الأمْرُ
AL – AMR
Al – Amr atau Amar artinya perintah, suruhan
Amar yang ditunjukan dalam pembicaraan ini ialah : PERINTAH DARI
ALLAH DAN RASUL – NYA YANG ADA DALAM QUR’AN DAN HADITS – HADITS
Tentang “perintah” ini ada beberapa qaidah sebagai berikut :
1.
Tiap – Tiap Perintah Asalnya Wajib
Tiap tiap perintah yang terdapat dalam
Qur’an atau Hadits, pada asalnya berketetapan WAJIB. Allah berfirman :
وَأقِيْمُوا الصَّلَاةَ…..
“dan
dirikanlah Shalat…..” (An – Nisa’ : 77)
KETERANGAN :
Perkataan “dirikanlah” itu suatu perintah
dari Allah. Tiap tiap perintah asalnya “wajib”. Kesimpulannya : Shalat itu
hukumnya “wajib”
Menurut hukum dari asal perintah yang telah diaparkan diatas maka,
semua shalat apapun itu, pada asalnya “wajib”
Akan tetapi ada keterangan yang menetapkan bahwa shalat sehari
semalam itu hanya ada lima kali. Sebagaimana sabdah Nabi Muhammas SAW :
يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ
الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا
“seorang arab badui menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dengan rambut acak-acakan, ia berkata; 'ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku
shalat apakah yang Allah wajibkan atasku? ' Nabi menjawab: "shalat lima
waktu, kecuali jika engkau mau mengerjakan yang sunnah” (Bukhari)
2.
Perintah Wajib, Jadi Sunnah
Perintah – perintah yang asalnya “wajib” dapat berubah menjadi
berketetapan “Sunnah”, jika ada dalil Agama. Contoh : Nabi bersabdah :
صَلُّوْا قَبْلَ
الْمَغْرِبِ
“Shalatlah
(dua rakaat) sebelum (Shalat) Maghrib”{H.R. Bukhari}
KETERANGAN :
Perkataan shalatlah itu suatu perintah Nabi. Tiap – tiap perintah pada asalnya wajib.
Jadi menurut hadits diatas itu shalat dua rakaat sebelum Maghrib itu adalah
“wajib”. Tetapi riwayat orang arab gunung yang dating kepada Nabi SAW tadi,
sudah jelas bahwa shalat yang di wajibkan itu hanya lima saja.
Karena itu, maka “dua rakaat sebelum
Maghrib” itu, bukan wajib. Perintah yang bukan wajib itu, apabila mengenai
urusan Ibadah, disebut “Sunnah”
3.
Perintah Wajib Jadi Mubah
Peritah yang pada asalnya wajib, dapat berubah menjadi mubah, bila
ada dalil atau keterangan. Allah berfirman :
وَكُلُوْا وَ
سْرَبُوْا.............
“Dan
makan dan minumlah............” {Al – A’raf : 31}
KETERANGAN :
Kalimat “makan dan minumlah” itu, keduanya perintah dari Allah.
Tiap – tiap perintah asalnya wajib. Maka “makan dan minumlah” itu mesti
mempunyai hukum wajib pula.
Tetapi oleh karena “makan dan minumlah” itu berurusan keduniaan,
serta Allah atau Rasulnya tidak menentukan banyaknya, sedikitnya, dan tidak ada
satupun paksaan, maka tentulah perintah “makan dan minumlah” itu tidak dapat
dikatakan “wajib”. Sesuatu yang “tidak wajib” dalam hal keduniaan, maka
dinamakan “mubah”, yakni “boleh, boleh makan dan minum.
4.
Perintah Wajib Jadi Do’a
Perintah – perintah yang wajib bisa menjadi do’a, dengan alasan dan
melihat kepada kedudukannya. Seperti firman Allah :
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus” {Al – Fatihah : 6}
KETERANGAN :
Perkataan “tunjukkanlah” itu berbentuk perintah. Tiap – tiap
perintah pada asalnya wajib. Jadi mestinya, ayat itu bermakna “wajib Allah
menunjukkan”. Tetapi oleh karena ucapan itu kita hadapkan kepada Allah yang
menjadikan kita, yang memberi rizki kepada kita, yang memelihara kita dll.
Tentulah tidak pada tempatnya dikatakan Allah “wajib memberi petunjuk” yang
berarti kita memerintah kepada-NYA. Karena ini, maka ucapan kita itu suatu
“permintaan” kepada Allah. Permintaan manusia kepada Allah, dinakamakan “Do’a”.
Dengan demikian, makna ayat tadi ialah kita memohon kepada Allah supaya Allah
menunjukkan jalan yang lurus
5.
Tiap – Tiap Perintah Dikerjakan Sekali
Tiap – tiap perintah yang terlepas
pada asalnya cukup dikerjakan sekali saja. Tegasnya : jika orang yang
diperintah mengerjakan perintah itu “sekali” saja, terlepaslah ia dari
kewajiban. Seperti firman Allah :
أَتِمُّـوا
الْـحَـجَّ...........
“Sempurnakanlah
hajji………..” {Al – Baqarah : 196}
KETERANGAN :
Perkataan “sempurnakanlah” itu suatu perintah yang terlepas. Dari
perintah ini dapat kita keluarkan 2 ketentuan :
1. Tiap – tiap perintah asalnya wajib. Jadi,
naik hajji itu hukumnya “wajib”, dan tidak ada dalil yang mengubah kewajiban
itu.
2. Tiap – tiap perintah asalnya cukup
dilaksanakan sekali saja. Jadi, naik hajji cukup dikerjakan sekali saja seumur
hidup. Oleh karena tidak ada lain – lain keterangan Agama yang mengubah “satu
kalinya” itu, maka tetaplah ibadah hajji itu wajibnya hanya sekali
seumur hidup.
Kesimpulan :
Hajji itu hukumnya “wajib” dan cukup
“sekali saja”
6.
Perintah Sekali Jadi Berulang
Perintah yang asalnya memadai dilakukan
sekali saja, dapat berubah menjadi wajib dikerjakan lebih dari sekali, bila ada
dalil yang menentukan ke situ, sperti Firman Allah :
أقِيْمُوا
الصَّلَاةَ............
“dirikanlah
Shalat……” {Al – Baqarah : 110}
KETERANGAN :
Perkataan “dirikanlah” ini adalah suatu
perintah. Dari perintah ini, kita mendapat 2 ketetapan, yaitu :
1. Tiap – tiap perintah asalnya wajib. Jadi
“wajib” Shalat. Tentang shalat mana yang wajib itu, ini juga sudah kita bahas
di bagian “tiap – tiap perintah asalnya wajib” yang pertama.
2. Tiap – tiap
perintah asalnya cukup dikerjakan sekali saja. Jadi, mestinya Shalat
yang wajib itu juga cukup dilakukan sekali saja. Tetapi di bagian pertama tadi
telah kita singgung tentang hadits orang Arab gunung yang menetapkan bahwa
shalat wajib yang harus dikerjakan itu, sehari semalam, lima kali. Ini
menunjukkan berulang – ulang. Jadi, riwayat orang arab gunung itulah yang
menjadi dasarnya mengubah dari sekali, menjadi lebih dari sekali.
Kesimpulan : shalat lima waktu itu “wajib” dan harus
dilakukan dengan “berulang – ulang” seterusnya.
7.
Lafadz Khabar Jadi “Perintah”
Dalam Qur’an dan hadits banyak kata – kata
yang berbentuk khabaran, tetapi mengandung “perintah”. Contoh dalam Firman
Allah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ…………
“perempuan – perempuan yang telah di caerai
itu, menaha diri – diri mereka (ber’iddah) tida kali bersih dari Haidh” {Al –
Baqarah : 228}
KETERANGAN :
Kalimat “menahan” disitu, bentuknya adalah sebagai khabaran, karena
memakai fi’il mudhari’ tetapi maksudnya “memerintah”, yaitu “hendaklah mereka
menahan
Dengan demikian, karena perempuan – perempuan yang telah dithalaq
itu, sebenarnya tidak ada kewajiban menahan diri mereka untuk ber’iddah, jika
tidak diperintah Agama
Contoh dari Hadits :
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ
اِمْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“dari Asma' dia berkata, "Seorang
perempuan datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata,
'Pakaian salah seorang dari kalangan kami terkena darah haid. Apa yang harus
dia lakukan? ' Beliau bersabda: "ia hilangkan darah itu, lalu ia gosoknya
dengan air, kemudian cucinya, sesudah itu ia shalat dengan memakai kain itu.”
{Muslim}
KETERANGAN :
Perkataan – perkataan “hilangkan, gosok, cuci, dan shalat” itu
semua berbentuk khabar, karena lafadz – lafadz itu fi’il mudhari’ (pekerjaan
yang sedang atau akan berlaku), bukan kalimat Amer (perintah)
Perempuan tersebut menanyakan “hukum”
membersihkan kain yang kena darah haidh, bukan minta khabar biasa. Jawaban
Rasulullah tentulah berupa “hukum” pula, sedang yang dikatakan huku itu, ialah
“perintah” dan “larangan”. Dalam riwayat Muslim tersebut, tidak ada bentuk
“larangan”. Jadi jelas yang dikatakan Nabi SAW kepada Asma’ itu, adalah
perintah, yakni “hilangkanlah, gosoklah, cucilah dan shalatlah
Lafadz – lafadz khabaran yang teranggap
sebagai “perintah” itu, kebanyakannya berbentuk fi’il mudhari’ seperti contoh
diatas tadi
No comments:
Post a Comment