3/10/17

FILSAFAT FENOMONOLOGY

BAB I
 PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Pemikiran filsafat sebelum abad ke 18 terbagi menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Aliran tersebut diantaranya aliran empiris dan aliran rasionalisme. Aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari penginderaan, dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman.
Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera, sedangkan di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri.
Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau fenomena, sedangkan fenomena sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsafat pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Fenomenologi tidak lagi dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, dimana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini. Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakkannya.
B.            Rumusan Masalah
1.             Siapa tokoh-tokoh yang mempelopori ilmu fenomologi?
2.             Bagaimana sejarah terbentuknya ilmu fenomologi?
3.             Apa pengertian dari ilmu fenomologi?
C.           Tujuan Penulisan
1.             Untuk mendeskripsikan tokoh-tokoh ilmu fenomologi
2.             Untuk menceritakan sejarah terbentuknya ilmu fenomologi
3.             Supaya mengerti dan memahami ilmu fenomologi

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Tokoh-tokoh Ilmu Fenomologi
1.             Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) dilahirkan di sebuah kota kecil Prosznitz di daerah Moravia,  ketika  itu  merupakan  wilayah  kekaisaran  Austria  Hongaria, namun  dari  perang  dunia  pertama  (1918)  hingga  sekarang  masuk  pada  wilayah Cekoslavia. Edmund Husserl merupakan tokoh utama dari Gerakan PhenomenologicalIa  dilahirkan  dari  keluarga  Yahudi  kelas  menengah. 
Husserl  sendiri berasal dari kata  Iserle  (Israel). Pada umur 27 tahun dia  dibaptis dalam gereja Kristen  bertradisi  Protestan.  Ia  mulai  belajar  di  Universitas  Leipzig,  Berlin  dan Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi dan filsafat. Husserl mendapat jabatan  sebagai  asisten  dari  Weirstrass  seorang  ahli  matematika  di  Berlin. Matakuliah  yang  diasuh  oleh  Husserl  ialah  matematika.
Keterkaitan  terhadap filsafat  dirasakan  setelah  mengikuti  kuliah-kuliah  yang  diampu  oleh  Franz Brentano,  di  Wina.Ia  pernah  menjadi  dosen  tamu  di  Halle  yang  mengampu matakuliah filsafat. Ia juga pernah mengajar filsafat di Gottingen, sebagai dosen tidak tetap pada tahun 1901-1916.
Husserl berhasil memperoleh gelar doktor filsafat dengan disertasi filsafat matematika yang berjudul  Beitra Gziwur Varitionsreachnung  (1983). Pada tahun 1901 dinobatkan sebagai Profesor di Universitas Gottingen, ketika ia mengajar di Gottungen pemikiran fenomenologisnya mencapai kematangan.
Pada tahun  1916  ia  menerima  undangan  di  Freiburg  Im  Breisgau  untuk  menjadi Profesor. Ketika ia mengajar di Freiburg ia sudah mulai menerima pengakuan dari tingkat  internasional.  Di  akhir  hidupnya  ia  mengalami  banyak  kesulitan,  akibat tingkah laku Nazi Jerman, disbebakan Husserl adalah keturunan Yahudi.
Ia menganggap karir di filsafat sebagai tugas moral yang suci selagi ia mencetuskan pendekatan falsafi yangbaru, yakni Phenomenological Method. Edmund Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia dimana kita hidup. Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia dimana kita hidup. Kita dapat menganggap suatu objet apapun tetapi kita tidak menganggap sepi kesadaran kita.
Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda yang tak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang kita hadapi serta pengalamn kita yang langsung tentang dunia tersebutadalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Edmund Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh yang kuat atas filsafat, khususnya di Jerman dan Francis. Husserl pernah dilarang mengajar di kampus Universitas Freiburg, demikian juga dengan anak-anaknya  mengalami  hal  serupa.  Husserl tidak meninggalkan Jerman sampai akhir hayatnya, walaupun menadapat tawaran untuk ke Amerika Serikat. Husserl meninggal pada usia tujuh puluh sembilan tahun pada tanggal 28 April 1938, karena sakit yang dideritanya selama hampir satu tahun.
2.             Martin Heidegger
Martin Heidegger (1889-1976) dilahirkan di Baden, Jerman, dan mempunyai pengaruh yang besar terhadapbeberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (pencetus fenomenologi). Pernah menjabat sebagai guru besar Filsafat di Universitas Marburg, kemudian kembali ke Freiburg untuk menggantikan Husserl.
Pada saat timbulnya gerakan Nazy ia memisahkan diri dari Husserl, karena Husserl seorang Yahudi. Pada tahun 1933 ia menjadi Rektor Universitas Freiburg (Rektor yang pertama yang diangkat oleh gerakan “National Socialist”. Pada pidato pelantikannya ia memberikan ceramah yang berjudul “Role of The University in the New Reich” dengan menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang jaya. Ketika ia sadar bahwa ia telah di eksploitir oleh Nazy, ia segera meletakkan jabatannya sebagai Rektor (1934) tetapi tetap mengajar sampai pension pada tahun 1957. Martin Heidegger sangat kritis terhadap manusia karena mereka hidup secara dangkal, dan sangat memperhatikan kepada benda, kuantitas dan kekuasaan personal.
Konsep “destuksi fenomenologis”, menyerukan agar kembali pada realitas yang sesungguhnya atau “gejala pertama dan yang sebenarnya”. Cara kita terhubung dengan sesuatu itu, seperti palu yang memasukkan paku. Fenomenologi berfungsi sebagai alat pembuka berkenaan dengan situasi yang kita hadapi, tentu saja dalam konteks sosial.
Fenomenologi didefinisikan sebagai pengetahuan dan keterampilan membiarkan sesuatu seperti apa adanya. Pemikirannya yang paling inovatif, adalah mencari “cara untuk menjadi” lebih penting daripada mempertanyakan apa yang ada di sekitar kita. Pemahaman mengenai “menjadi” didapatkan dengan fenomenologi.
Pada tahun 1916 Husserl menerima jabatan Guru Besar filsafat di German Universitybof Freiburg. Seorang di antara mahasiswanya adalah Martin Heidegger. Ia memutuskan untuk belajar filsafat setelah membaca karangan Husserl berjudul Logical Investigations. Caranya Husserl mengajar adalah dalam bentuk memimpin para mahasiswa dalam ‘’melihat’’ secara fenomenologi; ia melarang menggunakan ide-ide yang belum diuji yang terdapat dalam tradisi-tradisi fisafat. Ia menolak kembali kepada otoritas atau kepada nama-nama besar dalam sejarah filsafat.
Heidegger merasa bahwa metoda semacam itu merupakan pendekatan yang paling baik bagi problem-problemnya sendiri. Heidegger memajukan tiga soal pokok: siapakah manusia itu? Apakah wujud (being) yang kongkrit? Dan satu lagi, soal yang paling serius: Apakah wujud (being, realitas tertinggi) itu? soal yang paling pokok bagi heidgger adalah: Apakah arti kata-kata “aku ada”? manusia adalah suatu makhluk yang “terlempar” di dunia ini tanpa persetujuannya. Ia perlu mengakui keterbatasannya. Ia keluar dari jurang yang sangat dalam, untuk menghadapi jurang yang sangat dalam.
Dalam menghadapi ketidakadaan (nothingess) ia gelisah, tetapi kegelisahannya memungkinkannya untuk menjadi sadar tentang eksistensinya. Dalam mempelajari dirinya, manusia menemukan soal-soal kesementaraan (temporality) takut dan khawatir, hati kecil dan dosa, ketidakadaan (nothingness) dan mati.
Heidegger sangat kritis terhadap manusia pada zaman kita, karena mereka hidup secara dangkal, dan sangat memperhatikan kepada benda, kuantitas dan kekuasaan personal. Manusia modern tidak mempunyai akar dan kosong oleh karenaia telah kehilangan rasa hubungan kepada wujud yang sepenuhnya. Benda yang kongkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka terhadap keseluruhan wujud.
Hanya dengan menemukan watak dinamis dari ekstensilah manusia dapat diselamatkan dari kekeacauan dan frustasi yang mengancamnya. Seseorang harus hidup secara otentik sebagai suatu anggota dari kelompok yang hanya tergoda dengan benda-benda dan urusan hidup sehari-hari. Tetapi manusia dapat jika ia mau, hidup secara otentik, ia memusatkan perhatiannya kepada kebenaran yang ia dapat mengungkapkannya, menghayati kehidupandalam contoh kematian, dan dengan begitu memandang hidupnya dengan spektif yang baru.
3.             Maurice Merleau-Ponty
Maurice merlau-ponty (1908-1961) lahir di rochefort-sur-mer pada tahun 1808.  Dari tahun 1926 sampai 1930 ia belajar di Ecole normale superieure, dimana Sartre termasuk sahabatnya. Pada tahun 1930 ia memperoleh aggregation de philosophie yang membuka kemungkinan mengajar filsafat di Lycee. Ia menjadi guru filsafat di salah satu lycee di beauvais sampai tahun 1933. Pada tahun 1945 ia memperoleh gelar “Doktor Negara” atas dasar tesis kecil “la structure du comportemen (struktur tingkah laku) dan tesis besar la phenomenology de la perception (Fenomenologi persepsi).
Pada tahun 1945 ia diangkat lector di universitas Lyon dan tiga tahun kemudian professor. Ketika Sartre mendirikan majalah les tems modernes, Merleau-Ponty diundang masukdewan redaksi. Pada tahun pertama ia sangat aktif dalam mengembangkan majalah muda ini. Pada tahun 1949 ia dipanggil ke universitas Sorbonne di paris, dimana ia mengajar psikologi dan pedagogi. Pengangkatannya sebagai professor di Colledge De France pada awal tahun 1953 dapat dinilai sebagai pengakuan terhadap kualitasnya sebagai filsuf.
4.             Jean Paul Satre
Jean-Paul Sartre (1905-1980) lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905-meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence).
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Kesadaran adalah kesadaran akan objek, hal ini sejalan dengan pemikiran Husserl. Dalam model kesengajaan versi Satre, pemain utama dari kesadaran adalah fenomena. Kejadian dalam fenomena adalah kesadaran dari objek. Sebatang pohon hanyalah satu fenomena dalam kesadaran, semua hal yang ada di dunia adalah fenomena, dan di balik sesuatu itu ada “sesuatu yang menjadi. Kesadaran adalah menyadari “sesuatu di balik demikian, “aku” bukanlah apa-apa, melainkan hanya sebuah bagian dari tindakan sadar, termasuk bebas untuk memilih. Metode dapat dilihat dari gaya penulisan dalam deskripsi interpretatif mengenai tipe-tipe pengalaman dalam situasi yang relevan.
5.             Max Scheler
Max Scheler (1874-1928) adalah seorang filsuf Jerman yang berpengaruh dalam bidang fenomenologi, filsafat sosial, dan sosiologi pengetahuan. Ia berjasa dalam menyebarluaskan fenomenologi Husserl. Scheler dilahirkan pada tahun 1874 di Muenchen. Ia menempuh studi di Muenchen, Berlin, Heidelberg,dan Jena. Setelah itu, ia menjadi dosen di Jena dan Muenchen, di mana ia berkenalan dengan fenomenologi Husserl.
Pada tahun 1919, Scheler menjabat guru besar di Koln. Kemudian ia meninggal dunia di Frankfurt pada tahun 1928. Inti pemikiran filsafat Scheler adalah nilai. Berbeda dengan Mill yang mengatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan kepuasan diri, Scheler menyatakan bahwa nilai adalah hal yang dituju manusia.
Menerapkan metode fenomenologi dalam penyelidikan hakikat teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan, keagamaan, dan nilai. Secara skematis, pandangan Scheler mengenai fenomenologi dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni:
a.             Penghayatan (erleben), atau pengalaman intuitif yang langsung menuju ke “yang diberikan”. Setiap manusia menghadapi sesuatu dengan aktif, bukan dalam bentuk penghayatan yang pasif.
b.             Perhatian kepada “apanya” (washiet, whatness, esensi), dengan tidak memperhatikan segi eksistensi dari sesuatu. Hasserl menyebut hal ini dengan “reduksi transedental”.
c.             Perhatian kepada hubungan satu sama lain (wesenszusammenhang) antar esensi. Hubungan ini bersifat a priori (diberikan) dalam institusi, sehingga terlepas dari kenyataan. Hubungan antar esensi ini dapat bersifat logis maupun non logis.
Berdasarkan pemahaman fenomenologi-nya, Scheler menggolongkan nilai kedalam empat kelompok, yaitu:
1.             Nilai meterial, atau nilai yang menyangkut kesenangan dan ketidaksenangan. Misalnya kenikmatan yang bersifat lahiriah dan inderawi, seperti rasa enak, pahit, manis, dsb.
2.             Nilai vital, atau nilai yang menyangkut kesehatan. Misalnya perasaan lelah, segar, stress, dsb.
3.             Nilai rohani atau nilai estetis, seperti nilai benar dan salah. Nilai rohani ini biasanya berhubungan dengan pengetahuan murni atau pengetahuan yang dijalankan tanpa pamrih.
4.             Nilai kudus atau nilai yang menyangkut objek-objek absolut yang terdapat dalam bidang religius. Misalnya nilai kitab suci, utusan Tuhan, dosa, dsb.
Kemudian Scheler mengemukakan lima kriteria untuk menentukan hierarki dari nilai-nilai tersebut. Berikut ini adalah kriteria tersebut:
1.             Berdasarkan lamanya nilai itu dirasakan. Nilai kebahagian dipandang lebih tinggi daripada nilai kenikmatan.
2.             Berdasarkan dapat dibagi atau tidaknya suatu nilai. Misalnya barang seni akan dipandang lebih bernilai ketimbang makanan, karena barang seni tidak bisa dibagi-bagi.
3.             Berdasarkan ketergantungannya pada nilai yang lain. Sesuatu akan kembali tinggi bila ia tidak bergantung pada yang lain.
4.             Berdasarkan kepuasan yang ditimbulkannya.
5.             Berdasarkan pengalaman organisme subjek.
B.            Sejarah Terbentuknya Ilmu Fenomologi
Secara etimologis, fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. Fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.
Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, dimana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe aktivitas mental  subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar
pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang tampak namun berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini. Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan mandiri.
Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakkannya.
C.           Pengertian Ilmu Fenomologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl, untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert. Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia).
Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen). Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika. Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.
Pengertian fenomenologi merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. 
Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. berusaha membangun dan menuju perkembangan analisis dari fenomena menjadi lebih baik. Suatu fenomena bukanlah suatu yang statis,arti suatu fenomena tergantung pada sejarahnya.
Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik; (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberadaan, danpenggambaran gejala; (c) fenomenologi transendental; (d) fenomenologi eksistensial.
Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksistensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
1.             Tokoh-tokoh yang meltarbelakangi terciptanya ilmu fenomologi adalah:
a.             Edmund Husserl (1859-1938)
b.             Martin Heideger (1889-1976)
c.             Maurise Merleau-Ponty (1908-1961)
d.             Jean Paul Satre (1905-1980)
e.             Max Scheler (1874-1928)
2.             Sejarah ilmu fenomologi pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert.
3.             Pengertian fenomologi secara istilah adalah Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.


DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Pengembangan Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bahasa & Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990.
Basuki, Heru, Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Kemanusiaan dan Budaya, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006.
Littlejohn. Teori Komunikasi, Jakarta: Salemba Humanika, 2008.

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner