3/4/19

Bagaimana pendidikan dalam perspektif teori fungsional struktural ?

Teori Fungsional Struktural
Teori fungsional struktural berkembang pada tahun 1940-1950-an, dan dianggap sebagai standard theory yang banyak dianut oleh sosiolog. Emile Durkheim dan Max Weber dianggap sebagai inspirator fungsional struktural. Durkheim menganggap bahwa masyarakat adalah totalitas organis dengan realitasnya masing-masing yang mempunyai sejumlah kebutuhan dan fungsi yang harus dipenuhi sehingga masyarakat tetap sustainable (Susdiyanto, 2009: 27). Di Amerika teori ini berkembang melalui jalur Talcot Parsons danRobert Merton. Teori ini menekankan aspek keteraturan dan menghindari konflik. Teori ini berpendapat bahwa masyarakat suatu sistem yang diiba-ratkan seperti tubuh yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkait, menyatu antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing mempunyai peran (Ritzer, 2009: 25). Bagian yang satu dengan lainnya tidak dapat ber-fungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian yang lain (Raho, 2007: 48). Contoh sederhana dikemukakan oleh Bernard, untuk menganalisis bisinis penerbangan perlu dilihat secara fungsional. Bisinis penerbangan itu terdiri dari berbagai elemen, seperti pesawat, pilot, pramugari, penjual tiket, mekanik, penumpang, penjaga menara, karyawan dan sebagainya. Bisnis penerbangan tersebut akan berjalan dengan lancar jika semua elemen bekerja sesuai fungsinya (Raho: 48). Perubahan atau tidak berfungsinya salah satu dari komponen tersebut akan mengakibatkan kemacetan dan ketidakseim-bangan (Faqih, 1999: 80-81). Menurut teori ini, jika terjadi konflik dalam masyarakat maka dianggap integrasi sosial dan keseimbangan tidak berfungsi sehingga diperlukan usaha untuk segera mencarikan solusi agar masyarakat tetap berada dalam keseimbangan (O’Dea, 1995: 3).
Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap struktur dalam sosial, fungsional terhadap yang lainnya. Fungsi merupakan akibat-akibat yang dapat diamati menuju adaptasi atau penyesuaian dalam satu sistem. Fungsionalisme lebih banyak ditujukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi bersifat netral secara ideologis, struktur sosial dapat saja memberi kontribusi terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial terhadap atau sebaliknya, menimbulkan akibat yang bersifat negatif (Muthali’in, 2001: 27). Seperti, perbudakan di Amerika Serikat, fungsional bagi masyarakat kulit putih karena sistem tersebut dapat menyediakan tenaga buruh murah, memajukan ekonomi pertanian gandum dan kapas. Begitu pula, misalnya, perburuan terhadap masyarakat Aborigin, fungsional bagi masyarakat kulit putih –pendatang dari Inggris– karena menciptakan daerah baru dan lahan baru bagi kerajaan. Namun sebaliknya, perbudakan mempunyai disfungsi, sistem perbudakan berimplikasi pada ketergantungan terhadap ekonomi pertanian dan tidk siap memasuki industrialisasi.
Salah satu karya yang terkenal dari fungsionalisme adalah teori tentang stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial dianggap sebagai suatu kenyataan universal untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat (Langer, 2005: 107). Stratifikasi yang dimaksud bukan individu-individu tetapi posisi yang mengandung prestise yang bervariasi di dalam masyarakat, sehingga memotivasi masyarakat dan menempatkan orang sesuai denganposisi dalam sistem stratifikasi tersebut (Syarbaini dan Rusdiyanta, 2009: 53). Teori ini mendapat keritikan yang cukup tajam dari para ahli yang kontra dengan teori ini, karena dianggap melanggengkan posisi-posisi khusus melalui kekuasaan, prestise dan kekayaan. Orang bisa saja termotivasi bukan karena prestise tetapi karena kepuasan yang ia dapatkan dari pekerjaannya karena memperoleh kesempatan melakukan pelayanan.
Menurut Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpenga-ruh besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja belum tentu mereka yang berpendidikan tinggi lebih terampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.
Teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang didasarkan pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan. Kaitannya dengan pendidikan, Talcot Parson, mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah diantaranya:
1. Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Sekolah mengubah orientasi kekhusu-san ke universalitas salah satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru terhadap dunia luar. Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat dan seterusnya) ke peran dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi yang sesungguhnya.
2. Sekolah sebagai seleksi dan alokasi, sekolah memberikan motivasi-motivasi prestasi agar dapat siap dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul.
3. Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal usul peserta didiknya (Wulandari, 2009: 174-176).
Teori fungsional struktural sampai sekarang masih mempengaruhi dunia pendidikan meskipun disana sini mendapat kritik. Teori ini, masih dinggap up date – tentu saja terdapat modifikasi dari para penganutnya, sosiolog – untuk menjadi pisau analisis dalam mengkaji pendidikan dalam perspektif sosiologi.

Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Dalam pendidikan, suasana kondusif selalu harus dijaga dan menghindari konflik dengan stake holders.

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner