Ikhlas sering digambarkan sebagai sesuatu yang menenangkan. Seolah-olah begitu niat diluruskan, beban akan terasa ringan dan langkah menjadi lapang. Dalam banyak ceramah dan tulisan, ikhlas hadir sebagai jawaban atas hampir semua kelelahan.
Namun dalam pengalaman saya, ikhlas tidak selalu datang dengan rasa ringan.
Ada masa ketika niat sudah jelas, tujuan sudah dipahami, tetapi perasaan tetap terasa berat. Bukan karena ragu pada jalan yang dipilih, melainkan karena realitas yang harus dijalani tidak selalu bersahabat. Di titik itu, ikhlas bukan lagi soal perasaan, melainkan soal keputusan.
Saya pertama kali menyadari hal ini ketika menghadapi situasi yang menuntut pengorbanan berulang, tanpa jaminan bahwa pengorbanan itu akan dipahami. Ada keputusan yang harus diambil, meski berpotensi disalahpahami. Ada sikap yang harus dijaga, meski tidak mendapat dukungan penuh.
Di luar, semuanya tampak berjalan seperti biasa. Tapi di dalam, ada pergulatan yang tidak kecil.
Ikhlas sering disalahartikan sebagai tidak merasa apa-apa. Padahal, justru sebaliknya. Ikhlas sering hadir bersamaan dengan rasa kecewa, lelah, bahkan marah yang ditahan. Yang membedakan hanyalah pilihan untuk tidak membiarkan perasaan itu menguasai arah langkah.
Dalam kerja sosial, ikhlas sering diuji bukan oleh hal-hal besar, tetapi oleh kejadian kecil yang berulang. Ketika usaha tidak dihargai. Ketika niat baik dicurigai. Ketika kerja keras dianggap kewajiban biasa. Semua itu menggerus perlahan, bukan dengan hentakan, tetapi dengan gesekan halus yang terus-menerus.
Spirit Al-Ma’un mengajarkan keberpihakan pada yang lemah. Tapi keberpihakan itu juga menuntut kesiapan untuk menerima bahwa tidak semua pihak akan memahami alasan kita. Bahkan, tidak semua yang kita bantu akan mengerti kenapa kita bersikap demikian.
Di situlah ikhlas diuji secara nyata. Bukan di atas mimbar, tapi di ruang-ruang kecil tempat keputusan diambil dalam kesunyian.
Saya pernah berada di fase di mana saya merasa sudah cukup ikhlas, tapi tetap saja terluka. Awalnya saya mengira itu tanda bahwa keikhlasan saya belum sempurna. Tapi kemudian saya menyadari, mungkin bukan itu persoalannya.
Mungkin ikhlas memang tidak dirancang untuk membuat kita kebal.
Ikhlas tidak menghilangkan rasa sakit, tapi mencegah rasa sakit itu berubah menjadi kebencian. Ia tidak menghapus lelah, tapi menjaga agar lelah tidak menjelma menjadi alasan untuk merendahkan orang lain atau meninggalkan nilai yang kita yakini.
Ada hari-hari ketika saya harus mengingat kembali alasan awal kenapa jalan ini dipilih. Bukan untuk membangkitkan semangat secara emosional, tapi untuk menegaskan komitmen secara rasional. Bahwa ada nilai yang ingin dijaga, meski perasaan sedang tidak mendukung.
Di titik seperti itu, ikhlas terasa berat. Tapi justru di sanalah ia menjadi bermakna.
Kerja sosial, seperti banyak kerja berbasis nilai lainnya, tidak selalu memberi imbalan yang setimpal secara emosional. Kepuasan tidak selalu datang, pengakuan sering tertunda, dan hasil tidak selalu terlihat. Jika ikhlas hanya bertumpu pada rasa ringan, maka ia akan rapuh.
Saya belajar bahwa ikhlas yang matang bukan yang selalu terasa nyaman, melainkan yang mampu bertahan di tengah ketidaknyamanan. Ikhlas yang tidak bergantung pada pujian, dan tidak runtuh oleh kekecewaan.
Mungkin inilah sisi ikhlas yang jarang dibicarakan. Ia tidak selalu membawa ketenangan seketika, tapi memberi arah yang jelas. Ia tidak selalu membuat kita merasa kuat, tapi membantu kita tetap berdiri.
Dan barangkali, di situlah ikhlas menemukan bentuknya yang paling jujur. Bukan sebagai perasaan yang indah, tetapi sebagai kesetiaan yang dipilih, hari demi hari.
—
Ahmad Fathullah
Catatan lapangan, Semampir

No comments:
Post a Comment