3/14/19

Bagaimana pendidikan dalam perspektif teori konflik teori sosiologi ?

Teori Konflik
Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional struktural. Teori ini menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dan golongan yang berbeda kepentingan. Konflik ini diharapkan mampu memper-teguh identitas. Sehingga dalam teori konflik dibutuhkan katup pengaman untuk mengamankan konflik tersebut.
Karl Marx dianggap sebagai orang yang paling banyak memberi sumbangsi dalam pengembangan teori sosial konflik. Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal –borjuis– dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar (Lukacs, 2010: 95-100 dan Umar, 1999: 43-51). Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis –false consiousness– dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendo-rong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Teori ini belakangan dikembangkan oleh Merton dan Parsons (Faqih: 80).
Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa terjadinya class struggle antara satu kelompok dengan kelompok lain karena adanya perbedaan kepentingan maka akan melicinkan jalan terciptanya sebuah masyarakat (Al-Nadwi, 1983: 49-50 dan Rex, 1985: 150-155). Ini dikarenakan suatu masyara-kat harus memilih salah satu kelompok. Dari hasil persaingan perebutan kekuaasaan itu lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat. Secara sederhana dapat dicontohkan dalam kelompok kecil misalnya keluarga, teori sosial konflik melihat keluarga bukan sebagai bagian yang harmonis dan seimbang tetapi dianggap sebagai bahagian dari sebuah sistem yang penuh dengan konflik (Megawangi, 1999: 91). Suatu hal yang ironis diperlihatkan dari teori ini yaitu dianggapnya hubungan antara suami dan isteri tidak ubahnya dengan penguasa dan yang dikuasai (Susan, 2009: 5). Hal ini terkait dengan persaingan peran dan dominasi di dalam keluarga. Situasi konflik yang terjadi di masyarakat atau di dalam rumah tanggabukanlah sesuatu yang abnormal tetapi dianggap sebagai suatu proses secara alami menuju kepada terjadinya suatu perubahan.
Menurut Dahrendorf, dalam setiap kelompok orang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi marginal atau subordinat berusaha mengadakan perubahan (Ritzer dan Goodman, 2008: 156). Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Misalnya generasi tua dan muda dan seterusnya (Soekanto, 2009: 290). Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya (Rahayu, 2007: 117). Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua: pertama, konflik realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. Kedua, konflik non- realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Pada masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. Terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contohnya, dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderu-ngan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangpada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.
Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan (Rahayu: 117). Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil conflict in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian, ia menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Teori Konflik tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menu-rut Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya. 

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Sehingga ketiadaan konflik bukanlah indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. Pendidikan yang dilaksanakan baik pemerintah maupun suasta adalah pendidikan yang tidak statis, akan tetapi penuh dengan dinamika sosial. Konflik yang terjadi dalam pendidikan adalah bagaian dari proses konstruksi pendidikan kea rah yang lebih baik.

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner