] berkebangsaan Syiria; (4) Hunayn ibn Ishaq, beragama Kristen Nestorian dari Hirah; (5) Qutha bin Luqa, beragama Kristen Yacobite; 6) Abu Bisr Matta ibn Yunus, beragama Kristen Nestorian (7) Ishaq bin Hunayn, beragama Kristen Nestorian; dan (8) Hubaish juga beragama Kristen.[36]
     Berkembangnya ilmu pengetahuan menjadi tonggak puncak peradaban Islam karena di antaranya institusi pendidikan Islam yang ada telah menerapkan konsep pendidikan berbasis multikultural.  Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, kesederajatan, kebebasan, keadilan, kemiskinan, keragaman, dan demokrasi, juga didukung oleh tokoh-tokoh pendidik yang memiliki visi dan misi kultural.


C.      SISTEM PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Sistem pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria materi yang diajarkan pada tempat penyelenggaraannya menurut George Makdisi terbagi menjadi dua tipe, yaitu; institusi pendidikan inklusif (terbuka) terhadap pengetahuan umum dan institusi pendidikan eksklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum.[37]
Sistem pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteia hubungan institusi pendidikan dengan negara yang berbentuk teokrasi, ada dua macam, yaitu; institusi pendidikan Islam formal dan institusi pendidikan Islam informal.[38]
Institusi pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh negara untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama dan berperan dalam agama dan menjadi pegawai pemerintahan. Biaya pendidikannya biasa disubsidi oleh Negara dan dibantu oleh orang-orang kaya melalui harta wakaf. Pengelolaan administrasi berada di tangan pemerintah.[39] Sebaliknya pendidikan informal diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat atau anggota masyarakat, dan menawarkan mata pelajaran umum termasuk filsafat. Dalam hal ini terdapat sekitar 30.000 masjid di Bagdad berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangan pendidikan pada masa bani Abbasiyah dibagi 2 tahap, yaitu: 
Tahap pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-10 M) perkembangan secara alamiah disebut Juga sebagai sistem pendidikan khas Arabia. Tahap kedua (abad ke 11) kegiatan pendidikan dan pengajaran diatur oleh pemerintah dan pada masa ini sudah dipengaruhi unsur non-Arab.[40]
Umat Islam masa Bani Abbasiyah dalam sejarahnya memperlihatkan tentang pentingnya pendidikan hal ini dapat ditelusuri dari beberapa catatan sejarah.
1.      Lembaga dan Institusi Pendidikan di Masa Bani Abbasiyah
Institusi pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa Bani Abbasiyah dapat dikategorikan sebagai berikut:
a)      Lembaga pendidikan sebelum madrasah
Pertama, Maktab/ Kuttab. Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan adalah khat, kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kuttab dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum.
Dalam ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam, pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, dan dinyatakan bahwa kuttab ini sudah ada di negeri Arab sebelum datangnya agama Islam, namun belum dikenal. Di antara penduduk Mekah yang pernah belajar adalah Sofwan bin Umayyah bin Abdul Syam.[41]
Kedua, halaqah artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini merupakan gambaran tipikal dari murid-murid yang berkumpul untuk belajar pada masi itu. Guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai, yang melingkari gurunya.
Ketiga, majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam mejelis, yaitu: (1) majelis al-Hadis; (2) majelis alTadris; (3) majelis al-Munazharah; (4) majelis al-Muzakarah; (5) majelis alSyu’ara; (6) majelis al-Adab; dan (7) majel al-Fatwa.[42] Tidak banyak penjelasan tentang deskripsi macam-macam mejelis tersebut.
Keempat, masjid merupakan institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa nabi. Masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu.
Kelima, Khan. Berfungsi sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama antara lain fikih.
Keenam, ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauh dari kehidupan duniawi untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata-mata. Ribath biasanya dihuni oleh orang-orang miskin.
Ketujuh, rumah-rumah ulama, digunakan untuk melakukan transmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. Ulama yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi pendidikan formal akan mengajar di rumah-rumah mereka.
Kedelapan, toko buku dan perpustakaan, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan Islam. Di Baghdad terdapat 100 toko buku. Kesembilan, observatorium dan rumah sakit sebagai tempat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dan transmisi ilmu kedokteran. 
Berdasarkan penelusuran institusi pendidikan Islam tersebut, terlihat perhatian yang signifikan bagi transmisi pengetahuan.
b)     Madrasah
Madrasah sudah eksis semenjak awal masa kekuasaan Islam bani Abbasiyah seperti Bait al-Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Makmun.[43] Institusi yang mengukir sejarah baru dalam peradaban Islam dengan konsep multikultural dalam pendidikan, karena subjek toleransi, perbedaan etnik kultural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal biasa.
Di catatan lain, al-Makrizi berasumsi bahwa madrasah pertama adalah madrasah Nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.[44]  Madrasah selalu dikaitkan dengan nama Nidzam Al-Mulk (W. 485 H/1092 M), salah seorang wazir dinasti Saljuk sejak 456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya membangun madrasah Nizhamiyah di berbagai kota utama daerah kekuasaan Saljuk.
Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain.
Kendati madrasah Nizhamiyah mampu melestarikan tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran Islam dalam versi tertentu. Tetapi keterkaitan dengan standarisasi dan pelestarian ajaran kurang mampu menunjang pengembangan ilmu dan penelitian yang inovatif.
Madrasah di Mekah dan Madinah.  Informasi tentang madrasah mendapat dukungan banyak dari berbagai literatur. Namun sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di Mekah dan Madinah. Hal ini mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut kurang lengkap.
Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di Mekah lebih banyak dibandingkan di Madinah. Di antara madrasah Abu Hanifah, Maliki, madrasah ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi’it bey, didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir.
Secara hierarkis, Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
a.       Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Alquran dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran Islam, menulis, kisah orangorang besar Islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[45]
b.      Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Alquran, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga musik.
c.       Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:[46]
1.      Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Alquran, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
2.      Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, Ilmu Alam dan Kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, Ilmu Ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), Ilmu Hewan, dan juga Kedokteran.

2.      Tujuan Pendidikan masa bani Abbasiyah
Tujuan pendidikan adalah sasaran yang akan dicapai dalam sebuah usaha pendidikan, konsep tujuan pendidikan yang paling sederhana adalah perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses  pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupannya yang meliputi aspek individu, sosial dan profesionalisme.[47]
Jadi tujuan pendidikan Islam ditujukan agar manusia dapat mengenali, mengakui dan melaksanakan secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam sistem penciptaan. 
Tujuan pendidikan pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah tidaklah terlepas dari tujuan pendidikan Islam secara umum, yaitu yang menjadi hakikat tujuan pendidikan Islam, namun pada tingkat turunannya, tujuan pendidikan di tingkat nasional dan institusional dapat dideskipsikan sebagaimana yang ada dalam realitas masa itu dan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)      Tujuan keagamaan dan akhlak
Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal Alquran, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b)      Tujuan kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c)      Cinta akan ilmu pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri Islam untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d)      Tujuan kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.[48]
Secara khusus, madrasah Nizhamiyah memiliki tugas pokok tersendiri yaitu yang sejalan dengan satu atau lebih dari mazhab ahlisunah, dan juga menjadi tempat-tempat menarik pelajar untuk menggunakan waktu mereka sepenuhnya dalam belajar. Madrasah Nizhamiyah telah banyak memberikan pengaruh terhadap masyarakat, baik dibidang politik, ekonomi maupun bidang sosial keagamaan.
Dalam bidang ekonomi Madrasah Nizhamiyah memang dimaksudkan untuk mempersiapkan pegawai pemerintah, khususnya dilapangan hukum dan administrasi di samping sebagai lembaga untuk mengajarkan ilmu syari'ah dalam rangka mengembangkan ajaran sunni.
Di antara motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah adalah pembinaan dan penyebaran paham sunni Asy'ary guna menghadapi paham syi'ah yang beberapa ajarannya cenderung ke Mu'tazilah. Maka ilmu kalam, terutama Asy'arisme di ajarkan secara khusus dan intensif. Bagaimanapun harus diakui bahwa beberapa pengajar pada madrasah ini juga dikenal ahli dalam ilmu kalam, bahkan penganut asy'arisme, umpamanya Imam Al-Harmain Abdul Ma'ali Yusuf AlJuwaini (w 1084M/478H) dan Abdul Hamid Al-Ghazali (w 1111 M/505H).
Adapun tujuan Pokok Nizam Al-Mulk mendirikan madrasah ini adalah:
1)      Mengkader calon-calon ulama yang menyebarkan pemikiran sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran syi'ah
2)      Menyediakan guru-guru sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab sunni dan menyebarkannya ke tempat-tempat lain.
3)      Membentuk kelompok pekerja sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya khususnya di bidang peradilan dan manajemen.

3.      Pendidik pada masa Bani Abbasiyah
Karakter pendidik yang tergambar pada pendidikan ideal yang diinginkan bangsawan Arab bisa kita lihat dari perintah al-Rasyid kepada guru pribadi anaknya, al-Amin:
“Jangan bersikap terlampau keras hingga membahayakan pikiran dan tubuhnya, dan jangan terlalu lemah hingga ia bermalas-malasan dan akhirnya tenggelam dalam kemalasan. Bimbinglah sesuai dengan kemampuanmu dengan cara-cara yang baik dan lembut, tetapi jangan ragu untuk bersikap keras dan tegas ketika ia tidak memperhatikan atau mengabaikanmu.”[49]
Anak-anak orang kaya memiliki guru privat atau tutor yang datang langsung ke rumah, mengajarkan materi keagamaan, karya sastra yang bagus dan sopan, serta kecakapan menulis syair.
Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim tergantung atas dua faktor, yaitu:
a.       Tempat dimana dia mengajar, di Persia, penghormatan kepada guru merupakan suatu tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan ke dalam periode Islam.
b.      Tingkatan dimana ia belajar. (latar belakang pendidikannya). Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi.[50]
Guru di sekolah dasar disebut muallim, kadang juga faqih, yang secara khusus mengajarkan teologi, biasanya mendapat status sosial yang lebih rendah,[51] kurang dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat pendidikan tampaknya sudah tidak menjadi daya tarik. Sedangkan guru di sekolah yang lebih tinggi mendapatkan kedudukan dan penghormatan yang lebih baik. Memiliki organisasi tertentu dan seorang guru akan memberikan ijazah pada murid yang sukses menempuh pendidikan di bawah bimbingannya. Para guru biasanya terhimpun dalam sebuah oraganisasi,[52]  keberadaannya mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan khalifah, karena ia dengan organisasinya mempunyai power yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di masjid.
Untuk sebuah lembaga pendidikan tinggi, seperti Nizhamiyah, sebagaimana dikisahkan ibn al-Atsir tentang seorang dosen yang telah menerima surat kontrak namun belum bisa mengajar karena belum ada persetujuan dari khalifah. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa seseorang bisa menjadi dosen di PT melalui kontrak yang telah disepakati.
Lebih lanjut tentang pengangkatan dan seleksi guru seperti yang ditemukan di madrasah Nizhamiyah dilakukan dengan sangat selektif. Ulama-ulama terkemuka pada waktu itu dan guru-guru besar yang masyhur dan mempunyai kompetensi di bidangnyalah yang dipilih untuk mengajar.[53] Karena bertempat di lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan pendidikan tingkat tinggi pula.
Guru-guru yang memberikan pelajaran di Madrasah Nizhamiyah antara lain seperti Abu Ishak al-Syirazi (w. 476 H= 1083 M); Abu Nashr al-Shabbagh (w.477 H=1084 M); Abu Qasim al-A'lawi (w.482 H=1089 M); Abu Abdulah alThabari (w.495 H=1101 M); Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H=1111 M).

4.      Peserta Didik di masa bani Abbasiyah
Al-Zarnuji dalam karyanya tentang pendidikan yang menulis satu bagian khusus tentang kewajiban bagi seorang murid untuk menghormati gurunya. Ia mengutip ungkapan Ali: “Aku adalah budak dari orang yang mengajariku, mesti hanya satu huruf”.[54]
Di tingkat dasar, murid-murid terbaik di sekolah akan mendapat kehormatan untuk mengikuti parade, menaiki seekor unta, menyusuri jalan di kota. Di antaranya ketika ada murid yang mampu menghafal seluruh ayat Alquran.
Anak perempuan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki. Kebanyakan masyarakat termasuk penguasa tidak memiliki keinginan untuk membimbing anak perempuan agar bisa menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi. Alasan utamanya, bisa jadi, karena menganggap dunia pendidikan bukan kebutuhan utama yang diperlukan perempuan.[55]
Gambaran peserta didik dapat dilihat dari segi aktivitas sehari-hari mereka dalam proses mendapatkan ilmu, performance peserta didik masa bani Abbasiyah tersebut antara lain:
1.      Aktivitas belajar langsung dari syekh
2.      Aktivitas berdebat sebagai latihan intelektual
3.      Aktivitas rihlah ilmiah
4.      Aktivitas menerjemah buku dan manuskrip
5.      Aktivitas menulis buku
Begitulah gambaran sepintas tentang gambaran pelajar, sebagian mereka tinggal di asrama yang disediakan sekolah dan tidak sedikit yang mendapatkan beasiswa.

5.       Kurikulum dan Materi Pendidikan di masa bani Abbasiyah
Kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu: pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal AlQuran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.
Institusi Kuttab sebagai pendidikan tingkat dasar dengan kurikulum utamanya adalah al-Quran, keterampilan baca tulis,[56] tata bahasa Arab, kisah – kisah para nabi khusunya hadis-hadis nabi Muhammad, dasar-dasar Aritmatika, dan puisi.
Berikut sebuah riwayat yang bisa memberikan gambaran tentang kurikulum pendidikan pada tingkat dasar pada saat itu. Al Mufadhal bin Yazid menceritakan bahwa pada suatu hari ia berjumpa seorang anak-anak laki dari seorang Baduwi. Karena merasa tertarik dengan anak itu, kemudian ia bertanya pada ibunya. Ibunya berkata kepada Yazid: “…apabila ia sudah berusia lima tahun saya akan menyerahkannya kepada seorang muaddib (guru), yang akan mengajarkannya menghapal dan membaca Alquran lalu dia akan mengajarkannya syair. Dan apabila dia sudah dewasa, saya akan menyuruh orang mengajarinya naik kuda dan memanggul senjata kemudian dia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orangorang yang minta pertolongan…”.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada fase ini, kurikulum dan materi perlajaran adalah dalam rangka mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.[57]
Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum Madrasah Nizhamiyah tidak diketahui dengan jelas. Namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari'ah di ajarkan disini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Dari keterangan lain disebutkan bahwa pelajaran di Madrasah Nizhamiyah berpusat pada Alquran (membaca, menghapal, dan menulis), sastra arab sejarah nabi Muhammad SAW dan berhitung dengan menitik beratkan pada mazhab syafi'i dan sistem teologi Asy'ariyah.[58]
Berdasarkan keterangan di atas, dapatlah diketahui bahwa madrasah Nizhamiyah tidak mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat duniawi , tetapi lebih terfokus pada pelajaran ilmu agama terutama ilmu fikih.

6.      Metode Pendidikan di masa bani Abbasiyah
Pada masa ini, metode pendidikan/ pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam; lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan berupa dikte ‘imla’; metode cerama ‘al-sama’; metode qiro’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca. dapat merespons, mematahkan lawan, atau berargumen dengan pendapatnya yang baru.[59]
Metode tulisan dianggap metode paling penting, ini berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga bagi penggandaan jumlah buku teks karena belum ada mesin cetak. Di samping metode tersebut, ditemukan juga metode diskusi ‘munaqasah debat/ dialektika’.
Tongkat kecil dianggap sebagai perangkat pembelajaran penting yang mesti dimiliki seorang pendidik, dan direstui oleh khalifah untuk digunakan pada murid.[60]
Proses pembelajaran untuk pendidikan tingkat tinggi pada masa ini dapat dibidik dari proses pengajaran pada Madrasah Nizamiyah yang berjalan dengan cara para guru berdiri di depan kelas menyajikan materi-materi kuliah (ceramah/talqin), sementara para siswa mendengarkan di atas meja-meja kecil yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi (munaqasyah) antara guru dan para siswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi.
Suatu ketika ibn Jubayr menghadiri suatu perkuliahan yang disampaikan setelah zuhur oleh seorng guru besar penting. Sang guru berdiri di atas mimbar sementara para mahasiswa duduk di hadapannya sambil menyimak, menulis dan mengajukan pertanyaan secara lisan hingga waktu Ashar tiba. setiap dosen memiliki asisten yang bertugas untuk mengulangi materi perkuliahan setelah jam pelajaran usai dan menjelaskannya kepada para pelajar yang kurang tanggap memahami materi.
Di semua lembaga pendidikan tingkat tinggi teologi yang tersebar, ilmu hadis dijadikan sebagai landasan kurikulum, dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode hapalan, catatan harian dan memoranda belum membudaya, dan hapalan merupakan sumber yang dapat dipercaya, yang didominasi oleh ahli hadis dan para penyair

7.      Pembiayaan dan Sarana Pendidikan masa bani Abbasiyah
Sumber dana yang paling lazim bagi pembangunan Madrasah adalah lembaga wakaf, sebuah cara tradisional dalam Islam untuk mendukung lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat umum. Menyumbangkan materi (zakat) yang diperuntukkan bagi para mustahiq dan bagi pengembangan Islam merupakan bagian dari rukun Islam. Demikian halnya dalam pembangunan Madrasah, wazir Nizam Al-Mulk menyediakan dana wakaf untuk membiayai mudarris, imam dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama.


D.      KESIMPULAN
Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah. Banyak sekali faktor pendorong yang memicu dalam terbentuknya dinasti bani abbasiyah. Dinasti Abbasiyah tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu al-Abbas Assafah di tahun 750 M sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun 1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima abad tersebut kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah.
Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam di dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).
Pada masa Nabi, masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu.
Selama pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan pendidikan tersebut. Seperti Al-Razi, Al-Battani, Al Ya’qubi, Al Buzjani, Ibn Sina, dan masih banyak yang lainnya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain ilmu umum dan ilmu naqli.
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu tingkat sekolah rendah, Tingkat sekolah menengah, dan Tingkat perguruan tinggi. Mengenai lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah juga mengalami banyak kemajuan dalam lembaga pendidikannya seperti, toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
Pada masa Dinasti abbasiyah dalam pengajarannya, metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan. Sedangkan materi Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari).
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pendidikan ini terlihat dalam pembagian ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
1.      Kurikulum Menurut Al-Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
2.      Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam, yakni Kelompok ilmu lisan (bahasa), kelompok naqli dan kelompok aqli.
Tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut, Tukar Menukar Informasi ( Muzakarah ), Berdebat, Rihlah Ilmiah, Penerjemahan, Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan, Membangun Lembaga Pendidikan, Melakukan Penelitian Ilmiah, Menulis Buku, Memberikan Wakaf.
Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan penelitian dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya.Terjadinya kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib.








DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003)
Agussalim Sitompul, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Yunani/ Persia (Yogyakarta: 2006)
Ajid Thohir, Perkembanagan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004)
Al-Toumy Al-Syaibani, Oemar Muhammad, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Asar, Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan islam, (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)
Fauzan, dan Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2005)
Hitti, Philip K, History of The Arab, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Revisi ke 10, 2002)
-----------------, History of The Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006)
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009)
M. Arkoun, Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1997)
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003)
Muhtifah, Lailial, Sejarah Sosial Pendidikan Islam; Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan Islam Zaman al-Ma’mun (813-833 M), (Jakarta: Kencana, 2008)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Nakosteen, Mehdi,  Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti. 1996)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979)
Nata, Abuddin,  Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik Dan Pertengahan, (Rajawali Pers, 2012, cet 3)
Nizar, Samsul,(ed), Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta. Penerbit: Paramadina, 2000)
Rahim, Rahmawati, Metode, Sistem dan Materi Pendidikan Dasar (Kuttab) bagi anak-anak Masa Awal, Daulah Abbasiyah, Sejarah Sosial Pendidikan Islam; (Jakarta: Kencana, 2008)
Surajio, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2010)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
-------, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Yunus, Mamud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990)
Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk.. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Depag. 1985)



1 Ajid Thohir, Perkembanagan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), 46
[2] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam:Dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta:LESFI, 2002), 98
[3] Ibid, 99
[4] Surajio, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2010), 80
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs  (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 351
[6] Suwito, dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2005), 11
[7] Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern….., 118
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 49
[9] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), 143
[10] Ibid,
[11] Philip K. Hitti, History of the Arab, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Revisi ke 10, 2002), 358
[12] Ibid, 360
[13] Ibid, 363-365
[14] Abu Abdullah M. al-Mahdi bin al-Mansur (775-785M), putra mahkota dari al-Mansur
[15] Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 70
[16] Abu Ja’far  Harun al-Rayid (786-809)
[17] Charlemagne punya kepentingan menjadikan Harun sebagai sekutu potensial untuk menghadapi Bizantium yang tidak bersahabat, dan Harun berusaha menghadap Umayyah di Spanyol
[18] Seorang ahli geografi Arab sebagaimana dikutip Hitti memberitakan bahwa sudah menjadi kebiasaan bagai pasukan dinasti Abbasiyah untuk melakukan tiga kali serangan setiap tahun: pada musim dingin akhir Pebruari hingga awal Maret, musim semi berlangsung lebih dari 30 hari mulai 10 Mei dan pada musim panas berlangsung 60 hari dimulai pada 10 Juli. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arab………., 374
[19] Philip K. Hitti, History of the Arab., 386
[20] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979), 71
[21] Philip K. Hitti, History of the Arab… 381
[22] Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam, … 116
[23] M. Arkoun, Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1997), 74.
[24] Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam, 124
[25] Philip.K.Hitti, History Of The Arabs, 387-388
[26] Yahya ibn Masawayh muridnya Jibril Ibn Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq.
[27] Philip.K.Hitti, History Of The Arabs, 454.
[28] Tentang kelebihan masing-masing tokoh, dapat dideskirpsikan bahwa Arrazi lebih menguasai kedokteran daripada ibn Sina, Ibn Sina lebih menguasai filsafat dari Arrazi. Dalam diri seorang dokter, filosof dan penyair inilah ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi. Lihat Philip.K.Hitti, History Of The Arabs., 459.
[29] Eklektisisme adalah sikap berfilsafat dengan mengambil teori yang sudah ada dan memilah mana yang disetujui dan mana yang tidak sehingga dapat selaras dengan semua teori itu. Hal ini dilakukan agar dapat mengambil nilai yang berguna dan dapat diterima. Dari sana diciptkan sitem terpadu. Para filsuf dengan sikap semacam ini membatasi usaha berpikirnya dengan menguji hasil karya intelektuan orang lain, mengadakan penggabungan kebenaran-kebenaran tanpa usaha yang serius dalam berfilsafat. Para eklektikawan memandang upaya semacam ini adalah cara terbaik agar dapat memakai semua teori yang bernilai dan ini diterapkan dalam banyak bidang kehidupan. Misalnya dalam bidang pendidikan, sosial, politik, masyarakat dan sebagainya.
[30] Philip.K.Hitti, History Of The Arabs., 493
[31] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam…., 126.
[32] Agussalim Sitompul, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Yunani/ Persia (Yogyakarta: 2006), 9
[33] Philip.K.Hitti, History Of The Arabs…, 390
[34] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta. Penerbit: Paramadina, 2000), 222
[35] Menjadi guru Hunayn ibn Ishaq, seorang Suriah Kristen. Lihat Philip K. Hitti History Of The Arabs,388
[36] Lailial Muhtifah, Sejarah Sosial Pendidikan Islam; Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan Islam Zaman al-Ma’mun (813-833 M), (Jakarta: Kencana, 2008), 29
[37] Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), 46.
[38]  Lailial Muhtifah, Sejarah Sosial Pendidikan Islam;……………, 27
[39] Seperti yang dicanangkan oleh Nizam al-Mulk mendirikan Madrasah Nizhamiah
[40]  Mehdi Nakosteen,  Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti. 1996), 78-97
[41] Rahmawati Rahim, Metode, Sistem dan Materi Pendidikan Dasar (Kuttab) bagi anak-anak Masa Awal Daulah Abbasiyah, Sejarah Sosial Pendidikan Islam; (Jakarta: Kencana, 2008), 12
[42] Lailial Muhtifah, Sejarah Sosial Pendidikan Islam; Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan Islam Zaman al-Ma’mun (813-833 M), (Jakarta: Kencana, 2008), 28
[43] Asar, Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 109
[44] Perbedaan asumsi tersebut menurut penulis dilatarbelakangi oleh perbedaan persepsi tentang difinisi Madrasah dan karakteristik
[45] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 54
[46] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 57
[47] Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 398-399
[48] Mamud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), 46
[49] Philip K. Hitti, History of the Arabs…., 513
[50] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik Dan Pertengahan, (Rajawali Pers, 2012, cet 3), 152
[51] Ada sebuah ungkapan kondang yang menunjukkan rendahnya status guru, seperti dalam ungkapan “jangan meminta nasihat dari guru, pembimbing dan orang yang terlalu banyak bergaul dengan wanita” lihat Jahiz, Bayan, vol i, hlm 173 dalam Philip K. Hitti h. 514. Para hakim pada masa kekhalifahan al-Makmun bahkan bertindak lebih jauh dengan menolak kesaksian para guru dan menganggapnya sebagi bukti yang lemah di pengadilan; ada anekdot yang mengolok-olok guru SD. Misalnya, “kamu lebih bodoh dari guru SD!”.
[52] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), 76-77
[53] Didalam melaksanakan tugasnya seorang pengajar selalu dibantu oleh seorang pembantu, ia bukan guru tapi lebih tinggi kedudukannya dari pada pelajar biasa.   Pembantu ini berfungsi sebagai asisten guru yang diantara tugasnya adalah menjelaskan bagian-bagian yang sulit dipahami setelah guru memberikan kuliah, atau membantu para pelajar yang kurang pandai dan pada waktu tertentu dapat melaksanakan pekerjaan guru atau tugas-tugas yang biasa dilakukan guru.
[54] Philip K. Hitti, History of the Arabs…., 514
[55] Ibid, 513
[56] Ibid, 272
[57] Zuhairini, Moh. Kasiran. Dkk, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Depag, 1985), 100
[58] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidkan Islam. (Jakarta: PT Hidakarya Agung. 1990), 46
[59] Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan islam, (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 77-79
[60] Philip K. Hitti History of the Arabs………..,513

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner