9/22/17

Muhkam dan Mutasyabih

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran, kalamullah  yang  dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang  keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas tentang ayat Muhkam Mutasyabbih.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih. Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud : 1, sebagai berikut :
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.
Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. Az-Zumar : 23, sebagai berikut :
 “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun”.
Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkam dan mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS.‘Ali Imran:7, sebagai berikut :
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab [Al Qur’an] kepada kamu. Di antara [isi]nya ada ayat-ayat yang muhkamaat. itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain [ayat-ayat] mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran [daripadanya] melainkan orang-orang yang berakal”.

Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian/pemahaman Al-Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang  ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa  Al-Quran ada kalimat yang  jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Dari Muhkam dan Mutsyabih?
2. Macam Macam Ayat Mutasyabihat
3.Bagaimana Sikap Para Ulama Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih?
4.Definisi-Definisi Para Ulama Tidak Saling Kontradiksi
5. Apa Sajakah Hikmah Keberadaan Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Laporan ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Studi Keislaman 1. Kami berharap laporan ini juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana ayat yang termasuk dalam Muhkam dan Mutasyabih. Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu pembaca untuk memahami hal-hal sebagai berikut :
  1. Dapat mengetahui pengertian dari Muhkam dan Mutasyabih.
2.      Mengetahui macam macam ayat Mutasyabihat
  1. Dapat mengetahui bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
  2. Definisi-definisi  para  ulama tidak saling Kontradiksi
  3. Dapat memahami hikmah dari adanya Muhkam dan Mutasyabih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Secara etimologi (bahasa), muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam Al-murad bib’an al-tabdil wa at-taghyir). Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar (makhafiya bi nafs Al-lafzh).[1] Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang berati kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya
Menurut Dr. Amir Aziz, Muhkam adalah ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau dengan melalui ta’wil (mengandung pengertian lebih dari satu). Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah. Misalnya saat datangnya hari kiamat dan huruf tahajji (huruf yang terdapat pada awal surat).
Menurut Ibnu Abbas, Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna. Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.
Menurut Imam as Suyuthi muhkam adalah suatu yang jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
Menurut Manna’ Al Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Orang bisa saja mengatakan, bahwa semua ayat Al-Qur’an adalah Muhkamat apabila yang di maksud adalah keindahan. Karena ayat Al-Qur’an itu indah dan tersusun rapi. Allah berfirman:
كِتَبٌ اُحْكِمَتْ ايتُهُ . . .
“(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi . . .”
Dan orang pun bisa saja mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, jika yang dimaksud adalah kesamaan tingkatan i’jaz (mu’jizat yang tidak tertandingi) dalam kefasihan bahasa, sehingga sulit untuk ditangkap kelebihan antara satu bagian dengan bagian lainnya.[2]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Muhkam adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Sedangkan Mutasyabih adalah merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam dan pentakwilan. Termasuk kategori ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mempunyai arti sifat seperti جَاءَ ,اِسْتَوَي , اليَدُّ,الوَجْهُ  dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, muhkam adalah ayat yang maknanya rasioanal, artinya dapat memahami pengertian ayat dengan akal, sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang maknanya tidak dapat diirasionalkan, artinya tidak dapat diterima atau dipahami pengertian ayat dengan akal. Misalnya, bilangan raka’at dalam shalat lima waktu. Demikian juga penetapan syaum yang dijatuhkan pada bulan Ramadlan, bukan bulan Sya’ban atau Muharram.[3]
Kita dapat mengatakan, semua ayat Al-Qur’an adalah muhkam (kuat, kokoh, rapi, indah susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam hal lafaz, rangkaian kalimat maupun maknanya). Berdasarkan makna itulah Allah berfirman:
“Kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi”(Hud:1)
Dan juga kita dapat mengatakan, semua ayat Al-Qur’an Mutasyabih (kesamaan) ayat-ayatnya dalam hal balaghah dan i’jaz serta dalam hal kesukaran membedakan  yang afdhal. Berdasarkan itulah Allah berfirman:
“Allah telah menurunkan tutur kata (berupa) kitab (Al-Qur’an) yang serupa (mutu ayat-ayat-Nya), lagi berulang-ulang” (az-Zumar: 23)
Dengan demikian muhkam (jelas), yang termasuk ayat Muhkam ialah ayat yang terang makna serta lafaznya yang diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan cepat di pahami. Sedangkan Mutasyabih (tidak jelas), ialah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), yang mu’awwal (memerlukan ta’wil) dan yang musykil (sukar dipahami). Sebab, ayat-ayat yang mujmal membutuhkan rincian, ayat-ayat yang mu’awwal baru diketahui maknanya setelah di ta’wilkan, dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya dan sulit dimengerti.[4]
Dari penjelasan di atas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) dan zhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat  mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
B. Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam:[5]
1)      Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contoh:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (QS. al-An’am : 59)
2)      Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh: pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib.
3)      Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.

C.  Sikap Para Ulama Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Para ulama juga berlainan paham mengenai kemuhkaman Al-Qur’an dan kemutasyabihatannya. Sebab dalam Al-Quran ada ayat-ayat yang menerangkan bahwa semua Al-Quran itu muhkam, seperti surah Hud ayat 1, dan ada pula ayat-ayat yang menjelaskan bahwa semuanya mutasyabih, seperti ayat 23                     surah  Az-Zumar. Sebagaimana ada juga ayat-ayat yang menjelaskan ada sebagian Al-Quran yang muhkam dan sebagian lain mutasyabih, seperti ayat 7                     surah  Ali Imran. Ada tiga pendapat para ulama mengenai masalah tersebut, sebagai berikut:
  1. Pendapat pertama berpendirian, bahwa semua Al-Qur’an itu muhkam, berdasarkan ayat 1 surah Hud: كِتبٌ أُحْكِمَتْ آيتُهُ (suatu Kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapih).
  2. Pendapat kedua mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabihat, dalam arti yang saling bersesuaian yang sebagian dengan bagian yang lain. Hal ini berdasarkan ayat 23 surah Az-Zumar:
اَللهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًامُتَشَابِهًامَثَانِيَ تَقْشَعِرًّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya.”
  1. Pendapat ketiga mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, yakni muhkam dan mutasyabih. Pendapat ini berdasarkan ayat 7 surah Ali Imran.
Jika dilihat sepintas, seolah-olah hanya pendapat ketiga yang benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam Al-Qur’an. Tetapi jika diamati secara seksama, sebenarnya semua pendapat itu benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam Al-Qur’an itu. Sebab ketiga itu ada dalilnya dalam Al-Qur’an, dan semuanya juga benar cara istidhal masing-masing. Yang berbeda hanya orientasi pendapat masing-masing.
Berdasarkan sumber lain menyebutkan, para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Terdapat dua pendapat berbeda, yang bersumber pada QS. ‘Ali Imran : 7.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa ayat mutasyabih dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalami ilmunya. Itu artinya manusia pun dapat memahami arti dari ayat mutasyabihat jika memang menguasai ilmunya. Hanya sedikit ulama yang berpihak kepada pendapat pertama ini. Salah satu ulama, Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim menyetujui pendapat ini dan mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah memberikan ketentuan kepada hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
Pendapat Kedua mengatakan bahwa ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sementara orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya. Sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama Ahlussunnah berpihak kepada pendapat kedua ini, seperti sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim yang bersumber dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS. ‘Ali Imron ayat 7 : “Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
D. Definisi-Definisi Para Ulama Tidak Saling Kontradiksi   
Setelah menyebutkan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih, Syaikh al-Zarqani mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi dalam pendapat-pendapat yang bahkan masing-masing pendapat saling mendekati satu sama lain dan terlihat mirip.[6]
Saat diketahui bahwa al-Qur’an dari satu sisi, muhkam seluruhnya dan mutasyabih seluruhnya, disisi lain al-Qur’an muhkam sebagian dan mutasyabih sebagian, maka lahirlah pengelompokan muhkam dan mutasyabih kepada dua kelompok, muhkam dan mutasyabih ‘am dan muhkam dan mutasyabih khash.
Tidak ada perbedaan pandangan ulama mengenai muhkam dan mutasyabih ‘am, sedang pada muhkam dan mutasyabih khash ada beberapa perbedaan defenisi baik secara redaksi maupun makna. Misalkan, muhkam adalah nasikh dan mutasyabih adalah mansukh, yang lain mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam maksudnya adalah ayat-ayat yang diamalkan, seperti ayat yang me-nasakh atau ayat yang menetapkan sebuah hukum, sedang mutasyabihat adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diamalkan yang ayat-ayat yang di-nasakh.
Melihat kenyataan ini, perlu diberikan wadah-wadah khusus untuk masing-masing definisi hingga tercapai apa yang diisyaratkan oleh al-Zurqani.
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan, muhkam adalah lawan dari mutasyabih, hingga terlihat senantiasa berpasangan, kecuali pada beberapa definisi, ketidak berpasangan lebih terlihat jelas pada definisi yang dibawakan oleh Ibnu al-Jauzi, delapan definisi untuk muhkam dan tujuh untuk mutasyabih. Ini adalah salah satu kendala yang mungkin mempersulit pengkompromian berbagai definisi.

E. Hikmah Keberadaan Ayat-ayat Muhkamat dan ayat ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an
          
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan hikmah ayat-ayat mutasyabihat.[7]
Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a.       Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b.      Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c.       Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d.      Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a)        Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b)       Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
c)        Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d)      Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e)        Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam











BAB III
KESIMPULAN

Muhkam adalah ayat yang memberikan makna yang jelas dan dapat dijangkau oleh pemahaman akal. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang memberikan makna yang tidak jelas, tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan yang lain.
Maka adanya ayat-ayat muhkamat, dapat memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan
Para ulama berbeda terhadap adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat mutasyabih tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah. Mereka mencoba mengembalikan ayat mutasyabih kepada ayat muhkam.
Hikmah adanya ayat-ayat mutasyabihat adalah dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat, membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2012)
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992),
Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996)
Abdul Jalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008)
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Renika Cipta, 1992),



[1] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 121

[2] Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 113
[3] Ibid, hlm. 115

[4] Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 372.
[5] Abdul Jalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), hal. 239

[6] Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, op.cit. hlm. 217.

[7] Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Renika Cipta, 1992), hal. 189.


9/13/17

SUMBER DAN DASAR PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan 
Sumber pendidikan Islam merupakan rujukan yang senantiasa memancar ilmu pengetahuan yang memberikan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam pendidikan, sedangkan dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional untuk merealisasikan dasar ideal dalam pendidikan.
Karena itu, uraian dalam makalah ini dibagi menjadi dua bagian, pertama, sumber pendidikan Islam, yang akan menjelaskan tentang pengertian sumber pendidikan Islam, fungsi pendidikan Islam, macam-macam sumber pendidikan Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, sejarah Islam, pendapat para sahabat dan filsuf, mashalahat al-mursalat, dan al-‘uruf. 
Kedua, dasar pendidikan Islam, yang akan menguraikan tentang pengertian dasar pendidikan Islam, dan macam-macam dasar pendidikan Islam, yaitu dasar religius, dasar filsafat Islam dan dasar ilmu pengetahuan.
Dasar ilmu pengetahuan dapat diuraikan secara terperinci yaitu mengenai ilmu psikologi, ilmu sejarah, ilmu sosial dan budaya, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan ilmu administrasi. 
B.       Sumber Pendidikan Islam
Kata sumber dalam bahasa Arab disebut mashdar yang jamaknya mashadir, dapat diartikan starting point (titik tolak), point of origin (sumber asli), origin (asli), source (sumber), infinitife (tidak terbatas), verbal nource (kalimat kata kerja), dan absolute or internal object (mutlak atau tujuan yang bersifat internal).[1] 
Kosakata sumber sering kali tumpang tindih dengan kosakata dasar, prinsip dan asas. Karenanya kosakata ini sering digunakan secara bergantian tanpa argumentasi yang jelas. Kata sumber berbeda dengan kata dasar dengan alasan bahwa sumber senantiasa memberikan nilai-nilai yang dibutuhkan bagi kegiatan pendidikan. Sedangkan dasar adalah sesuatu yang diatasnya berdiri sesuatu dengan kukuh. Dalam sebuah bangunan dasar sama artinya dengan fondasi yang diatasnya berdiri suatu bangunan tersebut ditegakkan. Dasar tersebut misalnya tauhid, yaitu keyakinan bahwa seluruh bangunan pendidikan tersebut harus sejalan dengan kehendak Tuhan; atau kemanusiaan, yaitu saling menghormati dan memuliakan manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia diantara yang lainnya.[2] 
Selanjutnya sumber juga berbeda dengan prinsip. Jika sumber adalah sesuatu yang memberikan bahan-bahan bagi pembuatan sebuah konsep atau bangunan, maka prinsip adalah sesuatu yang harus ada dalam sebuah kegiatan atau usaha dan sekaligus menjadi ciri suatu tersebut. Misalnya asas pendidikan untuk semua, pendidikan seumur hidup, pendidikan yang seimbang, dan seterusnya. Prinsip-prinsi tersebut tidak boleh ditinggalkan dalam merumuskan dan melaksanakan kegiatan pendidikan.
Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan oleh sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka.[3] 
Sedangkan pengertian Islam merupakan kata turunan atau jadian yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan pada kehendak Allah. Islam berasal dari kata salama artinya patuh. Kata dasarnya salima yang berarti sejahtera, tidak tercela dan tidak cacat.[4] 
Dari uraian tersebut kata Islam dapat disimpulkan bahwa arti yang terkandungnya adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan diri, ketaatan dan kepatuhan.
Sumber pendidikan Islam selanjutnya dapat diartikan semua acuan atau rujukan yang darinya memancar ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Semua acuan yang menjadi sumber atau rujukan pendidikan Islam tersebut telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam mengantarkan aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu. Sumber pendidikan Islam terkadang disebut sebagai dasar ideal pendidikan Islam.[5] 
Sumber pendidikan Islam memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis. Fungsi tersebut, antara lain:
1.      Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai;
2.      Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode, media, sarana, dan evaluasi;
3.      Menjadi standar dan tolok ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.[6] 
Fungsi sumber pendidikan Islam sama halnya dengan fungsi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam misalnya menjamin orang yang menggunakannya tidak akan tersesat selamanya. Al-Qur’an juga berfungsi sebagai al-Huda (petunjuk), al-Hakim (wasit yang memutuskan perkara), al-Furqan (yang membedakan antara yang hak dan yang batil), al-Syifa’ (sebagai obat penyakit jiwa), al-Tabyin (yang menjelaskan segala sesuatu), dan seterusnya.
Menurut Hasan Langgulung, bahwa sumber pendidikan Islam yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ucapan para sahabat (mazhab al-shahabi), kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah), tradisi atau adat yang sudah dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat (al-‘uruf), dan hasil ijtihad para ahli. Selain itu ada pula yang meringkaskan pendidikan Islam menjadi empat macam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Sejarah dan Filsafat.[7] Sumber-sumber pendidikan Islam ini selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qira’atan atau qur’anan yang berarti bacaan, yang berarti pula mengumpulkan (al-jam’u), dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur.[8]
Al-Qur’an adalah firman Allah yang di-nuzul-kan kepada Nabi Muhammad yang dinukil secara mutawatir dan di pandang beribadah bagi yang membacanya.[9]
Menurut istilah al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad bin Abdullah melalui pernataraan malaikat Jibril, yang disampaikan kepada generasi berikutnya secara mutawatir (tidak diragukan), dianggap ibadah bagi yang membacanya, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.[10] Dengan definisi tersebut, maka al-Qur’an dengan sangat meyakinkan mengandung kebenaran, dan jauh dari kebatilan.
Al-Qur’an sebagai sumber yang esensial yang di dalamnya mengatur mengenai kaidah-kaidah hukum secara umum yang terpelihara tidak ada yang menambahi dan yang mengurangi sebagaimana firman Allah.
 إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr: 9)

Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Quran selama-lamanya sebagai sumber hukum dan pedoman hidup manusia.
Fungsi al-Qur’an sebagai sumber pendidikan lebih lanjut dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut:[11]
Pertama, dari segi namanya, al-Qur’an dan al-Kitab sudah mengisyaratkan bahwa al-Qur’an memperkenalkan diri sebagai kitab pendidikan. Al-Qur’an secara harfiah berarti membaca atau bacaan. Adapun al-Kitab berarti menulis atau tulisan. Membaca dan menulis dalam arti seluas-luasnya merupakan kegiatan utama dan pertama dalam kegiatan pendidikan.
Kedua, dari segi surat yang pertama kali diturunkan, yaitu ayat 1 sampai 5 surat al-Alaq juga berkaitan dengan kegiatan pendidikan.
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١  خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢  ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣  ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Lima ayat tersebut antara lain berkaitan dengan metode (iqra’), guru (Tuhan yang memerintahkan membaca), murid (Nabi Muhammad yang diperintah membaca), sarana dan prasarana (al-qalam), kurikulum (sesuatu yang belum diketahui/maa lam ya’lam).
Ketiga, dari segi  fungsinya, yakni sebagai al-huda, al-furqan, al-hakim, al-banyyinah, dan rahmatan lil alamin ialah berkaitan dengan fungsi pendidikan dalam arti seluas-luasnya.
Keempat, dari segi kandungannya, al-Qur’an berisi ayat-ayat yang mengandung isyarat tentang berbagai aspek pendidikan. Buku-buku tentang al-Qur’an dalam hubungannya dengan kegiatan pendidikan sebagaimana tersebut di atas telah membuktikan bahwa kandungan al-Qur’an memuat isyarat tentang pendidikan. Visi, misi, tujuan kurikulum, proses belajar mengajar, guru, dan berbagai komponen pendidikan lainnya dapat dirumuskan dari ayat-ayat al-Qur’an.
Kelima, dari segi sumbernya, yakni dari Allah SWT, telah mengenalkan diri-Nya sebagai rabb atau al-murabbi, yakni sebagai pendidik, dan orang yang pertama kali dididik atau diberi pengajaran oleh Allah SWT adalah Nabi Adam as. Al-Qur’an menyatakan :
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠
 
Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
2.      As-Sunnah
As-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan (udhifa) kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir)-nya.[12] Adapun pengertian as-Sunnah menurut para ahli hadis adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya.
Sunnah sebagai sumber pendidikan Islam, dapat dipahami hasil analisa sebagai berikut:[13]
Pertama, Nabi Muhammad SAW sebagai yang memproduksi hadis menyatakan dirinya sebagai guru. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW masuk ke sebuah masjid yang di dalamnya ada dua kelompok. Kelompok yang satu sedang tekun menjalani ibadah sholat, zikir dan doa, sedangkan kelompok yang satunya lagi sedang berdiskusi dan mengkaji suatu masalah. Nabi Muhammad SAW ternyata bergabung dengan kelompok yang sedang mengkaji masalah. Dalam kesempatan itu Nabi berkata: Tuhan telah mengutus aku sebagai guru (ba’atsani rabbi mu’alliman).
Selanjutnya di dalam al-Qur’an dinyatakan sebagai berikut:
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّ‍ۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٢

Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Ayat tersebut menginformasikan di antara fungsi Nabi, yaitu membacakan ayat al-Qur’an, menyucikan kepribadian kaum pengikutnya, serta mengajarkan al-Qur’an dan al-hikmah. Fungsi Nabi Muhammad SAW yang demikian itu terkait dengan kegiatan sebagai pendidik dan pengajar.
Kedua, Nabi Muhammad SAW tidak hanya memiliki kompetensi pengetahuan yang mendalam dan luas dalam ilmu agama, psikologi, sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya, melainkan kompetensi kepribadian yang terpuji, kompetensi keterampilan mengajar (teaching skill) dan mendidik yang prima, serta kompetensi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi seorang pendidik yang profesional.
Ketiga, ketika Nabi Muhammad SAW berada di Mekkah pernah menyelenggarakan pendidikan di Darul Arqam dan di tempat-tempat lain secara tertutup. Ketika berada di Madinah pernah menyelenggarakan pendidikan di sebuah tempat khusus pada bagian masjid yang dikenal dengan nama suffah. Usaha-usaha tersebut menunjukkan bahwa nabi SAW memiliki perhatian yang besar terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Keempat, sejarah mencatat, bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang paling berhasil mengemban risalah Ilahiah, yakni mengubah manusia dari jahiliah menjadi beradab, dari kehancuran moral menjadi berakhlak mulia. Keberhasilan ini terkait erat dengan keberhasilan dalam bidang pendidikan.
Kelima, di dalam teks atau matan hadis Nabi Muhammad SAW dapat dijumpai isyarat yang berkaitan yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Misalnya hadis Nabi Muhammad SAW yang mewajibkan kepada setiap setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu; hadis Nabi SAW yang menyatakan menuntut ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat, menuntut ilmu hingga ke negeri cina, kewajiban mengajar bagi orang yang berilmu, keharusan guru mengajar dengan cara menyenangkan dan sesuai dengan fitrah manusia, mempelajari ilmu keduniaan dan keakhiratan sekaligus, menyediakan tempat bagi kegiatan belajar mengajar, menggalang dana zakat, infak, wakaf, dan sedekah jariyah untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan, memuliakan orang-orang yang berilmu dan lain sebagainya. Kandungan hadis-hadis tersebut berkaitan dengan kegiatan wajib belajar, wajib mengajar, pendidikan untuk semua, pendidikan sepanjang hayat, kurikulum yang integrated, pendidikan berbasis masyarakat, pernyataan misi utama beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, dan apresiasi terhadap para guru. Semuanya ketetapan Nabi Muhammad SAW tersebut erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan.
3.      Sejarah Islam
Pendidikan sebagai sebuah praktik pada hakikatnya merupakan peristiwa sejarah, karena praktik pendidikan tersebut terekam dalam tulisan yang selanjutnya  dapat dipelajari oleh generasi selanjutnya. Di dalam sejarah terdapat informasi tentang kemajuan dan kemunduran pendidikan di masa lalu. Kemajuan dalam bidang pendidikan di masa lalu dapat dijadikan pelajaran dan bahan perbandingan untuk pendidikan di masa sekarang dan yang akan datang. Adapun kemunduran pendidikan di masa lalu dapat dijadikan bahan peringatan, agar tidak terulang kembali  di masa sekarang dan yang akan datang.
Praktik pendidikan yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Dinasti Usmani, Dinasti Safawi, Dinasti Moghul, Dinasti Fatimiyah, kesultanan di abad pertengahan dan seterusnya merupakan peristiwa sejarah yang dapat dipelajari berdasrkan fakta dan bukti yang meyakinkan.[14]
Sejarah telah mewariskan berbagai aspek atau komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan ajar, proses belajar mengajar, profil guru, murid, pengelolaan, kelembagaan dan lain sebagainya. Semuanya itu dapat dijadikan sumber bagi perumusan ilmu dan praktik pendidikan
4.      Pendapat Para Sahabat dan Filsuf
Sahabat adalah orang yang lahir dan hidup sezaman dengan Nabi serta menyatakan beriman dan setia kepadanya. Para sahabat adalah orang yang pertama kali belajar dan menimba pengetahuan dari Nabi Muhammad SAW. Adapun filsuf adalah orang yang berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, universal, dan spekulatif dalam rangka mengemukakan hakikat atau inti dari sesuatu.[15]
Para sahabat dan filsuf adalah orang-orang yang memiliki keinginan dan komitmen yang kuat untuk membangun kehidupan manusia yang bermartabat. Mereka mencurahkan segenap waktu, tenaga dan kemampuannya untuk memikirkan dan membimbing umat manusia. Mereka memikirkan tentang hakikat manusia, alam, ilmu pengetahuan, akhlak, kebaikan, kebahagiaan, sosial, politik, kesejahteraan umat dan pendidikan.
5.      Mashalat al-Mursalah
Mashalahat al-Mursalah secara harfiah berarti kemaslahatan umat. Adapun dalam arti yang lazim digunakan yaitu undang-undang, peraturan atau hukum yang tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an, namun dipandang perlu diadakan demi kemaslahatan umat.[16] Adanya surat nikah misalnya, walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), namun surat nikah tersebut diperlukan, agar menjadi bukti yang sah dan mendapatkan perlindungan hukum atas pernikahannya. Dengan pengakuan ini, maka ia berhak mendapatkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara, seperti kartu tanda penduduk, surat akta kelahiran, tunjangan dari pemerintah, pembagian harta gono-gini dan sebagainya.
Di masa lampau, ketika manusia jumlahnya masih sedikit, boleh jadi surat nikah tersebut belum dibutuhkan, karena tidak akan menimbulkan masalah. Namun di masa sekarang, surat nikah mutlak diperlukan. Selain surat nikah masih banyak hal lain yang termasuk produk maslahat al-mursalah seperti ijasah, stempel surat, dan kartu tanda penduduk.
Namun demikian, agar masalahat al-mursalah tidak menyimpang dari tujuan utamanya, yaitu kemaslahatan umat, maka disyaratkan sebagai berikut:[17]
1)      Apa yang di cetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahap observasi dan analisis.
2)      Kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh adanya lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi.
3)      Keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar al-Qur’an dan as-Sunnah.
  Undang-undang pendidikan dapat dimasukkan dalam salah satu produk maslahat al-mursalah, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan ketiga ciri tersebut di atas, yakni membawa kemaslahatan, bersifat adil untuk semua, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
6.      Al-‘Uruf
Al-‘Uruf secara harfiah berarti sesuatu yang sudah dibiasakan dan dipandang baik untuk dilaksanakan. Adapun secara terminologi, al-uruf adalah kebiasaan masyarakat baik yang berupa perkataan, perbuatan maupun kesepakatan yang dilakukan secara terus menerus dan selanjutnya membentuk semacam hukum tersendiri.[18] Dengan mengikuti al-uruf  tersebut, maka seseorang akan merasa tenang dalam melakukannya, karena sejalan dengan akal, diterima oleh tabiat yang sejahtera, serta diakui oleh masyarakat.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam dengan syarat:[19]
4)      Tidak bertentangan dengan nas, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
5)      Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan keduhakaan, kerusakan, dan kemudaratan
Sumber pendidikan dalam bentuk al-uruf ini dapat bentuk berbagai kebijakan atau tradisi tentang penyelenggaraan pendidikan dengan berbagai aspeknya yang pernah dilakukan oleh masyarakat di masa lalu.
7.      Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti kesanggupan (al-wus’i), kekuatan (al-thaqah) dan berat (al-masyaqqah). Menurut Asy-Saukani secara etimologi ijtihad adalah pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.[20] Sa’id al-Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (ke arah yang membentuk kesungguhan), yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya. Hasil ijtihad berupa rumusan operasional tentang pendidikan Islam yang dilakukan dengan metode deduktif atau induktif dalam melihat masalah kependidikan.[21]
Ijtihad menjadi penting dalam pendidikan Islam ketika suasana pendidikan mengalami status quo, jumud dan stagnan. Tujuan diadakannya ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas.
C.      Dasar Pendidikan Islam
Dalam kosakata bahasa Indonesia, kata dasar memiliki banyak arti. Diantaranya tanah yang di bawah, bagian yang terbawah, bantal, latar, cat yang menjadi lapis yang di bawah sekali, cita atau kain yang akan dibuat pakaian, bakat, pembawaan yang dibawa sejak lahir, alas, pedoman, asas, pokok atau pangkal.
Dalam bahasa Inggris, kosakata dasar merupakan terjemahan dari kosakata fondation atau fundament, yang berarti dasar atau landasan. Dan dalam bahasa arab merupakan terjemahan dari kata asas.[22]
Dari seluruh pengertian tersebut, bahwa kata dasar digunakan dalam berbagai kegiatan atau pekerjaan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, dan pada intinya berarti sesuatu yang berada di bawah. Namun dari segi fungsinya mengandung arti yang utama, penting dan pokok. Dasar tersebut selanjutnya melandasi dan menopang sebuah kegiatan atau pekerjaan tersebut. Kata dasar identik dengan kata pokok, fundamen, dan asas.
Pendidikan merupakan sebuah sisitem yang mengandung aspek visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan ajar, proses belajar mengajar, guru, murid, manajemen, sarana dan prasarana, biaya, lingkungan dan lain sebagainya. Berbagai komponen pendidikan tersebut membuat sebuah sistem yang memiliki kontruksi atau bangunan yang khas. Agar konstruksi atau bangunan pendidikan tersebut kukuh maka ia harus memiliki dasar, fundamnet atau asas yang menopang dan menyangganya, sehingga bangunan konsep pendidikan dapat berdiri kukuh dan dapat digunakan sebagai acuan dalam praktik pendidikan.
Dengan demikian, dasar-dasar pendidikan yaitu segala sesuatu yang berbentuk konsep, pemikiran, dan gagasan yang mendasari dan mengasasi pendidikan.
Menurut Hasan Langgulung, bahwa dasar pendidikan Islam terdapat enm macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik, administrasi, psikologi dan filosofis.[23]
Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, bahwa dasar operasional segala sesuatu yaitu agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang bernuansa keislaman. Dengan agama, maka semua aktivitas kependidikan menjadi bermakna, mewarnai dasar lain dan bernilai ibadah. Oleh karena itu dasar operasional pendidikan yang enam tersebut di atas perlu ditambahkan dasar yang ketujuh, yaitu agama.[24]
Berdasarkan dengan penjelasan tersebut, maka dalam tulisan ini dasar pendidikan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dasar religius, dasar filsafat dan dasar ilmu pengetahuan. Uraian tentang ketiga macam dasar ini, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Dasar Religius
Dasar religius sebagaimana dikemukakan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Adapun tujuan dari agama yaitu memelihara jiwa manusia (hifdz an-nafs), memelihara agama (hifdz al-din), memelihara akal pikiran (hifdz al-aql) memelihara keturunan (hifdz al-nasab), dan memelihara harta benda (hifdz al-maal). Pendapat lain mengatakan, bahwa inti dari ajaran agama ialah terbentuknya akhlak mulia yang bertumpu pada hubungan yang harmonis antara manusia dan Tuhan, antara manusia dengan manusia.[25]
Dengan demikian, dasar religius berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, serta memelihara moralitas manusia. Dasar religius ialah dasar yang bersifat humanitas-teocentris, yaitu dasar yang memperlakukan dan memuliakan manusia sesuai dengan petunjuk Allah SWT, dan dapat pula berati dasar yang mengarahkan manusia agar berbakti, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT, dalam rangka memuliakan manusia. Dasar religius seperti inilah yang dijadikan dasar bagi perumusan berbagai komponen pendidikan. Visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan ajar, sifat dan karakter pendidik, peserta didik, hubungan pendidik dan peserta didik, lingkungan pendidikan, manajemen pengelolaan, dan lainnya harus berdasarkan pada dasar religius.
2.      Dasar Filsafat Islam
Dasar filosofis adalah dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.[26] Dalam uraian lain dinyatakan bahwa dasar filsafat adalah dasar yang digali dari hasil pemikiran spekulatif, mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang berbagai hal yang selanjutnya digunakan sebagai dasar perumusan konsep ilmu pendidikan. Dalam filsafat Islam dijumpai pembahasan tentang masalah ketuhanan, alam, jagat raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak.[27]
Secara epistimologis, lahirnya ilmu agama, dari wahyu terjadi melalui metode ijtihad, lahirnya ilmu pengetahuan alam (sains) dari alam jagat raya melalui metode penelitian eksperimen dan observasi, lahirnya ilmu sosial dari fenomena sosial terjadi melalui metode penelitian lapangan, lahirnya sastra dan seni dari intuisi terjadi melalui metode imajinasi dan kontemplasi, lahirnya filsafat dari kemampuan berpikir terjadi melalui berpikir spekulatif, sistematis, mendalam, radikal, dan universal.[28]
Kemampuan berijtihad, bereksperimen, penelitian lapangan, berimajinasi dan kontemplasi, berpikir secara mendalam dan sistematik berasal dari Allah SWT. Manusia hanya menggunakan fasilitas yang diberikan Allah SWT. Dengan demikian, secara epistimologis semua ilmu berasal dari Allah SWT.
Selanjutnya secara aksiologis setiap ilmu sebagaimana diuraikan di atas mengandung nilai dan manfaat untuk manusia. Namun demikian tingkat kemanfaatannya bertingkat-tingkat sesuai dengan tujuan ilmu-ilmu tersebut. Ilmu agama bermanfaat bagi pengabdian kepada Allah dan menumbuhkan akhlak mulia. Ilmu pengetahuan alam bermanfaat dalam mengelola dan mengembangkan alam jagat raya. Ilmu sosial bermanfaat untuk mengelola dan mengembangkan masyarakat. Seni dan sastra bermanfaat untuk menghaluskan perangai dan sifat manusia. Filsafat bermanfaat untuk menemukan hakikat kebenaran tentang sesuatu. Dan ilmu tasawuf bermanfaat untuk melakukan pembersihan diri dalam rangka memperoleh kedekatan spiritual dengan Allah SWT. Semua manfaat yang terdapat dalam ilmu tersebut berasal dari Allah SWT. Namun, manfaat dari ilmu tersebut selanjutnya amat bergantung kepada manusia yang akan menggunakannya.[29]
3.      Dasar Ilmu Pengetahuan
Yang dimaksud dengan dasar ilmu pengetahuan adalah dasar nilai guna dan manfaat yang terdapat dalam setiap pengetahuan bagi kepentingan pendidikan dan pengajaran. Dan dalam uraian tentang epistimologi ilmu pengetahuan tersebut diatas telah dijelaskan, bahwa setiap ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial memiliki tujuan dan manfaatnya sendiri-sendiri.
Berbagai manfaat ilmu pengetahuan tersebut harus digunakan sebagai dasar ilmu pendidikan Islam. Dalam hubungannya dengan tujuan pendidikan, berbagai manfaat dan tujuan ilmu pengetahuan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)      Ilmu Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan, bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, serta sumber daya manusia lainnya. Informasi tentang gejala-gejala kejiwaan tersebut diperlukan untuk menentukan tingkat materi pendidikan yang perlu diberikan kepada peserta didik, metode dan pendekatan yang akan digunakan, serta dalam memotivasi mereka untuk meraih prestasi belajar mengajar.[30]
2)      Ilmu Sejarah
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai peristiwa masa lalu, baik dari segi waktu, tempat, pelaku, latar belakang, tujuan, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang disusun secara sistematik, dan didukung oleh data dan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid. Dengan mempelajari sejarah, akan diketauhi kemajuan dan kemunduran suatu kegiatan, untuk dijadikan bahan masukan dalam rangka memprediksi dan merancang masa depan.[31]
Di dalam sejarah terdapat informasi tentang kegiatan pendidikan yang pernah ada pada masa lalu, baik dari segi kelembagaannya, tujuan, materi, kurikulum, bahan ajar, guru, peserta didik, lingkungan dan berbagai aspek pendidikan lainnya. Informasi tersebut selain sebagai pengetahuan untuk memperluas wawasan, juga sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan dimasa yang akan datang.
3)      Ilmu Sosial dan Budaya
Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala sosial serta hubungannya antara satu gejala dengan gejala yang lainnya dalam masyarakat. Adapun ilmu budaya adalah ilmu yang mempelajari hasil daya cipta dan kreasi akal budi manusia, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, seperti tulisan, prasarti, bangunan rumah, bangunan lembaga pendidikan, kesenian, kesusatraan, kerajinan tangan, pakaian, adat istiadat dan lain sebagainya. Informasi yang berasal dari gejala sosial dan budaya tersebut diperlukan dalam rangka menyusun konsep pendidikan, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
4)      Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang sumber, cara mendapatkan, mengelola dan mengembangkan ekonomi yang disusun secara sistematik dengan menggunakan metode tertentu. Dasar ilmu ekonomi ini diperlukan dalam rangka memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber, serta mempertanggungjawabkannya terhadap rencana dan anggaran pendidikan.
Ilmu ekonomi yang diatur berdasarkan ajaran Islam ini diperlukan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan, seperti untuk pembangunan gedung dan infrastruktur, sarana dan prasarana, gaji pendidik dan tenaga pendidikan, pengadaan alat-alat peraga, alat tulis dan lain sebagainya.
5)      Ilmu Politik
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang tujuan, cita-cita dan ideologi yang akan diperjuangkan, cara-cara mendapatkan, mengelola, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan. Ilmu politik sangat diperlukan untuk kegiatan pendidikan, karena memberikan jaminan dan dukungan atas berlangsungnya kegiatan pendidikan sesuai dengan cita-cita dan ideologi yang ingin diperjuangkan.
Dengan ilmu politik, maka dapat dirumuskan berbagai undang-undang, peraturan dan kebijakan tentang berbagai aspek pendidikan, seperti pembiayaan, kurikulum, pengadaan guru, pengadaan buku ajar, pengadaan bangunan dan infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya
6)      Ilmu Administrasi
Ilmu administrasi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi, mengevaluasi, memperbaiki sebuah kegiatan. Ilmu ini diperlukan sebagai dasar bagi perencanaan berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan. Dengan dasar ilmu administrasi dapat dilakukan pengelolaan secara sistematik dan terencana tentang sarana dan prasarana, keuangan, kepegawaian kegiatan belajar mengajar dan lain sebagainya.


D.      Kesimpulan
Dari uraian pada penjelasan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam tulisan ini, yaitu:
1.      Bahwa yang dimaksud dengan sumber adalah bahan-bahan atau materi yang dapat dijadikan modal utama bagi penyusunan ilmu pendidikan Islam.
2.      Sumber ilmu pendidikan diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan.
3.      Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber pendidikan Islam yang utama/primer. Sedangkan sejarah, pemikiran para sahabat, para filsuf, maslahat al-mursalah, uruf merupakan sumber pendidikan islam sekunder, selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
4.      Pendidikan sebagai sebuah bangunan memerlukan dasar yang kuat, agar bangunan tersebut dapat berdiri kokoh dan berdaya guna dalam pembinaan sumber daya manusia.
5.      Dasar pendidikan Islam terdiri dari dasar religius, dasar filsafat dan dasar ilmu pengetahuan.

6.      Dasar religius berfungsi memberikan nilai keimanan dan akhlak bagi kegiatan pendidikan, dasar filsafat memberi dasar pada perumusan visi, misi, tujuan dan berbagai aspek lainnya tentang pendidikan. Adapun dasar ilmu pengetahuan memberikan masukan bagi penyusunan berbagai komponen dalam pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

Depag Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998
Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2010.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2014.
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004
Uha, Ismail Nawawi, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, VIV Press, 2012
Yatim, Badri, Sejarah dan Peradaban Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2003




[1] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 73.
[2] Ibid., 73.
[3] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 6.
[4] Ismail Nawawi Uha, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: VIV Press, 2012), 3.
[5] Nata, Ilmu, 74.
[6] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 31.
[7] Nata, Ilmu, 75.
[8] Ibid., 32.
[9] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 276.
[10] Nata, Ilmu, 75.
[11] Nata, Ilmu, 76.
[12] Supiana dan M. Karman, Materi, 278.
[13] Nata, Ilmu, 77-78.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 9.
[15] Nata, Ilmu, 81.
[16] Ibid., 83.
[17] Nata, Ilmu, 84.
[18] Nata, Ilmu, 84.
[19] Ibid., 85
[20] Uha, Pendidikan, 50.
[21] Mujib, Ilmu, 43.
[22] Nata, Ilmu, 89.
[23] Mujib, Ilmu, 44.
[24] Nata, Ilmu, 91.
[25] Ibid., 92.
[26] Mujib, Ilmu, 46.
[27] Nata, Ilmu, 93.
[28] Ibid., 94.
[29] Ibid., 94.
[30] Nata, Ilmu, 96.
[31] Ibid., 97.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner