HADITS AHAD
Tugas Mata Studi Hadits
Tugas Mata Studi Hadits
Oleh :
Ahmad Fathullah
20162550005
Dosen Pembimbing:
Muhammad Hambal Shofwan, Lc, M.Pd.I
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER STUDI ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, tidak dapat diragukan lagi. Dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para Ulama Hadits demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadits Ahad.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hadits Ahad ?
2. Apa saja Macam – Macam Hadits Ahad ?
3. Bagaimana Kehujjahan Hadits Ahad ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian hadits ahad
2. Mengetahui Macam – Macam Hadits Ahad
3. Mengetahui Kehujjahan Hadits Ahad
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS AHAD
Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
Menurut istilah, hadits ahad adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir[1]
Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
Menurut istilah, hadits ahad adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir[1]
Maka, hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad.[2]
Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”. Yakni ia masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian lebih lanjut.[3]
Menurut Ibn Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah (Hadist gharib dan hadist fard) diklasifikasi ke dalam tiga kategori:
Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”. Yakni ia masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian lebih lanjut.[3]
Menurut Ibn Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah (Hadist gharib dan hadist fard) diklasifikasi ke dalam tiga kategori:
Pertama, riwayat perawi tsiqah yang bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah. Riwayat seperti ini harus ditolak dan dianggap syadzdz. Kedua, riwayat perawi yang bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah lainnya. Riwayat jenis ini diterima. Ketiga, riwayat yang berada diantara dua jenis kategori di atas. Contoh, menambah sebuah kata dalam hadist yang tidak disebutkan oleh semua perawi lain yang turut meriwayatkan hadist tersebut. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Anna rasul Allah faradha zakat al-fithr min ramadhan ala kulli hurrin au ‘abdin dzakarin au untsa min al-muslimin”. Dilaporkan bahwa Malik adalah satu-satunya perawi diantara para perawi yang menambah kata “min al-muslimin”.
Ubaidillah Ibn Umar, Ayyub dan lain-lain meriwayatkan hadist tersebut dari Nafi’ tanpa tambahan tersebut. Untuk kategori ketiga ini, Ibn Ash-Shalah tidak memberikan penilaian sama sekali. Al-Khathib Al-Baghdadi tidak keberatan dengan tambahan tersebut, dengan syarat dilakukan oleh perawi yang tsiqah. Dalam hal ini, ia bahkan mengklaim mengikuti pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadist. Menurut Ibn Katsir (701-774), tambahan yang dilakukan oleh perawi tsiqah diterima oleh mayoritas fukaha dan ditolak oleh mayoritas para ahli hadist. Namun, At-Tarmidzi dalam Al-‘Ilal menganggap shahih apabila tambahan tersebut dilakukan oleh orang yang kuat hafalannya (dhabith).
Hadist gharib atau fard (tunggal) dapat diketahui melalui tiga cara: 1) dari aspek lokalitas, hadist tersebut diriwayatkan oleh perawi tunggal dari sebuah daerah; 2) perawi tunggal dari seorang imam yang terkenal; 3) perawi dari sebuah daerah tertentu meriwayatkan hadist dari orang Madinah. Al-Khitab Al-Baghdadi, Ibn Ash-Shaleh, As-Suyuthi, dan Ibn Katsir mengikuti pendapat Asy-Syafi’I bahwa keshahihan sebuah riwayat tunggal tergantung pada ke-tsiqah-an perawinya. Dengan kata lain, untuk menilai ke-tsiqah-an hadis gharib tergantung pada apakah hadist tersebut memenuhi syarat-syarat hadist shahih ataukah tidak. Jadi, historitis riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi. Jumlah perawi dalam setiap tingkatan adalah penting, tetapi tidak menentukan historisitas dan kepalsuan riwayat tersebut. Dengan kata lain, status “ketunggalan” perawi tsiqah dalam setiap tingkatan tidak berarti bahwa riwayatnya tertolak atau palsu.[4]
Jumlah periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk setiap (tsabaqah) sanadnya tidak sebanyak jumlah periwayat pada hadist mutawwatir. Akibatnya, tingkat keakuratan riwayat hadist ahad tidak setinggi hadist mutawwatir. Untuk hadist mutawatir tingkat keakuratan riwayatnya mencapai qath’i (meyakinkan kebenaran beritanya), sedang untuk hadist ahad, tingkat keakuratan riwayatnya hanya mencapai zhanni (dugaan keras). Karenanya, untuk mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist ahad dapat dipercaya ataukah tidak, maka terlebih dahulu sanad dan matannya harus diteliti. Untuk hadist mutawatir, penelitian yang demikian itu tidak diperlukan karena sudah pasti kebenaran wurud-nya.[5]
B. MACAM – MACAM HADITS AHAD
Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist Gharib.
1. Hadits Masyhur
Hadist masyhur menurut bahasa yaitu kata “Masyhur” berbentuk isim maf’ul dari kata “syaharats Al-Amru” yang berarti sesuatu yang telah terkenal setelah disebarluaskan dan ditampakkan dipermukaan.[6]
Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batasan mutawatir. Apabila dalam salah satu thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat sanad terdapat tiga perawi maka hadist tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada thabaqah sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.[7]
Hadist masyhur terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, hadist masyhur yang shahih, hasan, dan dha’if. Kedua, hadist masyhur yang hanya dikenal dikalangan terbatas, seperti hadist yang populer dikalangan ahli hadist atau hadist yang telah cukup populer dikalangan masyarakat.
Di antara kelompok hadist masyhur adalah hadist mutawatir yang hanya populer, misalnya dalam disiplin ilmu fiqih dan ushul fiqih, di mana hadist itu tidak pernah disebutkan secara khusus oleh ahli hadist. Hadist seperti ini sedikit sekali dan hampir tidak ditemukan pada periwayatan-periwayatan ahli hadist. Hadist ini seperti pada hadist yang dinukil oleh seseorang yang memperoleh ilmu dengan kejujuran, sesuai kebutuhan dari orang-orang yang selevel dengannya, mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya.
Karenanya hadist Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min al-nar (Barangsiapa yang berdusta pada ku secara sengaja, maka bersiaplah untuk menempati tempat tinggalnya yang telah disiapkan untuknya nanti di neraka) adalah hadist mutawatir. Dan hadist Innama al-a’malu bi al-niyyat (Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya), menurut sudut pandang ini, adalah bukan hadist mutawatir.[8] Hadis Nabi SAW:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba” {Bukhari}.
Hukum hadist masyhur adakalanya shahih, hasan, atau dha’if bahkan ada yang bernilai maudhu’. Akan tetapi hadist masyhur yang berkualitas shahih memiliki kelebihan untuk ditarjih (diunggulkan) bila ternyata bertentangan dengan hadist aziz dan hadist gharib.[9]
2. Hadits Aziz
Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi dalam salah satu thabaqahnya. Ini adalah definisi Ibn Shalah dan diikuti pula oleh Imam Nawawi. Hadist riwayat dua atau tiga perawi dapat dikategorikan aziz. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat dua orang untuk definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.
Contoh hadist yang dikategorikan aziz, di antaranya:
لا يؤمن احدكم حتي أكون أحب إليه من والده و الناس اجمعين
Artinya: Belum sempurna iman seseorang jika ia belum mencintaiku melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan semua orang.
3. Hadits Gharib
Hadist gharib adalah hadist yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah satu thabaqahnya. Dinamakan demikian karena ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh terasing dari sanak keluarganya.
C. KEHUJJAHAN HADITS AHAD
Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.
Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
a. Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut. Demikian kata Imam Syafi’i.
b. Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info pengalihan seperti ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi SAW kemudian datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi seperti itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan menggubris informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
c. dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad adalah hadist yang berbunyi:
نضر الله امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعي من سامع
Artinya: Semoga Allah membaguskan wajah orang yang mendengar dari kami sebuah hadis lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar, bias jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari pada orang yang mendengar.
Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.[10] Namun demikian, pembelaan kaum ahlu sunnah wa al jama’ah terhadap hadist ahad, bukan berarti tanpa alasan. Mereka yakin bahwa memanfaatkan hadist sekalipun ahad, jauh lebih bernilai dibandingkan dengan ketiadaan rujukan dalam penetapan hukum.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bab penutup ini, penulis Menyimpulkan bahwa:
1. Hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir.
2. Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist Gharib.
3. Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993)
Kamaruddin, Amin, Phil, H, Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009)
Smeer, Zeid, B, Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press)
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007)
Usuf Saefullah, dan Cecep Sumarna, Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)
_____________________________________
[1] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007), 36
[2] Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press), 43
[3] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist..36
[4] Phil. H. Kamaruddin Amin, MA. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009), 36-37
[5] M. Syuhudi Ismail. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993), 36
[6] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist..36
[7] Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. 42
[8] Imam Al-Nawawi. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 115-116
[9] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist… 40-50
[10] Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis…………..44-48
[11] usuf Saefullah, dan Cecep Sumarna, Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). 68
No comments:
Post a Comment