6/2/17

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

BAB I 
PENDAHULUAN
 A.    Latar Belakang
Muhammadiyah adalah organisasi dan gerakan orang-orang yang mencintai dan ingin mengikuti jejak dan ajaran Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, Nabi sekaligus Rasul penutup.Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, yang ingin mengamalkan ajaran Islam guna mewujudkan masyarakat Islam yang sebebanrbenarnya.Kini, Muhammadiyah usianya sudah mencapai satu abad. Amal usahanya cukup banyak. Perannya sudah banyak dirasakan oleh umat dan bangsa.Kontribusinya pada umat dan bangsa cukup banyak. Mulai dari pemikirannya (tentang pembaharuan), pilihannya pada sumber asli Al Qur’an dan As Sunnah sampai kepada model-model pengamalan Islam dalam bidang tabligh, pendidikan, kesehatan, sosial dan lain-lain, telah banyak dirasakan bagi masyarakat dan Negara. Bukan hanya mereka yang beragama Islam saja, tetapi juga bagi masyarakat umum yang agamanya bukan Islam. Sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit dan panti-panti social telah banyak melayani dan menyantuni masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan kami bahas pada makalah ini adalah tentang:
1.      Deskripsi tentang Muhammadiyah.
2.      Visi dan misi gerakan Muhammadiyah.
3.      Bagaimana latar belakang berdirinya Muhammadiyah?
4.      Bagaimana perkembangan Muhammadiyah ?
5.      Pendiri Muhammadiyah dan penerusnya.
6.      Bidang-bidang yang diglobalisasikan Muhammadiyah?
7.      Bagaimana peran gerakan Muhammadiyah di kancah nasional dan internasional?

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Deskripsi Singkat Tentang Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan oleh Muhammad Darwis yang dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 yang bertepatan pada 8 Dzulhijjah 1330 H.[1] Organisasi ini didirikan oleh beliau dalam rangka untuk memurnikan ajaran Islam yang banyak dipengaruhi hal-hal mistik dan pemikiran liberal penjajah kolonial dengan kembali pada al Qur’an dan Sunnah.
Dalam Temuan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” awalnya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah.[2]
Sesuai namanya yang merupakan nisbah dari Muhammad (pengikut Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam). Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berasas Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan Muhammadiyah bermaksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan nabi Muhammad, dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemuliaan hidup sebagai realita.
Sementara itu, menurut H. Djarnawi Hadikusuma penisbahan Muhammadiyah pada Nabi Muhammad mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”[3]
Gerakan Muhammadiyah disebut juga gerakan tajdid (pembaharu), karena tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah yang bercirikan semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Tentunya dengan menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya
Maka dalam pembentukannya, organisasi ini banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, di antaranya surat Ali Imranayat 104 yang berbunyi:

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.[4]
Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan.
2.      Visi Dan Misi Muhammadiyah
Sebagai sebuah gerakan Islam yang bertujuan besar nan mulia, Muhammadiyah tentunya telah dibangun dengan visi dan misi gerakan yang mesti difahami dan tidak keluar dari keduanya, sekaligus menjadi ciri khas dan pembeda dengan organisasi lainnya.
1.      Visi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

2.      Misi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar memiliki misi :
1.      Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah ta’ala yang dibawa oleh para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam.
2.      Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan.
3.      Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai kitab Allah terakhir dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
4.      Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

