Teori Fungsional Struktural
Teori fungsional struktural
berkembang pada tahun 1940-1950-an, dan dianggap sebagai standard theory yang
banyak dianut oleh sosiolog. Emile Durkheim dan Max Weber dianggap sebagai
inspirator fungsional struktural. Durkheim menganggap bahwa masyarakat adalah
totalitas organis dengan realitasnya masing-masing yang mempunyai sejumlah
kebutuhan dan fungsi yang harus dipenuhi sehingga masyarakat tetap sustainable
(Susdiyanto, 2009: 27). Di Amerika teori ini berkembang melalui jalur
Talcot Parsons danRobert Merton. Teori ini menekankan aspek keteraturan dan
menghindari konflik. Teori ini berpendapat bahwa masyarakat suatu sistem yang
diiba-ratkan seperti tubuh yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkait,
menyatu antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing mempunyai peran
(Ritzer, 2009: 25). Bagian yang satu dengan lainnya tidak dapat ber-fungsi
tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Perubahan yang terjadi pada salah
satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan
menciptakan perubahan pada bagian yang lain (Raho, 2007: 48). Contoh sederhana
dikemukakan oleh Bernard, untuk menganalisis bisinis penerbangan perlu dilihat
secara fungsional. Bisinis penerbangan itu terdiri dari berbagai elemen,
seperti pesawat, pilot, pramugari, penjual tiket, mekanik, penumpang, penjaga
menara, karyawan dan sebagainya. Bisnis penerbangan tersebut akan berjalan
dengan lancar jika semua elemen bekerja sesuai fungsinya (Raho: 48). Perubahan
atau tidak berfungsinya salah satu dari komponen tersebut akan mengakibatkan
kemacetan dan ketidakseim-bangan (Faqih, 1999: 80-81). Menurut teori ini, jika
terjadi konflik dalam masyarakat maka dianggap integrasi sosial dan keseimbangan
tidak berfungsi sehingga diperlukan usaha untuk segera mencarikan solusi agar
masyarakat tetap berada dalam keseimbangan (O’Dea, 1995: 3).
Teori ini mempunyai asumsi bahwa
setiap struktur dalam sosial, fungsional terhadap yang lainnya. Fungsi merupakan
akibat-akibat yang dapat diamati menuju adaptasi atau penyesuaian dalam satu
sistem. Fungsionalisme lebih banyak ditujukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan
dengan motif-motif. Fungsi bersifat netral secara ideologis, struktur sosial
dapat saja memberi kontribusi terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial terhadap
atau sebaliknya, menimbulkan akibat yang bersifat negatif (Muthali’in, 2001:
27). Seperti, perbudakan di Amerika Serikat, fungsional bagi masyarakat kulit
putih karena sistem tersebut dapat menyediakan tenaga buruh murah, memajukan
ekonomi pertanian gandum dan kapas. Begitu pula, misalnya, perburuan terhadap
masyarakat Aborigin, fungsional bagi masyarakat kulit putih –pendatang dari
Inggris– karena menciptakan daerah baru dan lahan baru bagi kerajaan. Namun
sebaliknya, perbudakan mempunyai disfungsi, sistem perbudakan berimplikasi pada
ketergantungan terhadap ekonomi pertanian dan tidk siap memasuki
industrialisasi.
Salah satu karya yang terkenal dari
fungsionalisme adalah teori tentang stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial
dianggap sebagai suatu kenyataan universal untuk mempertahankan keberlangsungan
hidup suatu masyarakat (Langer, 2005: 107). Stratifikasi yang dimaksud bukan
individu-individu tetapi posisi yang mengandung prestise yang bervariasi di
dalam masyarakat, sehingga memotivasi masyarakat dan menempatkan orang sesuai
denganposisi dalam sistem stratifikasi tersebut (Syarbaini dan Rusdiyanta,
2009: 53). Teori ini mendapat keritikan yang cukup tajam dari para ahli yang
kontra dengan teori ini, karena dianggap melanggengkan posisi-posisi khusus
melalui kekuasaan, prestise dan kekayaan. Orang bisa saja termotivasi bukan
karena prestise tetapi karena kepuasan yang ia dapatkan dari pekerjaannya
karena memperoleh kesempatan melakukan pelayanan.
Menurut Weber, stratifikasi
merupakan kekuatan sosial yang berpenga-ruh besar. Seperti halnya dalam
sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan akan
mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris
yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada
pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan
lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja belum tentu mereka yang berpendidikan
tinggi lebih terampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada
kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi
pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk
mendapatkan status dan kekuasaannya.
Teori ini menekankan pada fungsi
peran dari struktur sosial yang didasarkan pada konsensus dalam suatu
masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem yang terlembagakan dan
saling berkaitan. Kaitannya dengan pendidikan, Talcot Parson, mempunyai
pandangan terhadap fungsi sekolah diantaranya:
1. Sekolah sebagai sarana
sosialisasi. Sekolah mengubah orientasi kekhusu-san ke universalitas salah
satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru
terhadap dunia luar. Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang
diperoleh bukan dengan usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat dan
seterusnya) ke peran dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi
yang sesungguhnya.
2. Sekolah sebagai seleksi dan
alokasi, sekolah memberikan motivasi-motivasi prestasi agar dapat siap dalam
dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul.
3. Sekolah memberikan kesamaan
kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya memberikan kesamaan hak dan
kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal usul peserta didiknya
(Wulandari, 2009: 174-176).
Teori fungsional struktural sampai
sekarang masih mempengaruhi dunia pendidikan meskipun disana sini mendapat
kritik. Teori ini, masih dinggap up date – tentu saja terdapat
modifikasi dari para penganutnya, sosiolog – untuk menjadi pisau analisis dalam
mengkaji pendidikan dalam perspektif sosiologi.
Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki
kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan
oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan
antar fakta sosial, serta gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui
kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Dalam pendidikan, suasana kondusif
selalu harus dijaga dan menghindari konflik dengan stake holders.
No comments:
Post a Comment