BAB I
PENDAHULUAN
B.
Rumusan Masalah
Beberapa pokok permasalahan yang
telah berhasil mengkonsepsikan persendian ide makalah ini, antara lain seperti
berikut:
a)
Bagaimana perjalanan sejarah (Periodesasi) Ushul Fiqh?
b)
Bagaimana Ushul Fiqh dibukukan?
c)
Apa saja aliran-aliran Ushul Fiqh?
C.
Tujuan Penulisan
Setelah tersetel pokok rumusan
masalah di atas, penulis berhasil merumuskan kerangka tujuan penulisan. Selain
juga sebagai kewajiban tugas yang harus diselesaikan dengan profesional, juga
sebagai berikut:
a)
Memberikan bantuan informasi tentang sejarah lahirnya (ilmu) ushul
fiqh
b)
Memberikan bantuan informasi tentang prosesi pembukuan (ilmu) ushul
fiqh
c)
Memberikan bantuan informasi tentang macam-macam aliran ushul fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir
terlebih dahulu dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum.
Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah
menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang
lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa
ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan
pondasi, sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi.
Karena itulah sudah tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. Kesimpulannya, tentu
harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat
sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang
khas. Ketika seorang sahabat, misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu
ia mencari ayat al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah saw., maka hal
itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan
bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada
Rasulullah saw. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan
sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk
dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut
sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada
masa hidup Rasulullah saw. sendiri. Rasulullah saw. dan para sahabat berijtihad
dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut
masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti
yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah
ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya
mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang
suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat
belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya
lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang
tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan
shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya,
Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad
dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai
dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian,
ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah
saw. membenarkan hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
b)
Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari
masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah saw. kepada masa Rasulullah saw.
tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, sahabat
menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu al-Qur’an, sunnah,
dan ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan
bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan
hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat
sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah
bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah
saw. sendiri.
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada
hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad.
Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling
awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita
kenal sekarang.
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru
untuk pemecahan hukum, para sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas,
dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah
tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Pertama,
khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang
persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam
bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat
yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya
ijma’ sahabat, yang di kemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh
Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima.
Kedua,
sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan
maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan
qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa
Rasulullah saw. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh
pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting
fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan
penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan
pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan al-Qur’an dalam
satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang sebagai
talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan di waktu paceklik,
penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf,
dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam
memahami apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat
tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam QS. al-Baqarah 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya
menunggu selama tiga quru'”
Kata
quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu
suci dan haid. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa
al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haid,
sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya dengan suci. Itu berarti ada perbedaan
mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara
umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era sahabat masih
belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan
berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu
belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang
metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis
untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas
kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum
sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
c)
Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in
adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar
kepada sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi
semakin jelas dan meluas disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga
banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan
para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain
Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan Alqamah ibn al-Qays serta Ibrahim
al-Nakha’i di Irak.
Metode istinbath tabi’in umumnya
tidak berbeda dengan metode istinbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in
ini mulai muncul dua fenomena penting, yaitu:
1.
Pemalsuan hadits
2.
Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang
memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl
al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan
metodologis yang lebih jelas disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha)
berdasarkan wilayah geografis.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in
juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu
mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah,
mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’
ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah
mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang
dan akhirnya juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya;
ulama fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ar ra’yu, dalam
setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya, sehingga dengan illat
ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan kasus yang sudah
ada nashnya. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits
Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah di daerah
tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum
dikalangan ulama fiqh. Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama’, yaitu Madrasah
al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al- Madinah.Pada perkembangan
selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal dengan
sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah dikenal
dengan sebutan madrasah al- hadits.
d)
Ushul Fiqh Masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam
Syafi’i
Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi
menjelaskan dasar-dasar istinbath-nya yaitu, berpegang kepada
Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah
Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang
disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu
dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak
melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab
Maliki, dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar
dalam sikapnya dalam mempertahankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber
hukum.
Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat
menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah saw.
diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang
tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli
Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan
orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan
mendapatkan petunjuk dari Rasulullah saw. Amalan orang Madinah telah dilakukan
oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah saw.,
yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat
kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam Laits untuk
mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh
Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
Orang Irak, khususnya Imam Abu Hanifah
mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode,
dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan
oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai
pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Irak juga dikritik karena
mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Irak
mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai
dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah saw., tetapi riwayat
tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Pada
penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i
(150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan
Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath
para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode
istinbath para sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan
keunggulannya.
Imam
Syafi’i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian
dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal
demikian karena buku itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang
dikirimkan kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar dan ahli
hadits ketika itu. Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari
perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah
ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama
ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk mensyarh (menjelaskan)
secara luas apa yang dikemukakan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa
mengubah atau mengurangi dari isi kitabnya itu. Juga ada yang melakukan
pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i, dengan
mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori imam Syafi’i dan
terkadang mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan imam Syafi’i.
Misalnya, ulama Ushul fiqh dari kalangan Hanafi yang mengakui teori-teori Imam
Syafi’i akan tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya yaitu istihsan
dan ‘urf dalam mengistinbathkan hukum. Disamping itu,
ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu; Ijma’ Ahlul
Madinah (kesepakatan penduduk madinah).
B. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa
ilmu tersebut tidak berhenti, melainkan berkembang secara dinamis. Ada
beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum,
para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin
(Syafi’iyyah) dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran
tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1.
Aliran Mutakallimin
Aliran
mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan
tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin
banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara
teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu
pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik
dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga
adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak
sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan
kaidah.
Dalam
aliran ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu
yang terlepas dari pengaruh madzhab atau furu’, faktornya karena:
·
Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa
dasar-dasar tasyri’ itu memang terlepas dari pengaruh furu’.
·
Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan
kaidah-kaidah atas dasar-dasar yang kuat, tanpa terikat dengan furu’
atau madzhab.
·
Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah
dibuatnya dengan menggunakan berbagai macam dalil, tanpa menghiraukan apakah
kaidah tersebut memperkuat madzhab atau melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada
hal-hal berikut, yakni;
· Analisis kasus-kasus
· Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
· Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh
mungkin
· Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa
terikat dengan fakta hukum yang kasuistis dan pikiran hukum madzhab fiqh yang
ada.
Semua pemikiran mereka, dapat
dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab, yang kemudian dikenal
dengan sebutan al-Arkan al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
·
Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad
ibn ‘Ali al-Bashriy (w. 412 H).
·
Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
·
Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
·
Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar
al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini diringkas oleh dua orang dengan
judul;
§ Al-Hasil oleh Taj
al-Din Muhammad bin Hasan al-Armawi (w. 656 H).
§ Al- Tahsil oleh Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawi (w. 672 H).
2.
Aliran Fuqaha
Aliran
yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama
madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya
banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh,
mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat
para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Di
antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: kitab al-Ushul
(Imam Abu Hasan al-Karakhiy), kitab al-Ushul (Abu Bakar al-Jashash), Ushul
al-Syarakhsi (Imam al-Syarakhsi), Ta’shish an-Nadzar (Imam Abu Zaid
al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam al-Bazdawi).
3.
Aliran Gabungan
Pada
perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin
dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan
membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum
yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi
sandarannya.
Karya-karya
gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah.
Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-Jami‘ bayn Kitabay
al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul
karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis
oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul
karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul
karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam
Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri
dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh
al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jami’ al-Jawami’
karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga
aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang
memasukkan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan aliran khusus sebagai
aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang
berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut,
yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan
Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara
itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh
tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah
sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh
Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.
BAB III
PENUTUP
Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan
perkembangannya, maka dapat dibagi secara umum menjadi dua; yakni ushul fiqh
sebelum pembukuan dan pembukuan ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan
dimulai dari masa Rasulullah SAW dilanjutkan generasi Sahabat, generasi
Tabi’in, generasi imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i.
Pada Masa Rasululah SAW sendiri ushul fiqh sudah
terbukti dengan peristiwa yang dialami oleh dua sahabat sedang bepergian lalu
tiba waktu shalat, lalu mereka hendak mengerjakan shalat akan tetapi tidak ada
air. Keduanya lalu bertayammum dengan
debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu
shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak.
Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut.
Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah
dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya,
Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Pada era sahabat masih belum
menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan
berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu
belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang
metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis
untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas
kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum
sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para
pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan
sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’
ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah
mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Selanjutnya, pada masa Imam Mujtahid sebelum Imam Syaf’i adalah seperti pada masa Imam
Malik dengan alirannya (malikiyyah), dan Imam Hanafi dengan alirannya
(hanafiyyah). Imam maliki mempunyai metode ijtihad yang cukup jelas, seperti
mempertahankan praktih penduduk madinah sebagai sumber hukum. Sedangkan imam
hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbatnya yakni; berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan
di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di
dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka
berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan
tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Dalam melakukan
ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Selanjutnya masa pembukuan ushul fiqh yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga,
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu,
mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui
tentang metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta
mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni; aliran mutakallimin (Syafi’iyyah), aliran fuqaha’ (hanafiyyah), dan aliran gabungan.
Aliran Mutakallimin; aliran ini
membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran
ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi
masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai
dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha
yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha
karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam
merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu
Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan
contoh-contoh.
Pada perkembangannya muncul tren untuk
menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode
penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam
madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwani, Thaha Jabir, Source
Methodology in Islamic Jurisprudence, Virginia: IIIT, 1994.
Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.
Asmawi, Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Dahlan, Abd. Rahman,
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Effendi,
Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Haroen, Nasrun,
Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.
Karim, A. Syafi’i, Fiqh Ushul Fiqh,
Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Ma’ruf Al-Dawalibi,
Muhammad, Al-Madkhal ila ilm al-ushul
al-Fiqh, Damaskus: Universitas Damaskus, Cet. II, 1959.
Ma’shum Zein, Muhammad
, Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Sa‘id al-Khin, Muhammad, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha, Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994.
No comments:
Post a Comment