BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muhammadiyah adalah organisasi dan gerakan orang-orang
yang mencintai dan ingin mengikuti jejak dan ajaran Muhammad shollallohu
‘alaihi wasallam, Nabi sekaligus Rasul penutup.Muhammadiyah adalah gerakan Islam
dan dakwah amar makruf nahi mungkar, yang ingin mengamalkan ajaran Islam guna
mewujudkan masyarakat Islam yang sebebanrbenarnya.Kini, Muhammadiyah usianya
sudah mencapai satu abad. Amal usahanya cukup banyak. Perannya sudah banyak
dirasakan oleh umat dan bangsa.Kontribusinya pada umat dan bangsa cukup banyak.
Mulai dari pemikirannya (tentang pembaharuan), pilihannya pada sumber asli Al
Qur’an dan As Sunnah sampai kepada model-model pengamalan Islam dalam bidang
tabligh, pendidikan, kesehatan, sosial dan lain-lain, telah banyak dirasakan
bagi masyarakat dan Negara. Bukan hanya mereka yang beragama Islam saja, tetapi
juga bagi masyarakat umum yang agamanya bukan Islam. Sekolah, perguruan tinggi,
rumah sakit dan panti-panti social telah banyak melayani dan menyantuni
masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan kami bahas pada makalah ini adalah
tentang:
1.
Deskripsi
tentang Muhammadiyah.
2.
Visi
dan misi gerakan Muhammadiyah.
3.
Bagaimana
latar belakang berdirinya Muhammadiyah?
4.
Bagaimana
perkembangan Muhammadiyah ?
5.
Pendiri
Muhammadiyah dan penerusnya.
6. Bidang-bidang
yang diglobalisasikan Muhammadiyah?
7.
Bagaimana
peran gerakan Muhammadiyah di kancah nasional dan internasional?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Deskripsi Singkat Tentang Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan
oleh Muhammad Darwis yang dikenal dengan K.H.
Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 yang bertepatan pada 8 Dzulhijjah 1330 H.[1]
Organisasi ini didirikan oleh beliau dalam rangka untuk memurnikan ajaran Islam
yang banyak dipengaruhi hal-hal mistik dan pemikiran liberal penjajah kolonial dengan
kembali pada al Qur’an dan Sunnah.
Dalam Temuan Adaby Darban, ahli sejarah dari
UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” awalnya diusulkan oleh kerabat dan
sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang
Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu
Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat
istikharah.[2]
Sesuai namanya yang merupakan nisbah dari Muhammad (pengikut
Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam). Muhammadiyah
adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berasas Islam dan
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan Muhammadiyah bermaksud untuk
bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak
perjuangan nabi Muhammad, dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
semata-mata demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai
idealita dan kemuliaan hidup sebagai realita.
Sementara itu, menurut
H. Djarnawi Hadikusuma penisbahan Muhammadiyah pada Nabi Muhammad mengandung
pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan
bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran
Nabi Muhammad, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama
Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad,
agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam.
Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi
kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”[3]
Gerakan Muhammadiyah disebut juga gerakan
tajdid (pembaharu), karena tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh
penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah yang bercirikan
semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan
terdidik. Tentunya dengan menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang
bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem
kehidupan manusia dalam segala aspeknya
Maka dalam pembentukannya, organisasi ini banyak
merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, di
antaranya surat Ali
Imranayat 104 yang berbunyi:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.[4]
Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah,
mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara
teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban
organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat
gerakan.
2.
Visi Dan Misi Muhammadiyah
Sebagai sebuah gerakan Islam yang
bertujuan besar nan mulia, Muhammadiyah tentunya telah dibangun dengan visi dan
misi gerakan yang mesti difahami dan tidak keluar dari keduanya, sekaligus
menjadi ciri khas dan pembeda dengan organisasi lainnya.
1.
Visi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang
berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya
senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi
munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin
menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2.
Misi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar
ma’ruf nahi munkar memiliki misi :
1.
Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran
Allah ta’ala yang dibawa oleh para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi
Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam.
2.
Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan
jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kehidupan.
3.
Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an
sebagai kitab Allah terakhir dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
4.
Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi,
keluarga dan masyarakat.
3.
Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Keinginan dari KH.
Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat
perjuangnan dan da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf nahyi munkar yang
bersumber pada Al-Qur’an, surat Al-Imron: 104 dan surat Al-ma’un sebagai sumber
dari gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
Tidak murninya ajaran Islam
yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia, yaitu munculnya
praktek-praktek yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, terutama
yang berhubuaan dengan prinsip akidah Islam yag menolak segala bentuk
kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat adalah sebagai bentuk adaptasi tidak
tuntas antara tradisi Islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan
faham animisme dan dinamisme. Sehingga pemurnian ajaran menjadi pilihan mutlak
bagi umat Islam Indonesia.
Keterbelakangan umat Islam
Indonesia dalam segi kehidupan menjadi sumber keprihatinan untuk mencarikan
solusi agar dapat keluar menjadi keterbelakangan. Keterbelakangan umat Islam
dalam dunia pendidikan menjadi sumber utama keterbelakangan dalam peradaban.
Pesantren tidak bisa selamanya dianggap menjadi sumber lahirnya generasi baru
muda Islam yang berpikir moderen. Kesejarteraan umat Islam akan tetap berada
dibawah garis kemiskinan jika kebodohan masih melengkupi umat Islam Indonesia.[5]
Maraknya kristenisasi
di Indonesia sebegai efek domino dari imperalisme Eropa ke dunia timur yang
mayoritas beragama Islam. Proyek kristenisasi satu paket dengan proyek
imperialalisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain keinginan untuk memperluas
daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil revolusi industeri yang
melada Eropa. Imperialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilyawan gereja dan
para penginjil untuk menyampaikan ’ajaran jesus’ untuk menyapa umat manusia
diseluruh dunia untuk ’mengikuti’ ajaran jesus. Tetapi juga membawa angin
modernisasi yang sedang melanda Eropa. Modernisasi yang terhembus melalui model
pendidikan barat (Belanda) di Indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan
moernisasi Eropa, seperti sekularisme, individualisme, liberalisme dan
rasionalisme. Jika penetrasi itu tidak dihentikan maka akan terlahir generasi
baru Islam yang rasional tetapi liberal dan sekuler.
Adapun faktor-faktor
yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah ada dua, yaitu faktor internal
dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktir internal adalah faktor yang berasal dari dalam
diri umat Islam sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan
sistem pendidikan Islam.
Sikap beragama umat Islam saat itu pada umumnya belum
dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Sirik, taklid, dan bid’ah
masih menyelubungai kehidupan umat Islam, terutama dalam lingkungan kraton,
dimana kebudayaan hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama yang demikian
bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu, tetapi merupakan
warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses Islamisasi beberapa abad
sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi oleh para ulama di Indonesia memegang
peranan yang sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau
daerah-daerah hampir diseluruh nusantara ini.
2. Faktor eksernal
Faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran
Muhammadiah adalah faktor yang bersifat eksternal yang disebabkan oleh politik
penjajahan kolonial Belanda. Faktor tersebut antara lain tanpak dalam system
pendidikan kolonial serta usaha kearah westrnisasi dan kristenisasi. Pendidikan
kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumi putra, ataupun
yang diserahkan kepada misi and zending Kristen dengan bantuan financial dari
pemerintah Belanda. Pendidikan demikian pada awal abad ke 20 telah meyebar
dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari
lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan
colonial terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan Islam
tradisional dan pendideikan colonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan,
bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.[6]
Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama
dalam sekolah-sekolah colonial, dan dalan artian ini orang menilai pendidikan
colonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai peyebar
kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah colonial
tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga
berkebudayaan barat. Hal ini merupakan salah satu sisi politik etis yang
disebut politik asisiasi yang pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi
yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia kedalam orbit kebudayaan barat.
Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja
barat dan menyudutkan tradisi nenekmoyang serta kurang menghargai Islam, agama
yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan
ilmu-ilmu dan kebudayaan barat yang sekuler anpa mengimbanginya dengan
pendidiakan agama konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah
tankanya yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam diawal abad ke
20.
Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam bidang sosial,
terutama pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh Kyai Haji Ahmad
Dahlan pada tahun 1911 di Yogyakarta diselenggarakan dengan fasilitas
yang amat sederhana.[7] Sekolah
kecil ini akhirnya menjadi titik awal munculnya organisasi secara formal pada
tahun 1912 di bawah pimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Dan faktor utama yang
mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap
Al Qur’an dalam menelaah, membahas, meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Setelah
memahami seruan Alloh pada surat Ali Imron: 104, K.H. Ahmad Dahlan tergerak
hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang
teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah Islam
amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat.
Pengaruh Muhammadiyah
pada era kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), terbatas di
karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah
berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah
ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah
telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah
bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun
1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
Setelah resmi menjadi organisasi, Muhammadiyah terus berangsur-angsur
mengembangkan sayapnya melalui berbagai aktifitas sosial. Mulai dari
pendidikan, pelayanan masyarakat, kesehatan, dan lain-lain sehingga pada
akhirnya aktifitas dalam bidang sosial ini dapat menjadikan Muhammadiyah
sebagai gerakan soaial keagamaan yang memperoleh sukses besar.[8]
Ditinjau dari aspek tertentu, berdirinya Muhammadiyah merupakan suatu
kemunculan gerakan iman, ilmu, dan amal. Sebagai gerakan iman, Muhammadiyah
dapat dilihat kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama kepada
ajaran Tauhid murni tanpa dicampuri oleh unsur-unsur syirik,
takhayul, dan khurafat.
Dalam versi lain gerakan ini sering disebut “gerakan purifakasi”. Sedangkan
indikasinya sebagai gerakan ilmu dapat dilihat pada komitmennya terhadap
persoalan pendidikan, di samping keberaniannya mendobrak tradisi lama untuk
membuka kembali pintu ijtihad yang telah dinyatakan tertutup
sejak Abad Pertengahan. Semenjak itu , sebagai gerakan Amal, Muhammadiyah
berhasil mengubah pola amal individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan
masyarakat,[9] terutama
dapat dilihat dalam usaha menyantuni kaum dhu’afa, pelayanan
kesehatan, dan lain-lain.
Keberhasilan Muhammadiyah dalam gerakan sosial itu tidak dapat dilepaskan
dari hal-hal yang menjadi dasar dan pedoman gerakan itu sendiri.
Sebagai organisasi religius, Muhammadiyah menjadikan agama sebagai azas
gerakan untuk menciptakan tatanan sosial yang baru dengan warna keagamaan.
Dalam konteks sosiologis, harapan Muhammadiyah itu dapat saja dibenarkan, oleh
karena agama dalam perspektif sosial dapat dilestarikan oleh masyarakat serta
memeliharanya di hadapan manusia,karena ia memberi nilai bagi manusia.[10] Dengan
demikian, gerakan sosial Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan
paham keagamaannya secara intensif.
Dalam bab ini akan diusahakan untuk menjelaskan pandangan filosofis dan
dasar-dasar gerakan sosialnya serta amal usaha yang telah dilaksanakan sebagai
konsekuensi implikatif dari paham keagamaannya.
Lembaga-lembaga sosial yang terbentuk berdasarkan tatanan nilai tertentu di
dalam masyarakat merupakan bagian-bagian yang saling memiliki ketergantungan
satu sama lain. Dengan demikian, adanya perubahan pada salah satu bagian (
lembaga) , akan mempunyai dampak kepada yang lainnya.[11]
4.
Perkembangan Muhammadiyah
a) Muhammadiyah
Pra Kemerdekaan (1912 – 1942)[12]
Sejak didirikan K.H. Ahmad Dahlan tahun 1912, Muhammadiyah telah melewati
berbagai peristiwa sejarah, seperti pemilu tahun 1955 yang banyak diwarnai
partai-partai Islam. Keberadaan partai Masumi, didukung oleh
organisasi-organisai Islam termasuk Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Muhammadiyah
seperti Ki Bagus Hadi Kusuma, Buya HAMKA, K.H. Faqih Usman, Prof. K.H. Kahar
Muzakkir, K.H. Hasan Basri aktif falam Masyumi. Peristiwa tersebut salah satu
potret perjalanan Muhammadiyah pada masa awal setelah kemerdekaan.
Berdirinya Muhammadiyah diawalai dengan pendirian sekolah oleh K.H. Ahmad
Dahlan yang mengajarkan agama Islam dan pengetahuan biasa. Lalu ada organisasi
pendukungnya yang dibantu oleh para pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta.
Nama organisasi yang dipilih adalah “Muhammadiyah”.
Untuk menyusun AAnggaran Dasar Muhammadiyah banyak mendapat bantuan daro R.
Sosrosugondo guru Bahasa MelayuKweekschool Budi Utomo, rumusannya
dibuat dalam bahasa Belanda dan Melayu. Kesepakatan bulat pendirian Muhammadiyah
tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H). Proses permintaan pengakuan
kepada pemerintah sebagai badan hukum diusahakan oleh Budi Utomo cabang
Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Desember 1912 diajukan surat permohonan kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda. Surat tersebut berisi agar persyarikatan mempunyai
izin resmi dan diakui sebagai badan hukum dengan wilayah se-Jawa – Madura.
Surat tersebut juga dilampiri rancangan statuen atau anggaran
dasarnya. Namun, pemerintah Hindia Belanda sangat berhati-hati menanggapinya.
Oleh karena itu, Gubernur Jenderal lalu mengirim surat permintaan pertimbangan
kepada empat pejabat: Direktur Van Justite, Adviseur Voor Indlandsche Zaken,
Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Surat untuk Sri Sultan dari Residen Yogkarta diteruskan kepada Rijksbestuurder
(Pepatih Dalem Sri Sultan). Oleh karena surat tersebut mengenai urusan
agama maka diteruskan kepadaHoofd Penghulu, waktu itu Penghulu
dijabat H. Muhammad Khalil Kamaludiningrat.
Residen Yogyakarta Liefrinck pada 21 April 1913 menyurati Gubernur Jenderal
bahwa Ia menyetujui permohonan Muhammadiyah. Namun dengan catatan kata “Jawa
dan Madura” diganti dengan “Residentie Yogyakarta”, daerah
kelahirannya.
Gubernur Jenderal Idenburg meminta HoodbestuurMuhammadiyah
untuk mengubah kata-kata “Jawa dan Madura” menjadi Residentie Yogyakarta.
Tertera dalam statuen artikel 2, 4 dan 7.
Hal ini dipenuhi setelah rapat anggota tanggal 15 Juni 1914. Demikianlah
proses surat menyurat selama 20 bulan dengan pemerintah Hindia Belanda,
akhirnya Muhammadiyah diakui sebagai badan hukum resmi. Tertuang dalam Gouvernement
Besluittanggal 22 Agustus 1914 No. 81 beserta lampiran statuennya.
Sejak resmi diakui itu, 4 pemimpin Muhammadiyah yang tampil menjadi
pemimpin selama periode 1912 – 19142, sebagai berikut:
1. Periode
K.H. Ahmad Dahlan (1912 – 1923)
Merupakan masa perintisan, pembentukan jiwa dan amal
usaha organisasi Muhammadiyah yang mendapat kedudukan terhormat pemerintah
karena pergerakan Islam yang modern.
2. Periode
K.H. Ibrahim (1923 – 1932)
K.H. Ibrahim adalah adik Nyai Walidah/Nyai Ahmad
Dahlan. Beliau adalah adik ipar K.H. Ahmad Dahlan, merupakan ulama pondok
pesantren tidak pernah mengenyam pendidikan model barat. Pada masa ini Muhammadiyah
makin berkembang dan meluas hingga luar Jawa. Lalu terbentuk Majelis Tarjih,
mengadakan penelitian pengembangan hukum-hukum agama. Para pemuda mendapat
bentuk organisasi yang nyata. Beridiri Nasyiyatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
3. Periode
K.H. Hisyam (1932 – 1936)
Bidang pendidikan mendapat perhatian yang besar.
Diadakan juga penertiban dan pemantaban administrasi organisasi, jadi Muhammadiyah
lebih kuat dan lincah.
4. Periode
K.H. Mas Mansur (1936 – 1942)
Pengukuhan kembali hidup beragama dan penegasan paham
agama dalam Muhammadiyah. Wujudnya pengaktifan Majelis Tarjih yang mampu
merumuskan “Masalah Lima” mengenai dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah.
Dan disusun pula “Langkah Dua Belas”:
a)
Memperdalam masuknya
Iman.
b)
Memperbuahkan paham
agama.
c)
Memperbuahkan budi
pekerti.
d)
Menuntun amal intiqad.
e)
Menguatkan persatuan.
f)
Menegakkan keadilan.
g)
Melakukan
kebijaksanaan.
h)
Menguatkan Majelis
Tanwir.
i)
Mengadakan konferensi
bagian.
j)
Mempermusyawaratkan
putusan.
k)
Mengawasi gerakan
jalan.
l)
Mempersambungkan
gerakan luar.
b)
Muhammadiyah Masa
Pergolakan (1942 – 1956)
Pendudukan Jepang atas wilayah Indonesia (1942) menandai babak baru
perkembangan Muhammadiyah hingga pelaksanaan Muktamar tahun 1956 di Palembang.
Jika sebelumnya di masa penjajahan belanda Muhammadiyah berkembang pesat, maka
pada masa ini Muhammadiyah mengalami stagnasi perkembangan. Pendudukan Jepang
menjadikan penderitaan rakyat makin luar biasa dan tokoh-tokoh Islam
dimobilisasi untuk menghadapi perang pasifik sehingga berdampak pada lumpuhnya
kepemimpinan Muhammadiyah. Setelah itu, para tokoh Muhammadiyah pun terlibat
revolusi guna memperjuangkan kemerdekaan. Kemudian pasca penyerahan kedaulatan
kepada RI, mereka lebih disibukkan dengan kegiatan politik seiring kedudukan Muhammadiyah
menjadi anggota istimewa partai Masyumi, sehingga tak sempat memikirkan organisasi.[13]
Tahun 1944 Muhammadiyah mengadakan Muktamar darurat di Yogyakarta. Di
masa pendudukan Jepang yang Fasis, Ki Bagus Hadikusumo selain
memimpin Muhammadiyah, beliau juga getol memikirkan nasib bangsa, beliau sangat
gigih menentang instruksi “Sei Kerei” dari Jepang. Sei Kerei adalah
membungkukkan badan ke arah timur (Negeri Jepang) menghormati Dewa Matahari,
sebagai “Dewa penitis para Kaisar Jepang”. Upacara ini wajib dilakukan para
siswa setiap pagi. Maka selaku Ketua PP Muhammadiyah, terpanggil menyelamatkan
generasi Muslim Indonesia dari syirik itu. Melalui debat yang seru dengan
Pemerintah Jepang, akhirnya pemerintah Jepang memberikan dispensasi.
Khusus bagi semua sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara Sei Kerei.
Ki Bagus Hadikusumo juga tercatat sebagai anggota Chuo Sangiin (Dewan Penasehat
Pusat) buatan Jepang.
1. Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942 – 1953)
Di awal kemerdekaan NKRI, Muhammadiyah ikut aktif dalam perjuangan. Terjun
dalam kancah revolusi di berbagai laskar kerakyatan hingga tahun 1953.
Kegiatan-kegiatan keorganisasiannya antara lain:
a.
Tahun 1946 mengadakan
silaturrahim cabang-cabang se-Jawa.
b.
Tahun 1950 mengadakah
sidang Tanwir perwakilan.
c.
Tahun 1951 sidang
Tanwir di Yogyakarta.
d.
Tahun 1952 mengadakah
sidang Tanwir di Bandung
e.
Tahun 1953 mengadakah
sidang Tanwir di Solo dengan keputusan Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai
yang berdasarkan Islam.
2. Periode A. R. Sutan Mansyur (1952 – 1959)
A. R. Sutan Mansyur dipilih sebagai Ketua Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah
ke-32 di Purwokerto meskipun tidak termasuk Sembilan Terpliih. 9 terpilih itu
adalah H.M.Yunus Anies, H.M. Farid Ma’ruf, Hamka, K.H. Ahmad Badawi, K.H. Fakih
Usman, Kasman Singodimejo, DR. Syamsudin, A. Kahar Muzakir dan Muljadi
Djojomartono.
Masa
ini “ruh Tauhid” ditanamkan kembali. Disusun langkah kurun waktu tertentu, yang
pertama tahun 1956 – 1959 yang dikenal dengan nama Khittah Palembang. Khittah yang
dihasilkan Muktamar Muhammadiyah ke -33 setelah pemilu 1955 ini kemudian
menjadi pedoman gerakan Muhammadiyah dalam berbagai dimensinya. Beberapa point
khittah tersebut antara lain: pembinaan tauhid, ibadah, akhlak dan ilmu
pengetahuan, tanggung jawab sosial anggota serta pimpinan Muhammadiyah dalam
melaksanakan keteladanan guna mewujudkan pembentukan masyarakat Islam,
konsolidasi dan penataan sistem administrasi, peningkatan kwalitas amal usaha,
baik di bidang pendidikan maupun sosial, peningkatan kualitas anggota serta
kader, mempererat persaudaraan; membantu kehidupan sosial dan ekonomi warga Muhammadiyah
pada Umumnya.[14]
Rentang waktu antara 1956-2004 muncul para pemimpin di antaranya:
1. Periode H.M. Yunus Anies (1959 – 1962)
Negara Indonesia sedang dalam kegoncangan politik yang
secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi gerak perjuangan Muhammadiyah. Tetapi
Muhammadiyah mampu merumuskan Kepribadian Muhammadiyah yang menempatkan kembali
kedudukan Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
2. Periode K.H. Ahmad Badawi (1962 – 1968)
K.H. Ahmad Badawi dipilih dalam Muktamar ke-35 di
Jakarta tahun 1962. Muhammadiyah berjuang keras untuk mempertahankan
eksistensinya agar tidak dibubarkan. Karena waktu itu politik dikuasai oleh PKI
dan Bung Karno tahun 1965. Pada saat itu seluruh barisan Orde Baru termasuk Muhammadiyah
ikut tampil memberantas Komunis.
3. Periode K.H. Fakih Usman dan K.H. A.R. Fakhrudin (1968 – 1971)
K.H. Fakih Usman dipilih Ketua Muhammadiyah pada
Muktamar ke-37 di Yogyakarta. Tidak lama kemudian meninggal, lalu diganti K.H.
A.R. Fakhrudin (nama lengkapnya K.H. Abdul Razak Fakhrudin). Keduanya adalah
tokoh Muhammadiyah yang kharismatik.
Usaha me-Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah. Usaha
untuk mengadakan pembaruan (tajdid) dalam bidang ideologinya, dengan merumuskan
“Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah”. Di bidang organisasi dan
usaha perjuangan menyusun “Khittah Perjuangan dan Bidang-bidang lainnya”.
4. Periode K.H. A.R. Fakhrudin (1971 – 1990)
Beliau dipilih sebagai Ketua Muhammadiyah ditetapkan
dalam tanwir Ponorogo tahun 1969. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung
Pandang tahun 1971, muktamar ke-40 tahun 1978 di Surabaya dan ke-41 tahun 1985
di Surakarta.
Terjadi krisis yaitu keharusan untuk menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Muhammadiyah mengatasi imbauan dari
pemerintah tentang asas tunggal pancasila dengan mengadakan perubahan AD Muhammadiyah
dengan menetapkan Pancasila sebagai asas organisasi.
Pada masa itu juga terjadi peristiwa penting adalah
kunjungan Paus Yohanes Paulus II. Sebagai reaksi atas kunjungan itu beliau
mengeluarkan buku ”Mangayubagya Sugeng Rawuh lan Sugeng Kondur”. Isinya adalah
bahwa Indonesia adalah negara yang penduduknya sudah beragama Islam jadi jangan
rakyat menjadi obyek Kristenisasi.
5. Periode K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. (1990 – 1995)
Didominasi oleh kaum intelektual produk Muhammadiyah.
K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. alumnus Universitas Al Azhar dan pakar dalam
bidang hukum Islam. Pada muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta menjadi
ketua PP Muhammadiyah.
Pada periode ini telah dirumuskan program jangka
panjang 25 tahun, yang meliputi 3 hal: bidang konsolidasi gerakan, pengkajian
dan pengembangan serta kemasyarakatan.
6. Periode Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A.(1995 – 2000)
Tokoh reformasi Indonesia ini, lahir di Surakarta, 26
April 1944. Di Muhammadiyah sejak muktamar tahun 1985 di Surakarta yang
menjabat sebagai ketua majelis tabligh Muhammadiyah. Dipilih menjadi wakil
ketua PP Muhammadiyah pad Muktamar ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta. Tahun 1994
dipilih menjadi Ketua hingga akhir periode 1990 – 1995. 1995 pada Muktamar
ke-43 di Banda Aceh kembali menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1995 – 2000.
Pada periode Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A. telah
dirumuskan program Muhammadiyah tahun 1995 – 2000, Rumusannya mengacu kepada
masalah global, dunia Islam, nasional, Muhammadiyah, dan pengembangan
pemikiran. Adapun pengembangan pemikiran terdiri atas pemikiran keagamaan, ilmu
dan teknologi, basis ekonomi, gerakan social kemasyarakatan, dan PTM sebagai
basis gerakan keilmuan atau pemikiran.
7. Periode Prof. Dr. H.A. Syafi’i Maarif, M.A.
Hasil Muktamar ke-44 di Jakarta tahun 2000 Prof. Dr.
H.A. Syafi’i Maarif, M.A. terplih menjadi ketua PP Muhammadiyah. Beliau seorang
guru besar Ilmu Sejarah di IKIP Yogyakarta. Lahir di Sumpurkudus Sumatera Barat
tanggal 31 Mei 1935.
Program kerja masa periode 2000 – 2005 secara garis
besar adalah melanjutkan program Muhammadiyah sebelumnya, secara ringkas
dirumuskan:
1.
Visi, Misi dan Usaha Muhammadiyah.
2.
Program Muhammadiyah
yang meliputi Program Konsolidasi Gerakan dan Program Per Bidang.
c)
Muhammadiyah Paska
Muktamar ke-45 di Malang 2005
Prof. Dr. Din Syamsudin terpilin sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 2005
– 2010 pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang tahun 2005 yang dilaksanakan
3 – 8 Juli 2005.
Dalam muktamar ini telah ditanfidzkan putusan-putusan, sebagai berikut:
1. Menerima laporan PP Muhammadiyah masa jabatan 2000 – 2005.
2. Pernyartaan pikiran Muhammadiyah jelang Satu Abad.
3. Program persyarikatan periode 2005 – 2010.
4. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
5. Rekomendasi Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Adapun program persyarikatan Muhammadiyah periode ini, sebagai berikut:
a.
Gambaran Umum Program
Merupakan penjabaran
program jangka panjang untuk 5 tahun pertama masa berlakunya program jangka
panjang. Sebagai program kerja 5 tahunan tahap I, program Nasional Muhammadiyah
2005 – 2010 menitikberatkan pada 3 hal utama: penguatan organisasi, pemantapan
perencanaan dan pengembangan konsistensi serta kesungguhan jajaran
persyarikatan untuk merealisasikan program kerja.
b.
Tujuan Program
Terbangunnya sistem
organisasi yang dinamis, efektif dan efisien serta produktif sehingga dapat
menguatkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan
bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia.
c.
Prioritas
Urutan prioritas dirumuskan sebagai berikut:
1. Penguatan organisasi di semua hal.
2. Peningkatan kualitas lembaga dan amal usaha Muhammadiyah.
3. Pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam.
4. Peningkatan peran serta persyarikatan dalam penguatan masyarakat.
5. Pengembangan kaderisasi.
6. Peningkatan peran Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan negara serta
percaturan global.
7. Program Nasional di Berbagai Bidang
a. Tarjih, Tajdid dan pemikiran Islam.
b. Tabligh dan Kehidupan Islami.
c. Pendidikan, Iptek dan Litbang.
d. Kaderisasi.
e. Kesehatan, kesejahteraan dan pemberdayaan Masyarakat.
f.
Wakaf, ZIS (Zakat,
Infaq dan Shodaqah) dan Pemberdayaan Ekonomi.
5.
Pendiri Muhammadiyah Dan Penerusnya
Sejak 1912 sampai 2010 persyarikatan
Muhammadiyah telah melakukan permusyawaratan pimpinan tingkat pusat/nasional
sebanyak 46 kali. Tahun 1912 sampai dengan 1925 dalam bentuk Rapat Tahunan yang
diselenggarakan setiap tahun (Rapat Tahunan ke 1 -14). Tahun 1926-1941 dengan
nama Kongres Tahunan (Kongres ke 15-30). Tahun 1944 (masa pendudukan Jepang)
permusyawaratan tersebut di diberi nama Muktamar Darurat. Tahun 1946
diselenggarakan Silaturahmi se-Jawa. Tahun 1950 diselenggarakan lagi
permusyawaratan nasional dengan nama Muktamar ke-31. Sampai Muktamar ke-40
(1978) permusyawaratan ini diselenggarakan dalam selang waktu 3 tahunan. Baru
mulai Muktamar ke-41 (1985) sampai terakhir Muktamar 1 Abad (ke-46, tahun 2010)
muktamar diselenggarakan dalam selang waktu 5 tahun.
Berikut daftar ketua yang memimpin Muhammadiyah dari masa ke masa :[15]
NO
|
NAMA
|
MASA JABATAN
|
1
|
K.H.
Ahmad Dahlan
|
1912-1923
|
2
|
K.H.
Ibrahim
|
1923-1932
|
3
|
K.H.
Hisyam
|
1932-1936
|
4
|
K.H.
Mas Mansyur
|
1936-1942
|
5
|
Ki
Bagus Hadikoesoemo
|
1942-1953
|
6
|
Buya
AR Sutan Mansur
|
1953-1959
|
7
|
K.H.
M. Yunus Anis
|
1959-1962
|
8
|
K.H.
Ahmad Badawi
|
1962-1968
|
9
|
K.H.
Faqih Usman
|
1968-1971
|
10
|
K.H.
A.R. Fachruddin
|
1971-1990
|
11
|
K.H.
Ahmad Azhar Basyir, MA.
|
1990-1995
|
12
|
Prof.
Dr. H. Amien Rais
|
1995-1998
|
13
|
Prof.
Dr. H. A. Syafi’I Ma’arif
|
1999-2005
|
14
|
Prof.
Dr. H. Din Syamsuddin
|
2005-2015
|
15
|
Dr.
Haidar Nashir, M.Si
|
2015-sekarang
|
6. Bidang-Bidang
yang Diglobalisasikan Muhammadiyah
Era teknologi informasi dan
komunikasi menjadikan orang berubah menjadi knowledge worker, smart people ,
hal ini untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan yang tumbuh dan berkembang
dengan pesat, radikal dan pervasive . Muhammadiyah sebagai organisasi besar
dengan ratusan amal usaha di bidang kesehatan mengatur sistem kesehatannya,
sehingga memungkinkan amal usaha kesehatan yang berada di bawahnya menjadi maju
dan berkembang dalam networking. Dukungan sistem manajemen, sistem informasi
manajemen maupun klinis yang sudah disediakan oleh Muhammadiyah, memungkinkan amal usaha
kesehatan menjadi terbantu terstruktur dalam menjalankan kegiatannya, sehingga
ada keseragaman diantara amal usaha yang berserak antara Sabang sampai Merauke.
Kesempatan untuk meningkatkan kualitas ataupun monitoring kegiatan seluruh amal
usaha kesehatan menjadi mudah bagi Muhammadiyah.
Menurut John Naisbit dan Patricia
Aburene dalam bukunya Megatrends 2000, maka beberapa kecenderungan (trends)
yang muncul pada abad 21 antara lain sebagai berikut: Pertama, sistem
masyarakat industri akan beralih ke sistem masyarakat informasi, kedua,
sistem perekonomian nasioanl akan beralih ke sistem perekonomian global. Ketiga,
pola dan kerangka program jangka pendek berubah ke pola kerangka program jangka
panjang. Keempat, sistem sentralisasi berubah ke sistem desentralisasi. Kelima,
peran Negara-negara belahan utara akan diambil alih oleh peran Negara-negara
bagian selatan. Keenam, pilihan terbatas akan beralih ke pilihan yang
beragam. Ketujuh, munculnya fenomena kebangkitan etika, spiritualitas,
dan estetika. Kedelapan, munculnya kebangkitan kaum wanita (gerakan
feminisme). Kesembilan, abad 21 adalah abad kejayaan individu, abad
kompetisi dan kreativitas. Kesepuluh, era bioteknologi dan perdamaian
dunia. Isu globalisasi merupakan fenomena modern, ditandai dengan perilaku
interdependence, dan overlapping di banyak sektor seperti, politik, sosial,
ekonomi, militer dan budaya. Hal ini akan memberikan dampak perubahan cepat,
radikal dan pervasive meliputi seluruh dunia baik bangsa besar maupun kecil
yang meniadakan batas sehingga dunia bak sebuah kampung layaknya.
Kecenderungan ini berpengaruh tidak
terbatas pada bidang umum, tapi dalam
bidang lain seperti pendidikan, kesehatan terjadi perubahan yang signifikan.
Dan Muhammadiyah telah memiliki pijakan normatif untuk menyongsong era baru tersebut
sehingga umat ini masih dalam bingkai masyarakat madani, yaitu masyarakat yang
serba unggul atau utama (khaira ummah) dengan nilai-nilai ruhani
(spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi),
nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai
keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai
kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas.
Dalam rangka
menyongsong era tersebut, badan amal usaha Muhammadiyah terus ditumbuh
kembangkan. Maka bidang-bidang yang ada tentunya mau tidak mau dikelolah dengan
sistem modern sesuai dengan tuntutan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai yang
ada dalam Muhammadiyah, dan ini akan membawa dampak positif bagi kemaslahatan
umat. Seperti bidang pendidikan, ekonomi dan sosial, kesehatan dan lain-lain
yang telah berkembang pesat.
Bersumber dari website sang pencerah (www.sangpencerah.id), dengan mengutip
penjelasan sekretaris umum Muhammadiyah, Agung Danarta pada Mei 2015, amal
usaha yang dimiliki Muhammadiyah di antaranya adalah:
Bidang Pendidikan, yang terdiri dari:
- TK/TPQ : 4.623
- SD/MI : 2.604
- SMP/MTs : 1.772
- SMA /SMK/MA : 1.143
- Pondok Pesantren : 67
- Total Perguruan Tinggi : 172.
Bidang Kesehatan yang berjumlah 457, yaitu:
- Rumah sakit
- Rumah bersalin
- BKIA
- Balai Pengobatan
Bidang ekonomi:
1.
1 Bank Syari’ah (saham Muhammadiyah
2,5 %)
2.
26 BPR/BPRS
3.
275 BMT/BTM
4.
1 Induk Koperasi BTM
5.
81 Koperasi Syari’ah
6.
22 Minimart
7.
5 kedai pesisir
8.
Demikian juga pada
wilayah social yang tak terhitung jumlahnya
Bidang Sosial:
1. Panti Asuhan : 318
2. Santunan : 318
3. Asuhan Keluarga : 318
4. Panti Jompo : 54
5. Rehabilitasi cacat : 82
6. SLB : 71
7. Masjid : 6.118
8. Musholla : 5.080,
9. Tanah : 20.945.504
meter2.
Bidang Media
- TV Muhammadiyah (TV Mu)
- Radio Muhammadiyah (Radio Mu)
Muhammadiyah mengelola semua instansi tersebut secara profesial dan modern.
Dari semua data amal usaha Muhammadiyah, jika di taksir secara kasar, maka
total asset Muhammadiyah itu lebih dari Rp 20 Triliun. Besarnya potensi dari Muhammadiyah
itulah yang mendorong Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah (MEK)
menerbitkan E-money Muhammadiyah sebagai uang komunitas untuk
bertransaksi.
Dengan program DUITMU misalkan, peredaran uang Muhammadiyah bisa
berputar di lingkungan Muhammadiyah dan tidak kemana-mana sehingga konsep
uang dari, untuk dan oleh Muhammadiyah bisa terwujud.
7.
Ruang Lingkup Gerakan Muhammadiyah Nasional Dan Internasional
Muhammadiyah melalui kader-kadernya sejak
dulu telah berkiprah di pentas nasional. Kiai Ahmad Dahlan, H. Fakhruddin, Ki
Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, K.H. Faqih Usman, dan para pejuang sebelumnya.
Berbagai posisi penting di pemerintahan pernah diisi oleh kader-kader Muhammadiyah.
Sejak masa perjuangan kemerdekaan bahkan, Jenderal Soedirman misalnya, salah
satu kader Muhammadiyah yang namanya dikenal seantero negeri ini karena
perjuangannya. Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, adalah para pengurus Muhammadiyah
yang berjasa besar di balik perumusan naskah-naskah pembentuk republik ini. Ir.
Soekarno, proklamator sekaligus presiden Republik Indonesia pertama, sudah
sering mengikuti pengajian-pengajian yang diisi oleh K.H. Ahmad Dahlan, sejak
usianya masih belia, 15 tahun. Walau demikian, Soekarno baru resmi masuk
menjadi anggota Muhammadiyah tatkala masa pengasingannya di Benkoelen
(Bengkulu), bahkan ia juga menjadi pengurus Lembaga Pengajaran (cikal bakal
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini). Bahkan Fatmawati istri
Soekarno sempat menimba ilmu di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta.
Dia puteri seorang Hasan Din, Konsul Muhammadiyah Bengkulu saat itu.
Selain jabatan presiden, kader Muhammadiyah
yang turut mengambil peran dalam pentas kenegaraan adalah Amien Rais. Beliau diberikan
amanah sebagai Ketua MPR 1999-2004. Saat beliau menjabat Ketua MPR, salah satu
wakilnya juga merupakan kader terbaik Muhammadiyah, yakni Muhammad Husni
Thamrin, yang pernah menimba ilmu di Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang
merupakan tokoh Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia di era 60-an. [16]
Dan andil nyata Muhammadiyah untuk
negeri tidak diragukan hingga sekarang, terutama sumbangsih pendidikan lewat sekolah,
Perguruan tinggi, dan pesantren Muhammadiyah dalam rangka pencerdasan umat,
kesehatan masyarakat lewat rumah sakit dan PKU, demikian juga pemberdayaan ekonomi
umat, dan lain sebagainya.
Partisipasi
Muhammadiyah dalam Forum Internasional
a. Peran dalam Isu-Isu Perdamaian dan Kesejahteraan[17]
Muhammadiyah mengambil peran aktif dalam kerjasama internasional di
antaranya antar para agamawan untuk isu-isu perdamaian dan kesejahteraan. Sejak
2006, Muhammadiyah berperan aktif dalam penyelenggaraan World Peace Forum
(Pertama, 14-16 Agustus 2006 di Jakarta). Konferensi internasional yang
dihadiri sekitar 300 orang pemimpin dan tokoh dunia ini telah mendiskusikan
tema besar yang menjadi tantangan bersama yaitu “One Humanity, One Destiny and
One Responsibility”. World Peace Forum keempat terselenggara pada 23-25 November
2012 di Bogor. Dalam pertemuan ini yang diikuti oleh 200 peserta dari dalam dan
luar negeri, dengan peserta luar negeri berjumlah 100 orang diantaranya
perwakilan tokoh politik, pemimpin organisasi, akademisi dan aktivis
perdamaian, ini membahas tentang “Consolidating Multicultural Democracy”.
Selain itu, pada tahun 2008 dalam forum Assembly ke-7, Ketua Umum Muhammadiyah,
Prof. Dr. M. Din Syamsudin dipercaya menjadi Presiden sekaligus moderator Asian
Conference of Religions for Peace (ACRP) atau Konferensi Agama untuk Perdamaian
se-Asia. ACRP adalah jaringan Asia dari Konferensi Dunia tentang Agama untuk
Perdamaian (World Confewrence of Religions for Peace - WCRP). Din Syamsuddin
tercatat sebagai orang pertama dari Indonesia/Islam yang menjadi Presiden ACRP
sejak organisasi ini berdiri 32 tahun lalu.
Sebelumnya, pada 2006, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof.
Dr. M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Hasyim Muzadi (saat itu), terpilih sebagai Presiden Konferensi Dunia Agama
untuk Perdamaian (World Conference on Religion for Peace/WCRP). Din dan Hasyim
terpilih dalam Assembly ke-8 yang berlangsung di Kyoto, Jepang 25-29 Agustus
2006. Hasyim Muzadi terpilih sebagai salah seorang dari 9 presiden, sedangkan
Din Syamsuddin sebagai presiden kehormatan (honorary president). WCRP adalah
organisasi lintas agama yang berdiri 36 tahun yang lalu dan berpusat di Markas
PBB New York. WCRP menghimpun tokoh-tokoh berbagai agama dari seluruh dunia dan
berjuang bersama mewujudkan perdamaian dunia dengan pendekatan keagamaan. Pada
pertemuan di Kyoto, hadir 600-an tokoh 20 agama dari 100 negara di dunia. Kedua
tokoh Islam Indonesia itu dipilih atas pertimbangan prakarsa dan peran serta
keduanya dalam mengembangkan perdamaian baik di tingkat nasional maupun internasional.Forum-forum
internasional lainnya yang diikuti secara aktif antara lain adalah East Asia
Religious Leaders Forum (EARLF). Forum ini terdiri dari pimpinan dan tokoh agama
dari Negara-negara Asia Timur (10 negara Aesan, Australia, New Zealand, Korea Selatan,
China, India dan Pakistan).[18]
b.
Kiprah
di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
Pada tanggal 7 Februari 2012, Presiden Sidang Umum PBB mengundang
Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk berpidato pada peringatan World Interfaith
Harmony Week 2012, di Markas PBB, New York. Presiden Sidang Umum PBB mengundang
5 tokoh mewakili 5 agama dunia, dan Din Syamsuddin sebagai Ketua Muhammadiyah
diundang mewakili Islam sedunia untuk menyampaikan pesan dan perspektif agama Islam
pada event tahunan berdasarkan resolusi PBB itu. Din Syamsuddin diundang selain
sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, juga diundang sebagai Presiden ACRP (Asian
Conference of Religions for Peace) dan Wakil Presiden WCRP (World Conference of
Religions for Peace). Pada kesempatan itu Din Syamsuddin membicarakan topik
Mediation of Conflict through Interfaith Dialogues.[19]
c. Muhammadiyah Anggota International Contact Group
Muhammadiyah menjadi anggota International Contact Group (ICG)
untuk Filipina, yaitu lembaga pendamping mediasi perdamaian antara Suku Bangsa
Moro dan Filipina, berkepentingan untuk mendorong perdamaian di wilayah itu
demi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Selama ini Muhammadiyah telah aktif
dalam upaya penyelesaian konflik di Filipina selatan yang melibatkan Moro Islamic
Liberation Front (MILF), Moro National Liberalism Front (MNLF), dan Pemerintah
Filipina. Selain Muhammadiyah, keanggotaan ICG untuk Filipina adalah
Conciliation Resource (UK), The Henry Dunant Centre (Geneva), The Asia
Foundation Manila, dan perwakilan Negara-negara seperti Saudi Arabia, Turki,
dan Jepang.[20]
d. IPM meraih OKP terbaik se-Indonesia (2006) dan 10 besar se-Asia Tenggara
(2011)
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai organisasi otonom di
tingkat pelajar berhasil membuktikan diri sebagai organisasi yang patut
diperhitungkan. Pada tahun 2006, di era kepemimpinan Ahmad Imam Mujaddid Rais,
IPM berhasil meraih predikat sebagai Organisasi Kepemudaan terbaik tingkat
nasional yang diberikan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik
Indonesia, yang diberikan atas berbagai pertimbangan. Mulai dari administrasi
organisasi, pengabdian kepada masyarakat, hingga karya-karya yang dihasilkan.
Pemenang OKP terbaik di Indonesia, menjadi delegasi untuk mewakili ajang
pemberian penghargaan yang sama di tingkat ASEAN. Dalam ASEAN Ten Accomplished
Youth Organizations (TAYO) Award, IPM berhasil mengungguli sembilan organisasi
kepemudaan dari masing-masing negara Asean. Prestasi ini kembali diulang pada
era kepemimpinan Slamet Nur Achmad Effendi dan Danik Eka Rahmaningtyas pada
periode 2010-2012. Pada periode ini IPM kembali predikat Organisasi Kepemudaan
terbaik tingkat Nasional mengungguli Peradah dan BEM Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Di tahun yang sama pula, IPM kembali ditetapkan sebagai
peraih penghargaan ASEAN TAYO AWARD yang diberikan di Bangkok, Thailand.
Penghargaan yang langsung diterima oleh Danik Eka Rahmaningtyas selaku Ketua
Umum PP IPM. Dari delapan kali penyelenggaraan Asean TAYO Awards, IPM menjadi
satu-satunya OKP yang berhasil menyabet dua kali penghargaan itu.[21]
Dan masih banyak lagi kiprah Muhammadiyah baik lembaga ataupun
kader-kader Muhammadiyah yang berbicara banyak dan mempunyai peran aktif di
pentas internasional baik di bidang pendidikan, sosial atau budaya.
C.
kesimpulan
Muhammadiyah sejatinya gerakan pembaruan.
Gerakan Tajdid fil-Islam. Jika diperas hingga ke inti terdalam maka yang
ditemukan dalam gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan ini
ialah api pembaruan. Karakter pembaruan Muhammadiyah jauh lebih kuat ketimbang
sifat Muhammadiyah yang lainnya. Teologi, ideologi, hingga model aksi gerakan Muhammadiyah
berwatak pembaruan, yang bermuara pada modernisme atau reformisme Islam.
Pembaruan itu diwujudkan dalam mendobrak kebekuan berpikir umat dengan
membangun pemahaman Islam yang berkemajuan. Selain itu Muhammadiyah memelopori
lahirnya sistem pendidikan Islam modern, pelayanan kesehatan dan sosial,
pemberdayaan kaum miskin dengan gerakan Al-Ma'un, merintis gerakan Islam ke
ruang publik melalui ortom-ortomnya dan pembaruan
lainnya yang membangkitkan kebangunan dunia Islam dan modernisasi kehidupan
masyarakat. Pembaruan Muhammadiyah berangkat dari gagasan dasar al-ruju ila
al-Quran wa al-Sunnah, yakni gerakan kembli kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Langkahnya pemurnian Islam untuk menemukan ajaran yang otentik, sekaligus melahirkan
Islam yang berkemajuan. Peran-peran sosial, pendidikan, ekonomi, dan bidang
lainnya diakui telah memberi pencerahan dan kemanfaatan baik nasional ataupun
dunia internasional. Sebagai organisasi pengusung
modernisasi, muhammadiyah tidak tabu melangkah dan berinovasi di era global
dengan tetap berpijak pada khittoh perjuangan
yang merujuk pada al Qur’an dan
Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Muhammadiyah: the political behavior of a Muslim modernist organization under Dutch colonialism, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.
Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Jogjakarta: Suara
Muhammadiyah, 2010.
Hadikusuma, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam, Jogjakarta: Persatuan, 2002.
Hadikusuma, Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Jogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2010
Sujarwanto,et.al.,(ed), Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan Sebuah
Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana,1990.
Ali, Mukti, Muhammadiyah dan Universitasnya Menjelang Abad XXI dalam
M.Rusli Karim (ed), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta:
Rajawali, 1986.
O’dea, Thomas F., Sosiologi Agama; Suatu Pengantar,
Jakarta:Rajawali, 1985.
Tim Penulis, Muhammadiyah Benteng Tradisi, Surabaya: Hikmah
Press, 2005.
PP Muhammadiyah, Himpunan Keputusan-Keputusan PP Muhammadiyah,
Jogjakarta: PP Muhammadiyah, 1971.
Febriansyah, M. Raihan, dkk, Muhammadiyah 100 tahun menyinari
negeri, Jogjakarta: Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 2013.
[1] Alfian, Muhammadiyah: the political behavior of a Muslim modernist organization under Dutch colonialism (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), 152.
[4]
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Mumtaz
Media Islami), 63.
[5]
http://www.muhammadiyah.or.id/content-44-det-tentang-muhammadiyah.html, diakses
17 Nopember 2016
[6] Ibid.
[7] Sekolah ini dinamakan
Sekolah Muhammadiyah dan dilaksanakan disebuah (bukan di surau seperti tradisi
yang berlaku ketika itu) dengan menggunakan meja dan papan tulis. Di dalamnya
diajarkan ilmu-ilmu agama dengan cara baru; huruf latin, ilmu hitung, ilmu
bumi, ilmu tubuh. Lihat Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaharuan Islam
(Jogjakarta: Persatuan, 2002), 64.
[8] Sujarwanto,et.al.,(ed),
Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan Sebuah Dialog Intelektual
(Yogyakarta: Tiara Wacana,1990), 407.
[9] Mukti Ali, Muhammadiyah
dan Universitasnya Menjelang Abad XXI dalam M.Rusli Karim (ed), Muhammadiyah
dalam Kritik dan Komentar (Jakarta: Rajawali, 1986), 242.
[12] Tim Penulis, MuhammadiyahBenteng
Tradisi (Surabaya: Hikmah Press, 2005), 43-100
[13] Ibid., 101.
[14] PP
Muhammadiyah, Himpunan Keputusan-Keputusan PP Muhammadiyah, cetakan ke-2
(Jogjakarta: 1971)
[15] M. Raihan
Febriansyah, dkk, Muhammadiyah 100 tahun menyinari negeri (Jogjakarta: Majelis
Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 2013), 13.
[16] Ibid., 89-90.
[17] Ibid.,
[18] Ibid., 90-91.
[19] Ibid., 94.
[20] Ibid., 95.
[21] Ibid., 95.
No comments:
Post a Comment