BAB VIII
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN JUMLAH PERAWINYA
A. HADITS MUTAWATIR
1. Pengertian
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Secara defitif hadits mutawatir adalah:
خبر عن محسوس رواه عدد جم يخب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكب
“
Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut adapt kebiasan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta”
Hadits mutawatir merupakan hadits
yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak
generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak
tersebut layaknya mustahil untuk berbohong. Tentang seberapa banyak
orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah
ketentuan yang jelas. Sebagian ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu
tidak kurang dari dua puluh perawi. Abu Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi
yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal
5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang
mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang
telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat
Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan pernyataan
Allah sebagai berikut :
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari
orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yuhsha ‘adaduhum) yang
tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah
mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan
konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) sehingga hadits
ini dapat dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang
syari’ah. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni
keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan
mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dapat
dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang
keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas
rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak
bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang
faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang
mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan
mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan
pancaindera).
Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits
mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut
antara lain adalah sebagai berikut :
a. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
b. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
c. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
d.
Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan
mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah
menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Jumhur
ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam
mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan
kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. . Diantara
mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh
kurang dari jumlah tersebut.Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang
berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina. Ada pendapat lain :
Jumlahnya lima orang, hal ini diqiyaskan dengan jumlah para nabi yang
mendapat gelar Ulul ‘Azmi. Ada yang berpendapat lain juga yang
mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah
(yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian
(dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang
pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12). Ad yang menetapkan sekurang-kurangnya
20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam
suat Al anfal 65. selain itu adal pula yang menetpkan jumlah tersebut
sekurang-kuangnya 40 orang dengan menqiyaskan pada firma Allah pada
surat al anfal ayat 64. Ada juga yang berpendapat selain itu
berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada
bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam
kemutawatiran hadits.
Pembagian Hadits Mutawatir
2. Pembagian hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ada 2 yaitu :
a. Mutawatir Lafdzi
Hadist Mutawatil Lafdzi adalah;
ما تواتر لفظه
Hadist
mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis
sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama
pula, juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi, hadist mutawatir
dengan susunan sedikit berbeda, arena sebagian digunakan kata-kata
muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama akna atau
maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadist itu tetap
sama.
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Rasulullah
SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Adapun silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut
Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin
menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat
b. Mutawatir Ma’nawi
ما تواتر معناه دون لفطه
Yaitu
hadits yang isi serta kandungannya diriwayatkan secara mutawatiakan
tetapi redaksinya tidak. Sehingga redaksinya bisa berbeda-beda.
Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :
ما رفع صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطيه في شيئ من دعائه الا في الاستسقاء
“Rasulullah
SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam
doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna
dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30
buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang
ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كان يرفع يديه حذو منكبي
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
c. Hadist Mutawatir ‘amali
Hadist
mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang menyangkut perbuatan
Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang
banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh
orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Segala macam amal
ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati
oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali.
Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup
banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.
3. Hukum Hadits Mutawatir
Hadits
mutawatir mengandung ilmu dlarury yang harus diyakini yang mengharuskan
kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga para
rawinya tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan
kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta,
New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka
hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan
penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Taraf kepastian bahwa
hadist mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah
penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh
karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam
tinggi sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama
halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.
Kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi
dari kedudukan hadist ahad.
4. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir
sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
b. Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
c. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
d. Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
B. HADITS AHAD
1. Pengertian
Suatu
hadits yang tidak memenuh syarat-syarat Hadits mutawatr disebut hadits
ahad. Ulama’ Muhadditsin mendefinisikan sebagai berikut:
هو ما لا ينتهي الى التواتر
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Hadits
Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang
yang tidak mencapai derajat mutawatir. Keterikatan manusia terhadap
substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan
kualitas kesinambungan sanadnya.
2. Pembagian Hadist Ahad
a. Hadist masyhur (hadist mustafidah)
Masyhur
menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer.
Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar.
Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama
berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan
dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan
hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu:
ما رواه الثلاثة فأكثر ولم يصل درجة التواتر
"Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat hadist mutawatir.”
Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist
mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila
lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi
hadist mutawatir.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh
lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist
di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari,
Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi
dalam setiap tingkatan.
b. Hadist ‘aziz
‘Aziz menurut bahasa,
berarti: yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz
menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau
hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما رواه اثنان ولو كانا في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذلكجماعة
أ”Hadist
‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua
rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh
banyak rawi”.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila
suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan
setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap
saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan
karena itu termasuk hadist ‘aziz.
Contoh hadist ‘aziz adalah hadist berikut ini:
نحن الاخرون السابقون يوم القيامة
“Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling
terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah
dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah
dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu
diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja
dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan
karena itu termasuk hadist ‘aziz.
c. Hadist gharib
1. Definisi
Gharib,
menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain.
Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau
menyendiri dari yang lain.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما انفرد برواتيه شخص في اي موضع وقع التفرد به من السند
"Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.”
Berdasarkan
batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh
seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan
oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang
artinya: “ Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang
hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari,
Muslim dan lain-lain) “
Kendati hadist ini diriwayatkan oleh banyak
imam hadist, termasuk Bukhari dan Muslim, namun hadist tersebut pada
tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu
Umar bin Khattab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh hanya
satu orang tabi’in, yaitu ‘Alqamah.
Dengan demikian hadist itu dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadist gharib.
2. Klasifikasi
Ditinjau dari segi bentuk peyendirian rawi, maka hadits gharib terbagi kepada du macam:
a. Gharib Muthlaq
Apabila
peyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya,
maka hadits yang diriwaytkan disebut gharib muthlaq. Penyendirian rawi
hadits gahrib mutlq harus berpangkal pada ashsus sanad, yakni tabi’iy,
bukan sahhabat. Sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian
rawi dalam hadits gharib di sini adlah unuk menetapkan apakah ia masih
dterima periwayatannya atau ditolak sama sekali. Sedanglkan kalau yag
menyndiri tu seorng sahabat, sudah tidak perlu diperbincangkanlag, karea
sudah diakui oleh umum bahwa sahabat-sahabat itu adalah adil semuanya.
b. Gharib Nisby
apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu
seorang rawi, maka hadits yang diriwayaknnya disebut dengan hadits
gahrib nisby. Sifat atau keadaan tersebut mempunyai bebarapa
kemungkinan:
a. Sifat keadalan dan kedlabitan (ketsiqahan) rawi
b. Tentang kota atau tempat tnggal tertentu.tentang merwayatkannya dari rawi tertentu.
Disamping
pembagan hadts gharib sebahaman di atas, kalua penyendrian itu ditinjau
dar segi letaknya, d matakah atau di sanad, aka ia terbagi lagi menjadi
tiga bagian, yakni;
1. gharib pada matan dan sanad
2. Gharib pada sanadnya saja
3. gharib pada sebagian matannya.
3. Istilah-istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan Hadits gharib
Gharib
dan Fard adalah dua istilah yang muradlif. Kedua istlah itu dalm segi
penggunaannya dibedakan. Pada umumnya istilah gharib diterapkan untuk
hadits fard nisby (Gharib nisby). Sedangkan fard diterapkan untuk fard
muthlaq (gharib mutlaq). Dari seg kata kerjanya para muhadditsin tidak
menhgadakan perbedaan satu sama lain. Misal
تفرد به فلان sama dengan اغرب به فلان
Istilah-istlah yang sering dipakai untuk memberi cirri hadits gharb antara lan;
ISTILAH KETERANGAN
هذا حديث غريب - Hadits ini diterapkan untuk hadits fard nisby
- Menurut al Baghawi: istilah ini diterapkan untuk hadits syad.
غريب
من هذا الوجه - Istilah spesfik at turmudzi ini dimaksudkan untuk
memberi nilai suatu hadits yang gharib seluruh sanadnya, sedang matannya
shahih.
غريب مشهور - Hadits yanh gharib pada awalnya, kemudan menjadi masyhur pada akhirnya.
تفر به او اغرب بهفلان - Hadits gharib yang tidak mempunyai muttabi’ atau syahid
تفرد به اهل بصرة - Hadits gharib yang dinisbatkn kepad para perawi dari bashrah
لم
يروه ثقة الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi-rawi
yang tsiqah hanya seorang saja yang meriwayatkan, sedang jika
dinisbatkan kepada rawi-rawi selainnya, adalah dla’if.
لم يروه عن
فلان الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi trtentu,
sedangkan raw yang lain tidak ada yang meriwayatkannya.
غريب الحديث -
Matan hadits yang sukan difahamkan maksudnya, karena sebagian lafadznya
ada yang musykil dan tidak popular dalam penggunaannya.
له متابعة - Hadist gharib yang mempunyai muttabi*
له مثله - Hadits gharib yang mempunyai syahid** billafdzi (sesuai makna dan redaksinya)
له نحوه - Hadits gharib yang mepunyai syahid bil ma’na
له شواهد Hadist gharib yang mempunyai beberapa syahid.
Keterangan:
* Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru 9yang terdekat itu)
**
syahd adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain.
Syahid asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil
ma’na (ma’na sama tapi redaksi berbeda)
4. Cara-cara untuk menetapkan keghariban hadits
Untuk
menetapkan suatu hadts tu gharib, hendaklah diperksa lebih dahulu pada
kitab-kitab hadit, semisal kitab Jami’ atau Musnad, apakah
hadisttersebut apakah hadist tersebut mempunyai sanad lain selain sanad
yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada maka hilanglag
sifta gharibnya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadp hadits yang
diperkrakan gharib dengan maksud apakah hdist tersebut mempunyai
muttabi’ atau syahid, disebut I’tibar.
Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru (yang terdekat itu)
Syahid
adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid
asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na
(ma’na sama tapi redaksi berbeda)
3. Kedudukan Hadist Ahad
Bila
hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
SAW, maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal
dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari
beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin
benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal
dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau
ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari
Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam,
berada dibawah kedudukan hadist mutawatir. Dengan kata lain berarti
bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad,
bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus
ditolak.
C. PERBEDAAN HADIST AHAD DENGAN HADIST MUTAWATIR
1. Dari segi jumlah rawi
Hadist
mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada
setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak
mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad
diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan
masih memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
2. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan
Hadist
mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu
dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu
sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya.
Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang
bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
3. Dari segi kedudukan
Hadist
mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber
ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
4. Dari segi kebenaran keterangan matan
Dapat
ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil
bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an. Sedangkan
keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan
dengan keterangan ayat al-Qur’an.
No comments:
Post a Comment