9/22/17

Muhkam dan Mutasyabih

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran, kalamullah  yang  dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang  keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas tentang ayat Muhkam Mutasyabbih.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih. Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud : 1, sebagai berikut :
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.
Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. Az-Zumar : 23, sebagai berikut :
 “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun”.
Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkam dan mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS.‘Ali Imran:7, sebagai berikut :
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab [Al Qur’an] kepada kamu. Di antara [isi]nya ada ayat-ayat yang muhkamaat. itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain [ayat-ayat] mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran [daripadanya] melainkan orang-orang yang berakal”.

Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian/pemahaman Al-Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang  ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa  Al-Quran ada kalimat yang  jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Dari Muhkam dan Mutsyabih?
2. Macam Macam Ayat Mutasyabihat
3.Bagaimana Sikap Para Ulama Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih?
4.Definisi-Definisi Para Ulama Tidak Saling Kontradiksi
5. Apa Sajakah Hikmah Keberadaan Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Laporan ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Studi Keislaman 1. Kami berharap laporan ini juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana ayat yang termasuk dalam Muhkam dan Mutasyabih. Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu pembaca untuk memahami hal-hal sebagai berikut :
  1. Dapat mengetahui pengertian dari Muhkam dan Mutasyabih.
2.      Mengetahui macam macam ayat Mutasyabihat
  1. Dapat mengetahui bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
  2. Definisi-definisi  para  ulama tidak saling Kontradiksi
  3. Dapat memahami hikmah dari adanya Muhkam dan Mutasyabih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Secara etimologi (bahasa), muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam Al-murad bib’an al-tabdil wa at-taghyir). Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar (makhafiya bi nafs Al-lafzh).[1] Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang berati kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya
Menurut Dr. Amir Aziz, Muhkam adalah ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau dengan melalui ta’wil (mengandung pengertian lebih dari satu). Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah. Misalnya saat datangnya hari kiamat dan huruf tahajji (huruf yang terdapat pada awal surat).
Menurut Ibnu Abbas, Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna. Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.
Menurut Imam as Suyuthi muhkam adalah suatu yang jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
Menurut Manna’ Al Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Orang bisa saja mengatakan, bahwa semua ayat Al-Qur’an adalah Muhkamat apabila yang di maksud adalah keindahan. Karena ayat Al-Qur’an itu indah dan tersusun rapi. Allah berfirman:
كِتَبٌ اُحْكِمَتْ ايتُهُ . . .
“(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi . . .”
Dan orang pun bisa saja mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, jika yang dimaksud adalah kesamaan tingkatan i’jaz (mu’jizat yang tidak tertandingi) dalam kefasihan bahasa, sehingga sulit untuk ditangkap kelebihan antara satu bagian dengan bagian lainnya.[2]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Muhkam adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Sedangkan Mutasyabih adalah merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam dan pentakwilan. Termasuk kategori ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mempunyai arti sifat seperti جَاءَ ,اِسْتَوَي , اليَدُّ,الوَجْهُ  dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, muhkam adalah ayat yang maknanya rasioanal, artinya dapat memahami pengertian ayat dengan akal, sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang maknanya tidak dapat diirasionalkan, artinya tidak dapat diterima atau dipahami pengertian ayat dengan akal. Misalnya, bilangan raka’at dalam shalat lima waktu. Demikian juga penetapan syaum yang dijatuhkan pada bulan Ramadlan, bukan bulan Sya’ban atau Muharram.[3]
Kita dapat mengatakan, semua ayat Al-Qur’an adalah muhkam (kuat, kokoh, rapi, indah susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam hal lafaz, rangkaian kalimat maupun maknanya). Berdasarkan makna itulah Allah berfirman:
“Kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi”(Hud:1)
Dan juga kita dapat mengatakan, semua ayat Al-Qur’an Mutasyabih (kesamaan) ayat-ayatnya dalam hal balaghah dan i’jaz serta dalam hal kesukaran membedakan  yang afdhal. Berdasarkan itulah Allah berfirman:
“Allah telah menurunkan tutur kata (berupa) kitab (Al-Qur’an) yang serupa (mutu ayat-ayat-Nya), lagi berulang-ulang” (az-Zumar: 23)
Dengan demikian muhkam (jelas), yang termasuk ayat Muhkam ialah ayat yang terang makna serta lafaznya yang diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan cepat di pahami. Sedangkan Mutasyabih (tidak jelas), ialah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), yang mu’awwal (memerlukan ta’wil) dan yang musykil (sukar dipahami). Sebab, ayat-ayat yang mujmal membutuhkan rincian, ayat-ayat yang mu’awwal baru diketahui maknanya setelah di ta’wilkan, dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya dan sulit dimengerti.[4]
Dari penjelasan di atas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) dan zhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat  mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
B. Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam:[5]
1)      Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contoh:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (QS. al-An’am : 59)
2)      Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh: pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib.
3)      Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.

C.  Sikap Para Ulama Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Para ulama juga berlainan paham mengenai kemuhkaman Al-Qur’an dan kemutasyabihatannya. Sebab dalam Al-Quran ada ayat-ayat yang menerangkan bahwa semua Al-Quran itu muhkam, seperti surah Hud ayat 1, dan ada pula ayat-ayat yang menjelaskan bahwa semuanya mutasyabih, seperti ayat 23                     surah  Az-Zumar. Sebagaimana ada juga ayat-ayat yang menjelaskan ada sebagian Al-Quran yang muhkam dan sebagian lain mutasyabih, seperti ayat 7                     surah  Ali Imran. Ada tiga pendapat para ulama mengenai masalah tersebut, sebagai berikut:
  1. Pendapat pertama berpendirian, bahwa semua Al-Qur’an itu muhkam, berdasarkan ayat 1 surah Hud: كِتبٌ أُحْكِمَتْ آيتُهُ (suatu Kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapih).
  2. Pendapat kedua mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabihat, dalam arti yang saling bersesuaian yang sebagian dengan bagian yang lain. Hal ini berdasarkan ayat 23 surah Az-Zumar:
اَللهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًامُتَشَابِهًامَثَانِيَ تَقْشَعِرًّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya.”
  1. Pendapat ketiga mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, yakni muhkam dan mutasyabih. Pendapat ini berdasarkan ayat 7 surah Ali Imran.
Jika dilihat sepintas, seolah-olah hanya pendapat ketiga yang benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam Al-Qur’an. Tetapi jika diamati secara seksama, sebenarnya semua pendapat itu benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam Al-Qur’an itu. Sebab ketiga itu ada dalilnya dalam Al-Qur’an, dan semuanya juga benar cara istidhal masing-masing. Yang berbeda hanya orientasi pendapat masing-masing.
Berdasarkan sumber lain menyebutkan, para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Terdapat dua pendapat berbeda, yang bersumber pada QS. ‘Ali Imran : 7.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa ayat mutasyabih dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalami ilmunya. Itu artinya manusia pun dapat memahami arti dari ayat mutasyabihat jika memang menguasai ilmunya. Hanya sedikit ulama yang berpihak kepada pendapat pertama ini. Salah satu ulama, Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim menyetujui pendapat ini dan mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah memberikan ketentuan kepada hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
Pendapat Kedua mengatakan bahwa ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sementara orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya. Sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama Ahlussunnah berpihak kepada pendapat kedua ini, seperti sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim yang bersumber dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS. ‘Ali Imron ayat 7 : “Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
D. Definisi-Definisi Para Ulama Tidak Saling Kontradiksi   
Setelah menyebutkan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih, Syaikh al-Zarqani mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi dalam pendapat-pendapat yang bahkan masing-masing pendapat saling mendekati satu sama lain dan terlihat mirip.[6]
Saat diketahui bahwa al-Qur’an dari satu sisi, muhkam seluruhnya dan mutasyabih seluruhnya, disisi lain al-Qur’an muhkam sebagian dan mutasyabih sebagian, maka lahirlah pengelompokan muhkam dan mutasyabih kepada dua kelompok, muhkam dan mutasyabih ‘am dan muhkam dan mutasyabih khash.
Tidak ada perbedaan pandangan ulama mengenai muhkam dan mutasyabih ‘am, sedang pada muhkam dan mutasyabih khash ada beberapa perbedaan defenisi baik secara redaksi maupun makna. Misalkan, muhkam adalah nasikh dan mutasyabih adalah mansukh, yang lain mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam maksudnya adalah ayat-ayat yang diamalkan, seperti ayat yang me-nasakh atau ayat yang menetapkan sebuah hukum, sedang mutasyabihat adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diamalkan yang ayat-ayat yang di-nasakh.
Melihat kenyataan ini, perlu diberikan wadah-wadah khusus untuk masing-masing definisi hingga tercapai apa yang diisyaratkan oleh al-Zurqani.
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan, muhkam adalah lawan dari mutasyabih, hingga terlihat senantiasa berpasangan, kecuali pada beberapa definisi, ketidak berpasangan lebih terlihat jelas pada definisi yang dibawakan oleh Ibnu al-Jauzi, delapan definisi untuk muhkam dan tujuh untuk mutasyabih. Ini adalah salah satu kendala yang mungkin mempersulit pengkompromian berbagai definisi.

E. Hikmah Keberadaan Ayat-ayat Muhkamat dan ayat ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an
          
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan hikmah ayat-ayat mutasyabihat.[7]
Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a.       Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b.      Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c.       Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d.      Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a)        Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b)       Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
c)        Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d)      Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e)        Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam











BAB III
KESIMPULAN

Muhkam adalah ayat yang memberikan makna yang jelas dan dapat dijangkau oleh pemahaman akal. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang memberikan makna yang tidak jelas, tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan yang lain.
Maka adanya ayat-ayat muhkamat, dapat memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan
Para ulama berbeda terhadap adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat mutasyabih tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah. Mereka mencoba mengembalikan ayat mutasyabih kepada ayat muhkam.
Hikmah adanya ayat-ayat mutasyabihat adalah dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat, membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2012)
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992),
Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996)
Abdul Jalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008)
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Renika Cipta, 1992),



[1] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 121

[2] Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 113
[3] Ibid, hlm. 115

[4] Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 372.
[5] Abdul Jalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), hal. 239

[6] Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, op.cit. hlm. 217.

[7] Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Renika Cipta, 1992), hal. 189.


No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner