Hari Guru Nasional, yang diperingati setiap tanggal 25 November, telah lama menjadi momentum simbolik untuk menghormati peran guru dalam pembangunan bangsa. Namun secara akademis, fenomena ini perlu dilihat dengan perspektif yang lebih kritis. Sebab, perayaan yang bersifat seremonial sering kali menutupi problem mendasar yang dialami guru dalam konteks sosial, politik, ekonomi, maupun kebijakan pendidikan nasional. Esai ini bertujuan memberikan pembacaan komprehensif dan kritis terhadap Hari Guru, dengan memadukan pendekatan historis, sosiologis, pedagogis, dan kebijakan publik, serta mengintegrasikan pemikiran sejumlah tokoh pendidikan seperti Paulo Freire, John Dewey, Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, hingga Buya Hamka.
Dalam kerangka akademis, guru tidak semata diposisikan sebagai tenaga pengajar, tetapi sebagai agent of change, cultural transmitter, dan aktor kunci dalam proses transformasi sosial. Dengan demikian, Hari Guru harus dipahami tidak sekadar sebagai momen apresiasi, tetapi musti menjadi "ruang kritik" terhadap struktur pendidikan yang masih sarat ketimpangan. Paulo Freire menegaskan bahwa “pendidikan tidak pernah netral; ia selalu mengarahkan manusia menuju pembebasan atau penindasan.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa situasi guru saat ini bukan hanya fenomena profesional, tetapi juga bagian dari dinamika politik dan struktur kekuasaan.
Secara normatif, guru ditempatkan sebagai pilar utama dalam pembangunan pendidikan nasional. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru adalah tenaga profesional yang bertugas mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta didik. Namun dalam praktiknya, posisi guru berada dalam struktur yang tidak sejalan dengan amanat regulasi.
Guru diharapkan menjadi motor penggerak transformasi pendidikan, tetapi kebijakan yang menyangkut mereka sering kali tidak mencerminkan prioritas. Sementara negara menyatakan guru sebagai profesi strategis, realitas kesejahteraan, status kepegawaian, dan beban kerja menunjukkan jurang yang signifikan antara slogan dan implementasi.
Ki Hajar Dewantara menyatakan, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Ungkapan ini secara filosofis menempatkan pendidikan sebagai proses kolektif. Akan tetapi, sistem pendidikan Indonesia sering membebankan proses pendidikan sepenuhnya kepada guru, tanpa dukungan memadai dari ekosistem pendidikan yang lebih luas.
Hal ini menciptakan paradoks: guru dihormati secara normatif, tetapi tidak diberdayakan secara struktural.
Salah satu persoalan mencolok dalam dunia pendidikan Indonesia adalah administrasi yang berlebihan atau administrative burden. Guru kerap dibebani laporan-laporan yang tidak relevan dengan pembelajaran. Tekanan administrasi ini membuat interaksi guru–murid, yang seharusnya menjadi inti pendidikan, tergantikan oleh beban birokrasi.
Sebagaimana kritik Freire terhadap pendidikan gaya bank (banking education), sistem administrasi Indonesia secara tidak langsung mematikan kreativitas guru dengan menjadikan mereka sebagai pelaksana kebijakan, bukan subjek yang memiliki otonomi.
John Dewey menegaskan,
“Jika kita mengajar siswa hari ini dengan cara yang sama seperti kemarin, kita mencuri hari esok mereka.”
Namun guru tidak dapat melakukan inovasi apabila sistem tempat mereka bekerja tidak memberi ruang bagi kreativitas tersebut.
Beban administrasi yang tidak rasional mengindikasikan bahwa pendidikan dipandang sebagai objek laporan, bukan proses pembelajaran yang hidup.
Persoalan kesejahteraan guru terutama guru honorer merupakan problem sistemik yang telah berlangsung bertahun-tahun. Guru honorer adalah fenomena struktural, bukan sekadar masalah teknis.
Banyak guru honorer yang bekerja dengan honor jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Mereka menanggung beratnya tugas tanpa jaminan kesejahteraan, sementara beban kerja tidak berbeda dengan guru berstatus ASN. Ketimpangan ini menunjukkan lemahnya keberpihakan negara terhadap profesi guru.
Buya Hamka pernah mengatakan:
“Jika engkau tidak dapat menghormati seseorang, maka janganlah menghina pekerjaannya.”
Kesejahteraan yang tidak layak adalah bentuk penghinaan struktural terhadap pekerjaan mulia guru.
Dalam budaya Indonesia, guru digambarkan sebagai sosok pengabdi yang ikhlas, sabar, dan siap berkorban. Gambaran ini sering disebut sebagai romantisasi profesi guru. Romantisasi ini justru berbahaya karena dapat melemahkan upaya memperjuangkan hak-hak normatif guru.
Narasi “pahlawan tanpa tanda jasa” berhasil menempatkan guru pada posisi moral yang tinggi, tetapi sekaligus digunakan untuk membenarkan minimnya dukungan negara. Guru dianggap lebih layak dipuji daripada diperjuangkan.
Dalam kacamata sosiologi pendidikan, romantisasi profesi adalah bentuk cultural violence kekerasan kultural yang dilegitimasi oleh norma sosial, bukan kekerasan fisik. Kekerasan ini tidak tampak, tetapi berdampak pada ketidakadilan struktural.
Meskipun sekolah adalah pusat pendidikan formal, masyarakat dan keluarga tetap memegang peranan penting. Akan tetapi, dalam praktiknya, sebagian masyarakat cenderung melepaskan tanggung jawab pendidikan kepada sekolah sepenuhnya. Guru diposisikan sebagai pihak yang harus mengatasi seluruh problem perilaku anak, tanpa kolaborasi keluarga.
Ketika peserta didik mengalami kesulitan, guru sering menjadi sasaran kritik, bukan pihak yang dibantu. Padahal Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya hubungan sinergis antara sekolah, rumah, dan masyarakat.
Modernisasi pendidikan, terutama dengan berkembangnya teknologi, membawa tantangan baru bagi guru. Di satu sisi, teknologi memberikan peluang pembelajaran yang inovatif. Namun di sisi lain, guru dipaksa beradaptasi dalam waktu yang sangat singkat.
Bagi sebagian guru, adaptasi ini menimbulkan tekanan psikologis, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses memadai terhadap pelatihan atau fasilitas teknologi. Pendidikan digital memperkuat kesenjangan antarguru, bukan semata kesenjangan antar siswa.
Persoalan ini harus dipahami sebagai fenomena struktural, bukan semata “keterlambatan individu.”
Profesionalisme guru mencakup empat dimensi utama:
1. kompetensi pedagogis,
2. kompetensi profesional,
3. kompetensi sosial,
4. kompetensi kepribadian.
UU No. 14 Tahun 2005 menegaskan standar ini, namun implementasinya tidak selalu memadai. Banyak guru tidak memperoleh pelatihan yang relevan dengan kebutuhan aktual pendidikan abad 21.
Di sinilah relevansi pandangan KH. Ahmad Dahlan:
“Sedekat-dekatnya ilmu adalah amal.”
Ilmu bukan sekadar sertifikasi atau pelatihan formal, tetapi aplikasi nyata dalam praktik pendidikan.
Selain persoalan struktural, ada tantangan internal yang perlu dikaji secara objektif, seperti:
masih adanya guru yang menolak pembaruan pedagogis,
kecenderungan mempertahankan metode ceramah tradisional,
sikap otoriter dalam berinteraksi dengan siswa,
minimnya motivasi menggali literatur akademik terbaru.
Namun kritik ini harus dipahami dalam konteks lingkungan kerja yang tidak mendukung. Sistem pendidikan yang tidak memberdayakan guru akan menghasilkan guru yang tidak progresif. Maka, kritisisme terhadap guru harus diimbangi kritik terhadap struktur yang membentuk mereka.
Kebijakan dan Politik Pendidikan
Politik pendidikan sering menjadi akar dari problem guru. Perubahan kurikulum yang terlalu cepat, tanpa pelatihan memadai, menimbulkan kebingungan di lapangan. Anggaran pendidikan yang besar tidak selalu berdampak langsung pada kesejahteraan guru.
Pendidikan sering menjadi alat politik elektoral, bukan agenda pembangunan jangka panjang.
Paulo Freire mengingatkan:
“Ketika pendidikan bukan alat pembebasan, ia dengan mudah menjadi alat penindasan.”
Dalam konteks Indonesia, penindasan itu tidak selalu tampak, tetapi hadir dalam bentuk birokrasi yang tidak masuk akal, status kerja yang tidak pasti, serta kebijakan yang lahir tanpa dialog.
Retorika Penghormatan vs Realitas Struktur
Peringatan Hari Guru sering dipenuhi:
ucapan terima kasih,
lomba seremonial,
slogan motivatif,
pemberian penghargaan simbolik.
Namun di balik itu, ketidakadilan struktural tetap berlangsung. Hari Guru berubah menjadi ritual tahunan yang tidak menyentuh realitas profesi. Ketika seremonial menggantikan substansi, penghormatan menjadi hampa.
Mengapa Hari Guru Perlu Dibaca Secara Kritis?
1. Karena guru adalah aktor utama pendidikan.
2. Karena ketimpangan kesejahteraan masih akut.
3. Karena kebijakan pendidikan masih inkonsisten.
4. Karena guru membutuhkan ruang otonomi pedagogis.
5. Karena masa depan bangsa ditentukan oleh kebijakan hari ini.
Maka, Hari Guru seharusnya bukan sekadar perayaan, tetapi evaluasi nasional.
Negara harus memastikan bahwa tidak ada guru yang hidup di bawah garis kesejahteraan. Status honorer harus dihapus bertahap dengan mekanisme rekrutmen yang transparan. Guru adalah profesi strategis; menempatkan mereka dalam ketidakpastian hukum adalah kesalahan kebijakan yang serius.
Freire mengajarkan bahwa pendidikan harus membebaskan. Guru harus mendapat otoritas pedagogis, bukan hanya menjadi pelaksana kurikulum. Guru harus didorong berfikir kritis, bukan administratif.
Ki Hajar Dewantara menekankan tri pusat pendidikan. Pendidikan tidak akan berhasil jika keluarga melepaskan tanggung jawabnya. Guru tidak bisa memikul semua beban sosial dan moral.
Model pelatihan guru harus berubah dari sekadar formalitas menuju pelatihan berbasis kebutuhan, berbasis praktik, dan berbasis riset pedagogis kontemporer.
Hari Guru bukan hanya perayaan, tetapi cermin ketidakadilan struktural sekaligus panggilan moral kolektif. Penghormatan sejati kepada guru bukan terletak pada kata-kata, tetapi pada keberanian membenahi sistem: kesejahteraan, status hukum, birokrasi, kebijakan, ekosistem belajar, dan otonomi pedagogis.
Buya Hamka telah mengingatkan kita:
“Menghargai orang adalah menghargai peradaban.”
Menghargai guru berarti membangun peradaban masa depan. Dan bangsa yang gagal memuliakan gurunya sedang menggadaikan masa depannya sendiri.