Hampir setiap kerja sosial selalu diawali dengan niat baik. Orang datang membawa semangat, gagasan, dan keinginan untuk berkontribusi. Di awal, semuanya terasa ringan. Ada energi kolektif, ada optimisme, ada keyakinan bahwa perubahan bisa dilakukan bersama-sama.
Namun seiring waktu, satu per satu mulai berkurang.
Tidak selalu dengan konflik. Tidak selalu dengan perpisahan yang jelas. Ada yang perlahan jarang hadir. Ada yang mulai mengambil jarak. Ada pula yang menghilang tanpa banyak penjelasan. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah beberapa orang yang tetap bertahan, menjalani kerja yang sama dengan beban yang kian berat.
Saya sering bertanya dalam hati: mengapa banyak yang mundur di tengah jalan?
Pertanyaan ini tidak lahir dari kekecewaan, melainkan dari keingintahuan. Karena dalam banyak kasus, mereka yang mundur bukanlah orang yang buruk, bukan pula mereka yang sejak awal tidak peduli. Justru sering kali mereka adalah orang-orang yang paling bersemangat di awal.
Di situlah saya mulai memahami bahwa masalahnya bukan pada niat, melainkan pada kesiapan menghadapi realitas.
Kerja sosial jarang berjalan sesuai bayangan. Ia tidak selalu rapi, tidak selalu cepat, dan hampir tidak pernah sempurna. Ada prosedur yang membosankan, konflik kecil yang berulang, dan keterbatasan yang terus muncul meski sudah diantisipasi. Semua itu mengikis semangat pelan-pelan.
Banyak orang siap memulai, tapi tidak semua siap bertahan.
Ada ekspektasi yang tidak terpenuhi. Ada harapan bahwa kerja ini akan selalu terasa bermakna dan memuaskan. Ketika kenyataan menunjukkan sisi lain lelah, stagnasi, dan kesunyian sebagian memilih berhenti. Bukan karena salah, tapi karena tidak sesuai dengan yang dibayangkan.
Saya tidak pernah menyalahkan mereka yang mundur. Setiap orang memiliki batas tenaga dan ruang hidup yang berbeda. Ada tanggung jawab lain yang menunggu, ada kebutuhan pribadi yang tidak bisa terus ditunda. Mundur, dalam banyak kasus, adalah bentuk kejujuran.
Namun dari situ saya belajar satu hal penting: bertahan dalam kerja sosial bukan soal siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling siap menerima kenyataan.
Spirit Al-Ma’un mengajarkan keberpihakan, tapi keberpihakan itu bukan sekadar sikap emosional. Ia menuntut konsistensi. Dan konsistensi tidak selalu tumbuh dari semangat, melainkan dari kesadaran bahwa kerja ini akan panjang dan melelahkan.
Ada hari-hari ketika saya sendiri merasa ingin berhenti. Bukan karena kehilangan kepedulian, tapi karena tubuh dan pikiran meminta jeda. Di saat-saat seperti itu, saya tidak mencari pembenaran moral. Saya hanya mencoba jujur pada diri sendiri: apakah ini lelah yang butuh istirahat, atau tanda bahwa saya memang perlu berhenti?
Tidak semua yang bertahan lebih mulia. Tidak semua yang mundur lebih lemah. Tapi kerja sosial membutuhkan orang-orang yang sadar sejak awal bahwa jalan ini tidak selalu menyenangkan.
Sering kali, yang membuat seseorang bertahan bukanlah besarnya peran, melainkan kesediaan untuk menerima keterbatasan. Menerima bahwa perubahan kecil pun sudah berarti. Bahwa tidak semua usaha akan terlihat hasilnya. Bahwa ada kerja yang harus dilakukan meski tanpa sorotan.
Saya melihat banyak gerakan berhenti bukan karena kekurangan dana atau sumber daya, tetapi karena kelelahan batin yang tidak diantisipasi. Karena ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap rasa puas dan apresiasi.
Di titik ini, bertahan menjadi pilihan yang sunyi. Tidak heroik, tidak selalu membanggakan. Hanya pilihan untuk tetap tinggal, mengerjakan yang bisa dikerjakan, dan menyerahkan sisanya kepada waktu.
Mungkin memang tidak semua orang harus bertahan. Dan mungkin itu tidak apa-apa. Gerakan yang sehat juga perlu sirkulasi. Ada yang datang, ada yang pergi.
Namun bagi mereka yang memilih tetap tinggal, barangkali bukan karena mereka paling kuat. Melainkan karena mereka sudah berdamai dengan kenyataan bahwa kerja ini tidak selalu memberi apa yang kita harapkan.
Dan justru dari penerimaan itulah, kerja sunyi bisa terus berjalan.
—
Ahmad Fathullah
Catatan lapangan, Semampir

No comments:
Post a Comment