BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemikiran filsafat sebelum abad ke 18 terbagi menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Aliran tersebut diantaranya aliran empiris dan aliran rasionalisme. Aliran empiris yang
percaya bahwa pengetahuan muncul dari penginderaan, dengan demikian
kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang terjadi. Bagi penganut
empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman.
Akal yang dimiliki manusia bertugas
untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera, sedangkan di
sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul
dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang diperoleh
melalui akal yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah.
Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan
kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan pengalaman
dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat menurunkan kebenaran
tersebut dari dirinya sendiri.
Dari dua pemikiran yang berbeda
tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani keduanya. Menurutnya,
pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau fenomena, sedangkan
fenomena sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang tampak dengan sendirinya
dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek.
Sejak pemikiran tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan
para filsafat pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah
pengetahuan dibangun.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi
dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak
dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia
kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun
istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah
fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764).
Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia).
Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri
bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Hegel (1807) memperluas pengertian
fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran,
yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada
pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu
pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat
bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada
pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau
kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi
konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Fenomenologi tidak lagi dikenal
setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya
istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan yang menjadi dasar
pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah
tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosof
Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya.
Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi
deskriptif, dimana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil istilah
fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Pada tahun-tahun berikutnya,
pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”,
namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan
praktis, dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl
memainkan peran yang amat besar dalam hal ini. Saat ini fenomenologi dikenal
sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar
filsafat yang komrehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai
pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur
tipe-tipe kesadaran yang dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur
kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari
penampakkannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapa
tokoh-tokoh yang mempelopori ilmu fenomologi?
2.
Bagaimana
sejarah terbentuknya ilmu fenomologi?
3.
Apa
pengertian dari ilmu fenomologi?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mendeskripsikan
tokoh-tokoh ilmu fenomologi
2.
Untuk
menceritakan sejarah terbentuknya ilmu fenomologi
3.
Supaya
mengerti dan memahami ilmu fenomologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tokoh-tokoh Ilmu Fenomologi
1.
Edmund Husserl
Edmund
Husserl (1859-1938) dilahirkan di sebuah kota kecil Prosznitz di daerah Moravia, ketika
itu merupakan wilayah
kekaisaran Austria Hongaria, namun dari
perang dunia pertama
(1918) hingga sekarang
masuk pada wilayah Cekoslavia. Edmund Husserl
merupakan tokoh utama dari Gerakan PhenomenologicalIa dilahirkan
dari keluarga Yahudi
kelas menengah.
Husserl sendiri berasal dari kata Iserle
(Israel). Pada umur 27 tahun dia
dibaptis dalam gereja Kristen
bertradisi Protestan. Ia mulai belajar
di Universitas Leipzig,
Berlin dan Wina dalam bidang
matematika, fisika, astronomi dan filsafat. Husserl mendapat jabatan sebagai
asisten dari Weirstrass
seorang ahli matematika
di Berlin. Matakuliah yang
diasuh oleh Husserl
ialah matematika.
Keterkaitan terhadap filsafat dirasakan
setelah mengikuti kuliah-kuliah
yang diampu oleh
Franz Brentano, di Wina.Ia
pernah menjadi dosen
tamu di Halle
yang mengampu matakuliah
filsafat. Ia juga pernah mengajar filsafat di Gottingen, sebagai dosen tidak
tetap pada tahun 1901-1916.
Husserl
berhasil memperoleh gelar doktor filsafat dengan disertasi filsafat matematika
yang berjudul Beitra Gziwur
Varitionsreachnung (1983). Pada tahun
1901 dinobatkan sebagai Profesor di Universitas Gottingen, ketika ia mengajar
di Gottungen pemikiran fenomenologisnya mencapai kematangan.
Pada tahun 1916 ia
menerima undangan di
Freiburg Im Breisgau
untuk menjadi Profesor. Ketika ia
mengajar di Freiburg ia sudah mulai menerima pengakuan dari tingkat internasional. Di
akhir hidupnya ia
mengalami banyak kesulitan,
akibat tingkah laku Nazi Jerman, disbebakan Husserl adalah keturunan Yahudi.
Ia
menganggap karir di filsafat sebagai tugas moral yang suci selagi ia mencetuskan
pendekatan falsafi yangbaru, yakni Phenomenological Method. Edmund Husserl
membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia dimana kita hidup. Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran
dan perhatian terhadap dunia dimana kita hidup. Kita dapat menganggap suatu objet apapun tetapi kita tidak menganggap sepi kesadaran
kita.
Eksistensi
kesadaran adalah satu-satunya benda yang tak dapat dianggap sepi. Pengkajian
tentang dunia yang kita hadapi serta pengalamn kita yang langsung tentang dunia
tersebutadalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Edmund Husserl tentang
perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh yang kuat atas filsafat,
khususnya di Jerman dan Francis. Husserl pernah dilarang mengajar di kampus
Universitas Freiburg, demikian juga dengan anak-anaknya mengalami
hal serupa. Husserl tidak meninggalkan Jerman sampai
akhir hayatnya, walaupun menadapat tawaran untuk ke Amerika Serikat. Husserl
meninggal pada usia tujuh puluh sembilan tahun pada tanggal 28 April 1938,
karena sakit yang dideritanya selama hampir satu tahun.
2.
Martin Heidegger
Martin Heidegger (1889-1976)
dilahirkan di Baden, Jerman, dan mempunyai pengaruh yang besar terhadapbeberapa
filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang
filsafat dari Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund
Husserl (pencetus fenomenologi). Pernah menjabat sebagai guru besar Filsafat di
Universitas Marburg, kemudian kembali ke Freiburg untuk menggantikan Husserl.
Pada saat timbulnya gerakan Nazy ia
memisahkan diri dari Husserl, karena Husserl seorang Yahudi. Pada tahun 1933 ia menjadi
Rektor Universitas Freiburg (Rektor yang pertama yang diangkat oleh gerakan
“National Socialist”. Pada pidato pelantikannya ia memberikan ceramah yang
berjudul “Role of The University in the New Reich” dengan menekankan ide
tentang timbulnya Jerman Baru yang jaya. Ketika ia sadar bahwa ia telah di
eksploitir oleh Nazy, ia segera meletakkan jabatannya sebagai Rektor (1934)
tetapi tetap mengajar sampai pension pada tahun 1957. Martin Heidegger sangat
kritis terhadap manusia karena mereka hidup secara dangkal, dan sangat memperhatikan
kepada benda, kuantitas dan kekuasaan personal.
Konsep “destuksi fenomenologis”,
menyerukan agar kembali pada realitas yang sesungguhnya atau “gejala pertama
dan yang sebenarnya”. Cara kita terhubung dengan sesuatu itu, seperti palu yang
memasukkan paku. Fenomenologi berfungsi sebagai alat pembuka berkenaan dengan
situasi yang kita hadapi, tentu saja dalam konteks sosial.
Fenomenologi didefinisikan sebagai
pengetahuan dan keterampilan membiarkan sesuatu seperti apa adanya.
Pemikirannya yang paling inovatif, adalah mencari “cara untuk menjadi” lebih
penting daripada mempertanyakan apa yang ada di sekitar kita. Pemahaman
mengenai “menjadi” didapatkan dengan fenomenologi.
Pada tahun 1916 Husserl menerima
jabatan Guru Besar filsafat di German Universitybof Freiburg. Seorang di antara
mahasiswanya adalah Martin Heidegger. Ia memutuskan untuk belajar filsafat
setelah membaca karangan Husserl berjudul Logical Investigations. Caranya
Husserl mengajar adalah dalam bentuk memimpin para mahasiswa dalam ‘’melihat’’
secara fenomenologi; ia melarang menggunakan ide-ide yang belum diuji yang
terdapat dalam tradisi-tradisi fisafat. Ia menolak kembali kepada otoritas atau
kepada nama-nama besar dalam sejarah filsafat.
Heidegger merasa bahwa metoda
semacam itu merupakan pendekatan yang paling baik bagi problem-problemnya sendiri.
Heidegger memajukan tiga soal pokok: siapakah manusia itu? Apakah wujud (being)
yang kongkrit? Dan satu lagi, soal yang paling serius: Apakah wujud (being,
realitas tertinggi) itu? soal yang paling pokok bagi heidgger adalah: Apakah
arti kata-kata “aku ada”? manusia adalah suatu makhluk yang “terlempar” di
dunia ini tanpa persetujuannya. Ia perlu mengakui keterbatasannya. Ia keluar
dari jurang yang sangat dalam, untuk menghadapi jurang yang sangat dalam.
Dalam menghadapi ketidakadaan
(nothingess) ia gelisah, tetapi kegelisahannya memungkinkannya untuk menjadi
sadar tentang eksistensinya. Dalam mempelajari dirinya, manusia menemukan
soal-soal kesementaraan (temporality) takut dan khawatir, hati kecil dan dosa,
ketidakadaan (nothingness) dan mati.
Heidegger sangat kritis terhadap
manusia pada zaman kita, karena mereka hidup secara dangkal, dan sangat
memperhatikan kepada benda, kuantitas dan kekuasaan personal. Manusia modern
tidak mempunyai akar dan kosong oleh karenaia telah kehilangan rasa hubungan kepada
wujud yang sepenuhnya. Benda yang kongkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia
itu terbuka terhadap keseluruhan wujud.
Hanya dengan menemukan watak dinamis
dari ekstensilah manusia dapat diselamatkan dari kekeacauan dan frustasi yang
mengancamnya. Seseorang harus hidup secara otentik sebagai suatu anggota dari
kelompok yang hanya tergoda dengan benda-benda dan urusan hidup sehari-hari.
Tetapi manusia dapat jika ia mau, hidup secara otentik, ia memusatkan
perhatiannya kepada kebenaran yang ia dapat mengungkapkannya, menghayati
kehidupandalam contoh kematian, dan dengan begitu memandang hidupnya dengan
spektif yang baru.
3.
Maurice Merleau-Ponty
Maurice merlau-ponty (1908-1961) lahir di rochefort-sur-mer pada
tahun 1808. Dari tahun 1926 sampai 1930 ia belajar di Ecole normale
superieure, dimana Sartre termasuk sahabatnya. Pada tahun 1930 ia
memperoleh aggregation de philosophie yang membuka kemungkinan mengajar
filsafat di Lycee. Ia menjadi guru filsafat di salah satu lycee di beauvais
sampai tahun 1933. Pada tahun 1945 ia memperoleh gelar “Doktor Negara” atas
dasar tesis kecil “la structure du comportemen (struktur tingkah laku) dan tesis besar la phenomenology de
la perception (Fenomenologi persepsi).
Pada tahun 1945 ia diangkat lector di universitas Lyon
dan tiga tahun kemudian professor. Ketika Sartre mendirikan majalah les tems
modernes, Merleau-Ponty diundang masukdewan redaksi. Pada tahun pertama ia
sangat aktif dalam mengembangkan majalah muda ini. Pada tahun 1949 ia dipanggil
ke universitas Sorbonne di paris, dimana ia mengajar psikologi dan pedagogi.
Pengangkatannya sebagai professor di Colledge De France pada awal tahun 1953
dapat dinilai sebagai pengakuan terhadap kualitasnya sebagai filsuf.
4.
Jean Paul Satre
Jean-Paul Sartre (1905-1980) lahir di Paris, Perancis, 21 Juni
1905-meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun adalah seorang filsuf dan penulis
Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre
menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède
l'essence).
Manusia tidak memiliki apa-apa saat
dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari
komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya,
satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à
être libre). Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul
Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di
Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre
banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness
atau Ada dan Ketiadaan.
Kesadaran adalah kesadaran akan
objek, hal ini sejalan dengan pemikiran Husserl. Dalam model kesengajaan versi
Satre, pemain utama dari kesadaran adalah fenomena. Kejadian dalam fenomena
adalah kesadaran dari objek. Sebatang pohon hanyalah satu fenomena dalam
kesadaran, semua hal yang ada di dunia adalah fenomena, dan di balik sesuatu
itu ada “sesuatu yang menjadi. Kesadaran adalah menyadari “sesuatu di balik
demikian, “aku” bukanlah apa-apa, melainkan hanya sebuah bagian dari tindakan
sadar, termasuk bebas untuk memilih. Metode dapat dilihat dari gaya penulisan dalam
deskripsi interpretatif mengenai tipe-tipe pengalaman dalam situasi yang
relevan.
5.
Max Scheler
Max Scheler (1874-1928) adalah seorang filsuf Jerman yang
berpengaruh dalam bidang fenomenologi, filsafat sosial, dan sosiologi
pengetahuan. Ia berjasa dalam menyebarluaskan fenomenologi Husserl. Scheler
dilahirkan pada tahun 1874 di Muenchen. Ia menempuh studi di Muenchen, Berlin,
Heidelberg,dan Jena. Setelah itu, ia menjadi dosen di Jena dan Muenchen, di
mana ia berkenalan dengan fenomenologi Husserl.
Pada tahun 1919, Scheler menjabat
guru besar di Koln. Kemudian ia meninggal dunia di Frankfurt pada tahun 1928.
Inti pemikiran filsafat Scheler adalah nilai. Berbeda dengan Mill yang
mengatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan kepuasan diri, Scheler
menyatakan bahwa nilai adalah hal yang dituju manusia.
Menerapkan metode fenomenologi dalam
penyelidikan hakikat teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan, keagamaan,
dan nilai. Secara skematis, pandangan Scheler mengenai fenomenologi dibedakan
ke dalam tiga bagian, yakni:
a.
Penghayatan (erleben), atau pengalaman intuitif
yang langsung menuju ke “yang diberikan”. Setiap manusia menghadapi sesuatu
dengan aktif, bukan dalam bentuk penghayatan yang pasif.
b.
Perhatian kepada “apanya” (washiet, whatness,
esensi), dengan tidak memperhatikan segi eksistensi dari sesuatu. Hasserl
menyebut hal ini dengan “reduksi transedental”.
c.
Perhatian kepada hubungan satu sama lain
(wesenszusammenhang) antar esensi. Hubungan ini bersifat a priori (diberikan)
dalam institusi, sehingga terlepas dari kenyataan. Hubungan antar esensi ini
dapat bersifat logis maupun non logis.
Berdasarkan pemahaman fenomenologi-nya, Scheler menggolongkan
nilai kedalam empat kelompok, yaitu:
1.
Nilai meterial, atau nilai yang menyangkut
kesenangan dan ketidaksenangan. Misalnya kenikmatan yang bersifat lahiriah dan
inderawi, seperti rasa enak, pahit, manis, dsb.
2.
Nilai vital, atau nilai yang menyangkut
kesehatan. Misalnya perasaan lelah, segar, stress, dsb.
3.
Nilai rohani atau nilai estetis, seperti nilai
benar dan salah. Nilai rohani ini biasanya berhubungan dengan pengetahuan murni
atau pengetahuan yang dijalankan tanpa pamrih.
4.
Nilai kudus atau nilai yang menyangkut
objek-objek absolut yang terdapat dalam bidang religius. Misalnya nilai kitab
suci, utusan Tuhan, dosa, dsb.
Kemudian Scheler mengemukakan lima kriteria untuk menentukan
hierarki dari nilai-nilai tersebut. Berikut ini adalah kriteria tersebut:
1.
Berdasarkan lamanya nilai itu dirasakan. Nilai
kebahagian dipandang lebih tinggi daripada nilai kenikmatan.
2.
Berdasarkan dapat dibagi atau tidaknya suatu
nilai. Misalnya barang seni akan dipandang lebih bernilai ketimbang makanan,
karena barang seni tidak bisa dibagi-bagi.
3.
Berdasarkan ketergantungannya pada nilai yang
lain. Sesuatu akan kembali tinggi bila ia tidak bergantung pada yang lain.
4.
Berdasarkan kepuasan yang ditimbulkannya.
5.
Berdasarkan pengalaman organisme subjek.
B.
Sejarah Terbentuknya Ilmu Fenomologi
Secara etimologis, fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon
yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan
masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. Fenomenologi
dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari
fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari
fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali
dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,
khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger
dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan
ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.
Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai
nama teori tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau
penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh
Johann Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali
menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz
Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, dimana menjadi awalnya
Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai
“kesengajaan”.
Fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan
logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang
tipe-tipe aktivitas mental subjektif,
pengalaman, dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut masih
membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model
kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat
radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar
pengetahuan dan
pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik
yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena
tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat
dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang
tampak namun berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang
tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran
sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan konteks sosial dari
tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam
hal ini. Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang
kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan
mandiri.
Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu
sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang
dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam
pengelaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakkannya.
C.
Pengertian Ilmu Fenomologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani
phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti
memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan.
Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian
terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu
tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund
Husserl, untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang
disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada
sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai
oleh J.H. Lambert. Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai
gejala (fenomenologia).
Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri
bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen). Immanuel Kant memakai istilah
fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika. Maksud Kant
adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori
modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi,
yakni fenomena indera-indera lahiriah.
Pengertian fenomenologi merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman
kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju
kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi
ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa
lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada
pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau
kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi
konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif
serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta
indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan
tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran,
dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman
konkret manusia. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri”
lepas dari segala presuposisi. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan
sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu
tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Fenomenologi adalah ilmu yang
berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak.
Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir
dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan
fitur hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami.
Peneliti dalam pandangan
fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. berusaha membangun dan menuju
perkembangan analisis dari fenomena menjadi lebih baik. Suatu fenomena bukanlah
suatu yang statis,arti suatu fenomena tergantung pada sejarahnya.
Wawasan utama fenomenologi adalah
“pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala
realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya,
fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik
dalam linguistik; (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian
murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan,
penyaringan untuk menentukan keberadaan, danpenggambaran gejala; (c)
fenomenologi transendental; (d) fenomenologi eksistensial.
Bagi fenomenologi transendental,
keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesadaran aktif
dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat
penting. Bagi fenomenologi eksistensial, penentuan pengertian dari gejala
budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi
individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Tokoh-tokoh
yang meltarbelakangi terciptanya ilmu fenomologi adalah:
a.
Edmund
Husserl (1859-1938)
b.
Martin
Heideger (1889-1976)
c.
Maurise
Merleau-Ponty (1908-1961)
d.
Jean
Paul Satre (1905-1980)
e.
Max
Scheler (1874-1928)
2.
Sejarah
ilmu fenomologi pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman
sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian
dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre.
Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.
Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori
tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang
diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich
Lambert.
3.
Pengertian
fenomologi secara istilah adalah Fenomenologi (Inggris:
Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Pengembangan
Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bahasa & Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990.
Basuki, Heru, Penelitian
Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Kemanusiaan dan Budaya, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006.
Littlejohn. Teori Komunikasi, Jakarta:
Salemba Humanika, 2008.
No comments:
Post a Comment