9/24/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (16)

الْإسْتِدْلَالُ
Istidlal artinya minta petunjuk
Dalam Ushul Fiqh maksudnya : “satu dalil yang bukan dari Qur’an dan juga bukan Hadits Nabi SAW, bukan Ijma’, bukan ,Qiyas. Ringkasnya : keterangan yang diluar dari 4 macam itu.
            Yang termasuk dalam Istidlal itu bermacam – macam hal, diantaranya ialah :
1.      Istishab
2.      Syara’ sebelum Islam
3.      Perkataan seorang Shahabat Nabi
4.      Dalalatul Iqtiran
5.      Dalalatul Ilham
6.      Memipikan Nabi SAW
Semuanya itu kami akan terangkan satu persatu, beserta contohnya.
1.      Istishab  (الْإ سْتِصْحَابُ)
Istishab artinya menjadikan kawan.
Dalam pembahasan Ushul yaitu : “Hukum yang sudah tetap masa lalu, diteruskan sampai masa yang akan datang, selama tidak terdapat yang mengubahnya”.
Tegasnya yaitu : suatu hukum yang sudah tetap di masa lalu, tetap berlaku sampai masa yang akan datang, kalau tidak ada keterangan yang mengubahnya.
Contoh I : seorang ragu – ragu : apakah ia tadi sudah berwudhu atau belum. Diwaktu ini, ia harus berpegang kepada yang “belum berwudhu”, karena inilah yang yakin baginya. Pegangan ini dikatakan “hukum yang sudah tetap untuk dimasa lalu”.
Ia tidak boleh shalat sekarang dan nanti, selama ia belum berwudhu. Ia tidak boleh shalat ini karena hukum yang sudah tetap dimasa lalu, yaitu keyakinan “belum berwudhu”, ditetapkan sampai sekarang (waktu ia ragu).
Contoh II : seorang yakin bahwa tadi ia sudah berwudhu, tetapi sekarang ia ragu – ragu : apakah tetap ada wudhunya itu atau tidak ?. Dalam keadaan begitu, ia mesti berpegang kepada yang awal, yaitu sudah berudhu.
Pegangan yang demikian ini dikatakan : hukum yang sudah tetap dimasa lalu.
Jadi, boleh ia shalat, karena hukum yang lalu itu, ditetapkan adanya sampai sekarang (ketika ia tadi ragu)
Contoh III : perkawinan yang sudah cukup rukun dan syarathnya, tentulah sudah shah. Dan ini suatu hukum yang sudah tetap. Menurut syar’I dan fikiran, keshahihannya itu mesti terus berlaku sampai sekarang dan yang akan datang, selama tidak diubahnya dengan jalan thalaq, fasakh[1], khulu’[2], meninggalnya salah seorang, dan sebagainya.
Istidlal dari 3 macam contoh Istishab yang telah disebutkan diatas tadi itu boleh dipakai semua.

2.      Syara’ sebelum Islam (شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا)
Syara’ sebelum Islam itu maksudnya ialah Agama yang ada sebelum adanya Islam, seperti Agamanya Nabi Isa A.S., Musa A.S., Ibrahim A.S., dan lainnya.
Dalam pembahasan Ushul Fiqh yaitu : bolehkah peraturan – peraturan Agama sebelum Agama Islam itu dituruti ?
Perlu kita ketahui, bahwa kedatangan Agama Islam ini menghapuskan sekalian Agama dahulu dan hukum – hukumnya.
Karena itu, tidak boleh kita menuruti atau menggunakan hukum – hukum Agama sebelum Islam, melainkan yang dibenarkan saja dengan perintah yang nyata – nyata dari Agama Islam sendiri, seperti puasa Nabi Dawud. Ini mestinya tidak boleh kita turuti, tetapi oleh sebab ada kebenaran dari Agama Islam, maka boleh kita ikuti atau kita amalkan. Sebagaimana Sabdah Nabi :
...... فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا فَذَالِكَ صِيَامُ دَاوُدَ
“……. Maka puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu puasa Nabi Dawud” {Bukhari}

3.      Perkataan seorang Shahabat Nabi (قَوْلُ الصَّحَابِيِّ)
Ucapan seorang Shahabat Nabi tentang Ibadah dalam Agama atau yang seumpamanya itu, bolehkah dijadikan dalil dan dipakai atau tidak ?
            Hendaklah kita ketahui, bahwa kitab yang menjadi undang – undang kita hanya satu saja, yaitu Al – Qur’an. Dan orang yang Allah telah utus bagi ummat Islam untuk dituruti dan ditaati hanya seorang saja, yaitu Nabi Muhammad SAW. Selain dari itu tidak ada lagi.
            Adapun Shahabat – sahabat Nabi, sama saja seperti kita, tidak ada sedikitpun perbedaannya tentang mesti sama – sama menurut Qur’an dan Nabi Muhammad SAW.
            Karena tidak ada perintah dari Agama, sedang mereka sama dengan kita dalam mentaati Agama, maka tentulah omongan Shahabat atau pendiriannya semata – mata itu, tidak menjadi dalil bagi Agama
            Kalau kita menerima, bahwa semata – mata omongan seorang Shahabat itu boleh dijadikan alasan Agama, berarti kita telah menetapkan pokok yang Agama  sendiri tidak menetapkan. Ini tentu sudah salah.
            Contoh perkataan Umar r.a. :
الْخُطْبَةُ مَوْضِعُ الرَّكْعَتَيْنِ فَمَنْ فَاتَتْهُ الْخُطْبَةُ صَلَّى أرْبَعًا
“khutbah Jum’ah itu, pengganti dua rakaat. Maka barangsiapa luput khutbah, hendaknya ia Shalat empat rakaat” {Al – Muhalla 5 : 58}

            Perkataan Umar tersebut, tidak boleh dijadikan dalil untuk berhukum, sebagaimana yang dikehendakinya, karena tidak terdapat satupun seketerangan dari Agama yang menetapkan seperti omongan Umar itu.
            Hanya, yang ada dalilnya yaitu : kita diperintah mendengarkan khutbah Jum’ah dan shalat dua rakaat.
            Kalau luput mendengar khutbah, tidak berarti luput pula shalatnya yang dua raka’at. Paling tinggi kita dapat berkata, bahwa orang yang luput khutbah dengan sengaja itu, salah. Karena tidak menurut perintah mendengarkannya.
            Usaha lain untuk mengerjakan Jum’ah masih ada.

4.      Dalalatul Iqtiran (دَلَا لَةُ الْإقْتِرَانِ)
Dalalah artinya = dalil, keterangan, atau petunjuk
            Iqtiran artinya = sambungan atau perhubungan
            Jadi, Dalalatul Iqtiran ialah berdalil dari sesuatu yang ada perhubungannya.
            Tegasnya : kita mengambil hukum dari suatu yang bersambungan dengan yang lain, dalam Qur’an atau Hadits.
            Jika yang satunya mempunyai ketetapan “Haram” umpamanya, maka yang disambungkan kepadanya juga ikut dianggap “Haram”
            Kalau yang satu “Jaiz”, maka yang dihubungkan kepadanya itu juga ikut “Jaiz”. Demikian selainnya.
            Begitulah yang ditujukan dalam pembahasan ini.
            Tetapi sebenarnya, ketetapan serupa ini tidak dapat menerima dan dipakai, kerena dalam Qur’an dan Hadits terdapat bermacam – macam kedudukan.
Umpamanya seperti firman Allah :
كُلُوْا وَشْرَبُوْا...
“dan makan dan minumlah....” {Al – A’raf : 31}

Keterangan :
“minumlah” yang terletak dibelakang, dihubungkan dengan “makanlah” dengan huruf “wau : dan”
Hukum “makan” kita sudah ketahui yaitu “Jaiz : boleh makan dan boleh tidak”
Karena minum dihubungkan dengan makan, maka “minum” juga mempunyai hukum Jaiz
Ini, kebetulan benar, karena kita telah mengetahui hukum “makan” dan hukum “minum” itu jaiz dari keterangan – keterangan lain, bukan dari Ayat tersebut
Coba perhatikan ayat ini :
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“makanlah dari buahnya, apabila ia telah berubah, dan keluarkanlah zakatnya pada hari dipertiknya” {Al – An’am : 141}

Keterangan :
Perkataan “keluarkanlah” yang terletak dibelakang, dihubungkan dengan makanlah. “makan” hukumnya jaiz, sebagaimana yang telah kita ketahui.
Kalau diakui, bahwa sesuatu yang dihubungkan dengan yang lain itu, sama hukumnya, maka mestinya “keluarkanlah” zakat itupun, jadi jaiz, yaitu boleh mengeluarkan zakat dan boleh tidak. Padahal sudah kita ketahui mengeluarkan zakat itu hukumnya “wajib”
Dengan demikian, Iqtirarnya itu tidak dapat dipakai.
Nah, dari dua contoh yang telah dipaparkan, nyatalah bahwa Dalalatul Iqtiran ini tidak dapat dijadikan sebagai penetapan hukum.

5.      Dalalatul Ilham (دَلَ لَةُ الْإلْهَامِ)
Dalalah artinya dalil, petunjuk
Ilham artinya mengabarkan
Maksudnya, dalam Ilmu Ushul ialah : khabar ghaib yang didapati seseorang dalam dirinya untuk mengerjikan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu
Soal Ilham ini, tentu tidak boleh dijadikan dalil Agama sama sekali, karena kita tidak akan dapat meyakini bahwa khabaran ghaib itu datangnya dari Allah, bahkan mungkin datangnya dari gangguan syaithan atau lainnya.
Boleh jadi satu – satu masa Ilham itu betul dan cocok, tetapi itu hanya kebetulan saja.
Umpamanya : seorang mendapat Ilham mesti shalat sehari semalam lima kali. Ini memang benar. Tapi benarnya itu bukan karena Ilham, tetapi karena ada perintah dari Agama yang sudah kita ketahui lebih dahulu.
Jika tidak ada keterangan memerintah kita untuk shalat, maka bagaiman kita dapat mengetahui kebenarannya Ilham itu ?
Umpamanya lagi : seorang dapat kabar ghaib, bahwa shalat subuh itu, tiga rakaat. Bagaimana kalau kejadian itu begitu ? apakah boleh orang itu shalat subuh tiga rakaar berdasarkan kepada ilhamnya ?
Tentu tidak ! karena tidak ada perintah begitu dari Agama kita
Dengan ini, jelaslah bahwa Ilham atau khabar ghaib itu, tidak boleh dijadikan dalil dalam Agama, maupun timbulnya pada orang – orang biasa atau pada Ulama’ – ulama’

6.      Memipikan Nabi SAW (رُءْ يَا النَّبِيِّ ص.)
Maksudnya ialah kalau seorang bermimpi melihat Nabi Muhammad SAW, dan dalam mimpi itu, “Nabi” memerintahkan hal ini dan itu., maka bolehkah yang demikian itu kita jadikan dalil Agama ?
Begitu dibicarakan dalam Ushul
Hendaklah kita maklum, bahwa Agama kita ini, sudah sempurna, tidak boleh ditambah, dan tidak boleh dikurangi, sebagai mana firman Allah :
....الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ....
“....hari ini[3] telah AKU  sempurnakan bagi kamu, Agama kamu....” {Al – Maidah : 3}

Ayat ini memberi makna bahwa, kalau  kita mimpi Nabi, tentu apa yang Nabi perintah atau larang dalam impian itu, tidak akan keluar dari apa yang sudah ada dalam Agama, karena kalau perintah atau larangan Beliau itu keluar dari Agama, berarti ayat Qur’an tersebut dusta. Ini, suatuhal yang tidak mungkin (mustahil)
            Bilamana yang Nabi perintah atau larang didalam mimpi itu, umpamanya berhubungan dengan urusan keduniaan, serta tidak mengenai aqidah, maka perlu dibicarakan, karena sudah terang itu bukan urusan Agama.
            Kalau bukan urusan Agama, maka tentulah bukan dalil Agama.
            Ada hadits yang mengatakan : bahwa syaitan itu tidak dapat menyerupai Nabi SAW, tetapi sabdah Nabi ini, tidak menunjukkan, bahwa mimpi itu dapat dijadikan hujjah dalam Agama
            Dalam pembicaraan diatas dapat kita mengambil kesimpulan begini :
            Ada kemungkinan orang bermimpi melihat Nabi SAW, tapi bisa kejadian dalam mimpi itu Nabi memerintah atau melarang sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan Agama yang ia bawa, tidak bisa terjadi ada tambahan atau pengurangan dalam Agama
            Allah telah menyempurnakan Agama-Nya.
            Kalau ditakdirkan ada juga mimpi seperti ini yang bersifat berlawanan, bertambah atau mengurangi Agama nyatalah mimpi tadi bukan dari Nabi. Melainkan dari syaithan atau sebagainya.



[1] Fasakh = perceraian suami – istri oleh hakim
[2] Khulu’ = perempuan minta cerai dengan tebusan mengembalikan maskawin
[3] Hari Sabtu, 10 Dzulhijjah  9 Hijriyah

9/18/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (15)

الْمَنْطُوْقُ وَ الْمَفْهُوْمُ
Mantuq artinya yang diucapkan
Dalam Ushul Fiqh dimaksudkan suatu lafadz atau susunan menurut sebagaimana yang diucapkan seseorang
Mafhum artinya yang difaham, yaitu sesuatu ketentuan yang difaham dari mantuq itu
Contohnya seperti firman Allah :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ...
maka janganlah engkau berkata kepada kedua Ibu-Bapakmu “uf” {Al – Isra’ : 23}
KETERANGAN :
Ayat ini, dari perkataan “maka... sampai....uf”, dinamakan mantuq, karena itulah yang difirmankan Allah
Menurut mantuq ayat ini, kita hanya tidak boleh berkata “uf” kepada ibu-bapak, tidak yang lainnya
Tetapi menurut cara mafhum begini :
“uf” itu, kata – kata yang bisa menyakitkan hati ibu-bapak, kalau diucapkannya kepada mereka
“uf” kalau umpama kita bandingkan dengan “memukul”, maka “uf” itu sifatnya kecil dan “memukul” itu sifatnya besar
Kalau ucapan yang kicil saja tidak boleh, apalagi perbuatan yang besar, tentu tidak patut
Maka yang kita fahami dari mantuq itu adalah “tidak boleh memukul ibu-bapak” faham ini dinamakan “mafhum”
Ringkasnya : apa saja yang kita fahami dari dzahir omongan seseorang, dinamakan mafhum, maupun faham itu benar atau salah
1.      Bagian Mafhum
Mafhum itu ada dua macam, yaitu :
a.      Mafhum Muwafaqah (مفهوم الموافقة)
Mafhum kecocokan, yaitu sesuatu yang difaham, sederajar (cocok) dengan Mantuqnya
Contoh : “memukul” tadi
“memukul” adalah menyakitkan hati orang tua. Ucapan “uf” juga menyakitkan hati. Jadi “memukul deng “uf” itu sederajat, sesuai.

b.      Mafhum Mukhalafah (مفهوم المخالفة)
Mafhum perlainan, yaitu sesuatu yang difaham, berlainan dengan Mantuq atau kebalikan dari mantuqnya.
Seperti firman Allah :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“Ibadah Hajji itu, mempunyai bulan – bulan yang tertentu... {Al – Baqarah : 197}
Bulan – bulan yang tertentu itu ialah : Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah.
Dari firman Allah tersebut, kita fahami : “ tidak boleh naik haji dalam bulan Shafar, Muharram, dan lainnya, selain tiga bulan tadi”.
Faham “tidak boleh berhaji selain tiga bulan” tersebut diatas tadi itu tidak tersebut di dalam firman Allah di atas.
Nah, faham ini berarti berlainan dengan (Mantuq) ayat tersebut. Faham seperti ini dinamakan “MAFHUM MUKHALAFAH”

2.      Hukum Mafhum Muwafaqah
Semua macam mafhum muwafaqah, boleh dipakai untuk menghukumi sesuatu.
Mafhum Muwafaqah disebut juga “MAFHUM KHITHAB”, artinya Mafhum Omongan, dan dikatakan juga “QIYAS AUWLAWY”, artinya : Mafhum perbandingan yang lebih utama, seperti “uf” tadi.

3.      Macam – Macam Mafhum Mukhalafah
Diantara mafhum Mukhalafah, ada yang boleh dipakai dan ada juga yang tidak boleh dipakai untuk menetapkan sesuatu
Berikut ini ada beberapa macam MAFHUM MUKHALAFAH beserta keterangan – keterangan yang mana boleh dipakai dan yang tidak boleh dipakai. :
a)      Mafhum Shifat (مفهوم الصِّفَةِ)
Apa – apa yang difaham dari sifat sesuatu, maka dikatakan Mafhum Sifat
Mafhum Sifat ini ada 2 macam, yaitu :
1.      Ada yang tidak boleh dipakai, umpamanya perkataan “Ahmad Mempunyai Topi Hitam”
Keterangan :
Perkataan “hitam” disebut sebagai sifat dari topi. Dari sebutan “hitam” ini, tidak boleh sekali – kali kita fahami bahwa Ahmad tidak mempunyai “topi putih, topi merah, dll”, karena perkataan diatas tadi tidak membatasi Ahmad mempunyai “topi hitam” saja.
Nah, jika ada faham bahwa Ahmad tidak mempunyai “topi merah, dll” maka faham itu tidak boleh diterima, malah bisa jadi Ahmad mempunyai topi ungu, putih, hijau, biru, dan lainnya”.
2.      Ada yang boleh dipakai, seperti firman Allah :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan salah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba mukmin” { An – Nisa’ : 92}
Keterangan :
Perkataan “mukmin” yang tersebut itu dikatakan “sifat” bagi hamba. Dari sifat ini, difahami bahwa, yang boleh dimerdekakan itu hanya hamba mukmin, tidak yang lainnya. Karena itulah yang diperintah Allah, adapun hamba yang lain tidak diperintah.
Faham semacam ini boleh dipakai sebagai ketetapan
Perbedaan antara dua macam mafhum tersebut ialah :
a.       Yang masalah “Topi” adalah merupakan perkhabaran atau pemberitahuan.
b.      Yang tentang “pembunuhan” adalah merupakan suatu perintah,

b)     Mafhum Adad (مفهوم الْعَدَدِ)
Artinya bilangan (hitungan). Apa – apa yang difaham dari bilangan sesuatu disebut Mafhum ‘Adad
Mafhum ini ada dua macam :
1.      Ada yang fahamnya tidak boleh dijadikan sebagai ketetapan, seperti Sabdah Rasulullah :
لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ لَا الْمُصَّتَانِ
“Penyusuan yang satu kali isapan atau dua kali isapan itu, tidak menjadikan haram” {Muslim} 

Keterangan :
Maksud sabdah Nabi ini, bahwa bilamana seorang menyusu kepada seorang perempuan, sekali atau dua kali isapan saja, tidak mengharamkan orang itu nikah kepada perempuan tersebut, yakni perempuan itu belum teranggap Ibu susunya. Perkataan “satu kali isapan” dan “dua kali isapan” tadi, dikatakan ‘Adad (bilangan). Dari bilangan ini, kita dapat memahami bahwa “tiga kali, empat kali isapan, dan seterusnya” baru menjadikan orang itu haram menikah kepada perempuan yang menyusuinya.
Nah, faham ini, tidak boleh dipakai, karena sabdah Nabi diatas tidak membatasi sampai dua kali saja, bahkan boleh sampai emapat kali dan seterusnya. Dan selanjutnya juga tidak mengharamkan pernikahan antara keduanya. 

2.      Ada yang fahamnya boleh diterima, seperti firman Allah :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap – tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” {An – Nur : 2} 

Keterangan :
Difahami dari ayat ini, bahwa deraan itu mesti 100 kali, karena itulah yang Allah perintah. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari 100 kali deraan, sebagaimana mantuqnya.
Faham ini boleh dipakai.
Perbedaan antara dua macam faham ini, sebanding dengan perbedaan “mafhum sifat” yakni bila merupakan suatu hukum baru boleh dipakai.

c)      Mafhum Hashr (مفهوم الحَصْرِ)
hashr artinya membatas, batasan
Apa – apa yang difaham dari suatu susunan yang terbatas dengan kata – kata “hanya” atau “melainkan” dan yang semacamnya, disebut Mafhum Hashr, seperti sabdah Nabi SAW :
إنَّمَاأُمِرْتُ بِالْوُدُوْءِ إذَا قُمْتُ إلى الصَّلَاةِ
“Hanya aku diperintah berwudlu apabila aku hendak mendirikan shalat” {An – Nasa’i}

Keterangan :
Lafadz “إنَّمَا” itu boleh diartikan “hanya, tidak lain, melainkan”. Kata – kata ini dinamakan huruf hashr, yakni huruf yang membatas atau mengurung.
Dari hadits tersebut difaham bahwa, perintah wudlu itu “hanya” (terbatas, tertentu) untuk shalat saja, tidak untuk lainnya.
Faham semacam ini, benar dan terpakai.
Selain dari إنَّمَا” ada lagi huruf yang serupa huruf hashr, yaitu (إلَّا[1]) = melainkan, tetapi didahului (مَا) = tidak, dan sebagainya.
Umpamanya : “tidak diperintah aku berwudlhu melainkan apabila aku hendak shalat”.
Maka apabila dalam ayat Qur’an atau Hadits ada huruf ini, qiaskanlah dengan contoh (إنَّمَا = hanya) tadi. Diantara contoh – contohnya, ialah dalam surah An – Najm ayat 39.

d)     Mafhum Syarat (مفهوم الشَّرْطِ)
Apa – apa yang difaham dari sesuatu omongan yang mengandung syarath, maka faham atau ketetapan itu, disebut Mafhum Syarath.
Huruf yang menunjukkan kepada syarath, diantaranya adalah (إنْ, إذَا, لَوْ ).
Mafhum Syarath ini, ada dua bentuk :
1.      Ada yang mafhumnya tidak dipakai sebagai ketetapan secara umum lagi, seperti firman Allah :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan Apabila kamu bepergian (musafir), maka tidak ada halangan atas kamu mengqashar sebagian dari shalat, jika kamu takut diganggu oleh orang – orang kafir” {An – Nisa’ : 101}

Keterangan :
Kata – kata “jika” itu adalah huruf hashr syarath. Dari perkataan “jika” ini sampai akhir ayat, dikatakan “syarat” untuk mengqashar shalat.
Dari “syarath” ini, difaham bahwa : jika tidak takut diganggu orang – orang kafir, tidak boleh mengqashar shalat.
Ketetapan faham ini tidak boleh dipakai secara umum, karena ada riwayat yaitu :
عَنْ ابْنِ عَبَّسٍ قالَ : صَلَّيْنَا مَعَ رسول الله ص. بَيْنَ مَكَّةَ وَ الْمَدِيْنَةَ وَ نَحْنُ أَمِنُوْنَ لَانَخَافُ شَيْـأً رَكْعَتَيْنِ
“Dari Ibn Abbas, ia berkata : Kami pernah Shalat dua rakaat bersama rasulullah antara Makkah dan Madinah, padahal kami aman dan tidak takut suatu apapun” {Tirmidzi}

Riwayat ini dengan terang menunjukkan “boleh mengqashar shalat, walaupun dalam keadaan aman dan tidak takut”.

2.      Ada yang mafhumnya boleh dipakai, seperti firman Allah :
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“Dan suami – suami dari perempuan – perempuan (yang sudah dicerai) itu, lebih berhak kembali dalam ‘iddah kepada istri – istri mereka, jika mereka mau berbuat damai”{Al – Baqarah : 228}

Keterangan :
Dari kata – kata “jika” sampai akhir ayat itu, adalah syarath
Dari syarath ini difaham, bahwa suami tidak berhak kembali kepada istrinya, jika mereka tidak mau berdamai, yakni jika si istri tidak suka, umpamanya. Karena bagaimana dapat orang berdamai kalau ada yang tidak suka ?
Faham menetapkan suami tidak berhak kepada istri (dalam ‘iddah) bilamana istrinya tidak suka itu, boleh dipakai, sebab tidak ada keterangan lain yang mengubah syaratnya.

e)      Mafhum Laqab (مفهوم الْلَقَبِ)
Laqab artinya gelar, yaitu nama orang atau benda.
Apa – apa yang kita faham dari nama orang atau benda, dikatakan mafhum laqab.
Mafhum ini tidak dapat dipakai untuk penetapan sesuatu, seperti riwayat :
الخَمْرُ حَرَامٌ
“Arak itu haram” {Dailami}

Keterangan :
Kata – kata “arak” itu dinamakan laqab, karena nama suatu benda. Dari laqab ini, orang memahami, bahwa selain arak tidak haram.
Faham seperti ini tidak dapat diterima, karena riwayat tersebut tidak membatasi hanya “arak” saja yang haram, bahkan ada beberapa banyak lagi barang dan benda yang diharamkan Agama, seperti Dara, Babi, dll.

f)       Mafhum Ghayah (مفهوم الغَايَةِ)
Ghayah yaitu penghabisan, batas penghabisan sesuatu. Kata – kata yang menunjukkan kepada ghayah itu, dalam bahasa arab adalah (حَتَّى) “hingga” dan (إلَى) “sampai”.
Apa yang kita faham dari Ghayah itu, dikatakan Mafhum Ghayah.
Faham dari Ghayah ini, hampir semuanya boleh di pakai sebagai ketetapan, seperti firman Allah Swt. :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” {Al – Maidah : 6}

Keterangan :
Dalam ayat ini ada “ila”.”Ila” yang pertama artinya: ke. Yang menjadi pembicaraan, ialah “ila” yang kedua, sebagai huruf Ghayah.
Difaham dari ayat ini, bahwa cuci tangan itu sampai siku saja, tidak boleh melewati, karna batas inilah yang Allah perintah. Juga tidak boleh kurang dari siku, karna kalau kurang, berarti tidak menurut perintah.
Qiyaskanlah kata-kata (  حَتَّى  ) kepada contoh tersebut.

g)      Mafhum ‘Illat (مفهوم العِلَّةِ)
‘Illat ma’nanya sebab. Sesuatu yang kita faham sebab bagi sesuatu, dinamakan mafhum ‘Illat
Mafhum ini, hampir semuanya tidak boleh dipakai sebagai ketetapan, umpama: “diharamkan minum arak”. Apakah sebabnya? Dikatakan karena ia “memabukan” orang yang meminumnya. Memabukan ini disebut illatnya.
Dari sebab atau ‘illat ini, orang faham bahwa: kalau arak tidak memabukan, tidak haram diminum.
Faham ini tidak benar dan tidak boleh dipakai, karena ada sabda Nabi :
حُرِّمَتِ الْخَمْرُ قَلِيْلُهَا وَ كَثِيْرُهَا
“Diharamkan arak, sedikitnya dan banyaknya” {Nasa’i}

Faham di atas kita katakan berlawanan dengan sabda Nabi ini, karna kalau orang minim arak setitik, umpamanya, tentu “tidak akan memabukannya” sedang sabda Rasulullah itu, mengharamkan walaupun sedikit.
Selain itu, hendaklah dima’lumi, bahwa bahwa yang dimaksudkan “arak” itu, ialah: “pati yang sedia mempunyai shifat memabukan”
Biarpun ia tidak memabukan dalam fi’ilnya (=kenyataanya), tetap hukumnya haram.
Ada contoh yang lebih terang lagi yaitu “babi”
Babi diharamkan Agama. Apkah sebabnya? Menurut pemeriksaan, dikatakan bahwa daging babi itu mengandung cacing yang dapat membahayakan manusia.
Maka cacing itu, dianggap sebagai “sebab” bagi “haramnya” babi. Dari sebab ini, orang faham, bahwa kalau cacing itu tidak ada, umpamanya daging itu dimasak sehingga mati cacingnya, maka babi itu menjadi “halal” dimakan.
Faham semacam ini tidak benar dan tidak boleh diterima, karena:
a.       Allah menerangkan babi itu dengan tidak menerangkan sebabnya,
b.      Sebab yang kita ketahui tadi, yaitu cacing, belum tentu sebab jadi ada sebab lain yang belum diketahui manusia

h)     Mafhum Zaman (مفهوم الزَّمَانِ)
Apa yang difaham dari zaman (=masa) disebut mafhum zaman. Mafhum zaman ini, ada dua rupa:
1.      Ada yang tidak boleh dipakai sebagai ketetapan, seperti kita berkata, umpama: “TADI SAYA KESINI”

Keterangan :
Kata – kata “tadi” itu, disebut “zaman”, masa, karena ia menunjukkan kepada waktu.
Dari perkataan “tadi” itu, kita dapat memahami “kemarin saya tidak kesini”. Nah, faham ini tidak boleh kita pakai. Karena omongan “tadi saya kesini” itu, tidak membatasi kedatangan hanya di waktu “tadi” saja, bahkan boleh jadi “kemarin saya kesini, selama saya kesini, dahulu saya kesini, dll”.

2.      Ada yang boleh fahamnya dipakai, seperti firman Allah :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“Ibadah hajji itu, mempunyai “bulan – bulan yang tertentu” {Al – Baqarah : 197}

Keterangan :
Sebutan “bulan – bulan yang tertentu” itu dinamakan zaman. Dari zaman ini, difahami bahwa “selain dari bulan – bulan yang tidak ditentukan Allah, tidak boleh kita naik hajji.
Faham ini boleh kita pakai, karena firman Allah itu bersifat perintah yang menyuruh ibadah hajji dilakukan dalam masa yang tertentu.

i)        Mafhum Istisna’ (مفهوم الْإسْتِثْنَاءِ)
Istisna’ artinya pengecualian.
Apa – apa yang kita faham dari suatu susunan yang mengandung pengecualian, dikatakan Mafhum Istisna’
Ucapan atau perkataan yang ada pengecualian itu, memakai kata – kata “melainkan, kecuali, dan seumpamanya serta sebelumnya ada kata – kata tidak”.
Contoh :
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya “tidak ada” (balasan) bagi manusia kecuali apa – apa yang telah ia usahakan (kerjakan). {An – Najm : 39}

Keterangan :
Kata – kata “kecuali” ini namanya huruf “istisna’”, sebelumnya ada ( لَيْسَ ): tidak.
Difaham dari kata ini, bahwa manusia tidak akan mendapat balasan bagi amalnya melainkan menurut apa yang ia telah kerjakan.
Faham ini benar dan terpakai, karena ia menjadi sebagai suatu “batasan”.
Mafhum istisna’ ini sama halnya dengan mafhum hashr yang telah kita bahas sebelumnya.

Perinagtan :
Dalam hal Mafhum – Mafhum ini, seringkali membawa kepada kesalahan dan kekeliruan yang dapat merucak hukum – hukum Agama.
Oleh karena itu, hendaklah dalam fasal ini, dipelajari dan diperhatikan betul – betul.



[1] Biasanya (إلَّا) disebut huruf istisna’ = pengecualian

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner