Teori Interaksionisme Simbolik
Inti pandangan pendekatan ini
adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu
merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Teori ini beranggapan
bahwa individu adalah obyek yang dapat secara langsung ditelaah dan dianalisis
melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama
sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929),
yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok
(Poloma, 2007: 254-255). Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut
berinteraksi dengan mengguna-kan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi
tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Interaksionisme simbolik pada
hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikansosiologis. Teori ini akan berurusan dengan
struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau
sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan
diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan
hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara
sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang (Soeprapto,
http://www.averroes.or.id/research/teori-interaksionisme-simbolik.html).
Dapat dicontohkan, hubungan seorang
guru dengan peserta didik. Dalam hubungan tersebut ada pola yang telah diatur,
peserta didik sebagai orang yang akan menerima informasi dan guru sebagai orang
yang akan melakukan trasformasi pengetahuan. Guna mengetahui keberhasilan
peserta didiknya, ia harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik
terhadap dirinya dan teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang
bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas dasar interpretasi bahwa peserta didik
yang duduk di bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar. Peserta
didik yang berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak perhatian
terhadap pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang
diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda. Padahal,
dapat saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan
perbedaannya atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan
interaksi langsung dengan melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi
perlakuan sama yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres akademik
yang positif sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan.
Blumer mengemukakan tiga prinsip
dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language,
dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang
pembentukan diri seseorang dan sosialisasinya dalam komunitas (community)
yang lebih besar (Siburian, http://blog.unila.ac.
id/rone/mata-kuliah/interaksionisme-simbolik), yaitu:
Meaning (Makna)
Blumer mengawali teorinya dengan
premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain
ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut.
Languange (Bahasa)
Seseorang memperoleh makna atas
sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna
adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan
dinegosiasikan melaluipenggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh
karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya,
seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan satu obyek,
sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan
demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia memiliki kemampuan untuk
menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan
adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama
secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis
meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama,
sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar
menginterpretasikan dunia.
Thought (Pemikiran)
Premis ketiga Blumer adalah
interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner
conversation, Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan
dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan
berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Seseorang memerlukan bahasa untuk berpikir
dan berinteraksi secara simbolik. Bahasa merupakan software untuk menjalankan mind.
Penganut interaksionisme simbolik
menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan
ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang
harus menjadi anggota komunitas. I adalah kekuatan spontan yang tidak
dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir.
Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-glass
dari reaksi orang lain.
Me hanya dapat dibentuk melalui
interaksi simbolik yang terus menerus mulai
dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itu,
seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang
membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek,
atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam
komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.
Baik manusia dan struktur sosial
dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika
dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional. Disisi
ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor
yang dinamis danberubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah
selesai terbentuk sepenuhnya.
Dengan mengetahui
interaksionisme simbolik sebagai teori maka lebih mudah memahami fenomena
sosial melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori
interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertin-dak berdasarkan makna-makna;
makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut
berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.
Teori Interaksionime simboistik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya
bermakna pada tingkat individual yang realitas sosial itu tidak ada. Sebagai
contoh buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal yang penting, namun
bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan tidak bermanfaat. Dari sini, dapat
dibedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya. Teori
interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi
sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga
interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka
berinteraksi. Seorang pendidik tidak cukup hanya menjastifikasi peserta
didiknya dari hasil penilaian sesaat dan parsial, tetapi penilaian itu harus
holistik dan berkelanjutan yang didasarkan pada interaksi timbal balik.
No comments:
Post a Comment