3.      Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Keinginan dari KH. Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat perjuangnan dan da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf nahyi munkar yang bersumber pada Al-Qur’an, surat Al-Imron: 104 dan surat Al-ma’un sebagai sumber dari gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
Tidak murninya ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia, yaitu munculnya praktek-praktek yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, terutama yang berhubuaan dengan prinsip akidah Islam yag menolak segala bentuk kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat adalah sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi Islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan faham animisme dan dinamisme. Sehingga pemurnian ajaran menjadi pilihan mutlak bagi umat Islam Indonesia.
Keterbelakangan umat Islam Indonesia dalam segi kehidupan menjadi sumber keprihatinan untuk mencarikan solusi agar dapat keluar menjadi keterbelakangan. Keterbelakangan umat Islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa selamanya dianggap menjadi sumber lahirnya generasi baru muda Islam yang berpikir moderen. Kesejarteraan umat Islam akan tetap berada dibawah garis kemiskinan jika kebodohan masih melengkupi umat Islam Indonesia.[5]
Maraknya kristenisasi di Indonesia sebegai efek domino dari imperalisme Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama Islam. Proyek kristenisasi satu paket dengan proyek imperialalisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain keinginan untuk memperluas daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil revolusi industeri yang melada Eropa. Imperialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilyawan gereja dan para penginjil untuk menyampaikan ’ajaran jesus’ untuk menyapa umat manusia diseluruh dunia untuk ’mengikuti’ ajaran jesus. Tetapi juga membawa angin modernisasi yang sedang melanda Eropa. Modernisasi yang terhembus melalui model pendidikan barat (Belanda) di Indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan moernisasi Eropa, seperti sekularisme, individualisme, liberalisme dan rasionalisme. Jika penetrasi itu tidak dihentikan maka akan terlahir generasi baru Islam yang rasional tetapi liberal dan sekuler.
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah ada dua, yaitu faktor internal dan eksternal.
1.      Faktor Internal
Faktir internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan Islam.
Sikap beragama umat Islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Sirik, taklid, dan bid’ah masih menyelubungai kehidupan umat Islam, terutama dalam lingkungan kraton, dimana kebudayaan hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu, tetapi merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses Islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi oleh para ulama di Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir diseluruh nusantara ini.
2.      Faktor eksernal
Faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammadiah adalah faktor yang bersifat eksternal yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda. Faktor tersebut antara lain tanpak dalam system pendidikan kolonial serta usaha kearah westrnisasi dan kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumi putra, ataupun yang diserahkan kepada misi and zending Kristen dengan bantuan financial dari pemerintah Belanda. Pendidikan demikian pada awal abad ke 20 telah meyebar dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan colonial terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendideikan colonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.[6]
Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah colonial, dan dalan artian ini orang menilai pendidikan colonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai peyebar kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah colonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal ini merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asisiasi yang pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia kedalam orbit kebudayaan barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja barat dan menyudutkan tradisi nenekmoyang serta kurang menghargai Islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan barat yang sekuler  anpa mengimbanginya dengan pendidiakan agama konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tankanya yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam diawal abad ke 20.
Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam bidang sosial, terutama pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan  pada tahun 1911 di Yogyakarta diselenggarakan dengan fasilitas yang amat sederhana.[7] Sekolah kecil ini akhirnya menjadi titik awal munculnya organisasi secara formal pada tahun 1912 di bawah pimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Dan faktor utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al Qur’an dalam menelaah, membahas, meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Setelah memahami seruan Alloh pada surat Ali Imron: 104, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat.
Pengaruh Muhammadiyah pada era kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
Setelah resmi menjadi organisasi, Muhammadiyah terus berangsur-angsur mengembangkan sayapnya melalui berbagai aktifitas sosial. Mulai dari pendidikan, pelayanan masyarakat, kesehatan, dan lain-lain sehingga pada akhirnya aktifitas dalam bidang sosial ini dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan soaial keagamaan yang memperoleh sukses besar.[8]
Ditinjau dari aspek tertentu, berdirinya Muhammadiyah merupakan suatu kemunculan gerakan iman, ilmu, dan amal. Sebagai gerakan iman, Muhammadiyah dapat dilihat kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama kepada ajaran Tauhid murni tanpa dicampuri oleh unsur-unsur syirik, takhayul, dan khurafat.
Dalam versi lain gerakan ini sering disebut “gerakan purifakasi”. Sedangkan indikasinya sebagai gerakan ilmu dapat dilihat pada komitmennya terhadap persoalan pendidikan, di samping keberaniannya mendobrak tradisi lama untuk membuka kembali pintu ijtihad yang telah dinyatakan tertutup sejak Abad Pertengahan. Semenjak itu , sebagai gerakan Amal, Muhammadiyah berhasil mengubah pola amal individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan masyarakat,[9]  terutama dapat dilihat dalam usaha menyantuni kaum dhu’afa, pelayanan kesehatan, dan lain-lain.
Keberhasilan Muhammadiyah dalam gerakan sosial itu tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang menjadi dasar dan pedoman gerakan itu sendiri.
Sebagai organisasi religius, Muhammadiyah menjadikan agama sebagai azas gerakan untuk menciptakan tatanan sosial yang baru dengan warna keagamaan. Dalam konteks sosiologis, harapan Muhammadiyah itu dapat saja dibenarkan, oleh karena agama dalam perspektif sosial dapat dilestarikan oleh masyarakat serta memeliharanya di hadapan manusia,karena ia memberi nilai bagi manusia.[10] Dengan demikian, gerakan sosial Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan paham keagamaannya secara intensif.
Dalam bab ini akan diusahakan untuk menjelaskan pandangan filosofis dan dasar-dasar gerakan sosialnya serta amal usaha yang telah dilaksanakan sebagai konsekuensi implikatif dari paham keagamaannya.
Lembaga-lembaga sosial yang terbentuk berdasarkan tatanan nilai tertentu di dalam masyarakat merupakan bagian-bagian yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Dengan demikian, adanya perubahan pada salah satu bagian ( lembaga) , akan mempunyai dampak kepada yang lainnya.[11]

4.      Perkembangan Muhammadiyah
a)  Muhammadiyah Pra Kemerdekaan (1912 – 1942)[12]
Sejak didirikan K.H. Ahmad Dahlan tahun 1912, Muhammadiyah telah melewati berbagai peristiwa sejarah, seperti pemilu tahun 1955 yang banyak diwarnai partai-partai Islam. Keberadaan partai Masumi, didukung oleh organisasi-organisai Islam termasuk Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadi Kusuma, Buya HAMKA, K.H. Faqih Usman, Prof. K.H. Kahar Muzakkir, K.H. Hasan Basri aktif falam Masyumi. Peristiwa tersebut salah satu potret perjalanan Muhammadiyah pada masa awal setelah kemerdekaan.
Berdirinya Muhammadiyah diawalai dengan pendirian sekolah oleh K.H. Ahmad Dahlan yang mengajarkan agama Islam dan pengetahuan biasa. Lalu ada organisasi pendukungnya yang dibantu oleh para pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta. Nama organisasi yang dipilih adalah “Muhammadiyah”.
Untuk menyusun AAnggaran Dasar Muhammadiyah banyak mendapat bantuan daro R. Sosrosugondo guru Bahasa MelayuKweekschool Budi Utomo, rumusannya dibuat dalam bahasa Belanda dan Melayu. Kesepakatan bulat pendirian Muhammadiyah tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H). Proses permintaan pengakuan kepada pemerintah sebagai badan hukum diusahakan oleh Budi Utomo cabang Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Desember 1912 diajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Surat tersebut berisi agar persyarikatan mempunyai izin resmi dan diakui sebagai badan hukum dengan wilayah se-Jawa – Madura. Surat tersebut juga dilampiri rancangan statuen atau anggaran dasarnya. Namun, pemerintah Hindia Belanda sangat berhati-hati menanggapinya. Oleh karena itu, Gubernur Jenderal lalu mengirim surat permintaan pertimbangan kepada empat pejabat: Direktur Van Justite, Adviseur Voor Indlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Surat untuk Sri Sultan dari Residen Yogkarta diteruskan kepada Rijksbestuurder (Pepatih Dalem Sri Sultan). Oleh karena surat tersebut mengenai urusan agama maka diteruskan kepadaHoofd Penghulu, waktu itu Penghulu dijabat H. Muhammad Khalil Kamaludiningrat.
Residen Yogyakarta Liefrinck pada 21 April 1913 menyurati Gubernur Jenderal bahwa Ia menyetujui permohonan Muhammadiyah. Namun dengan catatan kata “Jawa dan Madura” diganti dengan “Residentie Yogyakarta”, daerah kelahirannya.
Gubernur  Jenderal Idenburg meminta HoodbestuurMuhammadiyah untuk mengubah kata-kata “Jawa dan Madura” menjadi Residentie Yogyakarta. Tertera dalam statuen artikel 2, 4 dan 7.
Hal ini dipenuhi setelah rapat anggota tanggal 15 Juni 1914. Demikianlah proses surat menyurat selama 20 bulan dengan pemerintah Hindia Belanda, akhirnya Muhammadiyah diakui sebagai badan hukum resmi. Tertuang dalam Gouvernement Besluittanggal 22 Agustus 1914 No. 81 beserta lampiran statuennya.
Sejak resmi diakui itu, 4 pemimpin Muhammadiyah yang tampil menjadi pemimpin selama periode 1912 – 19142, sebagai berikut:
1.   Periode K.H. Ahmad Dahlan (1912 – 1923)
Merupakan masa perintisan, pembentukan jiwa dan amal usaha organisasi Muhammadiyah yang mendapat kedudukan terhormat pemerintah karena pergerakan Islam yang modern.
2.   Periode K.H. Ibrahim (1923 – 1932)
K.H. Ibrahim adalah adik Nyai Walidah/Nyai Ahmad Dahlan. Beliau adalah adik ipar K.H. Ahmad Dahlan, merupakan ulama pondok pesantren tidak pernah mengenyam pendidikan model barat. Pada masa ini Muhammadiyah makin berkembang dan meluas hingga luar Jawa. Lalu terbentuk Majelis Tarjih, mengadakan penelitian pengembangan hukum-hukum agama. Para pemuda mendapat bentuk organisasi yang nyata. Beridiri Nasyiyatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
3.   Periode K.H. Hisyam (1932 – 1936)
Bidang pendidikan mendapat perhatian yang besar. Diadakan juga penertiban dan pemantaban administrasi organisasi, jadi Muhammadiyah lebih kuat dan lincah.
4.   Periode K.H. Mas Mansur (1936 – 1942)
Pengukuhan kembali hidup beragama dan penegasan paham agama dalam Muhammadiyah. Wujudnya pengaktifan Majelis Tarjih yang mampu merumuskan “Masalah Lima” mengenai dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah. Dan disusun pula “Langkah Dua Belas”:
a)          Memperdalam masuknya Iman.
b)         Memperbuahkan paham agama.
c)          Memperbuahkan budi pekerti.
d)         Menuntun amal intiqad.
e)          Menguatkan persatuan.
f)          Menegakkan keadilan.
g)         Melakukan kebijaksanaan.
h)         Menguatkan Majelis Tanwir.
i)           Mengadakan konferensi bagian.
j)           Mempermusyawaratkan putusan.
k)         Mengawasi gerakan jalan.
l)           Mempersambungkan gerakan luar.

b)      Muhammadiyah Masa Pergolakan (1942 – 1956)
Pendudukan Jepang atas wilayah Indonesia (1942) menandai babak baru perkembangan Muhammadiyah hingga pelaksanaan Muktamar tahun 1956 di Palembang. Jika sebelumnya di masa penjajahan belanda Muhammadiyah berkembang pesat, maka pada masa ini Muhammadiyah mengalami stagnasi perkembangan. Pendudukan Jepang menjadikan penderitaan rakyat makin luar biasa dan tokoh-tokoh Islam dimobilisasi untuk menghadapi perang pasifik sehingga berdampak pada lumpuhnya kepemimpinan Muhammadiyah. Setelah itu, para tokoh Muhammadiyah pun terlibat revolusi guna memperjuangkan kemerdekaan. Kemudian pasca penyerahan kedaulatan kepada RI, mereka lebih disibukkan dengan kegiatan politik seiring kedudukan Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai Masyumi, sehingga tak sempat memikirkan organisasi.[13]
Tahun 1944 Muhammadiyah mengadakan Muktamar  darurat di Yogyakarta. Di masa pendudukan Jepang yang Fasis, Ki Bagus Hadikusumo selain memimpin Muhammadiyah, beliau juga getol memikirkan nasib bangsa, beliau sangat gigih menentang instruksi “Sei Kerei” dari Jepang. Sei Kerei adalah membungkukkan badan ke arah timur (Negeri Jepang) menghormati Dewa Matahari, sebagai “Dewa penitis para Kaisar Jepang”. Upacara ini wajib dilakukan para siswa setiap pagi. Maka selaku Ketua PP Muhammadiyah, terpanggil menyelamatkan generasi Muslim Indonesia dari syirik itu. Melalui debat yang seru dengan Pemerintah Jepang,  akhirnya pemerintah Jepang memberikan dispensasi. Khusus bagi semua sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara Sei Kerei. Ki Bagus Hadikusumo juga tercatat sebagai anggota Chuo Sangiin (Dewan Penasehat Pusat) buatan Jepang.

1.      Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942 – 1953)
Di awal kemerdekaan NKRI, Muhammadiyah ikut aktif dalam perjuangan. Terjun dalam kancah revolusi di berbagai laskar kerakyatan hingga tahun 1953. Kegiatan-kegiatan keorganisasiannya antara lain:
a.          Tahun 1946 mengadakan silaturrahim cabang-cabang se-Jawa.
b.          Tahun 1950 mengadakah sidang Tanwir perwakilan.
c.          Tahun 1951 sidang Tanwir di Yogyakarta.
d.          Tahun 1952 mengadakah sidang Tanwir di Bandung
e.          Tahun 1953 mengadakah sidang Tanwir di Solo dengan keputusan Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.

2.      Periode A. R. Sutan Mansyur (1952 – 1959)
A. R. Sutan Mansyur dipilih sebagai Ketua Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto meskipun tidak termasuk Sembilan Terpliih. 9 terpilih itu adalah H.M.Yunus Anies, H.M. Farid Ma’ruf, Hamka, K.H. Ahmad Badawi, K.H. Fakih Usman, Kasman Singodimejo, DR. Syamsudin, A. Kahar Muzakir dan Muljadi Djojomartono.
       Masa ini “ruh Tauhid” ditanamkan kembali. Disusun langkah kurun waktu tertentu, yang pertama tahun 1956 – 1959 yang dikenal dengan nama Khittah Palembang. Khittah yang dihasilkan Muktamar Muhammadiyah ke -33 setelah pemilu 1955 ini kemudian menjadi pedoman gerakan Muhammadiyah dalam berbagai dimensinya. Beberapa point khittah tersebut antara lain: pembinaan tauhid, ibadah, akhlak dan ilmu pengetahuan, tanggung jawab sosial anggota serta pimpinan Muhammadiyah dalam melaksanakan keteladanan guna mewujudkan pembentukan masyarakat Islam, konsolidasi dan penataan sistem administrasi, peningkatan kwalitas amal usaha, baik di bidang pendidikan maupun sosial, peningkatan kualitas anggota serta kader, mempererat persaudaraan; membantu kehidupan sosial dan ekonomi warga Muhammadiyah pada Umumnya.[14]
Rentang waktu antara 1956-2004 muncul para pemimpin di antaranya:
1.      Periode H.M. Yunus Anies (1959 – 1962)
Negara Indonesia sedang dalam kegoncangan politik yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi gerak perjuangan Muhammadiyah. Tetapi Muhammadiyah mampu merumuskan Kepribadian Muhammadiyah yang menempatkan kembali kedudukan Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

2.      Periode K.H. Ahmad Badawi (1962 – 1968)
K.H. Ahmad Badawi dipilih dalam Muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962. Muhammadiyah berjuang keras untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak dibubarkan. Karena waktu itu politik dikuasai oleh PKI dan Bung Karno tahun 1965. Pada saat itu seluruh barisan Orde Baru termasuk Muhammadiyah ikut tampil memberantas Komunis.

3.      Periode K.H. Fakih Usman dan K.H. A.R. Fakhrudin (1968 – 1971)
K.H. Fakih Usman dipilih Ketua Muhammadiyah pada Muktamar ke-37 di Yogyakarta. Tidak lama kemudian meninggal, lalu diganti K.H. A.R. Fakhrudin (nama lengkapnya K.H. Abdul Razak Fakhrudin). Keduanya adalah tokoh Muhammadiyah yang kharismatik.
Usaha me-Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah. Usaha untuk mengadakan pembaruan (tajdid) dalam bidang ideologinya, dengan merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah”. Di bidang organisasi dan usaha perjuangan menyusun “Khittah Perjuangan dan Bidang-bidang lainnya”.

4.      Periode K.H. A.R. Fakhrudin (1971 – 1990)
Beliau dipilih sebagai Ketua Muhammadiyah ditetapkan dalam tanwir Ponorogo tahun 1969. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971, muktamar ke-40 tahun 1978 di Surabaya dan ke-41 tahun 1985 di Surakarta.
Terjadi krisis yaitu keharusan untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Muhammadiyah mengatasi imbauan dari pemerintah tentang asas tunggal pancasila dengan mengadakan perubahan AD Muhammadiyah dengan menetapkan Pancasila sebagai asas organisasi.
Pada masa itu juga terjadi peristiwa penting adalah kunjungan Paus Yohanes Paulus II. Sebagai reaksi atas kunjungan itu beliau mengeluarkan buku ”Mangayubagya Sugeng Rawuh lan Sugeng Kondur”. Isinya adalah bahwa Indonesia adalah negara yang penduduknya sudah beragama Islam jadi jangan rakyat menjadi obyek Kristenisasi.

5.      Periode K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. (1990 – 1995)
Didominasi oleh kaum intelektual produk Muhammadiyah. K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. alumnus Universitas Al Azhar dan pakar dalam bidang hukum Islam. Pada muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta menjadi ketua PP Muhammadiyah.
Pada periode ini telah dirumuskan program jangka panjang 25 tahun, yang meliputi 3 hal: bidang konsolidasi gerakan, pengkajian dan pengembangan serta kemasyarakatan.

6.      Periode Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A.(1995 – 2000)
Tokoh reformasi Indonesia ini, lahir di Surakarta, 26 April 1944. Di Muhammadiyah sejak muktamar tahun 1985 di Surakarta yang menjabat sebagai ketua majelis tabligh Muhammadiyah. Dipilih menjadi wakil ketua PP Muhammadiyah pad Muktamar ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta. Tahun 1994 dipilih menjadi Ketua hingga akhir periode 1990 – 1995. 1995 pada Muktamar ke-43 di Banda Aceh kembali menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1995 – 2000.

Pada periode Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A. telah dirumuskan program Muhammadiyah tahun 1995 – 2000, Rumusannya mengacu kepada masalah global, dunia Islam, nasional, Muhammadiyah, dan pengembangan pemikiran. Adapun pengembangan pemikiran terdiri atas pemikiran keagamaan, ilmu dan teknologi, basis ekonomi, gerakan social kemasyarakatan, dan PTM sebagai basis gerakan keilmuan atau pemikiran.

7.      Periode Prof. Dr. H.A. Syafi’i Maarif, M.A.
Hasil Muktamar ke-44 di Jakarta tahun 2000 Prof. Dr. H.A. Syafi’i Maarif, M.A. terplih menjadi ketua PP Muhammadiyah. Beliau seorang guru besar Ilmu Sejarah di IKIP Yogyakarta. Lahir di Sumpurkudus Sumatera Barat tanggal 31 Mei 1935.

Program kerja masa periode 2000 – 2005 secara garis besar adalah melanjutkan program Muhammadiyah sebelumnya, secara ringkas dirumuskan:
1.            Visi, Misi dan Usaha Muhammadiyah.
2.            Program Muhammadiyah yang meliputi Program Konsolidasi Gerakan dan Program Per Bidang.

c)      Muhammadiyah Paska Muktamar ke-45 di Malang 2005
Prof. Dr. Din Syamsudin terpilin sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 2005 – 2010 pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang tahun 2005 yang dilaksanakan 3 – 8 Juli 2005.
Dalam muktamar ini telah ditanfidzkan putusan-putusan, sebagai berikut:
1.      Menerima laporan PP Muhammadiyah masa jabatan 2000 – 2005.
2.      Pernyartaan pikiran Muhammadiyah jelang Satu Abad.
3.      Program persyarikatan periode 2005 – 2010.
4.      Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
5.      Rekomendasi Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Adapun program persyarikatan Muhammadiyah periode ini, sebagai berikut:
a.          Gambaran Umum Program
Merupakan penjabaran program jangka panjang untuk 5 tahun pertama masa berlakunya program jangka panjang. Sebagai program kerja 5 tahunan tahap I, program Nasional Muhammadiyah 2005 – 2010 menitikberatkan pada 3 hal utama: penguatan organisasi, pemantapan perencanaan dan pengembangan konsistensi serta kesungguhan jajaran persyarikatan untuk merealisasikan program kerja.
b.          Tujuan Program
Terbangunnya sistem organisasi yang dinamis, efektif dan efisien serta produktif sehingga dapat menguatkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia.
c.          Prioritas
Urutan prioritas dirumuskan sebagai berikut:
1.      Penguatan organisasi di semua hal.
2.      Peningkatan kualitas lembaga dan amal usaha Muhammadiyah.
3.      Pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam.
4.      Peningkatan peran serta persyarikatan dalam penguatan masyarakat.
5.      Pengembangan kaderisasi.
6.      Peningkatan peran Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan negara serta percaturan global.
7.      Program Nasional di Berbagai Bidang
a.       Tarjih, Tajdid dan pemikiran Islam.
b.      Tabligh dan Kehidupan Islami.
c.       Pendidikan, Iptek dan Litbang.
d.      Kaderisasi.
e.       Kesehatan, kesejahteraan dan pemberdayaan Masyarakat.
f.        Wakaf, ZIS (Zakat, Infaq dan Shodaqah) dan Pemberdayaan Ekonomi.
5.      Pendiri Muhammadiyah Dan Penerusnya
Sejak 1912 sampai 2010 persyarikatan Muhammadiyah telah melakukan permusyawaratan pimpinan tingkat pusat/nasional sebanyak 46 kali. Tahun 1912 sampai dengan 1925 dalam bentuk Rapat Tahunan yang diselenggarakan setiap tahun (Rapat Tahunan ke 1 -14). Tahun 1926-1941 dengan nama Kongres Tahunan (Kongres ke 15-30). Tahun 1944 (masa pendudukan Jepang) permusyawaratan tersebut di diberi nama Muktamar Darurat. Tahun 1946 diselenggarakan Silaturahmi se-Jawa. Tahun 1950 diselenggarakan lagi permusyawaratan nasional dengan nama Muktamar ke-31. Sampai Muktamar ke-40 (1978) permusyawaratan ini diselenggarakan dalam selang waktu 3 tahunan. Baru mulai Muktamar ke-41 (1985) sampai terakhir Muktamar 1 Abad (ke-46, tahun 2010) muktamar diselenggarakan dalam selang waktu 5 tahun.

Berikut daftar ketua yang memimpin Muhammadiyah dari masa ke masa :[15]

NO
NAMA
MASA JABATAN
1
K.H. Ahmad Dahlan
1912-1923
2
K.H. Ibrahim
1923-1932
3
K.H. Hisyam
1932-1936
4
K.H. Mas Mansyur
1936-1942
5
Ki Bagus Hadikoesoemo
1942-1953
6
Buya AR Sutan Mansur
1953-1959
7
K.H. M. Yunus Anis
1959-1962
8
K.H. Ahmad Badawi
1962-1968
9
K.H. Faqih Usman
1968-1971
10
K.H. A.R. Fachruddin
1971-1990
11
K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA.
1990-1995
12
Prof. Dr. H. Amien Rais
1995-1998
13
Prof. Dr. H. A. Syafi’I Ma’arif
1999-2005
14
Prof. Dr. H. Din Syamsuddin
2005-2015
15
Dr. Haidar Nashir, M.Si
2015-sekarang

6.      Bidang-Bidang yang Diglobalisasikan Muhammadiyah
Era teknologi informasi dan komunikasi menjadikan orang berubah menjadi knowledge worker, smart people , hal ini untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan yang tumbuh dan berkembang dengan pesat, radikal dan pervasive . Muhammadiyah sebagai organisasi besar dengan ratusan amal usaha di bidang kesehatan mengatur sistem kesehatannya, sehingga memungkinkan amal usaha kesehatan yang berada di bawahnya menjadi maju dan berkembang dalam networking. Dukungan sistem manajemen, sistem informasi manajemen maupun klinis yang sudah disediakan oleh  Muhammadiyah, memungkinkan amal usaha kesehatan menjadi terbantu terstruktur dalam menjalankan kegiatannya, sehingga ada keseragaman diantara amal usaha yang berserak antara Sabang sampai Merauke. Kesempatan untuk meningkatkan kualitas ataupun monitoring kegiatan seluruh amal usaha kesehatan menjadi mudah bagi Muhammadiyah.
Menurut John Naisbit dan Patricia Aburene dalam bukunya Megatrends 2000, maka beberapa kecenderungan (trends) yang muncul pada abad 21 antara lain sebagai berikut: Pertama, sistem masyarakat industri akan beralih ke sistem masyarakat informasi, kedua, sistem perekonomian nasioanl akan beralih ke sistem perekonomian global. Ketiga, pola dan kerangka program jangka pendek berubah ke pola kerangka program jangka panjang. Keempat, sistem sentralisasi berubah ke sistem desentralisasi. Kelima, peran Negara-negara belahan utara akan diambil alih oleh peran Negara-negara bagian selatan. Keenam, pilihan terbatas akan beralih ke pilihan yang beragam. Ketujuh, munculnya fenomena kebangkitan etika, spiritualitas, dan estetika. Kedelapan, munculnya kebangkitan kaum wanita (gerakan feminisme). Kesembilan, abad 21 adalah abad kejayaan individu, abad kompetisi dan kreativitas. Kesepuluh, era bioteknologi dan perdamaian dunia. Isu globalisasi merupakan fenomena modern, ditandai dengan perilaku interdependence, dan overlapping di banyak sektor seperti, politik, sosial, ekonomi, militer dan budaya. Hal ini akan memberikan dampak perubahan cepat, radikal dan pervasive meliputi seluruh dunia baik bangsa besar maupun kecil yang meniadakan batas sehingga dunia bak sebuah kampung layaknya.
Kecenderungan ini berpengaruh tidak terbatas pada bidang umum, tapi dalam bidang lain seperti pendidikan, kesehatan terjadi perubahan yang signifikan. Dan Muhammadiyah telah memiliki pijakan normatif untuk menyongsong era baru tersebut sehingga umat ini masih dalam bingkai masyarakat madani, yaitu masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dengan nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas.
Dalam rangka menyongsong era tersebut, badan amal usaha Muhammadiyah terus ditumbuh kembangkan. Maka bidang-bidang yang ada tentunya mau tidak mau dikelolah dengan sistem modern sesuai dengan tuntutan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai yang ada dalam Muhammadiyah, dan ini akan membawa dampak positif bagi kemaslahatan umat. Seperti bidang pendidikan, ekonomi dan sosial, kesehatan dan lain-lain yang telah berkembang pesat.
Bersumber dari website sang pencerah (www.sangpencerah.id), dengan mengutip penjelasan sekretaris umum Muhammadiyah, Agung Danarta pada Mei 2015, amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah di antaranya adalah:
Bidang Pendidikan, yang terdiri dari:
  1. TK/TPQ                          : 4.623
  2. SD/MI                             : 2.604
  3. SMP/MTs                       : 1.772
  4. SMA /SMK/MA             : 1.143
  5. Pondok Pesantren           : 67
  6. Total Perguruan Tinggi   : 172.

Bidang Kesehatan yang berjumlah 457, yaitu:
  1. Rumah sakit
  2. Rumah bersalin
  3. BKIA
  4. Balai Pengobatan
 Bidang ekonomi:
1.      1 Bank Syari’ah (saham Muhammadiyah 2,5 %)
2.      26  BPR/BPRS
3.      275 BMT/BTM
4.      1 Induk Koperasi BTM
5.      81 Koperasi Syari’ah
6.      22 Minimart
7.      5 kedai pesisir
8.      Demikian juga pada wilayah social yang tak terhitung jumlahnya

Bidang Sosial:
1.      Panti Asuhan               : 318
2.      Santunan                     : 318
3.      Asuhan Keluarga         : 318
4.      Panti Jompo                 : 54
5.      Rehabilitasi cacat        : 82
6.      SLB                             : 71
7.      Masjid                         : 6.118
8.      Musholla                     : 5.080,
9.      Tanah                          : 20.945.504 meter2.

Bidang Media
  1. TV Muhammadiyah (TV Mu)
  2. Radio Muhammadiyah (Radio Mu)

Muhammadiyah mengelola semua instansi tersebut secara profesial dan modern. Dari semua data amal usaha Muhammadiyah, jika di taksir secara kasar, maka total asset Muhammadiyah itu lebih dari Rp 20 Triliun. Besarnya potensi dari Muhammadiyah itulah yang mendorong Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah (MEK) menerbitkan  E-money Muhammadiyah sebagai uang komunitas untuk bertransaksi.
Dengan program DUITMU misalkan, peredaran uang  Muhammadiyah bisa berputar di lingkungan Muhammadiyah dan tidak kemana-mana  sehingga konsep uang dari, untuk  dan oleh Muhammadiyah bisa terwujud.

7.      Ruang Lingkup Gerakan Muhammadiyah Nasional Dan Internasional
Muhammadiyah melalui kader-kadernya sejak dulu telah berkiprah di pentas nasional. Kiai Ahmad Dahlan, H. Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, K.H. Faqih Usman, dan para pejuang sebelumnya. Berbagai posisi penting di pemerintahan pernah diisi oleh kader-kader Muhammadiyah. Sejak masa perjuangan kemerdekaan bahkan, Jenderal Soedirman misalnya, salah satu kader Muhammadiyah yang namanya dikenal seantero negeri ini karena perjuangannya. Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, adalah para pengurus Muhammadiyah yang berjasa besar di balik perumusan naskah-naskah pembentuk republik ini. Ir. Soekarno, proklamator sekaligus presiden Republik Indonesia pertama, sudah sering mengikuti pengajian-pengajian yang diisi oleh K.H. Ahmad Dahlan, sejak usianya masih belia, 15 tahun. Walau demikian, Soekarno baru resmi masuk menjadi anggota Muhammadiyah tatkala masa pengasingannya di Benkoelen (Bengkulu), bahkan ia juga menjadi pengurus Lembaga Pengajaran (cikal bakal Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini). Bahkan Fatmawati istri Soekarno sempat menimba ilmu di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Dia puteri seorang Hasan Din, Konsul Muhammadiyah Bengkulu saat itu.
Selain jabatan presiden, kader Muhammadiyah yang turut mengambil peran dalam pentas kenegaraan adalah Amien Rais. Beliau diberikan amanah sebagai Ketua MPR 1999-2004. Saat beliau menjabat Ketua MPR, salah satu wakilnya juga merupakan kader terbaik Muhammadiyah, yakni Muhammad Husni Thamrin, yang pernah menimba ilmu di Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang merupakan tokoh Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia di era 60-an. [16]
Dan andil nyata Muhammadiyah untuk negeri tidak diragukan hingga sekarang, terutama sumbangsih pendidikan lewat sekolah, Perguruan tinggi, dan pesantren Muhammadiyah dalam rangka pencerdasan umat, kesehatan masyarakat lewat rumah sakit dan PKU, demikian juga pemberdayaan ekonomi umat, dan lain sebagainya.

Partisipasi Muhammadiyah dalam Forum Internasional
a.       Peran dalam Isu-Isu Perdamaian dan Kesejahteraan[17]
Muhammadiyah mengambil peran aktif dalam kerjasama internasional di antaranya antar para agamawan untuk isu-isu perdamaian dan kesejahteraan. Sejak 2006, Muhammadiyah berperan aktif dalam penyelenggaraan World Peace Forum (Pertama, 14-16 Agustus 2006 di Jakarta). Konferensi internasional yang dihadiri sekitar 300 orang pemimpin dan tokoh dunia ini telah mendiskusikan tema besar yang menjadi tantangan bersama yaitu “One Humanity, One Destiny and One Responsibility”. World Peace Forum keempat terselenggara pada 23-25 November 2012 di Bogor. Dalam pertemuan ini yang diikuti oleh 200 peserta dari dalam dan luar negeri, dengan peserta luar negeri berjumlah 100 orang diantaranya perwakilan tokoh politik, pemimpin organisasi, akademisi dan aktivis perdamaian, ini membahas tentang “Consolidating Multicultural Democracy”.
Selain itu, pada tahun 2008 dalam forum Assembly ke-7, Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Din Syamsudin dipercaya menjadi Presiden sekaligus moderator Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) atau Konferensi Agama untuk Perdamaian se-Asia. ACRP adalah jaringan Asia dari Konferensi Dunia tentang Agama untuk Perdamaian (World Confewrence of Religions for Peace - WCRP). Din Syamsuddin tercatat sebagai orang pertama dari Indonesia/Islam yang menjadi Presiden ACRP sejak organisasi ini berdiri 32 tahun lalu.
Sebelumnya, pada 2006, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi (saat itu), terpilih sebagai Presiden Konferensi Dunia Agama untuk Perdamaian (World Conference on Religion for Peace/WCRP). Din dan Hasyim terpilih dalam Assembly ke-8 yang berlangsung di Kyoto, Jepang 25-29 Agustus 2006. Hasyim Muzadi terpilih sebagai salah seorang dari 9 presiden, sedangkan Din Syamsuddin sebagai presiden kehormatan (honorary president). WCRP adalah organisasi lintas agama yang berdiri 36 tahun yang lalu dan berpusat di Markas PBB New York. WCRP menghimpun tokoh-tokoh berbagai agama dari seluruh dunia dan berjuang bersama mewujudkan perdamaian dunia dengan pendekatan keagamaan. Pada pertemuan di Kyoto, hadir 600-an tokoh 20 agama dari 100 negara di dunia. Kedua tokoh Islam Indonesia itu dipilih atas pertimbangan prakarsa dan peran serta keduanya dalam mengembangkan perdamaian baik di tingkat nasional maupun internasional.Forum-forum internasional lainnya yang diikuti secara aktif antara lain adalah East Asia Religious Leaders Forum (EARLF). Forum ini terdiri dari pimpinan dan tokoh agama dari Negara-negara Asia Timur (10 negara Aesan, Australia, New Zealand, Korea Selatan, China, India dan Pakistan).[18]

b.      Kiprah di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
Pada tanggal 7 Februari 2012, Presiden Sidang Umum PBB mengundang Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk berpidato pada peringatan World Interfaith Harmony Week 2012, di Markas PBB, New York. Presiden Sidang Umum PBB mengundang 5 tokoh mewakili 5 agama dunia, dan Din Syamsuddin sebagai Ketua Muhammadiyah diundang mewakili Islam sedunia untuk menyampaikan pesan dan perspektif agama Islam pada event tahunan berdasarkan resolusi PBB itu. Din Syamsuddin diundang selain sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, juga diundang sebagai Presiden ACRP (Asian Conference of Religions for Peace) dan Wakil Presiden WCRP (World Conference of Religions for Peace). Pada kesempatan itu Din Syamsuddin membicarakan topik Mediation of Conflict through Interfaith Dialogues.[19]

c.       Muhammadiyah Anggota International Contact Group
Muhammadiyah menjadi anggota International Contact Group (ICG) untuk Filipina, yaitu lembaga pendamping mediasi perdamaian antara Suku Bangsa Moro dan Filipina, berkepentingan untuk mendorong perdamaian di wilayah itu demi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Selama ini Muhammadiyah telah aktif dalam upaya penyelesaian konflik di Filipina selatan yang melibatkan Moro Islamic Liberation Front (MILF), Moro National Liberalism Front (MNLF), dan Pemerintah Filipina. Selain Muhammadiyah, keanggotaan ICG untuk Filipina adalah Conciliation Resource (UK), The Henry Dunant Centre (Geneva), The Asia Foundation Manila, dan perwakilan Negara-negara seperti Saudi Arabia, Turki, dan Jepang.[20]

d.      IPM meraih OKP terbaik se-Indonesia (2006) dan 10 besar se-Asia Tenggara (2011)
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai organisasi otonom di tingkat pelajar berhasil membuktikan diri sebagai organisasi yang patut diperhitungkan. Pada tahun 2006, di era kepemimpinan Ahmad Imam Mujaddid Rais, IPM berhasil meraih predikat sebagai Organisasi Kepemudaan terbaik tingkat nasional yang diberikan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, yang diberikan atas berbagai pertimbangan. Mulai dari administrasi organisasi, pengabdian kepada masyarakat, hingga karya-karya yang dihasilkan. Pemenang OKP terbaik di Indonesia, menjadi delegasi untuk mewakili ajang pemberian penghargaan yang sama di tingkat ASEAN. Dalam ASEAN Ten Accomplished Youth Organizations (TAYO) Award, IPM berhasil mengungguli sembilan organisasi kepemudaan dari masing-masing negara Asean. Prestasi ini kembali diulang pada era kepemimpinan Slamet Nur Achmad Effendi dan Danik Eka Rahmaningtyas pada periode 2010-2012. Pada periode ini IPM kembali predikat Organisasi Kepemudaan terbaik tingkat Nasional mengungguli Peradah dan BEM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Di tahun yang sama pula, IPM kembali ditetapkan sebagai peraih penghargaan ASEAN TAYO AWARD yang diberikan di Bangkok, Thailand. Penghargaan yang langsung diterima oleh Danik Eka Rahmaningtyas selaku Ketua Umum PP IPM. Dari delapan kali penyelenggaraan Asean TAYO Awards, IPM menjadi satu-satunya OKP yang berhasil menyabet dua kali penghargaan itu.[21]
Dan masih banyak lagi kiprah Muhammadiyah baik lembaga ataupun kader-kader Muhammadiyah yang berbicara banyak dan mempunyai peran aktif di pentas internasional baik di bidang pendidikan, sosial atau budaya.

C.    kesimpulan
Muhammadiyah sejatinya gerakan pembaruan. Gerakan Tajdid fil-Islam. Jika diperas hingga ke inti terdalam maka yang ditemukan dalam gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan ini ialah api pembaruan. Karakter pembaruan Muhammadiyah jauh lebih kuat ketimbang sifat Muhammadiyah yang lainnya. Teologi, ideologi, hingga model aksi gerakan Muhammadiyah berwatak pembaruan, yang bermuara pada modernisme atau reformisme Islam. Pembaruan itu diwujudkan dalam mendobrak kebekuan berpikir umat dengan membangun pemahaman Islam yang berkemajuan. Selain itu Muhammadiyah memelopori lahirnya sistem pendidikan Islam modern, pelayanan kesehatan dan sosial, pemberdayaan kaum miskin dengan gerakan Al-Ma'un, merintis gerakan Islam ke ruang publik  melalui ortom-ortomnya dan pembaruan lainnya yang membangkitkan kebangunan dunia Islam dan modernisasi kehidupan masyarakat. Pembaruan Muhammadiyah berangkat dari gagasan dasar al-ruju ila al-Quran wa al-Sunnah, yakni gerakan kembli kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Langkahnya pemurnian Islam untuk menemukan ajaran yang otentik, sekaligus melahirkan Islam yang berkemajuan. Peran-peran sosial, pendidikan, ekonomi, dan bidang lainnya diakui telah memberi pencerahan dan kemanfaatan baik nasional ataupun dunia internasional. Sebagai organisasi pengusung modernisasi, muhammadiyah tidak tabu melangkah dan berinovasi di era global dengan tetap berpijak pada khittoh perjuangan yang merujuk pada al Quran dan Sunnah.



DAFTAR PUSTAKA

 

Alfian, Muhammadiyah: the political behavior of a Muslim modernist organization under Dutch colonialism, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.


Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Jogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.

Hadikusuma, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam, Jogjakarta:  Persatuan, 2002.

Hadikusuma, Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Jogjakarta:  Suara Muhammadiyah, 2010

Sujarwanto,et.al.,(ed), Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan Sebuah Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana,1990.

Ali, Mukti, Muhammadiyah dan Universitasnya Menjelang Abad XXI dalam M.Rusli Karim (ed), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta: Rajawali, 1986.

O’dea, Thomas F., Sosiologi Agama; Suatu Pengantar, Jakarta:Rajawali, 1985.

Tim Penulis, Muhammadiyah Benteng Tradisi, Surabaya: Hikmah Press, 2005.

PP Muhammadiyah, Himpunan Keputusan-Keputusan PP Muhammadiyah, Jogjakarta: PP Muhammadiyah, 1971.

Febriansyah, M. Raihan, dkk, Muhammadiyah 100 tahun menyinari negeri, Jogjakarta: Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 2013.



[1] Alfian, Muhammadiyah: the political behavior of a Muslim modernist organization under Dutch colonialism (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), 152.

[2] Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Jogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), 27.
[3] Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhammadiyah (Jogjakarta:  Suara Muhammadiyah, 2010)
[4] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Mumtaz Media Islami), 63.
[5] http://www.muhammadiyah.or.id/content-44-det-tentang-muhammadiyah.html, diakses 17 Nopember 2016
[6] Ibid.
[7] Sekolah ini dinamakan Sekolah Muhammadiyah dan dilaksanakan disebuah (bukan di surau seperti tradisi yang berlaku ketika itu) dengan menggunakan meja dan papan tulis. Di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu agama dengan cara baru; huruf latin, ilmu hitung, ilmu bumi, ilmu tubuh. Lihat Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaharuan Islam (Jogjakarta:  Persatuan, 2002), 64.

[8] Sujarwanto,et.al.,(ed), Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan Sebuah Dialog Intelektual (Yogyakarta: Tiara Wacana,1990), 407.
[9] Mukti Ali, Muhammadiyah dan Universitasnya Menjelang Abad XXI dalam M.Rusli Karim (ed), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar (Jakarta: Rajawali, 1986), 242.
[10] Thomas F.O’dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengantar (Jakarta:Rajawali, 1985), 23.
[11] Ibid., 3.
[12] Tim Penulis, MuhammadiyahBenteng Tradisi (Surabaya: Hikmah Press, 2005), 43-100
[13] Ibid., 101.
[14] PP Muhammadiyah, Himpunan Keputusan-Keputusan PP Muhammadiyah, cetakan ke-2 (Jogjakarta: 1971)
[15] M. Raihan Febriansyah, dkk, Muhammadiyah 100 tahun menyinari negeri (Jogjakarta: Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 2013), 13.
[16] Ibid., 89-90.
[17] Ibid.,
[18] Ibid., 90-91.
[19] Ibid., 94.
[20] Ibid., 95.
[21] Ibid., 95.

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner