BAB VII
CARA MENYAMPAIKAN
DAN MENERIMA HADITS
(tahamul wa ada’ul-hadits)
1. Pengertian tahammul wa ada’ul-hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau
menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam
masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di
antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah
umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang
nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al karmani-pada
boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai
umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Ada’ al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya
adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses
mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena
tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, dalam hal
ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan
dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara
lain:
1. ketahanan ingatan informator (dlabitur rawi)
2. integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqatur rawi).
3.
mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti
hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat
adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka
yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang
yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau
orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap agamanya
2. Syarat-syarat tahammulul-hadits.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
A. Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
B. Berakal sempurna.
C. Tamyis.
3. Syarat-syarat ada’ul-hadits.
Mayoritas
ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru
yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang
kuat (dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang
kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam
hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu
karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya
melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam
kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu,
untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat
yaitu:
A. Islam,
B. Balig,
C. Berakal,
D. Takwa.
Sedangkan
kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti
diungkapkan al zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat
atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang
sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa
yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok
ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan
kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya. Sigaht tahammul wa ada’
al-hadist dan implikasinya terhadap-persambungan sanad
4. Sighat tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya terhadap persambungan sanad.
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a. Sima’ (mendengar).
Yaitu
mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean),
dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli
hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika
seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari
gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits
periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa
berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada
dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal
itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits
yang didengar langsung hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat
diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. Al qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah
sendiri memaparkan yang juga disebut al ard memiliki dua bentuk.
Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang
dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya.
Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh
berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada
beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang
dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada
catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh
tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama
antaranya al juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak
benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya
sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama
dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya
dengan simak dalam menanggung hadits adalah al zuhri, al bukhari,
mayoritas ulama kufah, hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam
sanad yang muttasil.
c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits
dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya
atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan
pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau
mendengar langsung dari sang guru. Ibnu hazm menentang riwayat dengan
ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak
menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit
ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam
polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat
masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua
belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal
itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada
tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang
benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang
hadits nabawi dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan
terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan
seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar
disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut shiddiq basyir nashr
dalam bukunya dlawabith al riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu
disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian
bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
1. Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
2.
Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada
muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan
lagi kepada ku”.
3. Seorang murid membawakan hadits yang kemudian
diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah
ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang
guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah
hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis).
Yang
dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan
hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian
diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada
orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah
juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai
dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan
hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama
klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak
hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-i’lam (memberitahukan).
I’lam
adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa
kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar,
tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk
dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini
adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” Lalu syaikh
menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul,
fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima
hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian
sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini
dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang
sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini
dikemukakan oleh al-ghozali dan ibnu sholah dalam bukunya al-muqoddimah.
g. Wasiat.
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak
bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada
seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama
memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat.
Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian,
yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan
memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka
memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini
termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan i’lam, sekalipun
memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang
meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus
terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits
tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat
حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung.
Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya,
dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai
dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi
menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau
seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak
mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak
terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan
tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa,
ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت
بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits
dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan
valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode
hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses
penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan
sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits,
maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima
hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para
ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1. jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-qodhi iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2. jika proses tahamul itu dengan menggunakan qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3. ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4. ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5. ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6. ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7. ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
ketika
proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau
buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Ringkasan Shighat Tahammul Hadits
Shigat Metode Tahammul
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني السماع
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه القراءة
أجازنى فلان, أنبأنى الاجازة
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة المناولة
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة الكتابة
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام الاعلام
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية الوصية
وجدت بخط فلان, قال فلان
الوجدة
No comments:
Post a Comment