BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangPENDAHULUAN
Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini, maka dalam filsafat abad ke-17 munculah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung terus menerus dengan penuh semangat, seperti rasionalisme, empirisme ataupun yang lainnya. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri pada pengalaman manusia dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut.
Menurut Poespoprodjo dalam Logika Scientifika, kewajiban mencari kebenaran adalah tuntutan intrinsik manusia untuk merealisasikan manusia menurut tuntutan keluhuran keinsaniannya. Manusia dikaruniai akal budi yang membedakannya dari makhluk hidup yang lain. Dengan akal budi ini manusia berpikir. Pada dasarnya berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri merupakan obor bagi peradaban manusia di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.
Setelah era kaum rasionalisme yang pelopori oleh Rene Descartes, muncullah sebuah aliran empirisme. Empirisme itu sendiri pada abad ke-19 dan 20 mereka lebih mengikuti jejak Francis Bacon yang memberi tekanan kepada empirik atau pengalaman sebagai sumber pengenalan. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa rasionalisme sama sekali ditolak. Dapat dikatakan, bahwa rasionalisme digunakan dalam rangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme.
Dalam sejarah perkembangannya empirisme menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Dalam makalah ini akan dibahas tentang seluk beluk positivisme dan penilaian atas implikasinya. Positivisme berkaitan langsung dengan perkembangan pola fikir manusia dan ilmu pengetahuan yang lebih kita kenal dengan istilah epistemologi positivisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah ini dapat
ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian positivisme?
2. Siapa saja tokoh aliran positivisme?
3. Seperti apa perkembangan positivisme?
4. Bagaimana konsep positivisme?
C. Tujuan Masalah
Setiap hal yang dilaksanakan pasti mempunyai tujuan, adapun tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian/definisi positivisme dalam filsafat
2. Untuk mengetahui tokoh aliran positivisme
3. Untuk mengetahui perkembangan positivism
4. Untuk mengenal konsep positivisme
Positivisme berasal dari kata positif. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. [1]secara istilah, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif positif yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utama Auguste Comte adalah Cours de philosophic positive, yaitu kursus tentang filsafat positif (1830-1842) yang dirbitkan dalam enam jilid. Selain itu dia juga mempunyai sebuah karya yaitu Discour L’esprit Positive (1844) yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif.
Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itulah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “Hakekat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman, hanya saja berbeda dengan empirisme inggris yang menerima pengalamam batiniah, dan subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka.
B. Tokoh Aliran Positivme
1.Augusto Comte
Bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte[2], lahir di Montepellier, perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama katolik yang berdarah bangsawan. Meski demikian, Auguste Comte tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di paris dan lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung napoleon dipecat.
Auguste Comte memulai karir profesionalnya degan memberi les dalam bidang matematika. Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial.
Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul course of positive Philosophy, comte bertemu dengan clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari pada comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan komte pertama kalinya, comte langsung mengetahui bahwa peremuan itu bukan sekedar perempuan. Seyangnya clothilde de Vaux tidak terlalu meluap-luap seperti comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya, clothilde de Vaux menerima menjalin hubungan intim suami isteri. Wanita itu terdesak oleh keprihatinan akan kesehatan mental comte. Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama. clothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sesudah bertemu dengan comte, dia meninggal. Kehidupan comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya” itu.
Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”, melainkan I’humanite “suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”. (juhaya S. Pradja, 2000 : 91).
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan altruisme ini, comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk”. Dalam hal ini comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa agama masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan.[3]
Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebut diatas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi peroranga. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisis dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang positivis.[4]
2. John Stuart Mill
John Stuart Mill memberikan landasan psikoogis terhadap filsafat positivisme. Karena psikollogi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.
C.Perkembangan posotivisme
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positif.[5]
1) Zaman Teologis
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk insani biasa. Zaman teologis dapat dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu :
a. Animisme : Tahap animesme merupakan tahap paling primitif, karena benda-benda dianggap mempunyai jiwa.
b. Politisme : Tahap politisme merupakan perkembangan dari tahap pertama. Pada hari ini, menusia percaya pada dewa yang masing-masing menguasai suatu lapangan tertentu ; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya
c. Monoteisme : tahap monoteisme ini lebih tinggi dari pada dua tahap sebelumnya, karena pada tahap ini, menusia hanya memandang satu tuhan sebagai penguasa.
2) Zaman Metafisis
Pada zaman ini, kuasa-kuasa adikodrati dengan konsep dan prinsip yang abstrak, seperti “kodrat” dan “penyadap”. Metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
3) Zaman Positif
Zaman ini dianggap comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Hukum tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai anak manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja, ia masuk zaman metafisis dan pada masa dewasa, ia memasuki zaman positif. Demikian pula, ilmu pengetahuan berkembang mengikuti tiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman positif.
1. Apa pengertian positivisme?
2. Siapa saja tokoh aliran positivisme?
3. Seperti apa perkembangan positivisme?
4. Bagaimana konsep positivisme?
C. Tujuan Masalah
Setiap hal yang dilaksanakan pasti mempunyai tujuan, adapun tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian/definisi positivisme dalam filsafat
2. Untuk mengetahui tokoh aliran positivisme
3. Untuk mengetahui perkembangan positivism
4. Untuk mengenal konsep positivisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
PositivismePEMBAHASAN
Positivisme berasal dari kata positif. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. [1]secara istilah, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif positif yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utama Auguste Comte adalah Cours de philosophic positive, yaitu kursus tentang filsafat positif (1830-1842) yang dirbitkan dalam enam jilid. Selain itu dia juga mempunyai sebuah karya yaitu Discour L’esprit Positive (1844) yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif.
Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itulah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “Hakekat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman, hanya saja berbeda dengan empirisme inggris yang menerima pengalamam batiniah, dan subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka.
B. Tokoh Aliran Positivme
1.Augusto Comte
Bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte[2], lahir di Montepellier, perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama katolik yang berdarah bangsawan. Meski demikian, Auguste Comte tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di paris dan lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung napoleon dipecat.
Auguste Comte memulai karir profesionalnya degan memberi les dalam bidang matematika. Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial.
Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul course of positive Philosophy, comte bertemu dengan clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari pada comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan komte pertama kalinya, comte langsung mengetahui bahwa peremuan itu bukan sekedar perempuan. Seyangnya clothilde de Vaux tidak terlalu meluap-luap seperti comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya, clothilde de Vaux menerima menjalin hubungan intim suami isteri. Wanita itu terdesak oleh keprihatinan akan kesehatan mental comte. Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama. clothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sesudah bertemu dengan comte, dia meninggal. Kehidupan comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya” itu.
Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”, melainkan I’humanite “suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”. (juhaya S. Pradja, 2000 : 91).
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan altruisme ini, comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk”. Dalam hal ini comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa agama masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan.[3]
Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebut diatas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi peroranga. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisis dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang positivis.[4]
2. John Stuart Mill
John Stuart Mill memberikan landasan psikoogis terhadap filsafat positivisme. Karena psikollogi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.
C.Perkembangan posotivisme
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positif.[5]
1) Zaman Teologis
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk insani biasa. Zaman teologis dapat dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu :
a. Animisme : Tahap animesme merupakan tahap paling primitif, karena benda-benda dianggap mempunyai jiwa.
b. Politisme : Tahap politisme merupakan perkembangan dari tahap pertama. Pada hari ini, menusia percaya pada dewa yang masing-masing menguasai suatu lapangan tertentu ; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya
c. Monoteisme : tahap monoteisme ini lebih tinggi dari pada dua tahap sebelumnya, karena pada tahap ini, menusia hanya memandang satu tuhan sebagai penguasa.
2) Zaman Metafisis
Pada zaman ini, kuasa-kuasa adikodrati dengan konsep dan prinsip yang abstrak, seperti “kodrat” dan “penyadap”. Metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
3) Zaman Positif
Zaman ini dianggap comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Hukum tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai anak manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja, ia masuk zaman metafisis dan pada masa dewasa, ia memasuki zaman positif. Demikian pula, ilmu pengetahuan berkembang mengikuti tiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman positif.
D. Konsep Positivisme
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta.
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup.
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian.
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
E. Ciri-ciri Positivisme
1. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi)
2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata
4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati
5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work. [6]
F. Kelebihan Positivisme
Diantara kelebihan positivisme adalah:
1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya[7]
G.Kelemahan Positivisme
Diantara kelemahan positivisme adalah:
1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivisme berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivisme semua hal itu dinafikan
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris
sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indra padahal perlu di ketahui bahwa pancaindra manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Berdasarkan penjelasan dalam pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
2. Tokoh aliran filsafat positivisme diantaranya adalah; Auguste Comte dan John Stuart Mill. Auguste Comte adalah orang yang paling terkenal dalam aliran ini.
3. Perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positif.
4. Ciri-ciri positivisme adalah; Objektif, Fenomenalisme, Nominalisme, Reduksionisme, Naturalisme, Mekanisme.
5. Terdapat kelebihan dan kelemahan positivisme.
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saibani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010)
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yokyakarta: Penerbit Kanisius, 1999)
http//id.positivisme_files
http//id.logical-posivitisme-files
Waris, Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009)
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indra padahal perlu di ketahui bahwa pancaindra manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULANPENUTUP
Berdasarkan penjelasan dalam pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
2. Tokoh aliran filsafat positivisme diantaranya adalah; Auguste Comte dan John Stuart Mill. Auguste Comte adalah orang yang paling terkenal dalam aliran ini.
3. Perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positif.
4. Ciri-ciri positivisme adalah; Objektif, Fenomenalisme, Nominalisme, Reduksionisme, Naturalisme, Mekanisme.
5. Terdapat kelebihan dan kelemahan positivisme.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah :
Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987)Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saibani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010)
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yokyakarta: Penerbit Kanisius, 1999)
http//id.positivisme_files
http//id.logical-posivitisme-files
Waris, Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009)
[1] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saibani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 116
[2] Yunia nur ayni, Bapak Sosiologi Auguste Comte
[3] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saibani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 317
[4] Waris, Filsafat ..,55
[5]Yunia nur ayni, Bapak Sosiologi Auguste Comte://2011/01/21
[6]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yokyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), 110
Harun hadiwijono,Sari sejarah filsafat barat 2 (cet IX Yogjakarta penerbit Kanisius,1999) 110.