6/29/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (5)

المُطْلَقْ
Muthlaq artinya yang terlepas, yang dilepaskan, yang tidak terikat
Oleh ilmu Ushul ditujukan kepada : suatu perkataan yang menunjukkan kepada dzat sesuatu dengan tidak ada syarat, sifat, atau sesuatu ketentuan
Seperti riwayat ini : ada seseorang bersetubuh dengan istrinya pada siang hari bulan Ramadhan, lalu ia dating kepada Nabi SAW, menanyakan hukum atas kejadian itu. Maka Rasulullah bertanya kepadanya :
هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً ؟ فَقَالَ : لَا
“adakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan seorang hamba ? maka ia menjawab : tidak {Muslim}
KETERANGAN :
Kalimat “hamba” ini, disebut muthlaq, karena ia menunjukkan kepada dzat hamba dan tidak terikat dengan salah satu sifat, syarat atau ketetapan. Yakni tidak terikat dengan perkataan “mukmin” atau “kafir” atau lainnya.
Maka menurut ini : kalimat “hamba” itu boleh ditujukan kepada “hamba mukmin” dan boleh kepada “hamba kafir” dan boleh juga kepada lainnya, asal setatus orang itu hamba.
Di dalam pelajaran ‘Am, yang sudah kita pelajari bahwa :
1.      Keumuman kata – kata atau kalimatlah yang teranggap
2.      Umum menjadi tertentu
3.      Tidak boleh berpegang kepada yang umum
Maka begitu pula dipelajaran “Muthlaq”, yakni :
1.      Kemuthlaqan kata – kata atau kalimatlah yang teranggap
2.      Muthlaq jadi terikat (tertentu)
3.      Tidak boleh langsung berpegang kepada Muthlaq dulu
Yang berbeda antara ‘Am dan Muthlaq ialah : tentang tujuan lafadznya dan namanya saja. Adapun kedudukannya sama

6/20/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (4)

الخَاص
Khas artinya tertentu
Maksud disini ialah : perkataan atau susunan yang membatas, mengecualikan atau menentukan isi bagi ‘Am (yang umum)
Selain khash itu, ada lagi beberapa kalimat yang terpakai dalam pembahasan ini, yaitu :
a.       Khusus (خُصُوْص)
b.      Makhsus (مَخْصُوْص)
c.       Takhshis (تَخْصِيْصْ)
Tentang ini, ada beberapa pembicaraan dan qaidah :
1.      Bagian Khash
Khash itu ada dua bagian :
a.       Ada yang bersambung, yaitu ketentuannya itu ada dalam susunan yang menjadi satu dengan yang umum
b.      Ada yang terpisah, yaitu ketentuannya terdapat di lain ayat Qur’an atau Hadits, tidak dalam yang umum itu
Contoh khash yang bersambung
Firman Allah dalam Q.S. Al – An’am : 151 :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ.......
“Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa (manusia) yang Allah telah haramkan (membunuhnya), melainkan dengan jalan yang dibenarkan” {Al – An’am : 151}
KETERANGAN :
Susunan kalimat “janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa (manusia) yang Allah telah haramkan (membunuhnya), itu umum, yaitu tidak boleh membunuh seorangpun, maupun dengan jalan yang benar, yaitu mengqishash[1] atau dengan jalan tidak benar, yaitu dengan zhalim[2].
Keumuman ini dikecualikan dengan firman-NYA di situ juga, dengan kalimat “ melainkan dengan jalan yang dibenarkan”, yakni dibenarkan pembunuhan dengan jalan yang benar, seumpama membalas hukum membunuh, membunuh dalam peperangan, dan sebagainya yang ada izin dari Agama.
Pengecualian ini dinamakan “Khash”, yaitu pembatas bagi keumuman tadi. Pengecualian ini, dikatakan bersambung, karena adanya dalam satu susunan bersama umumnya, dan tidak berpisah – pisah.
Selain dari perkataan “melainkan”, ada lagi beberapa kalimat yang menjadi “Khash”, yaitu :
a.       Perkataan “sampai”, “sehingga” = حَتَّى
b.      Perkataan “ke”, “sampai” = إِلَى
c.       Sifat bagi sesuatu, umpamanya = rumah “yang besar”, “yang besar” itu sifat bagi rumah
d.      Pengganti, umpamanya = orang – orang dating, yaitu “guru – guru Agama”, “guru – guru Agama” ini pengganti kalimat “orang – orang”
e.       Hal keadaan, umpamanya = ia membaca “sambal duduk”, “sambal duduk” ini dikatakan hal keadaan orang yang membaca
Maka jika dalam ayat Qur’an atau hadits terdapat 6 macam yang tersebut atau yang seumpamanya, qiyaskanlah kepada perkataan “melainkan” diatas tadi.
Contoh khosh yang terpisah
Firman Allah dalam Q.S. Al – A’raf : 31
وَكُلُوا….
“dan makanlah……..” {Al – A’raf : 31
KETERANGAN :
Perkataan “makanlah” itu umum. Menurut ayat ini, boleh makan apa saja yang kita sukai, umpamanya : makan babi, darah, bangkai kambing, dll. Dari segala macam benda yang ada di bumi, dengan tidak terkecuali.
Tetapi keumuman ayat tersebut telah dibatasi Allah dalam Qur’an juga, yakni :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ……
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah” {An – Nahl : 115}
KETERANGAN :
Ayat ini, membatasi atau mengecualikan keumuman ayat Al – A’raf : 31, dan menentukan, bahwa yang haram itu hanya 4 macam makanan tersebut saja.
Pembatasan atau pengecualian atau ketentuan ini, tidak di satu ayat dengan Al – A’raf : 31, melainkan Al – A’raf : 31 dan An – Nahl :115. Jadi, dikatakan khashnya itu “berpisah”.
PENJELASAN :
a.       Al – A’raf : 31 dikatakan ‘Am
b.      An – Nahl : 115, disebut Khash, karena ia menentukan Al – A’raf : 31 itu
c.       Maka Al – A’raf : 31, yang tadinya ‘Am, sekarang dikatakan “Makhsush” oleh An – Nahl : 115
d.      “jalan atau cara” dalam menentukan Al – A’raf : dengan An – Nahl itu, dinamakan “Takhsish”
e.       An – Nahl itu dengan kedudukan seperti tersebut, kita katakana : ia masuk pembicaraan “Khusus”

2.      Beberapa Macam Khash Yang Terpisah
Khash yang terpisah itu, ada beberapa macam, yaitu :
1.      Ayat Qur’an yang umum, dikhususkan dengan ayat lain. Ringkasnya : ayat dengan ayat. Contohnya : seperti kasus makanan, Q.S. Al – A’raf : 31, dikhususkan dengan Q.S. An – Nahl :115
2.      Ayat Qur’an yang umum, dikhususkan dengan hadits. Ringkasnya : ayat dengan hadits. Contohnya :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ....
“Allah mewajibkan atas kamu tentang anak – anak kamu, untuk seorang laki – laki, adalah seperti bagian dua anak perempuan” {An – Nisa’ : 11}

KETERANGAN :
Perkataan “anak – anak kamu” yang ada dalam ayat tersebut, dikatakan umum, karena mengenai anak yang muslim dan anak yang kafir (bukan muslim). Keumuman ini dikhususkan oleh Hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi :
لَايَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Tidak boleh orang Islam mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir (mewarisi) orang Islam” {Bukhari}
Maka, Q.S. An – Nisa’ ayat 11 tersebut “anak – anak kamu”, jadi khusus dalam urusan warisan, yang dimaksud “anak – anak kamu” ini adalah anak – anak yang muslim saja, berdasarkan Hadits yang ada dalam Bukhari tersebut.
3. Hadits yang umum, dikhususkan oleh Hadits lain. Ringkasnya : Hadits dengan Hadits. Seperti sabdah Nabi SAW :
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak shah shalat bagi orang yang tidak membaca Al – Fatihah” {Muslim}

KETERANGAN :
Hadits Nabi SAW ini masih umum tentang maknanya, yakni mengenai orang yang shalat sendirian ataupun yang berjama’ah, mengenai juga pada imam yang membaca dengan perlahan (shir) dan yang membaca dengan suara keras (jaher). Keumuman hadits tersebut ditentukan oleh Hadits Nabi SAW yang lain pula, yaitu :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْ تَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَانْصِتُوْا....
“Tidak dijadikan imam (dalam shalat) itu, melainkan untuk dituruti dia. Maka, apabila ia selesai bertakbir, hendaklah kamu bertakbir, tetapi bilamana ia membaca (Al – Fatihah atau Surat), hendaklah kamu diam” {Ahmad}

KETERANGAN :
Hadits ini menentukan bahwa, jika imam membaca Al – Fatihah (surat atau ayat), dengan suara yang terdengar oleh makmum, maka makmum wajib diam untuk mendengarkan, tidak boleh makmum ikut membacanya.
Jadi, maksud hadits pertama, sesudah dikhususkan oleh hadits ke dua, yaitu : “tidak shah shalat kalau tidak membaca Al – Fatihah, ketika sendirian atau ketika berjama’ah, dengan catatan, si Imam tidak membacanya dengan Keras (jaher). Tetapi, jika si Imam membaca dengan suara keras (jaher) atau terdengar oleh makmum, maka makmum yang mendengar bacaan Imam wajib diam atau tidak dibenarkan ikut membaca.

3.      Yang Tidak Boleh Dijadikan Khash
Yang tidak boleh dijadikan penentu (khash dan takhsish) bagi ayat – ayat Qur’an atau Hadits – hadits secara umum adalah :
1.      Semata – mata fikiran orang
2.      Semata – mata perasaan orang
3.      Semata – mata faham orang
4.      Semata – mata adat kebiasaan manusia
5.      Semata – mata perjalanan atau omongan seseorang shahabat Nabi SAW
Maksudnya : bilamana kita mendapati satu ayat atau hadits yang isinya umum, tidak boleh kita menentukan atau mengecualikan keumumannya itu dengan salah satu dari 5 jalan tersebut, tetapi hendaklah kita mencari khashnya dari ayat atau hadits juga

4.      Umum Masuk Pada Khash
Jika terdapat dua ayat atau hadits yang sama hal, sebab, dan hukumnya, sedang yang satu umum dan yang satu lagi khusus, maka yang boleh dipakai untuk ketetapan sesuatu ialah yang khusush
Adapun yang umum itu, tidak boleh lagi kita berpegang kepada keumumannya, yang umum ini hukumnya termasuk dan dihubungkan pada yang khash. Contohnya seperti Q.S Al – A’raf : 31 dan An – Nahl :115 yang telah kita jelaskan dibagian khash berpisah.
Al – A’raf : 31 itu umum, sedangkan An – Nahl : 115 itu khusush. Kedua ayat ini, sama urusan, sebab dan hukumnya. Maka yang boleh dipakai untuk ketetapan ialah dalil yang khusush yaitu Q.S. An – Nahl : 115


[1] Qishash = balas bunuh menurut hukum Agama
[2] Zhalim = Aniaya, melewati batas

6/6/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (3)

الْعَـامْ
‘Am  artinya yang umum, yang merata
Tetapi yang dimaksud disini ialah : suatu lafadz yang menunjukkan dengan merata kepada sesuatu jenis. Tegasnya : suatu perkataan yang mengenai kepada tiap – tiap suatu dari satu – satu macam jenis (golongan). Umpamanya kalimat “siapa – siapa saja” yang akan kita bicarakan
Tentang ‘Am ini ada beberapa qaidah, yaitu sebagai berikut :
1.      Tanda – Tanda Umum
Ada beberapa lafadz yang dapat dijadikan sebagai tanda untuk menetapkan keumuman sesuatu susunan, diantaranya kalimat berikut :
a.       Kalimat (مَنْ) : artinya : siapa saja[1], seperti firman Allah :
مَنْ يَعْمَلْ سُوْءً ايُجْزَبِهِ............
“Siapa saja yang mengerjakannya kejahatan, akan dibalas dia dengan kejahatan itu……..{An – Nisa’ : 123}

KETERANGAN :
Katalimat “siapa saja” mengenai semua macam jenis manusia : laki – laki, perempuan, islam, kafir, majusi
Jadi : siapa saja : laki – laki, perempuan, muslim, atau kafir, atau majusi, yang mengerjakan kejahatan, akan binasa

b.      Kalimat (مَا) : artinya apa saja[2], seperti firman Allah :
وَمَا تُنْفِـقُوْا مِنْ خَـيْـرٍ يُوَفَّ إٍلَيْكُمْ........
“Dan apa saja yang kamu belanjakan daripada kebaikan, akan disempurnakannya kepada kamu” {Al – Baqarah : 272}

KETERANGAN :
Kata – kata “apa saja” itu mengenai semua jenis barang dan juga pekerjaan manusia. Karena ini, lafadz مَا (apa saja) itu dikatakan umum

c.       Kalimat (كُـلّ)[3] : artinya tiap – tiap, semua, atau sekalian, seperti firman Allah :
كُلُّ نَفْسٍ ذَا ءِــقَتُـةُ الْمَوْتِ
Tiap – tiap yang berjiwa, akan merasakan matinya {Ali – Imran :185}

KETERANGAN :
Perkataan “tiap – tiap” itu dikatakan umum, karena mengenai semua jenis manusia, binatang dan lain – lain makhluk yang berjiwa

d.      Kalimat (جَمِيْع) artinya : semua, sekalian, seperti firman Allah :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا……….
“Dialah (Allah) yang menjadikan bagi kamu apa – apa yang ada di bumi, sekaliannya” {Al – Baqarah : 29}

KETERANGAN :
Kata – kata “sekaliannya” itu mengenai kepada apasaja yang ada di bumi, seperti bintang – bintang, tumbuh – tumbuhan, batu, ikan, gunung, dll
Karna ini lafadz “jami’” itu dikatakan umum

e.       Kalimat (لَا) artinya tidak, tiada, dengan syarat لا” ini adanya dalam suatu susunan yang mengandung kata – kata “yang tidak tertentu”, seperti firman Allah :
وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا...........
“Dan jagalah diri kamu dari (siksaan) suatu hari dimana seorangpun tidak dapat melepaskan sesuatu dari seseorang” {Al – Baqarah : 48}

KETERANGAN :
Kalimat “tidak” dalam ayat tersebut, adalah salinan dari kata – kata “La”. Kalimat “seseorangpun” adalah salinan dari “Nafsun” . Nafsun ini satu kalimat tidak “tertentu”, yakni tidak tertentu siapa yang dikehendaki dengan “seseorangpun” itu
Tiap – tiap susunan yang demikian bentuknya, maka kata – kata “seorangpun” atau yang seumpanya yang ada disitu mengenai kepada semua jenisnya. Kalau jenisnya itu manusia, maka ia mengenai kepada Bapak, Ibu, Anak – anak, laki, perempuan, Nabi, dan sebagainya. Kalau jenisnya barang, maka ia mengenai kepada semua yang termasuk pada barang. Begitulah yang lain – lainnya.
Perkataan – perkataan berikut ini sama halnya dengan “لا” tersebut, yaitu :
مَا = tidak
لَنْ = tidak, tidak akan
لَمْ = tidak, tidak sekali – kali
لَيْسَ = bukan, tidak
Maka dalam suatu susunan, apabila terdapat salah satu dari kata – kata tersebut yang sifat dan kedudukannya sama dengan “لا” tadi, boleh diqiyahkan.


2.      Keumuman Kata – Kata Yang Teranggap
Bilamana ayat Qur’an turun karena sesuatu, atau apabila Nabi SAW mengucapkan sesuatu omongan karena sesuatu sebab, maka tidak boleh kita berpegang kepada semata – mata sebab turun ayat atau sebab adanya sabdah Nabi SAW tadi. Seperti firman Allah :
عَنْ عَلِيْ قَالَ : كُنْتُ رَجُلًا مَذَاءً فَأمَرْتُ الْمِقْدَادَ أَنْ يَسْألَ النَّبِيَّ ص. فَسَألَهُ فَقَالَ : فِيْهِ الْوُضُوْءُ.
“Dari : Ali. Ia berkata : adalah saya ini seorang laki – laki yang suka keluar madzi[4], lalu saya menyuruh Miqdad supaya bertanya kepada Nabi SAW, kemudian Ia bertanya kepada Nabi, maka Nabi menjawab : tentang itu, ada wudlu’nya” {H.R Bukhari}

KETERANGAN :
Kalau kita melihat kepada riwayat tersebut nyatalah bahwa seseorang, kalau sering mengeluarkan madzi seperti Ali itu, baru ada wudlu’ untuk shalat, sebab timbulnya hukum madzi tadi karena kejadian yang berkenaan Ali.
Tetapi hukum – hukum Agama tidaklah tertentu untuk seseorang atau satu – satu kejadian, dan tidak juga tertentu bagi satu – satu masa.
Karena itu, harus kita umumkan riwayat diatas, begini : “orang yang banyak mengeluarkan madzi seperti Ali, atau mengeluarkan sedikit, tetap hukumnya, yaitu mesti berwudlu’ untuk shalat.
Kecuali jika ada dalil tegas menetapka untuk seseorang, maka di waktu itu baru kita juga menentukannya untuk orang itu saja.

3.      Umum Jadi Tertentu
“Umumnya lafadz yang teranggap” seperti dalam qaidah yang kedua itu, dapat berubah menjadi tertentu untuk sesuatu, jika ada keterangannya. Seperti firman Allah :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibaca Qur’an, hendaklah kamu mendengarnya serta diam, supaya kamu diberi rahmat” {Al – A’raf : 204}

KETERANGAN :
Ayat ini pada asalnya, mesti diumumkan, yakni dimana saja orang membaca qur’an baik dalam shalat atau diluar shalat, wajib kita mendengarkan. Walaupun sebab turun ayat ini untuk shalat, sebagaimana perkataan Imam Ahmad :
أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أنَّ هَذِهِ الأيَةَ فِيْ الصَّلَاةِ
“Telah ijma’ ulama’, bahwa ayat ini (turunnya) tentang shalat” {Al – Mughni}
Tetapi keumumannya telah dikecualikan, menurut riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi :
قال أبُوْ قَتَادَةَ : إنَّ النَّبِيَّ ص. قال لأبِي بَكْرٍ : مَرَرْتُ بِكَ وَ أنْتَ تَقْرَاُ وَ اَنْتَ تَحْفِضُ مِنْ صَوْتِكَ. فَقاَلَ : إنِّيْ سَمَّعْتُ مَنْ نَاجَيْتُ قالَ : إرْفَعْ قَلِيْلًا
“Telah berkata Abu Qatadah : sesungguhnya Nabi SAW, telah berkata kepada Abu Bakar : “aku pernah melihat engkau, ketika engkau membaca (Qur’an) dan engkau perlahankan suaramu”, “ia menjawab : sesungguhnya saya mendengar Dzat (Allah) yang saya ajak omong”, sabdah Nabi SAW pula : keraskan sedikit”. {H.R. Abu Dawud dan Turmudzi}

KETERANGAN :
Riwayat ini menunjukkan bahwa waktu Abu Bakar membaca Qur’an, Nabi SAW, terus melaluinya dan tidak memperhatikan bacaannya atau diam. Ini berarti tidak wajib dian dan mendengarkan bacaan Qur’an diluar Shalat. Dengan ini, terkecualilah kemumuman ayat tadi, serta tertentu untuk dalam shalat, setuju dengan sebab turunnya ayat asal itu.
Ada beberapa keterangan lagi yang menentukan ayat itu untuk shalat.

4.      Tidak Boleh Berpegang Kepada Umum
Kalau terdapat keterangan yang umum, tidak boleh terus kita berpegang atau mengamalkan sesuatu menurut umumnya keterangan itu sebelum memeriksa lebih dahulu, kalau – kalau ada yang menentukannya atau mengecualikannya. Seperti firman Allah :
........كُلُوْا وَاشْرَبُـوا......
“..........makan dan minumlah......” {Al – A’raf : 31}

KETERANGAN :
Menurut umum ayat ini, dibenarkan kita makan dan minum apa saja yang kita sukai, tanpa terkecuali.
Umpamaka kita suka makan babi, darang, bangkai, dan boleh minum arak. tetapi kita semua telah mengetahui bahwa darah, daging babi, bangkai, dan arak, itu semua telah diharamkan oleh Allah
Karena itu, tidak boleh kita berpegang kepada keumuman ayat tersebut.
Sebelum kita berpegang kepada keumuman ayat atau hadits, hendaknya kita lebih dahulu memeriksa, jikalau ada ayat atau hadits yang mengecualikannya atau yang menentukannya, maka kita harus berpegang kepada dalil yang menghususkan.


[1] Siapa saja ini tidak sama dengan “siapa” dalam pertanyaan. Umpamanya : ‘siapa itu ?’ bersifat pertanyaan, sedangkan ‘siapa saja’ ini bentuk penetapan yang diiringi dengan suatu syarat
[2] Apa saja ini, berlainan dengan kalimat “apa” dalam pertanyaan, umpamanya : “apa kabar ?” kedudukannya sama dengan kedudukan “siapa saja” dan “siapa”. Hanya bedanya : “siapa” digunakan untuk manusia, dan “apa” untuk selain manusia
[3] Kull : boleh digunakan untuk manusia dan lainnya
[4] Madzi : Air Syahwat

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner