Teori Konflik
Teori konflik berkembang sebagai counter
terhadap fungsional struktural. Teori ini menganggap bahwa masyarakat
terdiri dari kelompok-kelompok dan golongan yang berbeda kepentingan. Konflik
ini diharapkan mampu memper-teguh identitas. Sehingga dalam teori konflik
dibutuhkan katup pengaman untuk mengamankan konflik tersebut.
Karl Marx dianggap sebagai orang
yang paling banyak memberi sumbangsi dalam pengembangan teori sosial konflik.
Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi
sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi
mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan
kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada
abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal
–borjuis– dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar (Lukacs, 2010: 95-100
dan Umar, 1999: 43-51). Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial
hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam
proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu
eksis –false consiousness– dalam diri proletar, yaitu berupa rasa
menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum
proletar dan kaum borjuis mendo-rong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu
revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan
eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Teori ini belakangan dikembangkan
oleh Merton dan Parsons (Faqih: 80).
Teori ini berangkat dari asumsi
dasar bahwa terjadinya class struggle antara satu kelompok dengan
kelompok lain karena adanya perbedaan kepentingan maka akan melicinkan jalan
terciptanya sebuah masyarakat (Al-Nadwi, 1983: 49-50 dan Rex, 1985: 150-155).
Ini dikarenakan suatu masyara-kat harus memilih salah satu kelompok. Dari hasil
persaingan perebutan kekuaasaan itu lahir tatanan kelas masyarakat pemenang
yang kemudian mampu membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju dalam
masyarakat. Secara sederhana dapat dicontohkan dalam kelompok kecil misalnya
keluarga, teori sosial konflik melihat keluarga bukan sebagai bagian yang
harmonis dan seimbang tetapi dianggap sebagai bahagian dari sebuah sistem yang
penuh dengan konflik (Megawangi, 1999: 91). Suatu hal yang ironis diperlihatkan
dari teori ini yaitu dianggapnya hubungan antara suami dan isteri tidak ubahnya
dengan penguasa dan yang dikuasai (Susan, 2009: 5). Hal ini terkait dengan
persaingan peran dan dominasi di dalam keluarga. Situasi konflik yang terjadi
di masyarakat atau di dalam rumah tanggabukanlah sesuatu yang abnormal tetapi
dianggap sebagai suatu proses secara alami menuju kepada terjadinya suatu
perubahan.
Menurut Dahrendorf, dalam setiap
kelompok orang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo,
sedangkan orang yang berada pada posisi marginal atau subordinat berusaha
mengadakan perubahan (Ritzer dan Goodman, 2008: 156). Konflik dapat merupakan
proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan
struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua
atau lebih kelompok. Misalnya generasi tua dan muda dan seterusnya (Soekanto,
2009: 290). Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya
(Rahayu, 2007: 117). Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat
dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok
lain. Misalnya, perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur
Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Menurut Coser konflik dibagi
menjadi dua: pertama, konflik realistis, berasal dari kekecewaan
terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari
perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek
yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar
tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. Kedua, konflik
non- realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang
antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari
salah satu pihak. Pada masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya
melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya
masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan
melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. Terdapat suatu
kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan
atau agresi. Contohnya, dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman
erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu
masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau.
Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi
setelah meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke
restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik
berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik
realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin
dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam,
sehingga semakin besar juga kecenderu-ngan untuk menekan ketimbang
mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangpada hubungan-hubungan sekunder, seperti
misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan.
Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana
keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian
merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.
Coser mengutip hasil pengamatan
Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia
menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi
bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi
dengan masyarakat secara keseluruhan (Rahayu: 117). Bila konflik dalam kelompok
tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan
masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil conflict in-group merupakan
indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli
sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja.
Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur
sosial. Dengan demikian, ia menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai
indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Teori Konflik tidak mengakui
kesamaan dalam suatu masyarakat. Menu-rut Weber, stratifikasi merupakan
kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk
mendapatkan status yang tinggi yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan
disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan
dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja mereka yang
berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti
dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status
dan kekuasaannya.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dengan kelompok
lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak
lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Perbedaan merupakan peristiwa normal
yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Sehingga ketiadaan konflik
bukanlah indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. Pendidikan yang
dilaksanakan baik pemerintah maupun suasta adalah pendidikan yang tidak statis,
akan tetapi penuh dengan dinamika sosial. Konflik yang terjadi dalam pendidikan
adalah bagaian dari proses konstruksi pendidikan kea rah yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment