11/25/18

PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar belakang
Islam datang adalah sebagai rahmatal lil “alamin ( sebagai rahmat bagi alam semesta ), dan diantara rahmat yang dibawa oleh Islam adalah mengangkat harkat dan martabat kaum hawa, yang sebelumnya sangat direndahkan dengan serendah-rendahnya. Bagaimana tidak?, kaum hawa pada saat itu hanyalah dianggap sebagai pemuas nafsu para kaum adam saja, atau sebagai pelengkap hidup, sehingga keberadaanya tidak jarang dianggap sebagai beban hidup, oleh karenanya tidak sedikit para orang tua, utamanya kaum laki – laki yang tidak menginginkan kehadiranya ditengah-tengah kehidupanya, banyak riwayat di masa sebelum datangnya Islam (masa jahiliyah) yang mengisahkan tentang seorang orang tua yang dengan keji membunuh anak kandunnya sendiri dengan menguburnya hidup-hidup, hal ini sebuah potret betapa kehadiran mereka sangat tidak diinginkan dan keberadaanya dianggap tidaklah lebih mulia dari hewan serta mendukukan harkat martabat mereka dengan serendah-rendahnya.
Kalaulah dewasa ini banyak orang mengangkat konsep tentang persamaan gender maka Islam telah tampil sejak 14 abad lalu tentang hal tersebut, bahkan Islam telah memberikan kedudukan yang sangat tinggi bagi kaum hawa, bukankah Rosululloh SAW telah bersabda ;
 الجنة تحت أقدام الأمهات (رواه أحمد والنسائي وابن ماجه والحاكم عن معاوية بن جاهمة السلمي)
Artinya : Sorga itu dibawah telapak kaki ibu. (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Hakim).
Tingginya kedudukan yang diberikan oleh Islam pada wanita adalah sangat wajar, mengingat wanita mempunyai peranan yang penting dalam menentukan baik dan tidaknya sebuah generasi bangsa, karena merekalah yang paling dekat dan paling sering berinteraksi dengan anak-anak, serta tempat pertama kali seorang anak menerima pendidikan, sehingga mereka lebih dominan dalam memberikan warna pada karakter seorang anak.
Oleh karena itu pendidikan yang baik pada seorang wanita adalah sebuah keharusan, karena ditangan merekalah baik dan tidaknya sebuah generasi bangsa.

B. Rumusan masalah
a. Apa saja konsep Islam (Al Qur’an / Hadits ) tentang pendidikan pada Perempuan?
b. Bagaimana penjelasan serta Tafsir tentang Ayat Al Qur’an dan hadits diatas dalam kaitanya dengan pendidikan perempuan ?

BAB I
PEMBAHASAN

  1. Konsep Pendidikan Perempuan dalam Islam
Islam menjunjung tinggi persamaan hak antar sesama manusia, dimata  Islam semua hamba Allah SWT adalah sama, tidak ada dikotomi ras, jenis, golongan, bangsa dan lain sebagainya, mereka semua sederajat, hanyalah taqwa yang membedakan mereka disisi Al Kholiq, hal ini ditegaskan dalam Al Qur’an, surah Al Hujurarat, 49:13 :

Artinya : ” Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kesamaan itu juga diimplementasikan dalam hal pendidikan, dalam kacamata Islam tidak ada diskriminasi antara laki – laki dan perempuan, mereka semua mendapat kewajiban dan hak yang sama dalam menuntut ilmu, bahkan kaum hawa dalam hal ini mendapatkan prioritas tersendiri dari syari’at, karena merekalah tempat pendidikan pertama sebelum pendidikan yang lain diperoleh oleh seorang anak, maka tidak salah bila dikatakan bahwa
الأم مدرسة الأولى
Artinya : ibu itu adalah sekolah yang pertama
Ada beberapa konsep yang dapat kami angkat dalam makalah ini sebagai materi pembahasan, terutama terkait dengan pendidikan bagi perempuan yang sudah barang tentu merujuk kepada konsep yang telah diajarkan oleh Rosululloh SAW.
  1. Sebuah hadits Nabi SAW yaitu ;
الجنة تحت أقدام الأمهات (رواه أحمد والنسائي وابن ماجه والحاكم عن معاوية بن جاهمة السلمي)
Artinya : Sorga itu dibawah telapak kaki ibu. (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Hakim dari Mu’awiyah bin Jahimah al salamiy).

a.      Makna Mufrodat
الجنة        : sorga
الأقدام     : telapak , bentuk jama’ dari   قدم
الأمهات               : Ibu, bentuk jama’ muannas dari  ام
Hadits diatas, tidaklah menunjukan ma’na sebenarnya atau dalam Ilmu Balaghoh disebut dengan ma’na haqiqat akan tetapi hadits itu menunjukan ma’na majaz (kiasan).
Hal itu banyak terjadi dalam ayat Al Qur’an , semisal firman Allah SWT, dalam surah Al Isra’, 17 : 72.
`Artinya :  dan Barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
Dalam ayat diatas yang dimaksud dengan Al A’ma (orang buta ) didunia adalah mereka yang buta hatinya bukan makna secara hakikat yaitu buta secara fisik. Dan masih banyak lagi ayat-ayat semisal dalam Alqur’an.
Oleh karenanya makna hadits tersebut harus dikembalikan kepada penafsiran para Mufassir / Ulama’ pakar tafsir, yaitu mereka yang mempunyai kredibilitas dan kapasitas untuk menafsiri hadits – hadits ayat –ayat Al Qur’an.
Dalam Kitab Takhrij yaitu Kasyful Khofa’ juz 1 hal 335, dijelaskan bahwa makna hadits diatas adalah sebagai berikut.
والمعنى أن التواضع للأمهات وإطاعتهن في خدمتهن وعدم مخالفتهن إلا فيما حظره الشرع سبب لدخول الجنة.
Artinya : Dan adapun makna (hadits tersebut) adalah: bahwa sesungguhnya bersikap rendah hati kepada ibu dan taat dalam berbakti padanya serta tidak durhaka padanya dalam hal-hal yang telah diperingatkan oleh syari’at adalah salah satu sebab untuk masuk kesorga.[1]

b.      Asbabul Wurud
Hadits diatas dilatar belakangi oleh sebuah riwayat, bahwa salah seorang sahabat Nabi SAW yaitu Jahimah datang kepada Nabi SAW, beliau bertanya pada Nabi Ya Rosulalloh aku ingin berperang dan aku dating memohon petunjuk kepadamu, Rosululloh SAW bertanya ” apakah engkau masih mempunyai ibu ?, Jahimah menjawab’ Ya “, Rosululloh SAW bersabda, ” tetaplah bersamanya karena sesungguhnya sorga berada dibawah kedua kakinya”.[2]

c. Tafsir Tarbawiy
            Dari Hadits diatas dapat diambil sebuah pelajaran dari kacamata tarbawiyyahnya yaitu, bahwa seorang ibu mempunyai sebuah kedudukan yang sangat tinggi dalam agama karena beberapa factor, diantaranya :
Ibu selain sebagai orang tua yang melahirkan, dia adalah seorang pendidik atau guru pertama bagi semua manusia.
Dialah yang pertama kali mengajarkan pada seorang anak untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain yang kedua hal itu adalah media utama untuk mendapatkan berbagai ilmu
Selain sebagai seorang yang paling menyayangi dan mengasihi pada anak, Ibu adalah orang yang paling banyak memberikan kontribusi dalam pembentukan jiwa dan karakter pada seorang anak.
Pendek kata ibu adalah guru pertama bagi manusia yang sudah seharusnya di hormati, selalu dikenang jasanya, dan selalu dicari ridhonya, itu sebabnya sorga berada dibawah kakinya.

d. Derajat Hadits
Hadits yang ke 1078 dari Kitab Kasyful Khofa’ ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An Nasa’I, Ibnu Majah, dan Al Hakim dari Muawiyah bin Jahimah As salamiy ra.
Menurut Imam Hakim Hadits ini adalah Shohihul Isnad atau mempunyai Jalur riwayat yang shohih. Namun dalam riwayat dari Al Khotib dalam kitab Jami’nya dan juga Al Qudho’I dalam Musnadnya terdapat Rowi yang Majhul (tidak diketahui).dan juga Al Khotib dalam kitab Al Maqoshidnya menganggap bahwa hadits ini adalah Dho’if.[3]

2. Pendidikan karakter bagi wanita
            Kebaikan dan keburukan sebuah bangsa adalah sangat tergantung pada generasinya, sedangkan baik dan buruknya sebuah generasi adalah sangat tergantung dengan baik dan buruknya seorang ibu (wanita) maka, pendidikan kejiwaan dan karakter bagi wanita agar menjadi seorang ibu yang bijaksana, cerdas dan mampu memberikan pendidikan yang baik bagi seorang anak adalah sebuah keniscayaan.
Itu sebabnya Rosululloh benar-benar berpesan dalam hal ini , melalui sebuah sabdanya :
استوصوا بالنساء خيرا ، فان المرأة خلقت من ضلع ، وإن أعوج شئ في الضلع أعلاه ، فان ذهبت تقيمه كسرته ، وإن تركته لم يزل أعوج ، فاستوصوا بالنساء خيرا (متفق عليه – عن أبي هريرة).
Artinya : berpesanlah kebaikan pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk, dan sesungguhnya yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya, jika engkau meluruskanya niscaya engkau akan memecahkanya dan jika kamu membiarkanya maka ia akan tetap bengkok, maka berpesanlah kebaikan pada wanita. (HR. Muttafaq Alaih dari Abu Huroiroh.)[4]

a. Makna Mufrodat
استوصوا :  terimalah pesan atau wasiat, carilah pesan tentangnya, dan berpesanlah
Ada tiga pendapat dari pakar tafsir Hadits tentang ma’na tersebut, dalam hadits diatas, sebagaimana dalam Kitab Hasyiyah al Sanadiy ‘ala Ibni Majah juz 4 hal 108;
  1. Terimalah pesan / wasiat, sebagaimana dalam kitab tersebut :
قِيلَ الِاسْتِيصَاء قَبُول الْوَصِيَّة أَيْ أُوصِيكُمْ بِهِنَّ خَيْرًا فَاقْبَلُوا وَصِيَّتِي فِيهِن
Dikatakan bahwa : kata ” Al Ishtisho’ ” ( maknanya ) adalah menerima wasiat yakni Aku (Rosululloh SAW ) berwasiat kebaikan padamu tentang wanita, maka terimalah wasiatku.
  1. Carilah pesan tentangnya
Sebagaimana pendapat At Thoyyibiy
وَقَالَ الطَّيِّبِي لِلطَّلَبِ أَيْ اُطْلُبُوا الْوَصِيَّة مِنْ أَنْفُسكُمْ فِي أَنْفُسهنَّ بِخَيْرٍ أَوْ يَطْلُب بَعْضكُمْ مِنْ بَعْض بِالْإِحْسَانِ فِي حَقّهنَّ وَالصَّبْر عَلَى عِوَج أَخْلَاقهنَّ بِلَا سَبَب
At Thoyyibiy berpendapat (terkait kata diatas) bermakna mencari yakni ” carilah pesan kebaikan dari dirimu tentang mereka (para wanita) atau hendaknya mencari sebagian dari kamu pada sebagian yang lain dengan kebaikan tentang hak mereka dan penyimpangan mereka tanpa sebab.
  1. Berpesanlah, seperti dalam keterangan kitab diatas.[5]
وَقِيلَ الِاسْتِيصَاء بِمَعْنَى الْإِيصَاء
Atas dasar Tafsir Mufrodat diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa makna hadits diatas adalah kurang lebih sebagai berikut ;
Terimalah Wasiat kebaikan tentang wanita dari Rosululloh SAW, atau carilah pesan kebaikan tentang wanita dari dirimu atau dari orang lain, dan atau berpesanlah kebaikan pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk, dan sesungguhnya yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya, jika engkau meluruskanya niscaya engkau akan memecahkanya dan jika kamu membiarkanya maka ia akan tetap bengkok, maka berpesanlah kebaikan pada wanita.

b. Kedudukan Hadits
Al Hafidz Al Muzziy dalam karyanya Tuhfatul Asyraf juz 9 hal 491 pada penjelasan hadits yang ke 10692. menjelaskan bahwa hadits diatas diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam bab Ar Rodho’ dalam sebuah Hadits yang sangat panjang, juga oleh An Nasa’I dalam bab Asyrotun Nisa’ al Kubro dari Ahmad bin Sulaiman dan Al Bukhori dan Muslim dalam bab Nikah dari Abi Syaibah dan keduanya dari Husain bin Ali Al Ju’fiy.
Imam At Tirmidziy mengatakan bahwa hadits diatas adalah Hasan Shohih.[6]

c. Pesan Tarbawiyyah
            Dari hadits diatas dapat ditarik sebuah pesan tarbawi, antara lain
Pentingnya pendidikan karakter , moral, budi pekerti, dan akhlak karena dengan kebaikan karakter maka seluruh aktifitas tubuh akan menjadi baik pula, sebagaimana hadits Nabi SAW.
إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح سائر الجسد
متفق عليه من حديث النعمان بن بشير
Artinya : sesungguhnya dalam tubuh itu terdapat segumpal daging bila daging itu baik maka menjadi baik seluruh tubuh.[7]
      Metodologi, tehnik dan strategi pengajaran dalam pendidikan hendaknya selain mepertimbangkan tujuan dan materi yang diajarkan juga melihat obyek yang menjadi sasaran pengajaran itu sendiri.
Ada tehnik khusus terkait pengajaran dan pendidikan pada seorang wanita yang disesuaikan dengan karakternya yang berbeda dengan karakter kaum laki-laki.
Pemberian Waktu Khusus Untuk Pendidikan Perempuan
Dalam pengajaran pada kaum hawa Rosululloh SAW, memberikan ruang dan waktu khusus sebagaimana dalam Hadits dibawah ini, hal ini dimaksudkan mereka tidak merasa malu ketika materi pembelajaran menyangkut tentang hal-hal yang sangat pribadi bagi mereka atau ketika mereka bertanya tentang masalah-masalah tersebut sehingga mereka dapat leluasa dalam menyampaikan segala permasalahan yang terjadi pada mereka, hal ini sangat berbeda ketika mereka bersama-sama dengan kaum laki-laki. Seperti hadits berikut.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيثِكَ فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا نَأْتِيكَ فِيهِ تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللَّهُ فَقَالَ اجْتَمِعْنَ فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِي مَكَانِ كَذَا وَكَذَا فَاجْتَمَعْنَ فَأَتَاهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللَّهُ ثُمَّ قَالَ مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ بَيْنَ يَدَيْهَا مِنْ وَلَدِهَا ثَلاَثَةً إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنْ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْ اثْنَيْنِ قَالَ فَأَعَادَتْهَا مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قَالَ وَاثْنَيْنِ وَاثْنَيْنِ وَاثْنَيْنِ ( البخاري )
Artinya : Dari abu said : telah datang seorang perempuan kepada Rosululloh SAW, lalu ia berkata : Ya Rosulalloh kaum laki – laki telah pergi dengan memperoleh hadits darimu, maka perkenankanlah bagi kami darimu suatu hari yang kami datang  dan engkau mengajarkan kami didalamnya dari apa yang telah diajarkan Allah padamu.maka Rosululloh SAW bersabda : ” berkumpulah kalian dihari ini dan di tempat ini”, maka Rosululloh SAW mendatangi mereka dan mengajarkan pada mereka dari apa yang telah diajarkan Allah padanya. Kemudian ia bersabda ” tidaklah seorang perempuan dari kalian yang telah wafat darinya tiga orang anak kecuali mereka akan menjadi hijab di neraka.seorang perempuan bertanya Ya Rosulalloh (jika) atau dua? Maka dia mengulangi pertanyaan itu dua kali , maka Rosululloh SAW bersabda : dan dua, dan dua, dan dua. (HR. Bukhoriy ).[8]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan 
Dari paparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa, Islam telah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, sehingga mereka juga mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki meskipun bentuknya berbeda dalam beberapa hal, namun dalam hal pendidikan mereka diberikan hak yang sama, sehingga Rosululloh SAW memberikan prioritas pada mereka dengan meluangkan waktu dan tempat tersendiri untuk memberikan pengajaran pada mereka. Demikian makalah ini ditulis tentunya masih banyak kekurangan, oleh karenanya koreksi dan dan saran selalu kami harapkan agar kedepan dapat semakin lebih baik. Mudah-mudahan dapat bermanfaat didunia dan akhirat.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Syeh Isma’il bin Muhammad Al Ijluniy Al Jarahiy (1162 H). Kasyful Khofa’ Juz 1hal 335.. Al  Maktabah al Syamelah.
  2. Al Sakhawiy. Al Maqashidul Hasanah Juz 1 hal 97.Al Maktabah al Syamelah.
  3. Al Muntaqil Hindiy, Kanzul Ummal juz 16/372.hadits ke 44955. Al maktabah al Syamelah
  4. Hasyiyah al Sanadiy ‘ala Ibni Majah juz 4 hal 108.Al Maktabah al Syamelah.
  5. Tuhfatul Asyraf juz 9/491. hadits ke 10692.Al Maktabah al Syamelah
  6. Takhrij Ahadits Ihya’ juz 2 hal 151. Al Maktabah al Syamelah
  7. Fathul Bary Juz 13 hal 2

[1].Syeh Isma’il bin Muhammad Al Ijluniy Al Jarahiy (1162 H). Kasyful Khofa’ Juz 1hal 335.. Al
Maktabah al Syamelah.
[2] Al Sakhawiy. Al Maqashidul Hasanah Juz 1 hal 97.Al Maktabah al Syamelah.
[3] ibid
[4] Al Muntaqil Hindiy, Kanzul Ummal juz 16/372.hadits ke 44955. Al maktabah al Syamelah
[5] Hasyiyah al Sanadiy ‘ala Ibni Majah juz 4 hal 108.Al Maktabah al Syamelah.
[6] Tuhfatul Asyraf juz 9/491. hadits ke 10692.Al Maktabah al Syamelah
[7] Takhrij Ahadits Ihya’ juz 2 hal 151. Al Maktabah al Syamelah
[8] Fathul Bary Juz 13 hal 292.

11/18/18

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar belakang masalah
            Keadaan Filsafat Pendidikan Islam yang diperdebatkan menjadikan Kedudukannya juga dalam pertanyaan. Apakah ia mempunyai kontribusi terhadap pendidikan dan juga terhadap Islam. Tetapi yang jelas bahwa dalam pengembangan Pendidikan Islam diperlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakekat yang ada di balik masalah pendidikan yang dihadapi. Dengan demikian Filsafat Pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakekat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan.
              Sebagai Disiplin Ilmu Filsafat, Filsafat Pendidikan Islam mempunyai sumber-sumber dasar pijakan yang dijadikan rujukan operasional disiplinnya. Filsafat pendidikan ini adalah dalam lingkup Islam, maka sudah barang tentu ia mengikuti ajaran islam dalam pembahasan masalah-amsalahnya. Ajaran dan pendidikan islam itu sendiri bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadis, maka kita akan mendapati keduanya sebagai rujukan utama dalam isu-isu filsafat pendidikan Islam.
                 Paparan di atas memberikan sedikit gambaran tentang pengertian filsafat pendidikan Islam, Kedudukan dan Sumbernya, tetapi gambaran tersebut masih terbatas dan samar. Sebagai bagian dari pelaku pendidikan Islam tentunya kita dituntut untuk mengerti seluk beluk Filsafat Pendidikan Islam untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Islam. Hal itu bisa kita mulai dengan mempelajari pengertian, kedudukan dan sumber-sumbernya. Pelaku pendidikan Islam baik apabila membaca makalah ini untuk melengkapi khasanah pengetahuan Filsafat Pendidikan Islam. Demikianlah pendahuluan makalah ini


BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam terbentuk dari perkataan filsafat, Pendidikan dan Islam. Penambahan kata Islam di akhir itu untuk membedakan filsafat pendidikan Islam dari pengertian filsafat pendidikan secara umum. Dengan demikian filsafat pendidikanIislam mempunyai pengertian secara khusus yang ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Lebih jauh, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, melihat falsafah pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam pengalaman manusia yang disebut pendidikan (al-Syaibany, 1979) Secara rinci dikemukakan bahwa falsafah pendidikan merupakan usaha untuk mencari konsep-konsep di antara gejala yang bermacam-macam meliputi : (1) proses pendidikan sebagai rancangan yang terpadu dan menyeluruh; (2) menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang segala istilah pendidikan; dan (3) pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang kehidupan manusia (al-Syaibany, 1973).
Dalam masyarakat islam pendidikan islam itu merupakan ajaran-ajaran berdasar pada wahyu, yang juga menjadi dasar dari pemikiran filsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan falsafah pendidikan Islam yang berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar konsep ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis. Hal ini sejalan dengan berfikir falsafi, yakni mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkan yaitu kebenarah tuhan yang mutlak.
Selanjutnya banyak pakar yang mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam,
  1. Omar Mohamad al-Toumy al-Syaibany, menurutnya bahwa filsafat pendidikan Islam tidak lain ialah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam.[1]
Ia juga menyebutkan penjelasannya dalam bukunya Falsafah Pendidikan Islam yang mengarah kepada pengertian Filsafat Pendidikan Islam seperti dalam kutipan berikut : “Jika kita telah membicarakan tentang kepentingan pembinaan falsafah pendidikan secara umum, kita tidak menentukan jenis falsafah yang harus menonjol pada falsafah itu. Judul atau bab yang kita bincangkan tentang sifat-sifat falsafah dan apa yang disebut bagi falsafah ini tentang sumber-sumber, unsure-unsur, dan syarat-syarat dari dan apa yang akan kita sebut tentang prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan, andaian-andaian dan premis yang menjadi asas falsafah ini, yaitu falsafah pendidikan yang berasal dari prinsip-prinsip dan ruh Islam. Itulah Falsafah Islam untuk pendidikan, atau disebut filsafat pendidikan Islam”.[2]
  1. Abudin Nata menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Selain itu filsafat pendidikan Islam dapat dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai dasar acuannya. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.[3]
  2. Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan hasil pemikiran para filosof berdasarkan sumber yang berasal dari wahyu Ilahi, sedangkan falsafah pendidikan lainnya berasal dari hasil renungan (pemikiran) yang didasarkan atas kemampuan rasio. Hasil pemikiran yang bersumber dari wahyu bagaimanapun memiliki kebenaran yang mutlak, tidak tergantung pada kondisi ruang dan waktu. Seba liknya hasil pemikiran berdasarkan rasio, sangat tergantung kepada kondisi ruang dan waktu.
Kajian Falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis yang telah diterapkan oleh nabi Muhammad salla Alloh ‘alaihi wa sallam selama hanya beliau, baik selama periode Makkah maupun selama Periode Madinah. Falsafat Pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan dasar kajian kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu sesuai dengan tujuan ajaran islam itu sendiri.[4]
  1. M. Arifin dalam pendahuluan buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut kepada kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan.
Selanjutnya M. Arifin menyebutkan tentang sebuah pemikiran bercorakkan khas Islam, Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian. [5]
Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Ia menyebutkan bahwa suatu falsafah yang hanya membicarakan masalah yang menyangkut bagaimana system pendidikan agama islam berlangsung dan dilangsungkan di dalam Negara yang berdasarkan Islam di Negara di mana Islam diajarkan atau dididikkan di dalam lembaga-lembaga pendidikan yang ada dan berkembang di Negara tersebut. Oleh karena bila hanya demikian sudah bisa dikatakan sebagai filsafat pendidikan Islam.
Falsafah Pendidikan Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh serta universal yang tertuang atau tersusun ke dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu system.
Filsafat Pendidikan Islam adalah falsafah tentang pendidikan yang tidak dibatasi oleh lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman keislaman semata-mata, melainkan menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas seluas aspirasi masyarakat muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak studinya adalah ilmu pengetahuan teoritis dan praktis dalam segala bidang keilmuan yang berkaitan dengan masalah kependidikan yang ada dan yang aka nada dalam masyarakat yang berkembang terus tanpa mengalami kemandegan.
Dengan demikian, yang lebih tepat dalam melakukan studi tentang Filsafat Pendidikan Islam ini adalah bila keduanya dapat terpenuhi yakni segi ilmiah dapat dibenarkan dan dari segi diniyah dapat dipertanggungjawabkan. [6]
Dari penjelasan dan paparan pengertian Filsafat pendidikan Islam yang telah disebutkan oleh para pakar di atas, dapat disimpilkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder.
2. Kedudukan Filsafat Pendidikan Islam.
Kedudukan Filsafat Pendidikan Islam dalam Islam dan Pendidikan Islam adalah sebagai alat atau sarana untuk memahami, dan untuk menyelasaikan permasalahan pendidikan Islam dengan mendasarkan atas keterkaitan hubungan antara teori dan praktek pendidikan. Karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling mengembangkan, sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk mengokohkan posisi dan fungsi serta idealistas kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakekat yang ada di balik masalah pendidikan yang dihadapi.
Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakekat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses pendidikan.[7]
Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan seperti abad 21 ini, kegunaan fungsional dari Filsafat Pendidikan Islam adalah semakin penting, karena filsafat menjadi landasan strategi dan kompas jalannya pendidikan Islam. Kemungkinan-kemungkinan yang menyimpang dari tujuan pendidikan Islam akan dapat diperkecil dan sebaliknya kemampuan dan kedayagunaan pendidikan Islam dapat lebih dimantapkan dan diperbesar karena gangguan, hambatan serta rintangan yang bersifat Mental/spiritual serta teknis operasional akan dapat diatasi atau disingkirkan dengan lebih mudah.[8]
3. Sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam.
Dalam pengertian Filsafat Pendidikan Islam yang disebut di atas disebutkan bahwa filsafat ini didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Maka dari sini kita tahu bahwa sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam itu ada dua, yaitu 1. Sumber Primer yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, 2. Sumber Sekunder yaitu pendapat para filosof muslim.
Al-Syaibany disebutkan oleh Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam bahwa Dasar dan tujuan Falsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Dari kedua sumber ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek, termasuk falsafat pendidikan. Dengan demikian hasil pemikiran para ulama’ seperti qiyas syar’I dan ijma’ sebagai sumber sekunder (al-Syaibany, 1973), pada dasarnya berasal dari kedua sumber pokok tadi (al-Qur’an dan hadis).[9] Dalam paparan ini sumber sekundernya adalah Hasil pemikiran ulama’ seperti qiyas syar’I dan Ijma’ bukan lagi pemikiran filosof muslim..
Al-Qur’an menganut faham integralistik dalam bidang ilmu pengetahuan. Seluruh ilmu yang bersumber dari alam raya (ilmu-ilmu fisika, sains), tingkah laku manusia(ilmu-ilmu social), wahyu atau ilham (ilmu agama, tasawuf, filsafat) adalah bersumber dari Alloh. Hal lain yang juga amat mendasar adalah bahwa al-Qur’an amat menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara ilmu dan iman. Ilmu tanpa iman akan tersesat, dan iman tanpa ilmu tidak akan berdaya
Al-Qur’an menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Seperti pemuatan istilah-istilah yang digunakan oleh pendidikan seperti kata tarbiyah, ta’lim, iqra;, hingga ada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab pendidikan.
Adapun Hadis atau al-Sunnah menjadi sumber kedua dalam filsafat pendidikan Islam karena Nabi Muhammad Shalla Alloh ‘alaihi wa sallam telah memberikan perhatian amat besar terhadap pendidikan, dan mencaangkan pendidikan sepanjang hidup (long life education), sampai ia mewajibkan mencari ilmu. Dan Ia diutus ke bumi ini untuk menjadi pengajar, menyempurnakan aklah mulia dan mengajak menyembah Alloh semata.
Adapun sumber sekunder itu belum dioptimalkan. Banyak pendapat ulama’ yang tertulis dalam kitab klasik. Sumber ini untuk pengembangan filsafat pendidikan Islam. Namun demikian secara subtansial pendapat para filosof muslim pun masih dapat dipersoalkan,yaitu jika sesuatu dijadikan sebagai sumber, maka sumber itu harus permanen, constant, dan tidak diperselisihkan keberadaannya. Sedang filsafat dari manapun ia berasal atau disampaikan tetap memiliki sifat-sifat kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kedudukannya sebagai sumber dapat dipermasalahkan.[10]


 BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah suatu kajian secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ulama’ dan para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder.
Filsafat Pendidikan Islam mepunyai kedudukan solutif, idealis dan methodis untuk menyelesaikan permaslahan-permasalahan pendidikan Islam yang muncul dan berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat muslim dalam mengoptimalkan kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, menjadi hamba Alloh yang berkepribadian al-Qur’an dan hadis.
Dalam menyelesaikan permasalah pendidikan Islam Filsafat Pendidikan Islam mendasarkan landasannya pada sumber-sumber yang permanen, konstan, dan tidak diperdebatkan, mempunyai kebenaran mutlak. Sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber primer, dan sumber sekundernya adalah ijtihat ulama terdahulu dan pendapat para filosof muslim sebagai pengembangan walau diperselisihkan kekuatannya.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin , M., Filsafat Pendidikan Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Nata , Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Syaibany (al), al-Toumy, Mohammad, Omar, alih bahasa oleh Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
——–, Ilmu Pendidikan Islam Suatu tinjauan teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
[1] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 14.
[2] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, alih bahasa oleh Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam; Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal.37.
[3] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 15.
[4] Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan pemikirannya; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994. Hal. 3-4.
 [5] M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam; Jakarta: Bumi Aksara: 1996. Hal. Xi..
 [6] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam : Jakarta; Bumi Aksara, 1996. Hal. 27-31.
 [7] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu tinjauan teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner; Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Hal. 44
[8] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 1996. Hal. Xii.
[9] Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan pemikirannya; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Hal. 19.
[10] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam; Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 13-15

11/4/18

SIKAP DASAR KADER DALAM BERMUHAMMADIYAH

Orang-orang takwa selalu terdorong untuk merealisasikan ajaran Islam agar menjadi rahmat bagi seluruh alam sebagai bentuk penyembahannya kepada Allah. Ajaran Islam yang sudah diformulasikan dalam Al Qur'an dan Sunnah merupakan petunjuk bagi manusia untuk memahami dan menjalani hidup dari alam ruh sampai ke alam akhirat.
            Setiap manusia memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam semesta, dan Allah atas pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam. Manusia secara individu memiliki banyak keterbatasan dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam. Oleh karena itu, interaksi dan kerjasama antar individu yang memiliki kesamaan ideologi dan tujuan akan mampu meningkatkan kapasitas dan kualitas pengabdiannya kepada Allah.
            Inspirasi pendirian Persyarikatan Muhammadiyah secara normatif  berasal dari berbagai nilai dasar Islam yang tercantum dalam Al Qur'an dan Sunnah. Penggunaan sebagian nilai dasar Islam sebagai ispirasi pendirian organisasai tidak bermaksud menafikan nilai-nilai dasar Islam lainnya. 
            Hal tersebut lebih disebabkan oleh kesadaran akan keterbatasan kemampuan manusia dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan di satu sisi. Keterbatasan tersebut, di sisi lain berfungsi sebagai penciri antara satu organisasai dan organisasai lainnya.
            Inspirasi organisatoris Persyarikatan Muhammadiyah yang sangat terkenal diambil dari firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104 (3:104), yang artinya sebagai berikut:Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS Ali 'Imran/3: 104).
                Pemahaman secara awam terhadap QS Ali 'Imran/3: 104 di atas berdasarkan QS Ali 'Imran/3 ayat 102, 103, dan 105 bagi Persyarikatan Muhamadiyah adalah:
1. Seruan untuk melaksanakan kebajikan, berbuat baik, tidak berbuat jahat lebih efektif dilaksanakan secara bersama-sama dan terorganisir dalam suatu organisasi Muhammadiyah.
2. Individu-individu yang bersyarikat dalam Muhammadiyah adalah orang-orang yang beriman dan takwa dan hanya ingin mati dalam keadaan Islam.
3. Kader Muhammadiyah hendaklah selalu berpegang kepada tali Allah dan tidak bercerai berai.
4. Berpegang kepada tali Allah dan tidak bercerai berai merupakan sikap berorganisasai yang mensyukuri nikmat Allah, sehingga Allah berkenan mempererat tali persaudaraan dengan menyatukan hati dan menyelamatkan kita dengan petunjukNya.
5.Memajukan organisasi memerlukan kreativitas dan kadang kala disertai dengan improvisasi. Hal ini sangat potensial menimbulkan perbedaan pemahaman dan berkembang menjadi konflik yang dapat merusak persaudaraan bahkan sampai bercerai berai.
 
            Segolongan umat yang menggerakkan Persyarikatan Muhammadiyah minimal memenuhi kelima indikator tersebut di atas dan insya Allah akan menjadi golongan yang beruntung.
            Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk jangka waktu yang tidak dibatasi oleh manusia. Kader Muhammadiyah harus menjaga karakteristik dan fokus tujuan gerakan yang menjadi ciri pembeda antara organisasai Muhammadiyah dan organisasai lain. Perubahan keadaan lingkungan internal dan eksternal Muhammadiyah sangat potensial melemahkan karakter dan merusak fokus gerakan. Konsistensi sikap kader sangat diperlukan untuk memperkuat karakter dan mempertajam fokus gerakan Muhammadiyah.
            Penguatan karakter dan penajaman fokus gerakan dapat dijaga melalui perumusan dan pelaksanaan putusan Tarjih Muhammadiyah. Upaya tersebut telah dimulai sejak tahun 1935 dengan perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
            Rumusan pertama sebagai hasil kajian tim Tarjih Muhammadiyah adalah tentang sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum yang dikenal sebagai Mabadi Khamsah  (Masalah Lima). Penyelesaian rumusan tersebut tertunda karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan. Perumusan Masalah Lima tersebut dilanjutkan pada akhir tahun 1954 dan selesai pada awal tahun1955 dalam Muktamar Khusus Majelis Tarjih di Yogyakarta.
                Kitab Masalah Limamemperjelas tentang sikap dasar kader Muhammadiyah dalam bidang agama, dunia, ibadah, sabililah, dan qiyas. Konsep lima sikap dasar kader Muhammadiyah tersebut adalah sebagai berikut:
 
1. Agama
a. Agama yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
b. Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabinya, berupa perintah-perintah dan larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
 
2. Dunia
            Urusan dunia yang dimaksud dalam sabda Rasulullah saw : "Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi. Segala perkara yang dimaksud ialah perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia.
 
3. Ibadah
            Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta’ati segala perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum ada yang khusus:
a. Ibadah umum ialah segala amalan yang diidzinkan Allah.
b. Ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan caracaranya yang tertentu.
 
4. Sabilillah
            Sabilillah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala ’amalan yang diizinkan Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.
 
5. Qiyas
a. Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali tanya jawab antara kedua belah pihak;
b.Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, dan dengan MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihkan di antara pendapatpendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain.
 
            Inspirasi pendirian Persyarikatan Muhammadiyah menjadi stimulan dari rumusan  sikap dasar kader Muhammadiyah. Sikap dasar kader yang benar akan mampu mengawal dan mengembangkan gerakan Muhammadiyah sehingga tidak lepas dari poros inspirasi pendiriannya. Pemahaman dan konsistensi terhadap sikap dasar kader ini memperjelas fokus gerakan Muhammadiyah. 
            Oleh karena itu, setiap kader Muhammadiyah  harus memiliki sikap dasar yang disarikan dari Kitab Masalah Lima, sebagai berikut:
1. Segolongan orang yang menggerakkan Muhammadiyah adalah orang-orang takwa yang menjunjung tinggi persaudaraan dan tidak suka bercerai berai.
2. Agama Islam yang ditegakkan oleh Muhammadiyah adalah agama Islam yang dibawa oleh Muhammad dengan Al Qur'an dan Sunnah sebagai sumber ajarannya.
3. Al Qur'an dan Sunnah adalah rujukan mutlak dalam melaksanakan perintah, larangan, dan petunjuk gerakan untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
4. Urusan dunia yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia diserahkan sepenuhnya kepada kemampuan kreativitas manusia.
5. Kader Muhammadiyah harus selalu beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan meneladani Rasulullah dalam melaksanakan segala perintah-Nya, meninggalkan segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan.
6. Kader Muhammadiyah dalam melaksanakan gerakan persyarikatan harus selalu di jalan Allah.
7. Faham dan pendapat pribadi tidak serta merta dapat menjadi prinsip dasar gerakan Muhammadiyah, tetapi harus melalui pembahasan yang mendalam susuai dengan metode qiyas, sehingga mendapat tarjih dari Majelis Tarjih

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner