BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Istilah
poligami dan poliandri merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari. Istilah ini erat hubungannya dengan perkawinan seseorang dengan
lawan jenisnya, dimana jika muncul suatu ketertarikan seseorang dengan lawan
jenisnya ketika ia sudah menyandang status perkawinan, maka terjadilah
poligami. Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian
khusus dari Allah swt, sehingga tidak mengherankan kalau diletakkan pada awal
surat an-Nisa dalam kitabnya yang mulia. Seperti yang kita tahu bahwa poligami
berada pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam al-Qur’an yang
membahas tentang poligami. Akan tetapi para mufassir dan para ahli fiqih,
seperti biasanya, telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan
keterkaitan erat yang ada di antara masalah poligami dengan para janda yang
memilki anak-anak yatim. Poligami merupakan bahan pembicaraan yang menarik dan
topik yang kontroversial. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam, agama
yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun demikian, pemahaman
orang Islam terhadap poligami dalam ajaran agama berbeda-beda. Ada yang
beranggapan bahwa poligami dianjurkan dalam keadaan tertentu; ada juga yang
percaya bahwa poligami seharusnya ditinggalkan pada masa kini. Berdasarkan
ilustrasi sebelumnya, maka dalam makalah ini penulis akan menelusuri bagaimana
topik poligami ini dalam tinjauan sejarah, yaitu pada masa pra Islam dan
setelah datangnya Islam atau pada masa Rasulullah saw. serta bagaimana hukum
poligami jika dihubungkan dengan konteks pada zaman sekarang.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas maka, rumusan masalah yang akan di uraikan dalam makalah ini
adalah:
1.
Bagaimana pengertian dan sejarah poligami?
2.
Bagaimana poligami dalam perspektif Al-Qur’an?
3.
Bagaimana hukum dan syarat poligami dalam Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan
dalam makalah ini sesuai dengan rumusan masalah di atas yaitu untuk mengetahui:
1.
Untuk mengetahui pengertian dan sejarah poligami.
2.
Untuk mengetahui poligami dalam
perspektif Al-Qur’an.
3.
Untuk mengetahui hukum dan syarat poligami dalam Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Sejarah Poligami
Secara
etimologi, kata poligami berasal dari bahasa yunani yaitu polus yang berarti
banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan,
maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari
seorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami yaitu adat seorang
laki-laki beristri lebih dari seorang, dan poliandri adalah adat seorang
perempuan bersuami lebih dari seorang. Pengertian poligami menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Para ahli
membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang
istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan
gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari
seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak
dan andros berarti laki-laki.
Sedangkan
dalam Wikipedia disebutkan bahwa dalam antropologi sosial, poligami merupakan
praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis
kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang
hanya memiliki satu suami atau istri. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu
poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang
wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa
Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk
poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang
paling umum terjadi. Dalam kamus Ilmiah Populer, poligami diartikan sebagai
perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih. (namun cenderung
diartikan : perkawinan seorang suami dengan dua istri atau lebih). Dalam Islam,
pengertian poligami disebut Ta’adduz Zaujah. Dari beberapa definisi diatas,
pada intinya poligami adalah sistem perkawinan seorang laki-laki yang mempunyai
istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan
mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan pula yang sering
disebut dengan istilah poliandri.
B.
Poligami
Pada Masa Pra Islam
Poligami
adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di
dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Di dunia barat,
kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa
disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh
karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi kenyataan
menunjukan lain, dan inilah yang mengherankan. Hendrik II, Hendrik IV,
Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon I adalah contoh orang-orang besar Eropa
yang berpoligami secara illegal. Bahkan, pendeta-pendeta Nasrani yang telah
bersumpah tidak akan kawin selama hidupnya, tidak malu-malunya memiliki
kebiasaan memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari uskup atau
kepala gereja mereka.
Kebiasaan
poligami yang dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga
banyak orang yang menganggapnya sebagai perbuatan suci. Orang Hindu melakukan
poligami secara meluas, begitu juga orang Babilonia, Siria, dan Persia, mereka
tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah wanita yang dikawini oleh seorang
laki-laki. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini wanita sebanyak yang
ia suka. Di kalangan bangsa Israil, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman
nabi Musa a.s. yang kemudian menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada
batasan istri.
Di
kalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, poligami lazim dilaksanakan. Bahkan
menurut mereka Injil sendiri tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang
boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Agama Kristen tidak melarang adanya
praktek poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas dalam Injil
tentang landasan melarang poligami. Terkecuali dalam Injil Matius Pasal 10 ayat 10-12 dan Injil Lukas pasal 16 ayat 18
yang menerangkan bahwa “seseorang yang menceraikan pasangannya kemudian
menikah lagi, maka hukumnya dia berzina dengan pasangannya yang baru”.
Dalam
realitasnya, hanya golongan Kristen Katolik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali kematian saja.
Sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil
membolehkan. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada dewan Gereja pada masa
awal Kristen yang menentang Poligami. St. Agustine justru menyatakan secara
tegas bahwa dia sama sekali tidak mengutuk poligami. Marthin Luther mempunyai sikap
yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum
Anabaptis mendakwakan poligami. Sekte Mormon juga meyakini poligami. Bahkan
hingga sekarang, beberapa Uskup di Afrika masih sangat mendukung praktek
poligami.
Poligami
sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa Rusia,
Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris
semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa
Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar
apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami,
sebab nyatanya yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di
negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan
Jepang. Tidaklah benar jika poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam.
Jadi
tidak benar jika dikatakan bahwa islamlah yang mula-mula membawa sistem
poligami. Sebenarnya hingga sekarang sistem poligami ini masih tetap tersebar
di beberapa bangsa yg tidak beragama islam seperti orang-orang Afrika, Hindu
India, Cina, dan Jepang. Juga tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ini hanya
berlaku dikalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam saja. Sebenarnya agama
Kristen tidak melarang poligami sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun
yang dengan tegas melarang hal ini. Dulu sebagian bangsa Eropa yang pertama
memeluk Kristen telah beradat istiadat dengan mengawini satu perempuan saja.
Sebelumnya mereka adalah penyembah berhala. Mereka memeluk Kristen karena
pengaruh bangsa Yunani dan Romawi yang melarang poligami.
Setelah
mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap
mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yg mereka
jalankan ini bukanlah dari agama Kristen yang mereka anut, melainkan warisan
Paganisme (agama berhala) dahulu. Dari sinilah gereja kemudian mengadakan
bid’ah dengan menetapkan larangan poligami lalu larangan tersebut dimasukkan
sebagai aturan agama, padahal kitab Injil tidak menerangkan sedikitpun tentang
pengharaman sistem ini. Kemudian menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh sunnah
mengutarakan bahwa sebenarnya sistem poligami ini tidaklah dilakukan kecuali
oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya, sedangkan bangsa-bangsa yang
masih primitif jarang sekali melakukannya, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal
ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan seperti Westermark,
Hobbers, Heler dan Jean Bourge.
Hendaklah
diingat bahwa sistem monogami merupakan sistem yang umum dilakukan oleh
bangsa-bangsa yang kebanyakan masih primitif, yaitu bangsa-bangsa yang hidup
dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya bertabiat halus dan
bangsa-bangsa yang sedang berada dalam transisi meninggalkan zaman primitifnya,
yang pada zaman modern kini disebut bangsa agraris.
Disamping
itu, sistem monogami tidak begitu menonjol pada bangsa-bangsa yang telah
mengalami perubahan kebudayaan yaitu bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara
hidup berburu yg primitif menjadi bangsa peternak dan penggembala dan
bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup memetik hasil tanaman liar menjadi
bangsa yang bercocok tanam. Kebanyakan sarjana sosiologi dan kebudayaan
berpendapat bahwa sistem poligami pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia
ini banyak melakukannya bilamana kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi
tidaklah benar anggapan bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan
kebudayaan. Sebaliknya poligami berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan.
Demikian
kedudukan sebenarnya sistem poligami menurut sejarah. Begitu pula sebenarnya
pendirian agama Kristen. Pun juga meluasnya sistem poligami seiring dengan
kemajuan kebudayaan manusia. Hal ini disampaikan bukan untuk mencari dalih
untuk membenarkan sistem poligami ini, tetapi untuk menerangkan persoalan
sesuai dengan tempatnya dan menjelaskan penyelewengan serta kebohongan sejarah
dan fakta yang dikemukakan oleh orang-orang Eropa.
C.
Poligami
Pada Masa Muhammad SAW.
Poligami
pada masa pra-Islam, sudah menjadi sebuah kebiasaan dan budaya. Maka Islam
datang dengan membawa pencerahan untuk membatasi praktek poligami tersebut.
Islam adalah agama yang mengatur tentang kemasyarakatan. Islam mempunyai konsep
kemanusiaan yang luhur yang dibebankan kepada manusia untuk menegakannya dan
harus disebarluaskan kepada seluruh umat manusia. Negara-negara yang maju
banyak membutuhkan tenaga manusia untuk tenaga kerja maupun untuk keperluan
pertahanan dan keamanan. Di negara-negara yang sedang dilanda peperangan tidak
jarang rakyatnya gugur di medan perang dan banyak janda-janda yang harus
dilindungi.
Demikian
pula di beberapa negara, penduduk wanitanya lebih banyak dari laki-lakinya,
seperti yang lazim terjadi di negara yang habis berperang. Menurut Alhamdani
dalam bukunya Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, apabila para
wanita dibiarkan sendiri mereka akan mudah terombang-ambing dan gampang
terjerumus ke dalam perbuatan nista yang merusak kehidupan. Melihat
perbandingan jumlah antara laki-laki dan wanita yang tidak seimbang, maka
praktek poligami ini merupakan solusi untuk menjaga dan melindungi kaum wanita.
Poligami
pada masa Rasulullah saw., dijadikan sebagai cerminan poligami dalam Islam.
Pada dasarnya alasan Nabi Muhammad berpoligami bersifat mulia, yakni untuk
menolong janda-janda dan anak yatim untuk “berjuang di jalan Allah” dan beliau
mengamalkan monogami lebih lama daripada poligami.
Syeikh
Muhammad Abduh mengungkapkan bahwa syariat Muhammad telah memperbolehkan
seorang lelaki untuk menikah dengan empat wanita apabila lelaki tersebut telah
mampu berlaku adil kepada para wanita tersebut. Namun di saat seorang lelaki
merasa ia tidak akan mampu berbuat adil maka ia hanya boleh menikah dengan
seorang wanita saja sebagaimana disebut dalam surat an-Nisa ayat 3.
Di
saat seorang lelaki tidak mampu memberikan hak yang sama pada setiap istrinya
maka terkoyaklah urusan rumah tangganya dan buruklah bahtera rumah tangganya.
Satu pondasi kuat untuk membangun bahtera rumah tangga yang kokoh adalah dengan
melestarikan kebersamaan dan kasih sayang antar anggota keluarga. Bila seorang
lelaki hanya mengkhususkan satu istrinya dengan mengabaikan istri yang lainnya,
walau hanya pada hal yang remeh sekalipun seperti dengan memberi hari yang
bukan untuk istrinya tersebut, maka hal itu kelak akan membawa permasalahan
baginya. Rasulullah, para sahabat, para khalifah, dan para ulama di setiap
masanya selalu berusaha berlaku adil pada setiap istri mereka. Rasulullah dan
para ulama salaf tidak akan pernah mendatangi seorang istri pada hari yang
tidak ditentukannya kecuali bila telah mendapatkan izin dari istri yang memilki
hari tersebut.
Bahkan
Rasulullah pun tetap berkeliling ke rumah istri-istrinya walau ia dalam keadaan
sakit agar dapat berlaku adil pada semua istrinya. Beliau tidak rela untuk
berdiam dan beristirahat pada salah satu rumah istrinya saja. Para ahli fiqih
pun bersepakat bahwa sudah menjadi kewajiban seorang lelaki yang berpoligami
untuk bisa berlaku adil dalam memberikan nafkah pada setiap istrinya.
Para
ulama Hanafi berpendapat bahwa perilaku adil merupakan salah satu hak istri dan
menjadi kewajiban bagi suami. Mereka pun berpendapat bahwa di saat suami tidak
bisa berlaku adil, maka pihak istri bisa mengadukannya kepada hakim hingga
kekuasaan hakim pun di harap bisa memberi peringatan padanya dan juga
menghukumnya atas ketidakadilannya tersebut.
Ungkapan
"poligami adalah sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami.
Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan
tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya,
sebagaimana ditegaskan Al-Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa:
129). Dalil yang biasanya diajukan untuk memperkuat bahwa poligami itu sunnah
karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa: 2-3) lebih mudah dipatahkan.
Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak
mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami.
Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan
janda korban perang.
Dari
kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh
Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Al-Azhar
Mesir, lebih memilih memperketat dan melarang poligami. Lebih jauh Abduh
menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan
hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang,
dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman.
Dalam
definisi fiqih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya
mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada
Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah,
mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?
Nyatanya,
sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami.
Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap
poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya,
Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua
tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar
delapan tahun dari sisa hidup beliau. Poligami Nabi adalah media untuk
menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum
cukup kukuh untuk solusi. Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian
problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadits yang membicarakan
perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali
Aisyah binti Abu Bakar RA.
D.
Batasan
Poligami
Pada
dasarnya Islam membatasi Poligami ini dengan empat orang istri sesuai dengan
dalil normatif Al-qur’an pada surat an-Nisa: 3. Diceritakan dari al-Qasim bin
Ibrahim, bahwa ia pernah membolehkan menikah dengan Sembilan orang wanita. Hal
ini berdasarkan firman Allah (an-Nisa : 3). Dia mengartikan bahwa huruf ‘wawu’
dalam ayat itu dimaksudkan sebagai jamak. Dan karena Nabi sendiri menikah
dengan Sembilan wanita.
Pendapat
tersebut tidak benar dan bertentangan dengan ijma’ yang telah disepakati serta
mengabaikan sunnah. Karena Rasulullah saw, telah bersabda kepada Ghailan bin
Salamah ketika ia memeluk islam, sedang ia mempunyai sepuluh istri, ‘pertahankan
empat saja dan ceraikan selebihnya”. Kemudian Naufal bin Mu’awiyah
bercerita, aku memeluk islam sedang aku mempunyai lima istri, maka nabi
berkata: “ceraikanlah salah satu dari mereka”. Kedua hadist tersebut diriwayatkan oleh
Syafi’i dalam musnadnya.
Faqihuddin
Abdul Kodir menyatakan bahwa mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan
strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada
abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian
rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya,
yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku
sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.
Ketika
Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan,
mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan
Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin
al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan
poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Teks-teks
hadits poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian
pada prinsip keadilan. Melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas
menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA terhadap Fatimah. Anehnya, teks hadits
ini jarang dimunculkan oleh kalangan pro poligami. Padahal, teks ini
diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn
Majah.
Nabi
SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad saw, akan
dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun
langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga
Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri
mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan,
sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin
Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka.
Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
juga." (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, nomor hadits: 9026).
E.
Hukum
dan Syarat Berpoligami Dalam Islam
Poligami
atau ta’adud. Kata ini mungkin akan membuat para ummahat atau ibu rumah tangga
agak-agak panas. Ya, poligami memang selalu menjadi ‘momok’ rumah tangga. Islam
sudah dengan jelas memberikan peluang bagi seorang lelaki memiliki istri lebih
dari satu, namun tidak boleh lebih dari empat. Itu jelas dimaktubkan dalam
Al-Quran. Tapi sesungguhnya tidak sesimpel itu.
Sebagian
ulama, setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, telah menetapkan bahwa
menurut asalnya, Islam sebenamya ialah monogami. Terdapat ayat yang mengandung
peringatan agar poligami ini tidak disalahgunakan.
Tetapi,
poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk
mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata
lain bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali
jikalau dikhawatirkan bahwa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.
Jadi,
sebagaimana talaq, begitu juga halnya dengan poligami yang diperbolehkan kerana
hendak mencari jalan keluar dari kesulitan. Islam memperbolehkan umatnya
berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini
berarti ia tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan
nilai kaum Muslimin.
Oleh
karena itu, apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut;
1. Membatasi jumlah isteri yang akan dinikahinya.
Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya;
“Maka berkawinlah dengan sesiapa yang kamu
ber-kenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat.”
(Al-Qur’an, Surah an-Nisa’ ayat 3)
2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan
wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya. Misalnya,
nikah dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak saudara
baik sebelah ayah maupun ibu.
Tujuan pengharaman ini ialah untuk
menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah SAW. bersabda,
maksudnya;
“Sesungguhnya
kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan
silaturrahim di antara sesama kamu.”
(Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
3. Disyaratkan pula berlaku adil, sebagaimana
yang difirmankan Allah (SWT);
“Kemudian
jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka
(kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang
kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu
tidak melakukan kezaliman.” (Al-Qur’an, Surah
an-Nisa’ ayat 3)
Dengan
tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan
berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri,
cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil,
cukuplah dua saja. Dan kalau dua itu pun masih khawatir tidak mampu berlaku
adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
penelitian poligami dalam lintasan sejarah, tidak benar jika dikatakan bahwa
Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Karena faktanya praktek
poligami sudah ada dan dipraktekkan oleh kaum-kaum terdahulu jauh sebelum
adanya agama Islam bahkan sudah menjadi budaya yang lebih parah pada masyarakat
non-Islam. Praktek poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah,
melainkan persoalan budaya.
Islam
memperbolehkan poligami, meletakan sebuah sistem berpoligami yang berkeadilan,
bermoral dan manusiawi. Dengan bertujuan sebagai solusi untuk memecahkan
berbagai kesulitan sosial yang dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat.
Adanya seorang lelaki di sisi seorang janda akan mampu menjaga dan memeliharanya
agar tidak terjatuh dalam perbuatan yang keji dan menjadi tempat perlindungan
yang aman bagi anak-anak yatim dimana mereka tumbuh dan dididik di dalamnya.
Poligami
dibolehkan karena adanya kondisi tertentu yang tidak ada lagi jalan keluarnya
lagi. Sebagaimana talak, poligami pun bukanlah hal yang wajar. Ia bukan
kecenderungan umum. Karena pernikahan yang wajar adalah pernikahan antara dua
orang saja. Selamanya tidak ada kata pisah sampai terjadinya kematian dan tidak
pula ada penambahan istri. Lantas mengapa Islam tidak menghapuskan talak dan
poligami? Karena memang ada situasi yang tidak normal, ada keadaan-keadaan
tertentu, sehingga talak di izinkan, meskipin dalam Islam dikatakan itulah
perbuatan halal namun dimurkai Allah SWT. sehingga karena itu pula poligami
diizinkan dalam Islam, bukan perintah bukan pula anjuran, tetapi hanya
kebolehan sebagai suatu solusi yang mendesak, namun dengan syarat-syarat yang
sangat ketat yang hampir saja manusia tidak mampu melaksanakannya, yaitu
keadilan. Talak dan poligami adalah sesuatu yang misterius namun tetap
realistis untuk keadaan yang tidak normal.
B.
Saran
Demikian
uraian singkat mengenai poligami dalam tinjauan sejarah dan perspektif
Al-qur’an. Eksplorasi tentang topik yang kontroversial ini tentunya tidaklah cukup
hanya dengan satu makalah saja, sehingga masih banyak kekurangan dalam konten
makalah ini yang perlu banyak penyempurnaan. Kami ucapkan banyak terimakasih
atas segala perhatiannya, semoga diskusi tentang poligami ini dapat membuka
hakikat kebolehan dan ketidakbolehan poligami terutama untuk kaum adam agar
menimbang ulang untuk melakukan poligami. semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Al-Jarjawi, Ali, Hikmah dan Falsafah Syari’at Islam,cet I,
Jakarta : Gema Insani, 2006.
Alhamdani, H.S.A., Risalah Nikah : Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta : Pustaka Amani, 1980.
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga,
Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat. cet V, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2008.
Darmawan, Hendro, dkk., Kamus Ilmiah
Populer lengkap Dengan EYD dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa
Indonesia. Yogyakarta : Bintang Cemerlang, 2010
Mursalin,Supardi, Menolak Poligami, Studi
Tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2007.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Besar
Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta : Balai Pustaka, 2006
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah,
jilid 3, cet I, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer, cet. I, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2003
Tihami, H.M.A. dan Sohari Sahrani, Fiqh
Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.