Kiri atau komunisme telah lama dipersepsikan sebagai ancaman bagi kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah tentang hal itu dapat dilacak jauh hingga era kolonial Hindia Belanda.[1] Kiri, dengan representasi individual (Sneevliet dan Tan Malaka) atau institusional (Sarekat Rakyat), begitu menggebu-gebu melancarkan kritik terhadap praktek eksploitasi dan penjajahan yang dilakukan Belanda. Para pemimpin gerakannya kemudian ditangkap, organisasinya dilarang, dan pemberontakannya ditumpas.
Pada era Soekarno, kiri atau Partai Komunis Indonesia juga
dipersepsikan sebagai ancaman, setidaknya begitulah adanya bagi Angkatan Darat.[2] Dengan berada di posisi keempat dalam urutan peraih suara
terbanyak Pemilu 1955, kekuatan politik kiri tidak dapat dianggap remeh. Kiri
merasuk hampir ke seluruh elemen masyarakat, dari petani hingga mahasiswa.[3] Bukanlah rahasia bahwa Soekarno juga adalah proponen kiri pada
eranya. Simpati maupun keputusan politik proklamator kemerdekaan tersebut padat
dengan referensi literatur kiri.
Namun, kiri baru betul-betul menjadi ancaman pada akhir 1965, atau lebih tepatnya ketika peristiwa pembunuhan jenderal pada malam tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 diinterpretasikan sebagai upaya kudeta PKI. Sejak saat itu, kiri dipariahkan oleh Angkatan Darat dan Jenderal Soeharto. Partainya dibubarkan, kantornya dibongkar, buku-bukunya dibakar, dan setiap individu yang terkait (atau dikaitkan) dengan PKI menjalani kehidupan sulit. Kiri di Indonesia, atau sebenarnya lebih cocok disebut sebagai ‘hantu komunis’,[4] pada era Orde Baru betul-betul tersudut.
Represi Orde Baru atas kiri atau komunisme di Indonesia
merupakan salah satu proyek politik anihilasi paling berhasil di dunia.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari bantuan Central Intelligence Agency
(CIA) yang memberikan daftar nama empat hingga lima ribu nama orang-orang kiri
–untuk dienyahkan, dan Pentagon menyediakan suplai tambahan senjata serta radio
bagi tentara Indonesia agar mereka tetap dapat berkomunikasi di daerah paling
terpencil sekalipun.[5] Bahkan PKI menjadi partai komunis yang paling hebat mengalami
pembinasaan di antara partai komunis lain di Asia Tenggara, misalnya
dibandingkan dengan Partai Komunis Malaya (Malayan Communist Party) di Malaysia
dan Partindo Komunista ng Pilipinas (PKP) di Filipina.[6]
Geliat politik perlawanan maupun pembangkangan yang terjadi pada
dekade ’80-an karena protes atas proyek modernisasi dengan ongkos penggusuran
paksa, kerusakan lingkungan, dll, tidak menyebut dirinya sebagai –katakanlah-
kiri atau komunis. Namun jika geliat tersebut berkembang lebih jauh menjadi
protes terbuka –apalagi kalau ditambah kata-kata menghina, aparatus keamanan
rezim tidak akan segan membubarkan gerakan tersebut dan memberi mereka label
kiri atau komunis.
Di Indonesia hari ini, apakah kiri masih menjadi ancaman? Terdapat regulasi dengan pernyataan eksplisit maupun momen tertentu dalam dinamika perkembangan sektor keamanan di Indonesia yang memperlihatkan bahwa kiri atau komunisme masih dipersepsikan sebagai ancaman bagi NKRI. Pembahasan di bawah ini akan memuat petikan dokumen resmi tentang pertahanan dan keamanan Indonesia, yang memperlihatkan pandangan aktor keamanan terhadap kiri atau komunisme.[7]
Pertama, Ketetapan MPRS/XXV/1966 tentang pembubaran PKI, PKI dinyatakan
sebagai organisasi terlarang, dan pelarangan bagi penyebaran atau pengembangan
ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme, belum dicabut, atau dengan kata lain
Ketetapan tersebut masih berlaku. Kedua, praktek pelarangan edar dan
pembakaran buku ajar sekolah yang tidak menyebutkan PKI sebagai pelaku G-30-S,
misalnya yang terjadi pada tahun 2007: penyimpangan tafsir sejarah resmi adalah
kesalahan yang harus dikoreksi.[8]
Ketiga, pada tahun 2006, Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Mayjen
Syafnil Armen mempresentasikan makalahnya yang berjudul “Persepsi Ancaman
Internal dan Transnasional” dalam sebuah seminar di Dephan. Makalah tersebut
menyebutkan ada tiga kelompok berbasis ideologi yang ingin menggantikan
Pancasila. Salah satu kelompok tersebut adalah “radikal kiri” dengan dua
orientasi politik, yakni sosial-demokratik dan komunis/Marxis.[9]
Keempat, dokumen Strategi Pertahanan Negara yang diterbitkan oleh
Dephan pada tahun 2007 yang memuat pernyataan bahwa,
“Ancaman terhadap ideologi negara dapat
berasal dari luar dan dapat pula timbul di dalam negeri. Ancaman berdimensi
ideologi yang berasal dari luar dapat berbentuk penetrasi nilai-nilai
individualisme dan materialisme yang berusaha mendesak nilai-nilai komunalisme,
spiritualisme, dan gotong royong yang telah berakar di masyarakat. Sejak keruntuhan
Uni Soviet, sistem politik internasional sesungguhnya telah mengalami perubahan
yang menyebabkan paham komunis semakin tidak populer. Namun, bagi Indonesia
yang pernah menjadi basis kekuatan komunis, pengaruh ideologi komunis belum
sepenuhnya hilang. Ancaman ideologi komunis masih tetap merupakan bahaya laten
yang diperhitungkan.
Ancaman berdimensi ideologi dapat pula
berbentuk gerakan yang dilakukan oleh kelompok yang mengklaim diri sebagai
kelompok pembaharu, namun dengan cara-cara yang tidak konstitusional dan
bertentangan dengan hukum. Gerakan anti-kemapanan, pembela rakyat miskin,
aliran sesat, serta kelompok radikalisme yang main hakim sendiri dan melakukan
tindakan anarkis dengan berlindung di balik atribut keagamaan atau golongan
politik fundamental merupakan bentuk ancaman ideologi yang timbul di dalam
negeri. Ancaman berbasis ideologi yang timbul dari dalam negeri dapat pula
berasal dari kelompok metamorfosis sisa-sisa kelompok radikal di masa lalu atau
sisa-sisa G-30-S/PKI yang telah melebur ke dalam elemen masyarakat.”[10]
Ancaman lain yang disebutkan dalam Strategi Pertahanan adalah
ancaman nirmiliter yang berdimensi politik (separatisme [bersenjata atau tidak
bersenjata], “kondisi politik yang fluktuatif”), ekonomi (internal dan
eksternal), sosial-budaya (“penetrasi nilai-nilai budaya dari luar negeri yang
sulit dibendung mempengaruhi tata nilai sampai pada tingkat lokal”), teknologi
(“dampak kemajuan teknologi di bidang informasi yang terlalu berorientasi
terhadap bisnis dan mengabaikan aspek moral”).[11]
Kelima, Buku Putih Pertahanan 2008 pada paragraf pertama bagian Ancaman
Berdimensi Ideologi memuat pernyataan berikut ini,
“Meskipun sistem politik internasional telah
mengalami perubahan, terutama setelah keruntuhan Uni Soviet sehingga paham
komunis semakin tidak populer lagi, bagi Indonesia yang pernah menjadi basis
perjuangan kekuatan komunis, ancaman ideologi komunis msih tetap merupakan
bahaya laten yang harus diperhitungkan. Di masa lalu, Indonesia menjadi salah
satu basis komunis yang beberapa kali melakukan kudeta untuk menumbangkan
pemerintahan dan berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.
Walaupun ideologi komunis secara global tidak populer lagi, potensi ancaman
berbasis ideologi masih tetap diperhitungkan. Bentuk-bentuk baru dari ancaman
ideologi yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri, yakni metamorfosis
dari penganut paham komunis yang telah melebur ke dalam elemen-elemen
masyarakat, sewaktu-waktu dapat mengancam Indonesia. Usaha pihak-pihak tertentu
melalui penulisan buku-buku sejarah dengan tidak mencantumkan peristiwa
G-30-S/PKI dengan Dewan Revolusi, atau gerakan radikalise yang brutal dan
anarkis, memberikan indikasi bahwa ancaman ideologi masih potensial.”[12]
Hal yang menarik adalah Buku Putih Pertahanan
2003 sama sekali tidak memuat pernyataan komunisme sebagai ancaman Indonesia
dewasa ini, melainkan terorisme, kelompok separatis bersenjata di Aceh dan
Papua, serta kelompok radikal (dengan contoh peristiwa lampau DI/TII, PKI tahun
1948 dan 1965, serta pembajakan pesawat Garuda Woyla tahun 1981). Pada bagian
“ancaman dan gangguan kelompok radikal,” Buku Putih Pertahanan 2003 menyatakan,
“Selain menghadapi kelompok separatis,
Indonesia juga menghadapi ancaman dan gangguan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
radikal. Radikalisme di Indonesia pada umumnya bersumber dari masalah ideologi
dan politik. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terdapat beberapa
kelompok masyarakat yang belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Ideologi
sering dipertentangkan dan berkembang menjadi gerakan-gerakan radikal yang
mengganggu stabilitas keamanan nasional. Akibat fanatisme berlebihan dalam
mempertahankan ideologi masing-masing dan belum adanya kematangan berpolitik
mendorong para penggerak dan pengikutnya melakukan tindakan radikal yang dapat
mengancam stabilitas nasional.”[13]
Keenam, berbeda dokumen sektor keamanan sebelumnya,
Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional dalam berbagai versi tidak ada yang
memuat pernyataan eksplisit dalam badan teks utama (naskah RUU) bahwa komunisme
atau kiri adalah ancaman.[14] Sejauh pembacaan, penelusuran, dan kemampuan inventaris
penulis, ancaman kiri atau komunisme hanya ditemukan dalam teks naskah
akademik dan bagian penjelasan dari naskah RUU Kamnas versi Maret
2011. Naskah akademik adalah dokumen awal yang menjelaskan alasan akademik
mengapa sebuah aturan perlu dibuat, sedangkan bagian penjelasan adalah uraian
yang menerangkan lebih lanjut dari tiap pasal dalam naskah RUU (atau naskah UU,
ketika RUU disahkan). Dua teks tersebut memiliki posisi sama penting dengan
teks naskah utama tetapi seringkali luput dibaca.
Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional tidak
eksplisit menyatakan bahwa kiri atau komunisme adalah ancaman negara namun,
dengan berkaca pada sejarah, menyebutkan bahwa komunisme pernah mencoba
menggantikan ideologi Pancasila serta UUD 1945, dan pengalaman itu tidak
boleh dibiarkan terulang. Berikut ini adalah uraian lengkapnya,
“Sesuai dengan teori ketatanegaraan, dikatakan
bahwa suatu negara dianggap ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu; wilayah
dengan batas-batas yang jelas sebagai wadah, rakyat yang menetap di wilayah
tersebut dan pemerintah (kalimat ini diakhiri catatan kaki: Prof. Drs. C. S.
T. Kansil, SH, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 1 [Edisi Revisi], [Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta, 2000], hlm. 16). Dari teori tersebut pemerintahan
merupakan kata kunci bagi terselenggaranya proses pencapaian cita-cita
nasional, tujuan nasional, dan kepentingan nasional melalui pembangunan
nasional, yang implementasinya didistribusikan ke dalam institusi pemerintahan.
Acuan utamanya adalah amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selain itu harus pula diperhitungkan perkembangan lingkungan strategis
dan ancaman yang dihadapi. Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya menghadapi berbagai tantangan
dinamis yang berubah dari periode waktu ke waktu. Pertama, periode untuk
mempertahankan kemerdekaan; kedua, periode untuk mempertahankan
integritas wilayah dari perpecahan dalam negeri; ketiga, periode untuk
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dari pengaruh ideologi komunisme; keempat,
periode untuk melaksanakan demokrasi dan kepemerintahan yang baik (good
governance) dalam pembangunan nasional. Periode waktu tersebut berimplikasi
terhadap berbagai upaya perwujudan keamanan nasional dan kesejahteraan
nasional.”[15]
Naskah Penjelasan atas RUU Kamnas Bagian I
Umum memuat pernyataan yang sama dengan naskah akademik: Indonesia telah
berhasil melewati berbagai tantangan dinamis, yang salah satunya adalah, “ …
mempertahankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dari pengaruh ideologi komunisme.”[16]
II
Berdasarkan penelusuran dokumen, kiri atau komunisme betul-betul
tampak sebagai ancaman nasional, atau dengan kata lain, ancaman bagi NKRI.
Namun, apakah kiri atau komunisme sungguh merupakan ancaman? Apakah
pandangan serta penilaian para pemangku kepentingan negara untuk sektor
keamanan (lembaga eksekutif dan legislatif) benar serta patut ditindaklanjuti
dengan kebijakan operasional?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dua hal perlu diangkat ke
permukaan terlebih dahulu. Pertama, mesti diingat bahwa reformasi sektor
keamanan di Indonesia, meskipun sudah berlangsung sekitar lima belas tahun,
masih berada pada fase perkembangan awal.[17] Masih begitu banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan
oleh militer, polisi, maupun intelijen Indonesia dalam menyelaraskan dirinya
dengan sistem politik demokrasi, yaitu di antaranya mau menerima pengawasan
eksternal dan mau bekerja berdasarkan prinsip transparansi serta akuntabilitas.
Selain itu, aktor keamanan juga memperlihatkan sikap resistensi terhadap upaya
reformasi yang diusung kelompok sipil, terutama legislatif serta organisasi
non-pemerintah, atas isu-isu tertentu, seperti misalnya restrukturisasi komando
teritorial (perampingan maupun pengurangan jumlah koter di provinsi tertentu),
likuidasi dan transfer aset bisnis militer sepenuhnya kepada kementerian sipil
(Kementerian Keuangan), serta reformasi peradilan militer (personel militer
dapat diadili di pengadilan sipil dan pengadilan hak asasi manusia).
Kedua, tepat dalam situasi tersebut, mempercayai sepenuhnya penilaian
serta pandangan pemangku kepentingan negara di sektor keamanan atas ancaman
keamanan nasional merupakan pilihan sikap yang sulit dipertanggungjawabkan.
Alih-alih percaya, respon yang semestinya diberikan adalah melakukan evaluasi
kritis serta, jikalau diperlukan, menulis-ulang apa yang dipersepsikan sebagai
ancaman. Jika aktor keamanan terus melakukan resistensi, jangan-jangan aktor
keamanan-lah yang justru menjadi atau akan menjadi ancaman
keamanan nasional.
Dalam kerangka studi keamanan, sedikitnya ada dua situasi yang
harus terpenuhi untuk menentukan apakah suatu aktor atau peristiwa
adalah ancaman.[18] Pertama, dinamika rezim politik yang mendiskusikan dan,
kemudian, menetapkan bahwa suatu objek atau peristiwa adalah ancaman. Dengan
kata lain, terjadi proses pengambilan keputusan yang didahului penilaian
situasi dan diskusi untuk menentukan ancaman. Di Indonesia hari ini, formasi
politik parlementariat sama sekali tidak menunjukkan apresiasi terhadap kiri
atau komunisme sebagai filsafat maupun pemikiran politik, bahkan tersirat pun
tidak. Sikap yang begitu terlihat adalah, seperti telah dijelaskan sebelumnya
melalui penelusuran dokumen, sikap penentangan/oposisi habis-habisan terhadap
aspirasi dan tindakan politik yang berorientasi maupun yang (jika ada) betul-betul
kiri atau komunisme. Atas dasar itu, kiri atau komunisme memenuhi situasi
pertama untuk dipersepsikan sebagai ancaman.
Tetapi, kiri atau komunisme tidak memenuhi poin yang kedua,
yaitu pengaruh eksternal (external influence), yaitu serangkaian
peristiwa yang terjadi di luar batas teritori nasional yang dapat memengaruhi
(langsung maupun tidak langsung) pembangunan ekonomi-politik dan keamanan
nasional.[19] Tidak ada ‘peristiwa kiri atau komunis’ yang signfikan yang
berlangsung selama –katakanlah- dua puluh tahun terakhir, selain peristiwa
keruntuhan komunisme itu sendiri di Uni Soviet.
Terdapat sedikitnya lima negara yang sampai sekarang secara
formal dan tertulis menyatakan aspirasi kiri, sosialisme/komunisme, yakni
Republik Rakyat Cina,[20] Korea Utara,[21] Vietnam,[22] Laos,[23] dan Kuba[24]. Dua negara di antara kelompok tersebut terletak di kawasan
Asia Tenggara, yaitu Vietnam dan Laos, yang saat ini sedang mempersiapkan diri
menyambut Komunitas Ekonomi ASEAN, yaitu pasar bebas kawasan. Cina, selaku
salah satu mitra strategis ASEAN, bersama Jepang dan Korea Selatan dalam skema
kooperasi ASEAN+3, juga berpartisipasi dalam komunitas pasar bersama tersebut.
Selanjutnya, Korea Utara adalah rezim militer yang telah berhasil
mengombinasikan praktek Gulag di Uni Soviet dan Apartheid di Afrika Selatan.[25] Alih-alih mempromosikan ‘komunisme’ –yang telah diganti juche,[26] rezim Korea Utara malah berulang kali melakukan uji coba roket
balistik dan menahan sekitar 150,000 hingga 200,000 tahanan politik. Terakhir,
Kuba –yang tampaknya menjadi harapan terakhir bagi kiri atau komunisme di
dunia- memiliki relasi yang baik dengan Indonesia. Kerja sama di bidang
perdagangan, kesehatan dan olah raga telah berlangsung lama di antara kedua
negara. Pada tahun 2000, Abdurrahman Wahid dan Fidel Castro bahkan saling balas
berkunjung.
Bagaimanapun, upaya mendeteksi dan merunut persemaian serta
pertumbuhan kiri atau komunisme –dan transformasinya menjadi ancaman- memang
tidak cukup sekadar dilihat dari relasi formal, serta kacamata teori domino
seperti telah dijelaskan di atas. Dunia telah jauh berubah dibandingkan era
Perang Dingin. Selain itu, persepsi ancaman pun tidak dapat sekadar ditetapkan
dari apa yang terbaca dari konstitusi negara –dengan asumsi ada hubungan antara
apa yang tertulis di konstitusi dengan kebijakan politik luar negeri
yang mempromosikan ideologi tertentu. Namun pada taraf minimal, teks konstitusi
cukup menjadi panduan.
Selanjutnya, kebijakan politik luar negeri yang operasional
mesti didukung oleh perangkat institusional tingkat nasional yang memadai dan
memang dibentuk untuk tujuan mempromosikan ideologi. Saya tidak melihat bahwa
Cina, Vietnam, Laos, Korea Utara, dan Kuba sedang melakukan hal tersebut.
Berbeda dengan demokrasi liberal bagi Amerika Serikat, kiri atau komunisme bagi
lima negara di atas merupakan landasan eksistensi dan visi
pembangunan nasional negara, dan bukan ideologi politik yang ingin dipromosikan
ke luar batas nasional teritorialnya. Seandainya penilaian tersebut salah, maka
kita perlu menginvestigasi secara serius tentang, misalnya, bagaimanakah visi
kiri atau komunisme Cina diproyeksikan dalam keikutsertaan Cina di ASEAN+3 atau
G-20, dan bagaimanakah hubungan antara kerja paksa, penahanan tanpa pengadilan,
dan percobaan roket balistik di Korea Utara dengan visi sosialis-komunis;
dengan kata lain, apakah yang-kiri atau yang-komunis dari kebijakan politik
nasional dan politik luar negeri tersebut.
III
Berdasarkan analisis minimal atas penentuan status ancaman di
atas, pertanyaan yang mesti (kembali) diangkat adalah mengapa para pemangku
kepentingan sektor keamanan di Indonesia pasca Orde Baru, yang merentang dari
tahun 1999 era B.J. Habibie hingga 2013 era Susilo Bambang Yudhoyono, selalu
mempersepsikan kiri atau komunisme sebagai ancaman, padahal tidak ada ancaman
seperti itu dari luar batas teritorial, baik yang bersifat potential maupun
imminent.
Penyebutan kiri atau komunisme sebagai ancaman menunjukkan bahwa
orientasi keamanan Indonesia, berdasarkan cara pandang negara, masih belum
beranjak dari waktu dulu, yaitu (1) keamanan dari dalam atau keamanan
dari rakyat Indonesia sendiri yang dipersepsikan tidak sejalan dengan
ideologi resmi negara, (2) memenuhi kepentingan kekuatan lama serta
keturunannya untuk mengeluarkan lawan dari gelanggang politik, ekonomi, budaya,
serta akademik. Selain itu, kiri atau komunisme sebagai ancaman pada era pasca
Orde Baru adalah upaya berkelanjutan dari semua elemen rezim lama dan
keturunannya, terutama, untuk menjustifikasi kekuasaan mereka selama tiga puluh
tahun lebih dan keberlanjutannya di masa sekarang.
Akhir kata, diperlukan landasan yang jauh lebih solid serta
fundamental (pertimbangan strategis), dan alasan yang lebih pintar untuk
menyatakan bahwa kiri atau komunisme adalah ancaman bagi keamanan nasional
Indonesia kontemporer.
Namun demikian, patut dicatat bahwa pencarian landasan dan
alasan itu pun hanya diperlukan jika para proponen kiri atau komunisme di luar
batas teritorial Indonesia dan, terutama, gerakan level nasional telah berhasil
memperlihatkan gejala bahwa dirinya adalah aktor yang memenuhi kualifikasi
untuk masuk dalam sistem peringatan dini ancaman negara, yaitu menjadi
subjek politik yang memiliki potensi dan kapabilitas untuk meruntuhkan tatanan
ekonomi-politik kapitalistik hari ini dan menggantinya dengan epoh
ekonomi-politik komunis.
Jika, misalnya, perhitungan situasi yang dilakukan serius tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda revolusioner semacam itu, maka upaya
penyelidikan dan, kemudian, penetapan kiri atau komunisme sebagai ancaman
sebenarnya dipaksakan dan sebentuk kesia-siaan, semata karena hasil kajiannya
hanya menegaskan (-ulang) bahwa tidak ada kiri atau komunisme (di Indonesia)
hari ini.
***
[1] Salah satu referensi baru yang
membahas represi polisi kolonial terhadap gerakan kiri di Hindia Belanda
(Indonesia) adalah Allan Akbar, Memata-matai Kaum Pergerakan. Dinas
Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 (Jakarta, Marjin Kiri, 2013).
[2] Referensi klasik namun tetap
relevan hingga hari ini untuk membahas hal tersebut adalah Ulf Sundhaussen, Politik
Militer Indonesia 1945-1967. Menuju Dwi Fungsi ABRI (terj.), (Jakarta:
LP3ES, 1986).
[3] Pada tahun 1965, jumlah anggota PKI
diperkirakan sebanyak 3,5 juta orang dan lebih dari 20 juta orang tersebar di
organisasi masyarakat yang berafiliasi dengan PKI. Lihat Rex Mortimer,
Indonesian Communism under Soekarno: Ideology and Politics, 1959-1965
(Ithaca: Cornell University Press, 1974), hlm. 366, dikutip dari Douglas Kammen
dan Katharine McGregor, “Introduction: The Contours of Mass Violence in
Indonesia,” dlm. Douglas Kammen dan Katharine McGregor (ed.), Tbe Contours
of Mass Violence in Indonesia, 1965-1998 (Singapura: NUS, 2012), hlm. 13.
[4] Saya meminjam ‘hantu komunis’ dari
Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia. Fatally
Belonging (London: Routledge, 2006).
[5] Naomi Klein, The Shock Doctrine:
The Rise of Disaster Capitalism (New York: Metropolitan Books, 2007), hlm.
67-68.
[6] M. Fajar, Indonesian Leftist
Movements in Post-Authoritarian Era: Rowing Between, Tesis di Development
Studies, International Institute of Social Studies (September 2012), hlm. 8.
[7] Pengutipan
panjang diperlukan untuk menjelaskan pokok persoalan.
[8] Fernando Báez membahas sedikit
tentang penghancuran buku (bibliosida) di Indonesia, lihat Fernando Báez,
Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (terj.), (Jakarta: Marjin Kiri, 2013),
hlm. 242-243.
[9] Kelompok
kedua adalah “radikal kanan” yang memperjuangkan penerapan syariat Islam.
Terakhir, kelompok “radikal lain,” yaitu organisasi non-pemerintah dan kelompok
masyarakat yang kecewa terhadap pemerintah, misalnya Imparsial, KontraS, serta
ELSAM. Lihat Kepala BAIS TNI Mayjen Syafnil Armen, “Persepsi Ancaman
Internal dan Transnasional,” Makalah pada seminar Departemen Pertahanan RI, 26
Agustus 2006, hlm. 14-15, dlm. Rizal Darma Putra, “Badan Intelijen Strategis
(BAIS),” dlm. Beni Sukadis (ed.), Almanak Reformasi Sektor Keamanan
Indonesia 2007 (Jakarta: Lesperssi dan DCAF, 2007), hlm. 106-107.
[10] Departemen Pertahanan Republik
Indonesia, Strategi Pertahanan Negara (Jakarta: Dephan, 2007), hlm.
38-39.
[11] Ibid., hlm. 39-46.
[12] Departemen Pertahanan Republik
Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 (Jakarta: Dephan, 2008),
hlm. 32.
[13] Departemen Pertahanan Republik
Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2003. Mempertahankan Tanah
Air Memasuki Abad 21 (Jakarta: Dephan, 2003), hlm. 53.
[14] Perkembangan RUU Kamnas: (a) RUU
Kamnas versi Departemen Pertahanan RI tanggal 26 Juni 1999, 17 Juli 2009, 3
September 2009, 13 Oktober 2009, 30 Maret 2011, 16 Oktober 2012; (b) Naskah
Akademik Sistem Keamanan Nasional oleh Lembaga Ketahanan Nasional RI (Lemhanas)
bulan Juni 2008; (c) Dokumen berjudul “Keamanan Nasional: Sebuah Konsep dan
Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia” yang ditulis Letjen TNI Bambang Dharmono
dkk, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional
(Wantannas). Untuk kompilasi rancangan regulasi keamanan nasional ini, penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan Forum Kerja Concern untuk Masyarakat
Madani (CONCERN).
[15] Lihat Departemen Pertahanan
Republik Indonesia, Naskah Akademik Keamanan Nasional, Jakarta, 30 Maret
2011.
[16] Penjelasan atas RUU Keamanan
Nasional versi Dephan bulan Maret 2011, bagian I. Umum.
[17] Untuk evaluasi kritis atas
perkembangan reformasi sektor keamanan –reformasi yang tidak melingkupi militer
an sich- di Indonesia pasca Orde Baru, baca Muhamad Haripin, Reformasi
Sektor Keamanan Pasca Orde Baru. Melacak Pandangan dan Komunikasi Advokasi
Masyarakat Sipil (Jakarta: Marjin Kiri, 2013).
[18] Konsep ancaman dibahas lebih lanjut
dalam Muhamad Haripin, “Threats to Indonesia’s National Security: Discourse and
Polemics,” dlm. Ikrar Nusa Bhakti, dkk (ed.), Socio-Political and Economic
Reform in Southeast Asia: Assessments and the Way Forward. Proceeding
International Seminar. Jakarta, 9-12 March 2013 (Jakarta: P2P LIPI, CSEAS
Kyoto University, JSPS, 2013), hlm. 407.
[19] Ibid.
[20] “Komunis” hanya disebut satu kali
dalam Konstitusi Republik Rakyat Cina (amandemen 2004), yaitu pada Bab I pasal
24, “ … the state advocates the civic virtue of
love for the motherland, for the people, for labour, for science and for
socialism; it educates the people in patriotism, collectivism, internationalism
and communism and in dialectical and historical materialism; it combats the
decadent ideas of capitalism and feudalism and other decadent ideas.”
[21] Korea Utara dan sosialisme, lihat
di Konstitusi Republik Demokratik Korea (2009), misalnya Bab II tentang Ekonomi
pasal 29 yang sebelumnya memuat istilah “komunisme” kemudian hilang dalam
amandemen 2009. Penghapusan istilah “komunisme” juga terjadi pada Bab III
tentang Budaya pasal 40.
[22] Pasal 4 Konstitusi Republik
Sosialis Vietnam menyatakan bahwa, “The Communist Party of Vietnam, the
vanguard of the Vietnamese working class, the faithful representatives of the
rights and interests of the working class, the toiling people, and the whole
nation, acting upon the Marxist-Leninist doctrine and Ho Chi Minh’s thought, is
force leading the State and society.”
[23] Bagian pembukaan Konstitusi
Republik Demokratik Laos (amandemen 2003) menyebutkan bahwa selama 60 tahun
terakhir, kepemimpinan Partai Komunis Indocina (dulu) dan Partai Rakyat
Revolusioner (sekarang) telah menuntun masyarakat Laos mengalahkan dominasi
serta penindasan dari rezim kolonial serta feudal.
[24] Konstitusi Republik Kuba (amandemen
2002) pasal 5 menyatakan, “The Communist Party of Cuba, Martian and of
Marxist-Leninist, the organized vanguard of the Cuban nation, is the superior
leading force of the society and the State, organizing and guiding the common
efforts aimed at the highest goals of the construction of socialism and
advancement toward the communist society.”
[25] Gambaran situasi ini disampaikan
oleh Marzuki Darusman, UN Special Rapporteur untuk situasi hak asasi manusia di
Korea Utara. Lihat Muhamad Haripin, “Talk to an old friend: Indonesia-North
Korea,” The Jakarta Post, 13 Maret 2013.
[26] Juche adalah, “Pandangan
dunia yang berpusat kepada rakyat, ideologi revolusioner untuk mencapai kebebasan
rakyat.” Lihat Konstitusi Republik Demokratik Korea.
No comments:
Post a Comment