Saya berdiri sebentar di depan pintu, menarik napas, lalu masuk seperti biasa. Anak-anak sudah beraktivitas, beberapa menyapa, sebagian lain sibuk dengan dunianya masing-masing. Semua tampak normal. Dan justru di situlah letak keanehannya: ketika dunia berjalan seperti biasa, sementara batin terasa tertinggal di belakang.
Ada hari-hari di mana kerja sosial tidak membuat kita bahagia.
Hari-hari ketika tanggung jawab terasa lebih besar daripada tenaga. Ketika keputusan harus diambil tanpa keyakinan penuh bahwa keputusan itu akan dipahami. Ketika apa pun yang dilakukan terasa kurang, sementara tuntutan terus datang dari berbagai arah.
Di titik seperti itu, saya mulai bertanya pada diri sendiri: apakah ada yang salah dengan saya? Bukankah kerja ini seharusnya menenangkan?
Pertanyaan itu tidak langsung menemukan jawabannya. Tapi ia terus berputar di kepala, terutama di saat-saat sunyi, saat laporan sudah selesai, rapat telah berlalu, dan tidak ada lagi yang perlu ditunjukkan ke siapa pun.
Dalam ruang sunyi itulah saya perlahan menyadari satu hal: barangkali kita terlalu sering mengaitkan kerja sosial dengan perasaan bahagia. Seolah-olah jika tidak bahagia, berarti ada yang keliru dengan niat atau jalannya.
Padahal, kerja sosial lebih dekat dengan ketahanan daripada kebahagiaan.
Spirit Al-Ma’un mengajarkan keberpihakan pada mereka yang lemah, miskin, dan terpinggirkan. Tapi keberpihakan itu bukan hanya soal memberi. Ia juga tentang kesediaan untuk tetap hadir di tengah situasi yang tidak selalu menyenangkan. Tentang bertahan ketika hasil tidak langsung terlihat. Tentang setia pada proses, bukan sekadar pada perasaan.
Di lapangan, keberpihakan sering menuntut pengorbanan yang tidak selalu romantis. Menunda urusan pribadi. Menyimpan lelah sendiri. Menerima kenyataan bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cepat, apalagi sempurna.
Ada hari-hari ketika saya merasa tidak cukup kuat, tapi tidak juga punya pilihan untuk berhenti. Bukan karena terpaksa, melainkan karena ada amanah yang sudah terlanjur dipegang. Dan amanah, seperti yang sering kita tahu, tidak selalu datang bersama rasa siap.
Saya pernah duduk sendiri di sebuah ruangan kecil, menatap berkas-berkas yang belum selesai, sambil bertanya: sampai kapan bisa bertahan seperti ini? Pertanyaan itu bukan keluhan, tapi pengakuan. Bahwa saya manusia, bukan mesin kebaikan.
Kerja sosial sering menempatkan pelakunya dalam posisi yang serba tanggung. Terlalu kuat untuk mengeluh, terlalu lemah untuk selalu tampak tegar. Terlalu sadar bahwa banyak orang lebih menderita, tapi juga terlalu jujur untuk menyangkal lelah sendiri.
Di sinilah sering terjadi kesalahpahaman. Kita diajarkan untuk ikhlas, tapi jarang diajarkan bagaimana menghadapi lelah saat ikhlas itu terasa berat. Kita diminta bertahan, tapi jarang diberi ruang untuk mengakui bahwa bertahan pun ada batasnya.
Saya belajar bahwa ikhlas bukan berarti tidak merasa apa-apa. Ikhlas justru sering hadir berdampingan dengan lelah, ragu, bahkan keinginan untuk menyerah. Bedanya, ikhlas membuat kita tetap melangkah meski perasaan belum sepenuhnya pulih.
Kerja sosial tidak selalu membuat kita bahagia, tapi ia melatih kita untuk jujur pada diri sendiri. Jujur bahwa ada hari di mana kita kuat, dan ada hari di mana kita hanya bertahan. Dan keduanya sama-sama manusiawi.
Barangkali masalahnya bukan pada kerja sosialnya, tapi pada ekspektasi kita. Kita berharap selalu merasa baik-baik saja, padahal realitas mengajarkan sebaliknya. Bahwa ada fase di mana kerja ini terasa kering, sunyi, dan sepi apresiasi.
Namun justru di fase itulah makna diuji.
Jika seseorang tetap tinggal ketika kebahagiaan tidak hadir, barangkali yang menahannya bukan lagi perasaan, melainkan keyakinan. Keyakinan bahwa ada nilai yang lebih besar dari sekadar rasa senang. Bahwa kebermanfaatan tidak selalu datang bersama rasa puas.
Hari itu, setelah pintu panti akhirnya terbuka dan aktivitas berjalan seperti biasa, rasa berat itu tidak langsung hilang. Tapi saya memilih untuk tidak menuntutnya pergi. Saya biarkan ia ada, sambil tetap menjalani hari.
Mungkin kerja sosial memang tidak selalu membuat kita bahagia. Tapi ia mengajarkan sesuatu yang lebih sunyi dan lebih dalam: kesediaan untuk tetap hadir, meski hati sedang tidak berbunga.
Dan barangkali, di sanalah letak nilainya.
—
Tulisan ini tidak lahir dari ruang yang tenang, apalagi dari jarak yang aman. Ia tumbuh perlahan dari hari-hari yang biasa, dari pekerjaan yang berulang, dan dari perasaan yang sering kali tidak sempat diberi nama.
Saya menulis ini bukan karena merasa sudah selesai, apalagi karena merasa paling tahu. Justru sebaliknya. Tulisan-tulisan di dalamnya lahir dari ketidaksempurnaan, dari kegagalan memahami banyak hal, dan dari upaya untuk tetap jujur di tengah kerja yang menuntut keteguhan.
Kerja sosial sering diceritakan dengan bahasa yang rapi dan penuh optimisme. Ia tampil sebagai kisah tentang pengabdian, kepedulian, dan kebahagiaan karena bisa bermanfaat bagi orang lain. Semua itu benar, namun tidak selalu utuh. Ada bagian-bagian yang jarang dibicarakan: lelah yang tidak selesai, keputusan yang sunyi, dan hari-hari ketika bertahan terasa lebih berat daripada memulai.
tulisan ini mencoba memberi ruang bagi bagian-bagian itu. Bukan untuk mengeluh, bukan pula untuk mencari simpati, melainkan untuk mencatat dengan jujur bahwa kerja kepedulian juga memiliki sisi manusiawi. Ada batas tenaga, ada kegamangan batin, dan ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak selalu menemukan jawaban cepat.
Spirit Al-Ma’un menjadi latar nilai dari tulisan-tulisan ini. Bagi saya, Al-Ma’un bukan sekadar teks yang dibaca atau jargon yang diulang dalam forum. Ia adalah panggilan untuk berpihak, untuk hadir, dan untuk tidak menutup mata terhadap kenyataan. Namun panggilan itu juga menuntut ketahananbukan hanya fisik, tetapi juga batin.
Dalam praktiknya, keberpihakan tidak selalu hadir dalam bentuk yang heroik. Ia sering muncul sebagai keputusan kecil yang harus diambil berulang kali. Datang tepat waktu. Mendengarkan lebih lama. Tetap tinggal ketika keadaan tidak lagi menyenangkan. Banyak dari keputusan itu tidak tercatat dalam laporan, tidak terdokumentasi, dan tidak pula dirayakan.
Tulisan-tulisan di sini adalah catatan dari ruang-ruang seperti itu. Ruang di mana kerja dilakukan tanpa sorak, di mana kepemimpinan dijalani tanpa selalu dipahami, dan di mana nilai diuji bukan oleh kata-kata, melainkan oleh konsistensi.
Saya menyadari bahwa pengalaman saya bukanlah satu-satunya. Setiap orang yang terlibat dalam kerja sosial, pengelolaan lembaga, atau gerakan kepedulian memiliki cerita dan bebannya masing-masing. tulisan ini tidak bermaksud mewakili semuanya. Ia hanya menawarkan satu suara, dari satu tempat, dengan segala keterbatasannya.
Jika pembaca menemukan dirinya merasa dekat dengan beberapa bagian di tulisan ini merasa lelah yang serupa, kegamangan yang sama, atau pertanyaan yang belum terjawab maka tulisan ini telah menjalankan fungsinya. Bukan sebagai penunjuk jalan, tetapi sebagai teman berjalan.
tulisan ini tidak menawarkan solusi cepat. Ia juga tidak menjanjikan ketenangan instan. Yang ia coba lakukan hanyalah menemani, dengan bahasa yang sederhana dan pengalaman yang apa adanya.
Akhirnya, saya berharap ini dibaca dengan perlahan. Seperti kerja yang diceritakannya, ia tidak dirancang untuk diselesaikan dengan tergesa. Biarkan setiap esai berhenti sejenak di pikiran, lalu lanjutkan ketika dirasa siap.
Semampir, dalam segala kesederhanaan dan tantangannya, menjadi saksi dari banyak catatan di tulisan ini. Dari tempat inilah tulisan-tulisan ini berangkat, dan ke tempat inilah ia selalu kembali.
Jika ada satu hal yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini, barangkali hanya ini: kerja sunyi tetaplah kerja yang bermakna. Meski tidak selalu membahagiakan, ia layak dijalani dengan jujur dan dijaga dengan kesetiaan.
—
Ahmad Fathullah, M.Pd

No comments:
Post a Comment