5/23/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (2)

الـنَّهْيُ
(AN – NAHY)
Nahy atau nahi artinya : larangan, cegahan
Yang dimaksud disini adalah larangan Allah atau Rasullullah yang ada dalam Qur’an dan Hadits – Hadits
Pembicaraan “Nahy” ini mempunyai beberapa qaidah sebagai berikut :
1.      Tiap – tiap larangan asalnya haram
Setiap larangan yang ada dalam Qur’an maupun Hadits, pada asalnya mempunyai ketetapan HARAM. Contoh dalam Qur’an :
وَلَا تَنْهَرْ هُمَا............
“dan janganlah engkau membentak kedua Ibu – Bapakmu” {Al – Isra’ : 23}

KETERANGAN :
Perkataan “janganlah engkau membentak” itu, suatu larangan dari Allah. Setiap larangan ialah HARAM. Maka : Haram membentak ibu bapak.
Karena tidak ada dalil yang mengubah ketetapan “haram” itu, maka membentak ibu bapak itu tetap HARAM hukumnya

2.      Larangan haram jadi makruh
Larangan yang asalnya “haram” itu, dapat berubah menjadi Makruh, jika ada dalil yang mengubahnya. Contoh Hadits Nabi :
لَاتَلْبَسُوْا الحَرِيْرَ...........
“janganlah kamu memakai sutrah……….” {Bukhari}

KETERANGAN :
“janganlah kamu memakai” itu, suatu larangan dari Nabi SAW. Tiap – tiap larangan asalnya berketetapan “haram”. Jadi : “haram memakai sutera”
Tetapi ada riwayat, Imam Abu Dawud berkata :”sesungguhnya ada 20 orang shahabat Nabi SAW, atau lebih yang memakai sutera, diantara mereka ialah Anas, dan Bara’ bin Azib”. Begini banyak shahabat tentu tidak akan memakai sutera, jika sutera memang benar – benar sutera itu “haram”.
Maka dari riwayat ini dapat kita mengambil ketetapan bahwa larangan dalam hadits tersebut, tidak berarti “haram” tetapi “makruh”, yaitu suatu larangan yang ringan yang mana lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakannya.
Selain itu Allah juga berfirman :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ………….
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” {Al – A’raf : 32}
Hadits tentang sutera dan firman Allah ini menjadi dalil yang mengubah hukum asal itu
Kesimpulanya : MAKRUH memakai sutera

3.      Larangan haram jadi do’a
Larangan pada asalnya haram, dapat berubah menjadi do’a, jika ada dalilnya. Seperti firman Allah :
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا……………
“Hai Tuhan kami, Janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau berbuat kesalahan” {Al – Baqarah : 286}

KETERANGAN :
Kalimat “janganlah Engkau menyiksa” itu, suatu kalimat larangan, tiap – tiap larangan asalnya berketetapan haram. Menurut ini, mestinya “haram Allah menyiksa”. Tetapi oleh karena ucapan itu kita hadapkan kepada Allah yang mempunyai segala kekuasaan, tentu tidak layak kita melarang Allah menyiksa. Sebab kita tidak mempunyai sesuatu kekuasaan terhadap Allah.
Oleh karena itu ucapan “ Janganlah Engkau menyiksa” itu bersifat permohonan kepada Allah supaya tidak menyiksa. Sesuatu permohonan itu, dalam Bahasa Arab disebut Do’a

4.      Tiap – tiap larangan untuk selamanya
Setiap larangan yang terlepas, yaitu yang tidak bersyarat, pada asalnya wajib dijauhi selama – lamanya, yakni haram dikerjakannya di semua masa. Seperti firman Allah :
وَلَا تُـلْقُوابِأَ يْـدِ يْكُمْ  إلَى التَّحْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu mencampakkan diri kamu kepada kebinasaan” {Al – Qaqarah : 195}

KETERANGAN :
“Janganlah kamu mencampakkan diri” itu suatu larangan Allah. Larangan ini terlepas, yaitu tidak ada syarat dan tidak ada batas waktunya. Dari larangan ini kita mendapat dua macam ketetapan, yaitu :
1.      Tiap – tiap larangan asalnya haram. Jadi : haram mencampakkan diri kepada kebinasaan
2.      Tiap – tiap larangan harus dijauhi (ditinggalkan) untuk semua masa. Jadi, : haram mencampakkan diri kepada kebinasaan dalam semua waktu atau masa


5.      Larangan yang selamanya jadi sementara
Larangan – larangan yang asalnya mesti ditinggalkan untuk selama – lamanya, dapat berubah menjadi terbatas untuk “sementara” waktu, jika ada keterangan yang menunjukkan ke situ. Seperti firman Allah :
لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ………….
“Janganlah kamu mengerjakan shalat sedang kamu dalam keadaan mabu, hingga kamu sadar apa yang kamu katakan” {An – Nisa’ : 42}

KETERANGAN :
“jangan kamu mengerjakan” itu suatu larangan dari Allah. Tiap – tiap larangan, pada asalnya harus dijauhi dalam semua masa. Kalau kita berhenti dilarangan ini saja, maka berarti “tidak boleh shalat untuk selama – lamanya”
Tetapi ayat tersebut ada susunan “sedang kamu dalam keadaan mabuk”, bentuk demikian disebut suatu “batasan”. Jadi, larangan shalat itu terbatas dalam keadaan mabuk saja. Jikalau sudah tidak mabuk, maka shalat kembali wajib dikerjakan seperti biasa. Sebab kita telah mengetahui bahwa shalat diwajibkan kepada kita 5x dalam sehari
Selain ini dari ayat tersebut kita mendapat dua kesimpulan lain pula, yaitu : tiap – tiap larangan asalnya “haram”. Jadi, “haram shalat selama mabuk”. Keterangan yang mengubah haram ini tidak ada, maka tetaplah hal itu haram

6.      Lafadz khabar jadi larangan
Dalam Qur’an dan hadits – hadits terdapat beberapa perkataan yang bentuknya sebagai khabar, tetapi bermaksud “larangan”. Seperti Rasulullah bersabdah :
لَاضَرَرَ وَ لَاضِرَارَ
“tidak ada bahaya dan tidak ada pembalasan bahaya” {Ahmad, dan lainnya}

KETERANGAN :
Perkataan “tidak ada bahaya” adalah salinan dari “La dha – rara”. Susunan “tidak ada pembalasan bahaya” itu adalah salinan dari : “La dhi – rara”. Kedua – duanya ini berbentuk khabaran, yaitu seolah – olah memberitahu bahwa “tidak ada bahaya” dan “tidak ada pembalasan bahaya”.
Sabdah Nabi itu tadi, ia mesti mempunyai makna lain, kalau kita artikan dengan begitu saja, tidaklah ada munasabahnya[1]. Karena itu, ia mesti mempunyai makna lain. Maka yang cocok, ialah bahwa sabdah itu bersifat suatu “larangan”. Maka artinya : “Janganlah membahayakan (seseorang) dan janganlah membalas bahaya (kepada seseorang) dengan jalan membahayakan dia”
Selain itu, dari hadits tersebut, kita mendapat ketetapan begini : “Janganlah membahayakan dia” dan “janganlah membalas bahaya (seseorang) dengan jalan membahayakan dia” itu, adalah “larangan”. Tiap – tiap larangan asalnya haram. Jadi : “haram membahayakan (seseorang) dan haram membalas bahaya (kepada seseorang) dengan jalan membahayakan dia”


[1] Munasabah : cocok, sesuai

5/14/18

Soal-Soal Bahasa Arab

hari ini kami tim bank soal, akan mencoba membagikan beberapa contoh soal-soal pada mata pelajaran Bahasa arab untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Soal-soal berikut silahkan di download di link yang terlah tersedia,
mungkin sementara hanya ini yg bisa kami publiskan, kurang dan lebihnya mohon tidak keberatan 😁

Soal Bahasa Arab kelas 7 SMP
http://www.mediafire.com/file/tvyct1dhva37867/bahasa%20arab%20kelas%207.pdf


Soal Bahasa Arab kelas 8 SMP
http://www.mediafire.com/file/3vygxh880izy6zb/B.%20ARAB%208.pdf

5/9/18

QAIDAH – QAIDAH USHUL FIQIH (1)

قَوَا عِدُ اُ صُوْل  ا لفِقْه
QAIDAH – QAIDAH USHUL FIQIH
Perlu kita ketahui bahwa, qaidah – qaidah ushul fiqih diantaranya ialah :
Amar, Nahi, ‘Am, Khash, Muthlaq, Muqaiyad, Mujmal, Bayan, Nasikh – Mansukh, Fi’il Nabi SAW, Qaul Nabi SAW, Taqrir Nabi SAW, Beberapa Perkataan, Zhahir Dan Ta’wil, Manthuq Dan Mafhum, Is-Tid-Lal
Qaidah – qaidah tersebut, InsyaAllah akan di jelaskan secara singkat dan mudah difahami.

 
QAIDAH – QAIDAH USHUL FIQIH
Qaidah artinya patokan atau peraturan
Ushul artinya Pokok – pokok
Fiqih menurut Bahasa adalah faham, kepandaian dsb.
Fiqih menurut Istilah ahli Ushul ialah : mengetahui hukum – hukum Agama dengan jalan Ijatihad (pemeriksaan sungguh – sungguh, bukan ikut – ikutan atau taqlid).
Menurut istilah ini, maka hukum Agama yang sudah tegas – tegas ada dalam Qur’an dan Hadits – hadits, tidak dinamakan Fiqh
Umpamanya : Wajib shalat, puasa, haram riba, ini semua tidak dinamakan fiqh, karena dalil – dalil yang mewajibkan dan yang mengharamkannya itu sudah jelas ada dalam Qur’an atau Hadits
Tetapi ketika membicarakan masalah : “Wajib atau tidak membedah (operasi) seorang ibu yang baru meninggal, sedang dalam kandungannya ada anak…..” barau yang demikian itu disebut masalah fiqh, karena keterangan Agama yang sarih (tegas – tegas) dalam soal ini tidak ada, sehingga menyebabkan kita harus berijtihad mendudukkan hukumnya.
Jadi, QAIDAH – QAIDAH USHUL FIQIH itu ialah : “Qaidah bagi pokok – pokok untuk mengetahui hukum Agama” dari dalil Qur’an ataupun Hadits
Maka untuk menetapkan suatu perintah atau larangan Agama, atau untuk mendudukkan sesuatu maksud ayat Al – Qur’an dan Hadits, perlu kita mengetahui beberapa Qaidah, diantaranya adalah sebagai berikut :
1
Dari hal : Amar
9
Dari hal : Nasikh – Mansukh
2
Dari hal : Nahi
10
Dari hal : Fi’il Nabi SAW
3
Dari hal : ‘Am
11
Dari hal : Qaul Nabi SAW
4
Dari hal : Khash
12
Dari hal : Taqrir Nabi SAW
5
Dari hal : Muthlaq
13
Dari hal : Beberapa Perkataan
6
Dari hal : Muqaiyad
14
Dari hal : Zhahir Dan Ta’wil
7
Dari hal : Mujmal
15
Dari hal : Manthuq Dan Mafhum
8
Dari hal : Bayan
16
Dari hal : Is-Tid-Lal
Tiap – tiap suatu dari 16 macam tersebut, mempunyai beberapa qaidah sebagaimana yang akan diterangkan
Sesudah itu, diiringi dengan beberapa qaidah yang disebut QAIDAH FIQHIYAH, lalu pembahasan JAMA’, TARJIH, dan sebuah contoh cara mengeluarkan hukum
Semua yang akan diterangkan ini, dipilih yang sering terjadi atau terpakai dalam masalah – masalah agama kita



الأمْرُ
AL – AMR
Al – Amr atau Amar artinya perintah, suruhan
Amar yang ditunjukan dalam pembicaraan ini ialah : PERINTAH DARI ALLAH DAN RASUL – NYA YANG ADA DALAM QUR’AN DAN HADITS – HADITS
Tentang “perintah” ini ada beberapa qaidah sebagai berikut :
1.      Tiap – Tiap Perintah Asalnya Wajib
Tiap tiap perintah yang terdapat dalam Qur’an atau Hadits, pada asalnya berketetapan WAJIB[1].  Allah berfirman :
وَأقِيْمُوا الصَّلَاةَ…..
“dan dirikanlah Shalat…..” (An – Nisa’ : 77)

KETERANGAN :
Perkataan “dirikanlah” itu suatu perintah dari Allah. Tiap tiap perintah asalnya “wajib”. Kesimpulannya : Shalat itu hukumnya “wajib”
Menurut hukum dari asal perintah yang telah diaparkan diatas maka, semua shalat apapun itu, pada asalnya “wajib”
Akan tetapi ada keterangan yang menetapkan bahwa shalat sehari semalam itu hanya ada lima kali. Sebagaimana sabdah Nabi Muhammas SAW :
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا
“seorang arab badui menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan rambut acak-acakan, ia berkata; 'ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apakah yang Allah wajibkan atasku? ' Nabi menjawab: "shalat lima waktu, kecuali jika engkau mau mengerjakan yang sunnah” (Bukhari)

2.      Perintah Wajib, Jadi Sunnah
Perintah – perintah yang asalnya “wajib” dapat berubah menjadi berketetapan “Sunnah”, jika ada dalil Agama. Contoh : Nabi bersabdah :
صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ
“Shalatlah (dua rakaat) sebelum (Shalat) Maghrib”{H.R. Bukhari}

KETERANGAN :
Perkataan shalatlah itu suatu perintah Nabi. Tiap – tiap perintah pada asalnya wajib. Jadi menurut hadits diatas itu shalat dua rakaat sebelum Maghrib itu adalah “wajib”. Tetapi riwayat orang arab gunung yang dating kepada Nabi SAW tadi, sudah jelas bahwa shalat yang di wajibkan itu hanya lima saja.
Karena itu, maka “dua rakaat sebelum Maghrib” itu, bukan wajib. Perintah yang bukan wajib itu, apabila mengenai urusan Ibadah, disebut “Sunnah”

3.      Perintah Wajib Jadi Mubah
Peritah yang pada asalnya wajib, dapat berubah menjadi mubah, bila ada dalil atau keterangan. Allah berfirman :
وَكُلُوْا وَ سْرَبُوْا.............
“Dan makan dan minumlah............” {Al – A’raf : 31}

KETERANGAN :
Kalimat “makan dan minumlah” itu, keduanya perintah dari Allah. Tiap – tiap perintah asalnya wajib. Maka “makan dan minumlah” itu mesti mempunyai hukum wajib pula.
Tetapi oleh karena “makan dan minumlah” itu berurusan keduniaan, serta Allah atau Rasulnya tidak menentukan banyaknya, sedikitnya, dan tidak ada satupun paksaan, maka tentulah perintah “makan dan minumlah” itu tidak dapat dikatakan “wajib”. Sesuatu yang “tidak wajib” dalam hal keduniaan, maka dinamakan “mubah”, yakni “boleh, boleh makan dan minum.

4.      Perintah Wajib Jadi Do’a
Perintah – perintah yang wajib bisa menjadi do’a, dengan alasan dan melihat kepada kedudukannya. Seperti firman Allah :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus” {Al – Fatihah : 6}

KETERANGAN :
Perkataan “tunjukkanlah” itu berbentuk perintah. Tiap – tiap perintah pada asalnya wajib. Jadi mestinya, ayat itu bermakna “wajib Allah menunjukkan”. Tetapi oleh karena ucapan itu kita hadapkan kepada Allah yang menjadikan kita, yang memberi rizki kepada kita, yang memelihara kita dll. Tentulah tidak pada tempatnya dikatakan Allah “wajib memberi petunjuk” yang berarti kita memerintah kepada-NYA. Karena ini, maka ucapan kita itu suatu “permintaan” kepada Allah. Permintaan manusia kepada Allah, dinakamakan “Do’a”. Dengan demikian, makna ayat tadi ialah kita memohon kepada Allah supaya Allah menunjukkan jalan yang lurus

5.      Tiap – Tiap Perintah Dikerjakan Sekali
Tiap – tiap perintah yang terlepas[2] pada asalnya cukup dikerjakan sekali saja. Tegasnya : jika orang yang diperintah mengerjakan perintah itu “sekali” saja, terlepaslah ia dari kewajiban. Seperti firman Allah :
أَتِمُّـوا الْـحَـجَّ...........
“Sempurnakanlah hajji………..” {Al – Baqarah : 196}

KETERANGAN :
Perkataan “sempurnakanlah” itu suatu perintah yang terlepas. Dari perintah ini dapat kita keluarkan 2 ketentuan :
1.      Tiap – tiap perintah asalnya wajib. Jadi, naik hajji itu hukumnya “wajib”, dan tidak ada dalil yang mengubah kewajiban itu.
2.      Tiap – tiap perintah asalnya cukup dilaksanakan sekali saja. Jadi, naik hajji cukup dikerjakan sekali saja seumur hidup. Oleh karena tidak ada lain – lain keterangan Agama yang mengubah “satu kalinya” itu, maka tetaplah ibadah hajji itu wajibnya hanya sekali seumur hidup.

Kesimpulan : Hajji itu hukumnya “wajib” dan cukup “sekali saja”

6.      Perintah Sekali Jadi Berulang
Perintah yang asalnya memadai dilakukan sekali saja, dapat berubah menjadi wajib dikerjakan lebih dari sekali, bila ada dalil yang menentukan ke situ, sperti Firman Allah :
أقِيْمُوا الصَّلَاةَ............
“dirikanlah Shalat……” {Al – Baqarah : 110}

KETERANGAN :
Perkataan “dirikanlah” ini adalah suatu perintah. Dari perintah ini, kita mendapat 2 ketetapan, yaitu :
1.      Tiap – tiap perintah asalnya wajib. Jadi “wajib” Shalat. Tentang shalat mana yang wajib itu, ini juga sudah kita bahas di bagian “tiap – tiap perintah asalnya wajib” yang pertama.
2.      Tiap – tiap  perintah asalnya cukup dikerjakan sekali saja. Jadi, mestinya Shalat yang wajib itu juga cukup dilakukan sekali saja. Tetapi di bagian pertama tadi telah kita singgung tentang hadits orang Arab gunung yang menetapkan bahwa shalat wajib yang harus dikerjakan itu, sehari semalam, lima kali. Ini menunjukkan berulang – ulang. Jadi, riwayat orang arab gunung itulah yang menjadi dasarnya mengubah dari sekali, menjadi lebih dari sekali.
Kesimpulan : shalat lima waktu itu “wajib” dan harus dilakukan dengan “berulang – ulang” seterusnya.

7.      Lafadz Khabar Jadi “Perintah”
Dalam Qur’an dan hadits banyak kata – kata yang berbentuk khabaran, tetapi mengandung “perintah”. Contoh dalam Firman Allah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ…………
“perempuan – perempuan yang telah di caerai itu, menaha diri – diri mereka (ber’iddah) tida kali bersih dari Haidh” {Al – Baqarah : 228}

KETERANGAN :
Kalimat “menahan” disitu, bentuknya adalah sebagai khabaran, karena memakai fi’il mudhari’ tetapi maksudnya “memerintah”, yaitu “hendaklah mereka menahan[3]
Dengan demikian, karena perempuan – perempuan yang telah dithalaq itu, sebenarnya tidak ada kewajiban menahan diri mereka untuk ber’iddah, jika tidak diperintah Agama
Contoh dari Hadits :
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ اِمْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“dari Asma' dia berkata, "Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, 'Pakaian salah seorang dari kalangan kami terkena darah haid. Apa yang harus dia lakukan? ' Beliau bersabda: "ia hilangkan darah itu, lalu ia gosoknya dengan air, kemudian cucinya, sesudah itu ia shalat dengan memakai kain itu.” {Muslim}

KETERANGAN :
Perkataan – perkataan “hilangkan, gosok, cuci, dan shalat” itu semua berbentuk khabar, karena lafadz – lafadz itu fi’il mudhari’ (pekerjaan yang sedang atau akan berlaku), bukan kalimat Amer (perintah)
Perempuan tersebut menanyakan “hukum” membersihkan kain yang kena darah haidh, bukan minta khabar biasa. Jawaban Rasulullah tentulah berupa “hukum” pula, sedang yang dikatakan huku itu, ialah “perintah” dan “larangan”. Dalam riwayat Muslim tersebut, tidak ada bentuk “larangan”. Jadi jelas yang dikatakan Nabi SAW kepada Asma’ itu, adalah perintah, yakni “hilangkanlah, gosoklah, cucilah dan shalatlah[4]
Lafadz – lafadz khabaran yang teranggap sebagai “perintah” itu, kebanyakannya berbentuk fi’il mudhari’ seperti contoh diatas tadi


[1] Diantara alasan – alasan yang menetapkan dasar ini ialah “perintah” Allah kepada Malaikat dan jin untuk tunduk kepada Nabi Adam, tetapi Iblis enggan, maka karena keengganan ini, Allah menghukum Iblis itu (lihat S. Al – Baqarah : 34)
[2] Terlepas : tidak bersyarat, tidak ditentukan waktunya,dsb.
[3] Tiap – tiap perintah asalnya “wajib”. Jadi, wajib mereka menahan diri, yakni wajib ber’iddah. Keterangan yang mengubah “wajibnya” itu tidak ada.
[4] Semua perintah ini hukumnya wajib, karena tidak ada dalil atau keterangan yang memalingkan kepada yang lainnya.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner