Kiri atau komunisme telah lama dipersepsikan sebagai ancaman bagi kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah tentang hal itu dapat dilacak jauh hingga era kolonial Hindia Belanda.[1] Kiri, dengan representasi individual (Sneevliet dan Tan Malaka) atau institusional (Sarekat Rakyat), begitu menggebu-gebu melancarkan kritik terhadap praktek eksploitasi dan penjajahan yang dilakukan Belanda. Para pemimpin gerakannya kemudian ditangkap, organisasinya dilarang, dan pemberontakannya ditumpas.
Pada era Soekarno, kiri atau Partai Komunis Indonesia juga
dipersepsikan sebagai ancaman, setidaknya begitulah adanya bagi Angkatan Darat.[2] Dengan berada di posisi keempat dalam urutan peraih suara
terbanyak Pemilu 1955, kekuatan politik kiri tidak dapat dianggap remeh. Kiri
merasuk hampir ke seluruh elemen masyarakat, dari petani hingga mahasiswa.[3] Bukanlah rahasia bahwa Soekarno juga adalah proponen kiri pada
eranya. Simpati maupun keputusan politik proklamator kemerdekaan tersebut padat
dengan referensi literatur kiri.
Namun, kiri baru betul-betul menjadi ancaman pada akhir 1965, atau lebih tepatnya ketika peristiwa pembunuhan jenderal pada malam tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 diinterpretasikan sebagai upaya kudeta PKI. Sejak saat itu, kiri dipariahkan oleh Angkatan Darat dan Jenderal Soeharto. Partainya dibubarkan, kantornya dibongkar, buku-bukunya dibakar, dan setiap individu yang terkait (atau dikaitkan) dengan PKI menjalani kehidupan sulit. Kiri di Indonesia, atau sebenarnya lebih cocok disebut sebagai ‘hantu komunis’,[4] pada era Orde Baru betul-betul tersudut.