BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Dalam rangka untuk meningkatkan berbagai macam pengetahuan terutama ilmu
keislaman, pada kesempatan ini kami
melakukan pembahasan masalah Nasikh wal mansukh. Materi ini di angkat sebagai bahan untuk
menyelesaikan tugas Al Hadist, tugas ini sangat menarik sehingga dengan senang
hati tugas ini kami kerjakan.
Masalah Nasikh wal mansukh merupakan bab yang
baru saya ketahui sehingga untuk menjelaskan banyak sekali kekurangan.
Untuk itu saran dan perbaikan dalam makala ini sangat saya harapkan.
BAB II
Dalam penjelasan masalah Nasikh wal
manskh agar berurutan dan fokus pada
masalah maka akan saya berikan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa
Pengertian Nasikh wal manskh
Bagaimana dasar
dasar penetapan nasikh dan mansukh.
3.
Apa saja rukun
dan syarat nasikh
4.
Cara Mengetahui
Nasikh
5.
Bentuk bentuk
dan macam macam nasikh dan mansukh
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
I.
Apa
Pengertian Nasikh wal mansukh
Nasikh secara etimologi yaitu menghapus
/mengganti/memindahkan/mengutip. Sedangkan secara termologi nasikh berarti
menghapus hukum syara’dengan dalil syara yang datang kemudian , dengan catatan
kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap
berlaku [1].seperti
terlihat dalam surat Al Baqoroh ayat 106.sebagai berikut:
106. Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu? [2].
Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti, sedangkan
secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal,
yang belum diubah dan diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqoho anatara lain :
1. Membatalkan
hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru
datang seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh nabi lalu nabi membolehkannya.
2. Mengangkat nas
yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti :
a. Surat Al
Baqoroh ayat 228.
b.
Surat
Al-Ahzab ayat 49;
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
Yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati
isteri yang diceraikan sebelum dicampuri. Nas yang pertama umum; termasuk didalamnya istri yang sudah didukul(dicampuri)
dan yang belum. Sedang nas yang kedua khusus tertuju pada istri yang belum didukhul.
II.
Bagaimana dasar
dasar penetapan nasikh dan mansukh.
Dasar- Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
1. Melalui
pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis:
Artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah
kubur, sekarang berziarahlah
2.
Melalui
kesepakatan umat bahwa ayat ini
nasikh dan ayat itu mansukh
3.
Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut
nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh
4.
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa
ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya
kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
III.
Apa saja rukun
dan syarat nasikh
Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan adanya syarat-syarat berikut
:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara:[4],
(Titah Allah dan sunnah Rosulullah) yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik secara mewajibkan, melarang atau menyuruh memilih.bukan hukum
lain,( seperti hukum akal atau hukum buatan manusia)
2.
Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada
tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh). ( Al-Qur’an,
hadist, ijma, dan kias) Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(QS-.An-nisa’ 59). Tidak boleh dalil
berupa dalil akal.
3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertentangan yang
nyata (kontradiktif).
4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus
bersifat mutawatir.
IV.
Cara Mengetahui
Nasihk
Ada tiga cara untuk mengetahui ketentuan dalil
yang datang duluan atau kemudian, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam
salah satu dalil nashnya harus ada yang menentukan datangnya belakangandari
dalil yang lain Contohnya: (QS. Al-Mujadilah 13, dan QS. Al-Anfaal 66).
2. Harus
ada kesepakatan (Ijma’) para imam pada suatu masa dari sepanjang waktu yang
menetapkan, bahwa salah satu dari dalil itu datang lebih dulu, maksudnya, jika
ketentuan dalil itu dapat diketahui dali kalimat-kalimat dalil itu sendiri,
maka harus ada Ijma’ para Ulama’yang menetapkan hal tersebut.dari dalil yang
lain. Contohnya: (QS. Al-Mujadilah 13, dan QS. Al-Anfaal 66).
3. Harus
ada riwayat shohih dari salah seorang sahabat yang menentukan mana yang lebih
dahulu dalil nash yang saling bertentangan tadi
V.
Bentuk bentuk
dan macam macam nasikh dan mansukh.
1.
Pendapat Para Ulama’tentang
Nasahk Dilingkungan para ulama’ dari berbagai agama, ada beberapa pendapat
mengenai nasahk, di antaranya:
a.
Secara akal
dapat terjadi dan secara sama’I telah terjadi. Pendapat ini merupakan Ijmak
kaum mulimin, tidak ada perselisian diantara para ulama’ tentang di
perbolehkannya nashk dalam Al-Qur’an dan hadist. Atas dasar firman Allah dalam
QS. Al-Baqoroh 106)
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
b.
Menurut orang nasarani dan yahudi Tidak mungkin
terjadi menurut akal maupun pandangan. pendapat ini dari seluruh orang Nasrani
masa sekarang. Yang selalu menyerng Islam dengan dalih “nasahk” ini
Nasahk itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara’ dilarang. pendapat ini merupakan pendirian golongm inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim Al-Asfihani. Mereka mengakui terjadnya nasahk itu menurut logika, tetapi mereka mengatkan nasahk dilarang dalam syara’. Dengan dalil QS. Fusilat: 42
Artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Mereka menganggap (menafsirkan) ayat ini bahwa Al-Qur’an itu tidak batal/ tidak di hapus selamanya, padahal maksud ayat tersebut bahwa tidak ada kitab-kitab lain sebelumnya yang membatalkan, dan juga akan ada kitab setelah Al-Qur’an yang menghapuskan hukum-hukumnya
Nasahk itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara’ dilarang. pendapat ini merupakan pendirian golongm inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim Al-Asfihani. Mereka mengakui terjadnya nasahk itu menurut logika, tetapi mereka mengatkan nasahk dilarang dalam syara’. Dengan dalil QS. Fusilat: 42
Artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Mereka menganggap (menafsirkan) ayat ini bahwa Al-Qur’an itu tidak batal/ tidak di hapus selamanya, padahal maksud ayat tersebut bahwa tidak ada kitab-kitab lain sebelumnya yang membatalkan, dan juga akan ada kitab setelah Al-Qur’an yang menghapuskan hukum-hukumnya
2.
Dalil-dalil yang Membolehkan Nasakh
Untuk berikut akan lebih jelasnya di terangkan dalil-dalil baik dalil sam’I maupun dalil aqli.
Dalam kitab-kitab banyak ayat-ayat yang memperbolehkan nasakh, antara lain.
Untuk berikut akan lebih jelasnya di terangkan dalil-dalil baik dalil sam’I maupun dalil aqli.
Dalam kitab-kitab banyak ayat-ayat yang memperbolehkan nasakh, antara lain.
1.
Dalam kitab
taurot disebutkan : bahwa Allah membolehkan nabi adam mengawinkan anak
laki-laki beliau dengan anak perempuan beliau tapi kemudian Allah mengharamkam
kepada nabi-nabi yang lain.
2.
Dalam buku
pertama kitab taurot disebutkan, bahwa Allah menghalalkan semua jenis binatang
kepada Nabi Nuh a.s. dan anak cucunyaa, kemudian Allah mengharamkan berbagai
binatang kepada ahli syari’at yang lain
Dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang memperbolehkan nasahk, diantaranya adalah: Al-Baqoroh ayat 106, An-Nahl ayat 101,Ar-Ra’du 39
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).
Dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang memperbolehkan nasahk, diantaranya adalah: Al-Baqoroh ayat 106, An-Nahl ayat 101,Ar-Ra’du 39
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).
3.
Nasahk juga di
benarkan oleh akal pikiran manusia, menurut akal manusia nasahk itu tidak
terlarang, karena akal tidak menganggap mustahil terjadinya nasakh. Sebab
nasahk itu atas dasar kebijaksanaan Allah SWT. Yang maha mengetahui
kemaslahatan hambanya pada sewaktu-waktu.
Macam-Macam Nasahk dan jenisnya.
Macam-Macam Nasahk dan jenisnya.
4.
Adapun jenis-jenis
Nasakh ada empat, yaitu:
a.
Nasakh Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an (Naskhul Qur’aani bil Qur’aani). Jenis Nasakh ini telah
dipakai oleh orang yang menyetujui Nasakh mengenai kebolehan terjadinya Nasakh
b.
Nasakh
Al-Qur’an dengan Sunnah (Naskhul Qur’aani bis Sunnah). Nasakh Al-Qur’an dengan
sunnah ini boleh baik ahad maupun mutawatir. Namun jumhur ulama’ tidak
memperbolehkan Nasakh menggunakan Hadist ahad karena Al-Qur’an diturunkan
secara mutawatir dan memberi faedah yang meyakinkan. Sedangkan Hadist ahad memberi
faedah yang dzanni (dugaan)
c.
Nasakh Sunnah
dengan Al-Qur’an (Naskhul Sunnah bil Qur’aani). Nasakh ini menghapuskan hukum
yang ditetapkan berdasarkan dengan Al-Qur’an. Nasakh jenis lni diperbolehkan
oleh jumhur ulama’.
d.
Nasakh Sunnah
dengan Sunnah ((Naskhul Sunnah bis Sunnah), yaitu hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil sunnah di Nasakh dengan dalil sunnah pula
5.
Urgensi Mempelajari Nasikh dan Mansukh
Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan
hukum Islam dalam al-Quran sangat penting untuk mengetahui proses tshri’
(penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan
masyarakatnya yang selalu berubah, sejauhmana elastisitas ajaran dan hukumnya,
serta tersebut sejauhmana perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk
menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum),
sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar dan ketat
sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan
ajaran dan illat hukum.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Nasikh yaitu menghapus
suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan mansukh
yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum
diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang mendukung atau setuju
dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran.
Urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah untuk mengetahui proses tashri’
(penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta
illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul
Qur’an (Edisi Lengkap). Surabaya : Dunia Ilmu.
AL-Khattan, Manna’ Khalil. 2006. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir. Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur’an Dan Ulumul
Qur’an. Jakarta
: Dana Bhakti Prima Yasa.
DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Jakarta
Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Qur’an. Jakarta
: Rajawali.
Syaikh Muhammad Bin Sholel al Utsaimin. 2004. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : Darus Sunnah Press.
Tim Penyusun MKD. 2011. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel