Oleh : Ahmad Fathullah
A. PENDAHULUAN
Daulah Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam yang berkuasa
di Baghdad. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam
sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan
Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah Bani Umaiyah yang berhasil
merebut dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah
dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin
Abdul Muththalib (566-652 M).
Secara kronologis nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang
dari al-Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan
pertalian keluarga antara bani Abbas dengan Nabi. Keluarga Abbas mengklaim
bahwa setelah wafatnya Rasulullah merekalah yang merupakan penerus dan
penyambung keluarga Rasul.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz
menjadi khalifah Daulah Umaiyah (717-720), Umar memimpin dengan adil dan
membuat peraturan yaitu dengan memberi kesempatan kepada gerakanAbbasiyah untuk
menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di Humayun yang dipimpin
oleh Ali bin Abdullah bin Abbas yang selanjunya digantikan oleh anaknya
Muhammad bin Ali al-Abbas dan kemudian memperluas gerakannya.
Setelah Muhammad bin Ali wafat kemudian digantikan oleh
anaknya Ibrahim al-Imam yang kemudian memilih panglima perang yaitu Abu Muslim
al-Khurasani yang berhasil merebut Khurasan dan menyusul berbagai kemenangan,
akan tetapi pada awal 132 H/749 M Ibrahim al-Imam ditangkap oleh Pemerintah
Daulah Umaiyah dan dipenjara sampai meninggal. Kemudian
digantikan oleh saudaranya Abu Abbas dan tidak lama stelah itu pasukan Umaiyah
dan Abbasiyah bertempur.
Dalam
pertempuran tersebut Abu Abbas dan bala tentaranya mendapat kemenangan. Dan
pada tahun 132 H/750 M dijadikan tahun awal berdirinya Daulah Abbasiyah dengan
khalifah pertamanya Abu Abbas as-Saffah.
Ada
sejumlah alasan mengapa gerakan yang dilakukan oleh keturunan Abbas ini
berhasil dan mendapat dukungan masa. Yaitu karena banyak kelompok umat yang
tidak mendukung kekuasaan Bani Umaiyah yang menurut mereka memihak pada
sebagian kelompok. Kelompok Syi’ah pada awal berdirinya daulah Umaiyah telah
memberontak karena mereka merasa hak kekuasaannya dirampok oleh Muawiyah.
Kelompok Khwarij juga merasa bahwa para khalifah Bani Umaiyah menjalankan
kekuasaan secara sekuler, kelompok lain yang juga membenci Daulah Umaiyah
adalah Mawali yaitu orang-orang non Arab yang baru masuk Islam, mereka merasa
tidak diperlakukan setara dengan orang-orang Arab karena mendapat beban pajak
yang tinggi. Kelompok-kelompok inilah yang mendukung Abbasiyah untuk
menggulingkan kekuasan Bani Umaiyah.
Dinasti
Abbasiyah secara turun temurun sekitar tiga puluh tujuh khalifah pernah
berkuasa, pada masa ini Islam mencapai puncak kejayaan dalam segala bidang.
Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti terpanjang dibanding dengan dinasti-dinasti
dalam Islam lainnya yaitu berkisar antara 750-1258 M sekitar kurang lebih lima
ratus tahun.
Pada periode pertama pemerintahan
Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di
sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai
puncaknya di zaman khalifah Harun ar-Rashid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun
(813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun ar-Rashid untuk
keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara
Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun ar-Rashid,
dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan
buku buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lain yang ahli, Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan BaitulHikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.
Para ilmuan pada masa Daulah Abbasiyah
melakukan kajian-kajian keilmuan dengan cara menerjemahksan kitab-kitab dari
Yunani dan mempelajarinya. Dengan cara seperti itulah ilmu pengetahuan pada
masa itu dapat berkembang pesat.
Permulaan lahirnya ilmu pengetahuan
sebenarnya telah lahir pada masa-masa sebelum dinasti Abbasiyah yang lebih
tepatnya pada masa Yunani kuno, akan tetapi keilmuan-keilmuan ini berkembang
pesat pada masa Daulah Abbasiyah. Jika disusur sebenarnya ilmu telah ada pada
permulaan manusia atau labih tepatnya pada zaman manusia purba. Pada masa ini
manusia telah mnemukan Besi, tembaga, dan perak untuk berbagai peralatan. Baru
setelah itu muncul keilmuan di Yunani.
B. PERKEMBANGAN
DAULAH ABBASIYAH
1.
Kemunduran Daulah
Umayyah
Perpecahan antar suku, etnis dan
kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya
gejolak politik dan kekacauan yang menganggu stabilitas negara. Tidak adanya
aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun-temurun
menimbulkan gangguan yang serius di tingkat negara. Mu’awiyah mengantisipasi
masalah itu dengan menunjuk putranya sebagai pengganti dirinya, tetapi prinsip
kesukuan Arab klasik dalam persoalan kepemimpinan menjadi ganjalan besar yang
menghalangi ambisi seorang ayah yang ingin memberi kadaulatan kepada anaknya.
Selain perpecahan antar suku dan konflik di antara anggota kerajaan, faktor
lain yang menjadi sebab utama jatuhnya kekhalifahan Umaiyah adalah munculnya
berbagai kelompok yang memberontak dan merongrong kekuasaan mereka. Kelompok
Syiah yang tidak pernah menyetujui pemerintahan Dinasti Umaiyah dan tidak
pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Husain, yang semakin aktif
dibanding masa-masa sebelumnya. pengabdian dan ketaatan mereka yang tulus
terhadap keturunan Nabi berhasil menarik simpati public.
2.
Berdirinya Daulah
Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan
dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan
Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya. Kekuasaan
dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad
SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali
ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa,
pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima
periode:
1.
Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M),
disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode Kedua (232
H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama 1
3.
Periode Ketiga
(334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan
khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.
Periode Keempat
(447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki
kedua.
5.
Periode Kelima
(590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Tonggak
berdirinya dinasti Bani Abbas, berawal sejak merapuhnya sistem internal dan
performance penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan dinasti Umayah
di Damaskus, maka upaya untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah
dari kalangan bani Abbasiyah. Propaganda revolusi Abbasiyah ini banyak mendapat
simpati masyarakat terutama dari kalangan Syi’ah, karena bernuansa keagamaan,
dan berjanji akan menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh
khulafaurrasyidin.
Nama
dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi yang bernama
al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah
al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al- Abbas.
Orang
Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,
sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih
dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai
khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan
pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.
Kekuasaan
Bani Abbasiyah berlangsung selama lima abad sejak tahun 750 – 1258 M,
melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah. Al-Saffah menjadi pendiri dinasti
Arab Islam ketiga - setelah khulafa al-Rasyidun dan dinasti Umayyah - yang
sangat besar dan berusia lama.
Setelah
meruntuhkan dinasti Umayyah dengan cara membunuh Marwan sebagai khalifahnya,
pada tahun 750 M, Abu al-‘Abbas mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah
pertama dinasti Abbasiyah. Ketika Abbas menjabat khalifah, dia diberi gelar
al-Saffah yang berarti penumpah atau peminum darah. Sebutan tersebut diberikan
karena dia mengeluarkan dekrit kepada gubernurnya yang berisi perintah untuk
membunuh tokoh-tokoh Umayyah. Bukan hanya itu saja, al-Saffah juga melakukan
perbuatan keji dengan menggali kuburan para khalifah bani Umayyah (kecuali Umar
II), dan tulang-tulangnya dibakar. Berdirilah sebuah dinasti menuju kekuasaan
yang bersifat internasional, dengan assimilasi corak pemikiran dan peradaban
Persi, Romawi Timur, Mesir dan sabagainya.
Sebelum wafat, al-Saffah mengangkat
saudaranya Abu Ja’far dengan gelar al-Mansur (754-775)
(artinya sultan Tuhan di atas bumi-Nya). Ialah khalifah terbesar dinasti
Abbasiyah, meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya yang
membangun dinasti, tiga puluh lima orang khalifah berasal dari keturunannya.
Madinah as-Salam, nama resmi kota al-Mansur. Al-Mudawwarah (kota lingkaran),
gerbang emas; kubah biru ‘al-qubbah al-khadhra’. Al-Mansur berbadan tinggi,
berkulit gelap dan berjanggut tipis, gigih dan tegas. Berbagai kebijakannya
dijadikan acuan bagi para penerusnya, sebagaimana kebijakan muawiyyah menjadi
acuan bagi khalifah-khalifah Umayyah.
Masa kekuasaan ini berhasil mencapai
kejayaan dan kemegahan yang tidak ada tandingannya pada abad pertengahan, kecuali
mungkin oleh Konstantinopel. Menjadi pewaris kekuatan dan prestise kota
Ctesiphon, Babilonia, Nineceh, Ur, dan Ibukota-ibukota bangsa Timur Kuno.
Menjadi ibu Kota kerajaan Orang Irak
yang baru, di bawah raja Arab, Fayshal. Membuka jalan bagi tumbuhnya gagasan
dan pemikiran dari timur, khalifah meniru model Chosroisme Sasaniyah. Islam
Arab jatuh dalam pengaruh Persia; cenderung melestarikan sistem despotisme Iran dibanding sistem
kesukuan Arab. Secara bertahap, gelar, anggur, istri, pembantu, lagu, gagasan,
dan pemikiran persia mendominasi kehidupan masyarakat.
Pada kenyataannya diakui atau tidak,
pengaruh Persia memperhalus sisi-sisi kasar kehidupan primitif Arab dan
melapangkan jalan bagi era baru yang ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kepelajaran. Orang Arab hanya berhasil mempertahankan dua
warisan budaya aslinya: (1) Islam mejadi agama negara; (2) Bahasa Arab menjadi
bahasa resmi administrasi negara.
Al Mansur wafat 7 Oktober 775, dekat
Mekah dalam perjalan ibadah haji, di usia 60 tahun. Seratus liang kubur digali
di dekat kota suci, dan dimakamkan di sebuah tempat yang tidak bisa dilacak dan
digali kembali oleh musuh. al-Mansur mewariskan tahtanya kepada anaknya yang
bernama al-Mahdi. Pada masa kekhalifahan
al-Mahdi,
perekonomian mulai membaik. Pertanian ditingkatkan dengan mengadakan irigasi,
sehingga hasil gandum, beras, kurma dan minyak zaitun bertambah. Begitu pula
dengan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, besi dan lainnya juga
bertambah. Dagang transit antara Timur dan Barat membawa kekayaan. Basrah
dijadikan pelabuhan yang cukup penting saat itu. Ialah Khalifah pertama
mengumandangkan perang suci melawan bizantium, dipimpin anaknya Harun dan
sukses. Selama ekspedisi inilah, ayahnya memberi gelar al-Rasyid ‘pengikut
jalan yang lurus’. Kekhalifahan al-Mahdi digantikan oleh al-Hadi atas dasar
wasiat ayah al-Mahdi. Namun kekhalifahan tersebut hanya berjalan satu tahun,
dan kemudian ia digantikan oleh Harun al-Rasyid.
Pada masa kepemimpinan Harun
al-Rasyid,
masyarakat hidup cukup mewah, seperti yang digambarkan dalam hikayat “Seribu
Satu Malam”.
Kekayaan yang banyak dipergunakan
khalifah untuk kepentingan sosial. Rumah sakit didirikan, pendidikan dokter
diutamakan dan farmasi di bangun. Pada saat itu, Bagdad telah mempunyai 800
dokter. Selain itu, Harun al-Rasyid juga mendirikan pemandian-pemandian umum,
sehingga dirinya cukup terkenal pada zamannya. Lembaran sejarah abad ke-9, dua
nama raja yang menguasai percaturan dunia: Charlemagne di Barat dan Harun
al-Rasyid di Timur.
Titik tertinggi yang pernah dicapai
oleh pasukan dinasti Abbasiyah dengan menguasai Raqqah tepi sungai efrat, Asia
Kecil, dan Heraclea dan Tyna pada 806.
Pada masa ini, meskipun usianya kurang dari setengah abad, Baghdad pada saat
itu muncul menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran
internasional yang luar biasa. Serangan ke tanah Romawi terutama pada masa
Harun menjadi jalan masuk manuskrip Yunani. Terutama dari Amorium dan Ankara.
Baghdad menjadi saingan satu-satunya
bizantium. Kejayaannya berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan. Baghdad
menjadi kota yang tiada bandingnya di seluruh dunia. Masuknya berbagai pengaruh
asing, sebagian indoPersia dan Suriah,
dan yang paling penting adalah pengaruh Yunani. Gerakan intelektual itu
ditandai dengan proyek penerjemahan karya-kara berbahasa Persia, Sanskerta,
Suriah, dan yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang
ilmu pengetahuan, filsafat, atau sastra
yang tidak terlalu banyak, orang Arab memiliki keingintahuan yang tinggi dan
minat belajar yang besar, segera menjadi penerima dan pewaris peradaban
bangsa-bangsa yang lebih tua dan berbudaya yang mereka taklukkan, atau yang
mereka temui.
Selama kekuasaan mereka tersebut,
peradaban Islam sangat berkembang. Jika pada masa Bani Umayyah lebih dikenal
dengan upaya ekspansinya, maka pada masa Bani Abbasiyah yang lebih dikenal
adalah berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti Umayyah terdiri atas
orang-orang ‘Arab Oriented’, dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional,
assimilasi corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan
sebagainya.
Begitulah bani Abbasiyah membawa
peradaban Islam pada puncak kejayaannya, dan terutama pada perkembangan ilmu
pengetahuan yang sangat maju. Pada masa inilah buat pertama kalinya dalam
sejarah terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya
dengan kebudayaan Yunani klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan
Persia.
Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik
dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam.
Diktum dari Tsalabi: ‘ al-Mansur sang pembuka, al-Ma’mun sang penengah, dan
al-Mu’tadhid sang Penutup’ mendekati kebenaran, Setelah al-Watsiq pemerintahan
mulai menurun hingga alMu’tashim khalifah ke 37, jatuh dan mengalami kehancuran
di tangan orang Mongol 1258 M.
3.
Menuju Kebangkitan
Pendidikan Masa Bani Abbasiyah
Gerakan Kebangkitan intelektual ditandai
oleh proyek penerjemahan karyakarya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan
terutama yang berbahsa Yunani ke bahasa Arab,
pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan yaitu Bait al-Hikmah, dan
terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berpikir.
Ada beberapa upaya yang dilaksanakan
terkait dengan kemajuan dan perkembangan peradaban Islam. Peradaban-peradaban
tersebut pada dasarnya merupakan akulturasi dari peradaban Islam dengan
peradaban lainnya, terutama Persia atau
Yunani, di antaranya:
1.
Gerakan Penerjemah
Pada
abad ke-9 M, dilakukan penerjemahan
besar-besaran buku, dalam penerjemahannya ikut berperan serta orang-orang
Yahudi dan Kristen di samping orang-orang Islam sendiri.
Mereka menerjemahkan manuskrip – manuskrip
terutama yang berbahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Para Ilmuan
diutus untuk ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam
berbagai ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Sedangkan untuk perburuan
manuskrip di daerah Timur seperti Persia, adalah pada bidang tata negara dan
sastra. Sebelum diterjemahkan kedalam bahasa Arab, naskah yang berbahasa Yunani
diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Syiria. Hal ini disebabkan karena para
penerjemah adalah para pendeta Kristen Syiria yang memahami bahasa Yunani.
Pelopor gerakan penerjemahan adalah
khalifah al-Mansur, dengan mempekerjakan orang-orang Persia untuk menerjemahkan
karya-karya berbahasa Persia, di antaranya: Buku tentang ketatanegaraan (Kalila
wa Dimna dan Shindind). Sedangkan manuskrip yang berbahasa Yunani, seperti
Logika karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachu
dari Gerasa, Geometri karya Euclid.
Pada masa Harun al-Rasyid, dikenal Yuhanna
Yahya ibn Masawayh (w.857) yang menerjemahkan beberapa manuskrip tentang
kedokteran yang dibawa oleh khalifah dari Ankara dan Amorium. Pada masa Makmun
dikenal Hunayn ibn Ishaq. (Joannitius, 809-873) ia dijuluki “ketua para
penerjemah” (sebutan orang Arab), seorang sarjana terbesar dan figur terhormat.
Makmun mengangkatnya menjadi pengawas perpustakaan akademinya. Dan bertugas
menerjemahkan karya-karya ilmiah, dibantu oleh anaknya Ishaq, dan keponakannya
Hubaisy ib al-Hasan yang telah ia latih.
Kegiatan penerjemahan buku-buku ini
berjalan kira-kira satu abad, babak
penerjemahan itu dalam rentang ±750-850. Di antara cabang ilmu pengetahuan yang
diutamakan ialah Ilmu Kedokteran, Matematika, Optika, Geografi, Fisika,
Astronomi, dan Sejarah di samping Filsafat.
2.
Aktivitas Kreatif
Karya-karya Orisinil
Babak berikutnya setelah adanya era
penerjemahan yang berkembang pada dinasti Abbasiyah adalah babak aktivitas
kreatif penulisan karya-karya orisinil. Penulisan karya-karya tersebut
melahirkan beberapa tokoh utama yang yang menekuni bidang masing-masing
Pada bidang kedokteran beberapa tokoh yang
muncul seperti Ali ibn Sahl Rabban al-Thabari, pertengahan abad ke sembilan;
Abu Bakr Muh ibn Zakariyya al-Razi (Rhazes, 865-925); Ali ibn al Abbas (w.994);
Ibn Sina, 980-1037.
Dalam perkembangan filsafat Islam, peneliti
muslim memahami bahwa falsafah merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam
arti yang sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia.
Filsafat dan kedokteran Yunani senyatanya ilmu yang dimiliki orang Barat, dan
orang Arab percaya bahwa Alquran dan Teologi adalah rangkuman hukum dan
pengalaman Agama. Karenanya, kontribusi filsafat dan agama di satu sisi dan di
antara filsafat dan kedokteran di sisi lain menjadi tren keilmuan saat itu.
Para penulis Arab akhirnya menerapkan kata:
falasifah atau hukam (filosof atau sufi) terhadap para filosof yang pemikiran
spekulatifnya tidak dibatasi agama; dan Mutakallimun atau ahl al-kalam (ahli
bicara, ahli dialektika) pada orang-orang yang memosisikan sistem pemikirannya di
bawah ajaran agama samawi. Ahli membuat proposisi. Seiring perkembangannya,
kalam berubah maknanya menjadi teologi, dan mutakallimin akhirnya bersinonim
dengan teolog, upaya harmonisasi filsafat Yunani dengan Islam dilakukan oleh
namanama besar dalam bidang filsafat yaitu al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
Al-Kindi, sistem pemikirannya beraliran ekletisisme,
menggunakan pola neo-Platonis untuk menggabungkan pemikran Plato dan
Aristoteles serta menjadikan matematika neo-Phytagorean sebagai landasan semua
ilmu.
Al-Farabi, sistem filsafatnya merupakan
campuran antara Platonisme, Aristotelianisme, dan Mistisisme. Sedangkan Ibn
Sina mengadopsi pemikiran alFarabi, namun ia seorang pemikir yang sanggup
menyatukan berbagai kebijaksanaan Yunani dengan pemikirannya sendiri, terutama
pemikiran Philo yang dapat ia selarakan dengan ajaran Islam.
Fenomena lain yang perlu dikemukakan di
sini yang turut mewarnai pergerakan filsafat dalam Islam adalah munculnya satu
kelompok persaudaraan sufi, sekitar pertengahan abad ke 4 H. (±970M).
Tradisi perjalanan mencari ilmu (al-rihlah
fi thalab al-‘ilm) dipandang sebagai bentuk kesalehan paripurna, sama dengan
jihad dalam perang suci.
Abad ke 3 Hijriah disaksikan penyusunan
enam kitab hadis yang saat itu menjadi kitab hadis standar. Yang paling
otoritatif adalah yang dihimpun Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (810-870) dengan
shahih Bukharinya; diikuti Muslim ibn al-Hajjaj (w.875) dengan shahih
muslimnya, Sunan Abu Dawud dari Bashrar (w.888), jami’ al-Tirmizi (w.±892),
Sunan Ibn Majah dari Qazwin (w.886), dan Sunan al-Nasa’i (w.915)
Begitulah perjalanan sejarah kebangkitan
intelektual Islam, dimulai dari era penerjemahan berlanjut pada babak aktivitas
kreatif penulisan karya-karya orisinil mengantarkan peradaban Islam menjadi
perdaban terhormat di abad pertengahan. Era ini ditandai sebagai proyek
pembangunan budaya melalui dua pendekatan atau strategi, (1) membaurkan
kebijakan kuno Persia dan klasik Yunani, (2) Mengadaptasi keduanya sesuai
kebutuhan khusus dan paradigma ‘pola pikir’ peneliti.
Upaya transmisi pengetahuan tersebut masuk
ke daratan Eropa melalui Suriah, Spanyol dan Sisilia, dan gerakannya
mendominasi pemikiran eropa abad pertengahan yang mendobrak munculnya renaisan
Eropa
3.
Membangun Bait
al-Hikmah
Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan yang
juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Instuisi ini
merupakan kelanjutan dari instuisi yang serupa di masa imperium Sasania Persia
yang bernama Jundishapur Academy. Perbedaannya, pada masa Persia institusi ini
hanya menyimpan puisipuisi dan cerita-cerita untuk Raja, sedangkan pada masa
Abbasiyah (Harun AlRasyid) instutusi ini diberi nama Khizanah al-Hikmah yang
berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada masa al-Makmun diubah namanya menjadi
Bait al-Hikmah dipergunakan untuk menyimpan buku-buku kuno yang didapat dari
Persia, Bizantium, dan bahkan Etiopia dan India.
Langkah-langkah yang dilakukan khalifah
al-Makmun membentuk lembaga Bait al-Hikmah pada tahun 832 M. bertujuan untuk
mendorong atau untuk memasukkan hal-hal yang positif dari kebudayaan Yunani ke
dalam pengetahuan khususnya wilayah filsafat Islam.
Setelah adanya upaya penerjemahan dan
pembentukan kajian keilmuan melaui pendirian Bait al-Hikmah, kaum muslim telah
mengalami perkembangan yaitu mulai bergaul dengan orang luar Islam. Deskripsi
institusi Bait al-Hikmah dapat diurai sebagai berikut:
Pertama, nilai-nilai kebebasan berekspresi,
keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan
manuskrip-manuskrip dan penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Hal ini
melingkupi dalam aktivitas penyelenggaraan Bait al-Hikmah, baik kepada para
sarjana muslim maupun non muslim. Penghargaan yang diberikan al-Makmun (sang
khalifah) kepada mereka adalah dengan membayar mahal kepada para penerjemah
dengan emas setara bobot buku yang mereka terjemahkan.
Interaksi positif antara orang Arab muslim dengan kalangan bukan muslim melebur
dalam suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan.
Kedua, perbedaan etnik kultural dan agama
bukan halangan dalam melakukan penerjemahan. Para penerjemah tersebut antara
lain; (1) Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht, berkebangsaan Persia; (2) Alan
al-Syu’ubi, berkebangsaan Persia; (3) Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh (w.857),
berkebangsaan Syiria; (4) Hunayn ibn Ishaq, beragama Kristen Nestorian dari
Hirah; (5) Qutha bin Luqa, beragama Kristen Yacobite; 6) Abu Bisr Matta ibn
Yunus, beragama Kristen Nestorian (7) Ishaq bin Hunayn, beragama Kristen
Nestorian; dan (8) Hubaish juga beragama Kristen.
Berkembangnya ilmu pengetahuan menjadi
tonggak puncak peradaban Islam karena di antaranya institusi pendidikan Islam
yang ada telah menerapkan konsep pendidikan berbasis multikultural. Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, kesederajatan,
kebebasan, keadilan, kemiskinan, keragaman, dan demokrasi, juga didukung oleh
tokoh-tokoh pendidik yang memiliki visi dan misi kultural.
C. SISTEM PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Sistem pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria materi yang diajarkan
pada tempat penyelenggaraannya menurut George Makdisi terbagi menjadi dua tipe,
yaitu; institusi pendidikan inklusif (terbuka) terhadap pengetahuan umum dan
institusi pendidikan eksklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum.
Sistem
pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteia hubungan institusi pendidikan
dengan negara yang berbentuk teokrasi, ada dua macam, yaitu; institusi
pendidikan Islam formal dan institusi pendidikan Islam informal.
Institusi
pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh negara untuk
mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama dan berperan
dalam agama dan menjadi pegawai pemerintahan. Biaya pendidikannya biasa
disubsidi oleh Negara dan dibantu oleh orang-orang kaya melalui harta wakaf.
Pengelolaan administrasi berada di tangan pemerintah.
Sebaliknya pendidikan informal diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat
atau anggota masyarakat, dan menawarkan mata pelajaran umum termasuk filsafat.
Dalam hal ini terdapat sekitar 30.000 masjid di Bagdad berfungsi sebagai
lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangan pendidikan
pada masa bani Abbasiyah dibagi 2 tahap, yaitu:
Tahap
pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-10 M) perkembangan secara alamiah
disebut Juga sebagai sistem pendidikan khas Arabia. Tahap kedua (abad ke 11)
kegiatan pendidikan dan pengajaran diatur oleh pemerintah dan pada masa ini
sudah dipengaruhi unsur non-Arab.
Umat
Islam masa Bani Abbasiyah dalam sejarahnya memperlihatkan tentang pentingnya
pendidikan hal ini dapat ditelusuri dari beberapa catatan sejarah.
1.
Lembaga dan
Institusi Pendidikan di Masa Bani Abbasiyah
Institusi
pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa Bani Abbasiyah dapat
dikategorikan sebagai berikut:
a)
Lembaga pendidikan
sebelum madrasah
Pertama,
Maktab/ Kuttab. Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang
diajarkan adalah khat, kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kuttab dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan
umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum.
Dalam
ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang
mula-mula lahir di dunia Islam, pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat
memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, dan dinyatakan bahwa
kuttab ini sudah ada di negeri Arab sebelum datangnya agama Islam, namun
belum dikenal. Di antara penduduk Mekah yang pernah belajar adalah Sofwan bin
Umayyah bin Abdul Syam.
Kedua,
halaqah artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam
setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini merupakan
gambaran tipikal dari murid-murid yang berkumpul untuk belajar pada masi itu.
Guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan karangannya,
atau komentar orang lain terhadap suatu karya pemikiran. Murid-muridnya akan
mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai, yang melingkari
gurunya.
Ketiga,
majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi
keilmuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7
macam mejelis, yaitu: (1) majelis al-Hadis; (2) majelis alTadris; (3) majelis
al-Munazharah; (4) majelis al-Muzakarah; (5) majelis alSyu’ara; (6) majelis
al-Adab; dan (7) majel al-Fatwa.
Tidak banyak penjelasan tentang deskripsi macam-macam mejelis tersebut.
Keempat,
masjid merupakan institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa nabi.
Masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam
fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku
dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu.
Kelima, Khan.
Berfungsi sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama
antara lain fikih.
Keenam,
ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauh dari kehidupan
duniawi untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata-mata. Ribath biasanya
dihuni oleh orang-orang miskin.
Ketujuh,
rumah-rumah ulama, digunakan untuk melakukan transmisi ilmu agama dan ilmu umum
dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. Ulama yang tidak diberi kesempatan
mengajar di institusi pendidikan formal akan mengajar di rumah-rumah mereka.
Kedelapan, toko
buku dan perpustakaan, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan Islam. Di
Baghdad terdapat 100 toko buku. Kesembilan, observatorium dan rumah sakit
sebagai tempat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dan transmisi ilmu
kedokteran.
Berdasarkan
penelusuran institusi pendidikan Islam tersebut, terlihat perhatian yang
signifikan bagi transmisi pengetahuan.
b)
Madrasah
Madrasah
sudah eksis semenjak awal masa kekuasaan Islam bani Abbasiyah seperti Bait
al-Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam pertama yang dibangun pada
tahun 830 M oleh khalifah al-Makmun.
Institusi yang mengukir sejarah baru dalam peradaban Islam dengan konsep
multikultural dalam pendidikan, karena subjek toleransi, perbedaan etnik
kultural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal biasa.
Di
catatan lain, al-Makrizi berasumsi bahwa madrasah pertama adalah madrasah
Nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H. Madrasah selalu dikaitkan dengan nama Nidzam
Al-Mulk (W. 485 H/1092 M), salah seorang wazir dinasti Saljuk sejak 456 H/1068
M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya membangun madrasah Nizhamiyah di
berbagai kota utama daerah kekuasaan Saljuk.
Madrasah
Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga
dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan
karakteristik tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi
dengan sistem asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan
tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain.
Kendati
madrasah Nizhamiyah mampu melestarikan tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran
Islam dalam versi tertentu. Tetapi keterkaitan dengan standarisasi dan
pelestarian ajaran kurang mampu menunjang pengembangan ilmu dan penelitian yang
inovatif.
Madrasah
di Mekah dan Madinah. Informasi tentang
madrasah mendapat dukungan banyak dari berbagai literatur. Namun sayang para
sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di Mekah dan Madinah. Hal ini
mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut kurang lengkap.
Lebih
lanjut secara kuantitatif madrasah di Mekah lebih banyak dibandingkan di
Madinah. Di antara madrasah Abu Hanifah, Maliki, madrasah ursufiyah, madrasah
muzhafariah, sedangkan madrasah megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah
qoi’it bey, didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir.
Secara
hierarkis, Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat,
yaitu:
a.
Tingkat sekolah
rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab
ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di
pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca
Alquran dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran Islam, menulis, kisah orangorang
besar Islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga
pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.
b.
Tingkat sekolah
menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai
sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri:
Alquran, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu
pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga musik.
c.
Tingkat perguruan
tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di
masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari
dua jurusan:
1.
Jurusan ilmu-ilmu
agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu itu
dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir
Alquran, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
2.
Jurusan ilmu-ilmu
hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang
diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, Ilmu Alam dan Kimia, Musik,
ilmu-ilmu pasti, Ilmu Ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), Ilmu Hewan, dan juga
Kedokteran.
2.
Tujuan Pendidikan
masa bani Abbasiyah
Tujuan
pendidikan adalah sasaran yang akan dicapai dalam sebuah usaha pendidikan,
konsep tujuan pendidikan yang paling sederhana adalah perubahan yang diinginkan
dan diusahakan oleh proses pendidikan,
baik pada tingkah laku individu dan kehidupannya yang meliputi aspek individu,
sosial dan profesionalisme.
Jadi
tujuan pendidikan Islam ditujukan agar manusia dapat mengenali, mengakui dan
melaksanakan secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam sistem
penciptaan.
Tujuan
pendidikan pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah tidaklah terlepas dari tujuan
pendidikan Islam secara umum, yaitu yang menjadi hakikat tujuan pendidikan
Islam, namun pada tingkat turunannya, tujuan pendidikan di tingkat nasional dan
institusional dapat dideskipsikan sebagaimana yang ada dalam realitas masa itu
dan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena
pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a)
Tujuan keagamaan
dan akhlak
Sebagaiman
pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal
Alquran, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut
ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b)
Tujuan
kemasyarakatan
Para
pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi
masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju
masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu
yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga
diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c)
Cinta akan ilmu
pengetahuan
Masyarakat
pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam
ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri Islam untuk menuntut ilmu
tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan
berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk
memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d)
Tujuan kebendaan
Pada
masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak dan
pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan
di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.
Secara
khusus, madrasah Nizhamiyah memiliki tugas pokok tersendiri yaitu yang sejalan
dengan satu atau lebih dari mazhab ahlisunah, dan juga menjadi tempat-tempat
menarik pelajar untuk menggunakan waktu mereka sepenuhnya dalam belajar.
Madrasah Nizhamiyah telah banyak memberikan pengaruh terhadap masyarakat, baik
dibidang politik, ekonomi maupun bidang sosial keagamaan.
Dalam
bidang ekonomi Madrasah Nizhamiyah memang dimaksudkan untuk mempersiapkan
pegawai pemerintah, khususnya dilapangan hukum dan administrasi di samping
sebagai lembaga untuk mengajarkan ilmu syari'ah dalam rangka mengembangkan
ajaran sunni.
Di
antara motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah adalah pembinaan dan penyebaran
paham sunni Asy'ary guna menghadapi paham syi'ah yang beberapa ajarannya
cenderung ke Mu'tazilah. Maka ilmu kalam, terutama Asy'arisme di ajarkan secara
khusus dan intensif. Bagaimanapun harus diakui bahwa beberapa pengajar pada
madrasah ini juga dikenal ahli dalam ilmu kalam, bahkan penganut asy'arisme,
umpamanya Imam Al-Harmain Abdul Ma'ali Yusuf AlJuwaini (w 1084M/478H) dan Abdul
Hamid Al-Ghazali (w 1111 M/505H).
Adapun
tujuan Pokok Nizam Al-Mulk mendirikan madrasah ini adalah:
1)
Mengkader
calon-calon ulama yang menyebarkan pemikiran sunni untuk menghadapi tantangan
pemikiran syi'ah
2)
Menyediakan
guru-guru sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab sunni dan menyebarkannya ke
tempat-tempat lain.
3)
Membentuk kelompok
pekerja sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin
kantornya khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
3.
Pendidik pada masa
Bani Abbasiyah
Karakter
pendidik yang tergambar pada pendidikan ideal yang diinginkan bangsawan Arab
bisa kita lihat dari perintah al-Rasyid kepada guru pribadi anaknya, al-Amin:
“Jangan
bersikap terlampau keras hingga membahayakan pikiran dan tubuhnya, dan jangan
terlalu lemah hingga ia bermalas-malasan dan akhirnya tenggelam dalam
kemalasan. Bimbinglah sesuai dengan kemampuanmu dengan cara-cara yang baik dan
lembut, tetapi jangan ragu untuk bersikap keras dan tegas ketika ia tidak memperhatikan
atau mengabaikanmu.”
Anak-anak
orang kaya memiliki guru privat atau tutor yang datang langsung ke rumah,
mengajarkan materi keagamaan, karya sastra yang bagus dan sopan, serta
kecakapan menulis syair.
Tinggi
rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim
tergantung atas dua faktor, yaitu:
a.
Tempat dimana dia
mengajar, di Persia, penghormatan kepada guru merupakan suatu tradisi lama
dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan ke dalam periode Islam.
b.
Tingkatan dimana
ia belajar. (latar belakang pendidikannya). Biasanya, penghormatan kepada guru
semakin tinggi terhadap guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
Guru di
sekolah dasar disebut muallim, kadang juga faqih, yang secara khusus
mengajarkan teologi, biasanya mendapat status sosial yang lebih rendah,
kurang dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat
pendidikan tampaknya sudah tidak menjadi daya tarik. Sedangkan guru di sekolah
yang lebih tinggi mendapatkan kedudukan dan penghormatan yang lebih baik.
Memiliki organisasi tertentu dan seorang guru akan memberikan ijazah pada murid
yang sukses menempuh pendidikan di bawah bimbingannya. Para guru biasanya terhimpun
dalam sebuah oraganisasi, keberadaannya mempunyai pengaruh yang penting
dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam
kekuasaan khalifah, karena ia dengan organisasinya mempunyai power yang dapat
mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan
pemberian izin untuk menjadi pengajar di masjid.
Untuk
sebuah lembaga pendidikan tinggi, seperti Nizhamiyah, sebagaimana dikisahkan
ibn al-Atsir tentang seorang dosen yang telah menerima surat kontrak namun
belum bisa mengajar karena belum ada persetujuan dari khalifah. Peristiwa ini
menjadi bukti bahwa seseorang bisa menjadi dosen di PT melalui kontrak yang
telah disepakati.
Lebih
lanjut tentang pengangkatan dan seleksi guru seperti yang ditemukan di madrasah
Nizhamiyah dilakukan dengan sangat selektif. Ulama-ulama terkemuka pada waktu
itu dan guru-guru besar yang masyhur dan mempunyai kompetensi di bidangnyalah
yang dipilih untuk mengajar.
Karena bertempat di lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan pendidikan
tingkat tinggi pula.
Guru-guru
yang memberikan pelajaran di Madrasah Nizhamiyah antara lain seperti Abu Ishak
al-Syirazi (w. 476 H= 1083 M); Abu Nashr al-Shabbagh (w.477 H=1084 M); Abu
Qasim al-A'lawi (w.482 H=1089 M); Abu Abdulah alThabari (w.495 H=1101 M); Abu
Hamid al-Ghazali (w.505 H=1111 M).
4.
Peserta Didik di
masa bani Abbasiyah
Al-Zarnuji
dalam karyanya tentang pendidikan yang menulis satu bagian khusus tentang
kewajiban bagi seorang murid untuk menghormati gurunya. Ia mengutip ungkapan
Ali: “Aku adalah budak dari orang yang mengajariku, mesti hanya satu huruf”.
Di
tingkat dasar, murid-murid terbaik di sekolah akan mendapat kehormatan untuk
mengikuti parade, menaiki seekor unta, menyusuri jalan di kota. Di antaranya
ketika ada murid yang mampu menghafal seluruh ayat Alquran.
Anak
perempuan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki. Kebanyakan masyarakat
termasuk penguasa tidak memiliki keinginan untuk membimbing anak perempuan agar
bisa menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi. Alasan utamanya, bisa jadi,
karena menganggap dunia pendidikan bukan kebutuhan utama yang diperlukan
perempuan.
Gambaran
peserta didik dapat dilihat dari segi aktivitas sehari-hari mereka dalam proses
mendapatkan ilmu, performance peserta didik masa bani Abbasiyah tersebut antara
lain:
1.
Aktivitas belajar
langsung dari syekh
2.
Aktivitas berdebat
sebagai latihan intelektual
3.
Aktivitas rihlah
ilmiah
4.
Aktivitas
menerjemah buku dan manuskrip
5.
Aktivitas menulis
buku
Begitulah
gambaran sepintas tentang gambaran pelajar, sebagian mereka tinggal di asrama
yang disediakan sekolah dan tidak sedikit yang mendapatkan beasiswa.
5.
Kurikulum dan Materi Pendidikan di masa bani
Abbasiyah
Kurikulum
yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu: pertama, kurikulum
pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata
bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga
yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga
kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal AlQuran dan mengkaji dasar-dasar
pokok agama.
Institusi
Kuttab sebagai pendidikan tingkat dasar dengan kurikulum utamanya adalah al-Quran,
keterampilan baca tulis,
tata bahasa Arab, kisah – kisah para nabi khusunya hadis-hadis nabi Muhammad,
dasar-dasar Aritmatika, dan puisi.
Berikut
sebuah riwayat yang bisa memberikan gambaran tentang kurikulum pendidikan pada
tingkat dasar pada saat itu. Al Mufadhal bin Yazid menceritakan bahwa pada
suatu hari ia berjumpa seorang anak-anak laki dari seorang Baduwi. Karena
merasa tertarik dengan anak itu, kemudian ia bertanya pada ibunya. Ibunya
berkata kepada Yazid: “…apabila ia sudah berusia lima tahun saya akan
menyerahkannya kepada seorang muaddib (guru), yang akan mengajarkannya
menghapal dan membaca Alquran lalu dia akan mengajarkannya syair. Dan apabila
dia sudah dewasa, saya akan menyuruh orang mengajarinya naik kuda dan memanggul
senjata kemudian dia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk
mendengarkan suara orangorang yang minta pertolongan…”.
Kedua,
kurikulum pendidikan tinggi. Pada fase ini, kurikulum dan materi perlajaran
adalah dalam rangka mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama,
menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang
diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti
bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.
Mahmud
Yunus mengatakan bahwa kurikulum Madrasah Nizhamiyah tidak diketahui dengan
jelas. Namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari'ah di ajarkan
disini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Dari keterangan lain
disebutkan bahwa pelajaran di Madrasah Nizhamiyah berpusat pada Alquran
(membaca, menghapal, dan menulis), sastra arab sejarah nabi Muhammad SAW dan
berhitung dengan menitik beratkan pada mazhab syafi'i dan sistem teologi
Asy'ariyah.
Berdasarkan
keterangan di atas, dapatlah diketahui bahwa madrasah Nizhamiyah tidak
mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat duniawi , tetapi lebih terfokus pada
pelajaran ilmu agama terutama ilmu fikih.
6.
Metode Pendidikan
di masa bani Abbasiyah
Pada
masa ini, metode pendidikan/ pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam; lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan berupa dikte
‘imla’; metode cerama ‘al-sama’; metode qiro’ah biasanya digunakan untuk belajar
membaca. dapat merespons, mematahkan lawan, atau berargumen dengan pendapatnya
yang baru.
Metode
tulisan dianggap metode paling penting, ini berguna bagi proses penguasaan ilmu
pengetahuan juga bagi penggandaan jumlah buku teks karena belum ada mesin cetak.
Di samping metode tersebut, ditemukan juga metode diskusi ‘munaqasah debat/
dialektika’.
Tongkat
kecil dianggap sebagai perangkat pembelajaran penting yang mesti dimiliki
seorang pendidik, dan direstui oleh khalifah untuk digunakan pada murid.
Proses
pembelajaran untuk pendidikan tingkat tinggi pada masa ini dapat dibidik dari
proses pengajaran pada Madrasah Nizamiyah yang berjalan dengan cara para guru
berdiri di depan kelas menyajikan materi-materi kuliah (ceramah/talqin),
sementara para siswa mendengarkan di atas meja-meja kecil yang disediakan.
Kemudian dilanjutkan dengan diskusi (munaqasyah) antara guru dan para siswa
mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi.
Suatu
ketika ibn Jubayr menghadiri suatu perkuliahan yang disampaikan setelah zuhur
oleh seorng guru besar penting. Sang guru berdiri di atas mimbar sementara para
mahasiswa duduk di hadapannya sambil menyimak, menulis dan mengajukan
pertanyaan secara lisan hingga waktu Ashar tiba. setiap dosen memiliki asisten
yang bertugas untuk mengulangi materi perkuliahan setelah jam pelajaran usai
dan menjelaskannya kepada para pelajar yang kurang tanggap memahami materi.
Di
semua lembaga pendidikan tingkat tinggi teologi yang tersebar, ilmu hadis
dijadikan sebagai landasan kurikulum, dan metode pengajarannya lebih menekankan
pada metode hapalan, catatan harian dan memoranda belum membudaya, dan hapalan
merupakan sumber yang dapat dipercaya, yang didominasi oleh ahli hadis dan para
penyair
7.
Pembiayaan dan
Sarana Pendidikan masa bani Abbasiyah
Sumber
dana yang paling lazim bagi pembangunan Madrasah adalah lembaga wakaf, sebuah
cara tradisional dalam Islam untuk mendukung lembaga yang melayani kebutuhan
masyarakat umum. Menyumbangkan materi (zakat) yang diperuntukkan bagi para
mustahiq dan bagi pengembangan Islam merupakan bagian dari rukun Islam.
Demikian halnya dalam pembangunan Madrasah, wazir Nizam Al-Mulk menyediakan
dana wakaf untuk membiayai mudarris, imam dan juga mahasiswa yang menerima
beasiswa dan fasilitas asrama.
D. KESIMPULAN
Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses
perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah. Banyak sekali faktor pendorong yang
memicu dalam terbentuknya dinasti bani abbasiyah. Dinasti Abbasiyah tergolong
yang paling lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu al-Abbas Assafah di tahun 750 M
sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun 1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima
abad tersebut kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37
khalifah.
Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak
perkembangan pendidikan Islam di dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai
puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum
(813-833 M).
Pada masa Nabi, masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan
pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah
dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu
telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu.
Selama pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang pendidikan
Agama maupun bidang pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang
berperan dalam perkembangan pendidikan tersebut. Seperti Al-Razi, Al-Battani,
Al Ya’qubi, Al Buzjani, Ibn Sina, dan masih banyak yang lainnya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli
pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa
penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain ilmu umum dan
ilmu naqli.
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa
tingkat, yaitu tingkat sekolah rendah, Tingkat sekolah menengah, dan Tingkat
perguruan tinggi. Mengenai lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah juga
mengalami banyak kemajuan dalam lembaga pendidikannya seperti, toko buku, rumah
para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
Pada masa Dinasti abbasiyah dalam pengajarannya, metode
pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:
lisan, hafalan, dan tulisan. Sedangkan materi Materi pendidikan dasar pada masa
daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran
yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat
pillihan (ikhtiari).
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi
muatannya telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya belum
seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pendidikan ini terlihat dalam
pembagian ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
1.
Kurikulum
Menurut Al-Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi
sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan.
Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
2.
Kurikulum
Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta
dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan bersungguh-sungguh
mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam, yakni Kelompok ilmu
lisan (bahasa), kelompok naqli dan kelompok aqli.
Tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada
zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut, Tukar Menukar
Informasi ( Muzakarah ), Berdebat, Rihlah Ilmiah, Penerjemahan, Mengoleksi Buku
dan Mendirikan Perpustakaan, Membangun Lembaga Pendidikan, Melakukan Penelitian
Ilmiah, Menulis Buku, Memberikan Wakaf.
Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan,
peralatan kegiatan penelitian dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding
dengan masa sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu
pengetahuan yang memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya.Terjadinya
kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya manajemen
pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib.
DAFTAR PUSTAKA