A.
PENDAHULUAN
Setelah
pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam
sejarah pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman
Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap
pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilāfah
kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya. pendiri dari khilafah ini adalah
adalah Abdullah
al-Saffah ibnu Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Pada permulaan masa Abbasiyah
pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara
islam. Sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar
di kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda berlomba-lomba untuk menuntut
ilmu pengetahuan, pergi kepusat-pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan
ilmu pengetahuan.
Kerajaan islam di Timur yang
berpusat di Baghdad dan Cordova telah menunjukan
dalam segala cabang ilmu pengetahuan sehingga kalau kita buka lembaran sejarah
dunia pada masa keemasan, yang bermula dengan berdirinya kerajaan Abbasiyah di
Bagdad. Kekuasaannya berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Dan di masa
Dinasti Abbasiyah ini telah banyak kemajuan-kemajuan yang didirikan oleh
Dinasti Abbasiyah, dan telah muncul beberapa
tokoh ahli dalam berbagai macam bidang mulai dari bidang ilmu
pengetahuan, sosial budaya, dan
pembangunan, yang mana kemajuan-kemajuan tersebut menjadi konstribusi terhadap
dunia islam hingga sampai dunia barat, dan sampai sekarang.
B. ASAL-USUL
DAN PEMBENTUKAN BANI ABBASIYAH
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah,
sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah kturunan
Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw.Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas.Kekuasaannya
berlagsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun132 H (750 M) s.d. 656 H
(1258 M).selama dinasti ini berkuasa, pola pemarintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Dan perubahan
pola pemerinta dan politik itu, para sejaarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1.
Periode
Pertama (132 H/750 M – 232 H/843 M).
disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode
Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh.
3.
Periode
Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4.
Periode
Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.te
5.
Periode
Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa
khalifah
bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad.
Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri dinasti ini
sangat singkat yaitu dari tahun 750 M. karna itu, Pembina sebenarna dari daulah
dari Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M). Dia dengan ykeras
menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang
merasa dikucilkan dari kekuasaan.
Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali,
keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah
sebelumnya di Syi’ah dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh
Abu Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’ far. Pada mulanya, ibu kota
negara adalah Al-Hasyimiyah, dengan Kufah. Namun, untuk lebih menjaga
stabilitas Negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara
ke kota yang baru dibangunnya. Demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas
berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Khalifah
Al-Manshuhr berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya Di antara
usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Bala tentaranya melintasi
pegunungan Taurusdan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai
dengan kaisar Constantine V. Dan bala tentaranya juga berhadapan dengan
pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kaspi, Turki di bagian lain Oskus dan India.
Pada
masa Al-Mansur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia bseserkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya
saya adalah kekuasaan tuhan di bumi-Nya)”. Konsep khilafah dalam pandangannya
dan berlanjut ke generasi ssesudahnya yang merupakan mandat dari Allah, bukan
dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al-khulafa’ al-Rasyadun. Di samping itu
berbeda dari daulat Umayyah, khalifah-khalifah
Abbasiyah memakai “gelar tahta” seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta”
Abu Ja’far. Gelar itu lebih populer dari
pada nama yang sebenarnya.
Dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan
dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Al-Ja’far Al-Manshur, maka puncak
keemasannya dari dinasti ini bereda pada tujuh khalifah sesudahya, yaitu
Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M),
Harun Al-Rasyid (786-806 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim
(833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).
Popularitas
daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809
M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang dimanfaatkan Harun
Al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan pada masa inilah Negara Islam menempatkan
dirinya sebagai nagara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun pengganti
Al-Rasyid, pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku asing digalakkan.
Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah dari golongan
Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa
Al-Ma’mum inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Dari
gambaran di atas terlihat bahwa, dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih
menekankan pembinaan peradapan dan kebudayaan Islam dari pada perluasan
wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Sebagaimaana diuraikan di
atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi,
tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri.
Sebagian di antaranya sudah di mulai sejak awal kebangkitan islam. Dalam bidang
pendidikan, misalnya di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang.
Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat.
a.
Maktab/Kuttab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-sadar bacaan, hitungan
dan tulasan: dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, separti:
tafsir, hadist, fiqih, dan bahasa.
b.
Tingkat
pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, ilmu yang
dituntut adalah ilmu-ilmu agama.
Pelajaran berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah para
Lembaga-lembaga
ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya
perpustakaan dan akademi. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa
Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani
Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu
paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1)
Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan.
2)
Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah
Al-Manshur hingga harun Al-Rasyid. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah
Al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Dan fase
ketiga berlangsung setelah tahun 300 H.
Dalam
bidang tafsif, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi
tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat. Kedua,
tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada
hadits dan pendapat sahabat. Kedua
metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi
bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi (tafsir
rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu
pengetahuan. Ilmu-ilmu mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan
Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat
hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kuffah,kota yang berada
di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai
tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik
(713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madina. Pendapat
dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’I (767-820 M) Dan Imam ibn
Hanbal (780-855 M).
Aliran-aliran
teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti khawarij, murjiah, dan
Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Asy’ariyah,
aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu-Hasan Al-Asy’ari (873-935 M) yang lahir pada masa
Bani Abbasiyah ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani, karena
Al-Asy’ari sebelummnya adalah pengikut Mu’tazilah. Pengaruh garakan terjemahan
terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang
astronomi, kedokteran, filsafat, kimia , dan sejarah.
Tokoh-tokoh
terkenal dalam bidang filsafat, antara lain AL-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Al-Farabi banyak yang menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan,
etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak
mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya ialah al-syifa’.
Demikian
kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam
pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajun politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradapan dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan
ini mencapai puncaknya returama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama.
Namun setelah periode ini trakhir, Islam mengalami masa kemunduran.
C.
SISTEM PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH
Pada masa Dinasti Abassiyah pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1]Namun, secara umum sistem
pemerintahan berbentuk monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan ini
merupakan sistem pemerintahan tertua di dunia.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik pada masa Dinasti
Abbasiyah, Al Ustadz Muhammad Al-Khudari membagi periode masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode.[2]Kelima periode tersebut,
yaitu:
1.
Masa
Abbasiyah I (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
2.
Masa
Abbasiyah II (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
3.
Masa
Abbasiyah III (334 H/945 M - 447 H/1055 M), yaitu masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4.
Masa
Abbasiyah IV (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), yaitu masa kekuasaan dinasti Bani
Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Masa ini disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua.
5.
Masa
Abbasiyah V (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.[3]
Masa Dinasti
Abbasiyah pertama, dikenal dengan masa keemasan Islam (The Golden Age in
Islam).Kekuasaan khalifah pada masa ini dipegang oleh orang-orang Persia
dimana secara politis, khalifah empunyai kekuasaan penuh atas pemerintahan.
Adapun para khalifah pada masa Dinasti Abbasiyah I, yaitu :
No
|
Nama
|
Lama Jabatan
|
Periode Jabatan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
|
As-Saffah
Al-Manshur
Al-Mahdi
Al-Hadi
Ar-Rasyid
Al-Amin
Al-Ma’mun
Al-Mu’tashim
Al-Watsiq
|
4 tahun
22 tahun
10 tahun
1 tahun 3 bulan
23 tahun 2 bulan
4 tahun 8 bulan
20 tahun
8 tahun 8 bulan
5 tahun 9 bulan
|
132-136 H / 750-754 M
136-158 H / 754-775 M
158-169 H / 775-785 M
169-170 H / 785-786 M
170-193 H / 786-809 M
193-198 H / 809-813 M
198-218 H / 813-833 M
218-227 H / 833-842 M
227-232 H / 842-847 M
|
Sentral kekuasaan dalam sistem pemerintahan pada masa Daulah Bani
Abbasiyah pertama berada pada tangan khalifah. Bani Abbasiyah tidak hanya
menempatkan diri sebagai penguasa politik,
melainkan juga menjabat sebagai pemimpin tertinggi agama. Sehingga
sistem monarki yang digunakan mempunyai keuntungan, salah satunya untuk
mempermudah penyebaran agama.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan itu berasal dari Allah, bukan dari rakyat. Hal ini bertentangan
dengan aplikasi sistem pemerintahan yang digunakan oleh Abu Bakar dan Umar pada
zaman Khulafa’urrasyidin. Umar bin Khattab pada saat itu mengatakan “Lastubikhayrin
min ahadikumwalakinnautsaqqilukumhamla”. Sedangkan di sisi lain khalifah
Al-Manshur mengatakan bahwa, “Saya adalah sultan Tuhan di atas bumi-Nya.”
Dalam menjalankan pemerintahan,
khalifah Dinasti Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh wazir, yaitu
seorang perdana menteri yang menjadi kaki tangannya khalifah. Wazir mewakili khalifah dalam
memerintah negeri-negeri, mengangkat pegawai dan menarik pajak. Jabatan eorang wazir disebut wizaraat. Wizaraat
ini dibagi menjadi 2, yaitu :
- Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah.
- Wizaaratul Tafwidl (parlemen kabinet) yaitu wazir yang berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan khalifahs ebagail ambangs aja.
Jadi dapat dikatakan bahwa pada diri wazirterdapat
dua kekuasaan, yaitu kekuasaan sipil dan kekuasaan militer di samping tuga
sutama seorang wazir sebagai penasehat dan pembantu khalifah.
Selain itu untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata
usaha negara diadakan sebuah dewan bernama diwanul kitaabah (sekretariat
negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara).
Dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu oleh beberapa raisul
diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat
sentralistik yang dinamakan an-nidhamulidary al-markazy. Selain itu pada
masa Dinasti Bani Abbasiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara,
baitul maal dan organisasi kehakiman.
Ketika beban pekerjaan wazir banyak dan menumpuk, maka diangkatlah
para khati untuk membantu pekerjaan wazi rtersebut. Para khatib
itu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu Katibur-Rasail, Khatibul-Kharraj,
Khatibul Jundi, Khatibul Syarathah, dan Katibul Qadhi.
Sistem pemerintahan Bani Abbasiyah mengikuti pemerintahan
Bani Umayyah dalam bentuk hajib. Hajib itu sendiri merupakan
suatu kedudukan yang tinggi dalam istana dan merupakan pejabat tinggi yang
bertugas mengatur orang yang ingin bertemu dengan khalifah.Jadi siapapun yang
ingin bertemu dengan khalifah, baik untuk menyampaikan aspirasia taupun
menyampaikan keluh kesahnya sebagai rakyat maka ia harus lapor terlebih dahulu
kepada hajib.
Pada masa Abbasiyah kedua, khalifah-khalifah lebih banyak
dikendalikan oleh orang-orang Turki.
Pada masa ini ajaran Salaf kembali muncul dan aliran Mu’tazilah mengalami
kemunduran. Adapun para khalifah pada masa DinastiAbbasiyah kedua, yaitu :
No
|
Nama
|
Lama Jabatan
|
Periode Jabatan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
|
Al-Mutawakkil
Al-Muntashir
Al-Musta’in
Al-Mu’taz
Al-Muhtadi
Al-Mu’tamid
Al-Mu’tadhid
Al-Muktafi
Al-Muqtadir
Al-Qaahir
Ar-Radhi
Al-Muttaqi
Al-Mustakfi
|
14 tahun 9 bulan
6 bulan
3 tahun 9 bulan
3 tahun 8 bulan
11 bulan
23 tahun 6 bulan
9 tahun 9 bulan
6 tahun 9 bulan
25 tahun
1 tahun 5 bulan
6 tahun
4 tahun
1 tahun 4 bulan
|
232-247 H / 847-861 M
247-248 H / 861-862 M
248-252 H / 862-866 M
252-255 H / 866-868 M
255-256 H / 868-869 M
256-279 H / 869-892 M
279-289 H / 892-902 M
289-295 H / 902-908 M
296-320 H / 908-932 M
320-322 H / 932-934 M
322-329 H / 934-940 M
329-333 H / 940-944 M
333-334 H / 944-945 M
|
Masa Abbasiyah ketiga ditandai dengan besarnya pengaruh keluarga
Bani Buaihi yang merupakan penganut aliran syi’ah. Khalifah dan kebanyakan
rakyatnya tetap sebagai orang-orang Sunni. Adapun para khalifah pada masa
ini, yaitu:
No
|
Nama
|
Lama Jabatan
|
PeriodeJ abatan
|
1.
2.
3.
4.
|
Al-Muthi’
Ath-Tha’i
Al-Qadir
Al-Qaim
|
29 tahun 5 bulan
17 tahun 8 bulan
41 tahun 1 bulan
44 tahun 9 bulan
|
334-363 H / 945-973 M
363-381 H / 973-991 M
381-422 H / 991-1033 M
422-467 H / 1033-1070 M
|
Masa bani Abbasiyah keempat ditandai dengan besarnya
peranan Bani Saljuk dalam mengendalikan pemerintahan. Adapun para khalifah pada
masa ini, yaitu:
No
|
Nama
|
Lama Jabatan
|
Periode Jabatan
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Al-Muqtadi
Al-Mustazhir
Al-Murtasyid
Ar-Rasyid
Al-Muqtafi
|
19 tahun 8 bulan
25 tahun 7 bulan
17 tahun 7 bulan
11 bulan
24 tahun
|
467-487 H / 1073-1094 M
487-512 H / 1094-1118 M
512-529 H / 1118-1134 M
529-530 H / 1134-1135 M
530-555 H / 1135-1160 M
|
Pada masa Daulah Abbasiyah kelima, terjadi interverensi
Daulah Khawaismi danj atuhnya Baghdad ketangan tentara Mongol. Adapun para khalifah
pada masa ni, yaitu:
No
|
Nama
|
Lama Jabatan
|
Periode Jabatan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Al-Mustanjid
Al-Mustadhi
An-Nashir
Az-Zhahir
Al-Mustanshir
Al-Musta’shim
|
10 bulan
9 tahun
46 tahun 11 bulan
9 bulan
18 tahun
16 tahun
|
555-556 H / 1160-1170 M
556-575 H / 1170-1179 M
575-622 H / 1179-1225 M
622-623 H / 1225-1226 M
623-641 H / 1226-1243 M
641-656 H / 1243-1257 M
|
Dalam
pemerintahannya, dinasti ini memberikan julukan seperti al-Mahdi, al-Ma’mun,
dan al-Qadir kepada setiap raja yang memerintah sebagai penghargaan akan
jasa mereka terhadap kerajaan, dan juga untuk menunjukan hubungan mereka dengan
Allah, dan mereka mengadopsi titel al-Imam sebagai pengganti kata
khalifah. Pada dasarnya, pemerintahan dinasti abbasiyah fokus dalam
mengkonsolidasikan gaya kepemimpinan islam, mengembangkan budaya timur tengah,
serta mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menjadikan dunia Islam sebagai
pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani
dan Persia yang dibuktikan dengan munculnya ilmuan muslim dizaman tersebut.
Pada
masa pemerintahan al-Mansur, khalifah kedua dinasti ini menggabungkan dan
memperkuat kekuatan dinasti abbasiyah dengan caranya sendiri, yaitu: (1)
menyingkirkan rival dinasti, baik yang berada dipemerintahan maupun
diluar lokasi;(2) menjadikan baghdad sebagai ibu kota dinasti, sehingga kota
ini menjadi pusat ekonomi, budaya, dan intelektual dunia islam, ditambah
dengan adanya dukungan penuh khalifah dan wazirnya untuk para pelajar dalam
melakukan penterjemahan yang dapat meningkatkan keilmuan muslim dengan ruang
lingkup budaya asing sehingga memunculkan kesadaran bagi orang muslim untuk
belajar lebih giat.
Puncak
keemasan dalam ilmu pengetahuan dicapai pada masa khalifah Harun ar-Rasyid
dengan didirikannya perpustakaan bayt al-Hikma, tempat dimana para
ilmuan muslim dan non-muslim berkumpul untuk menterjemah karya ilmuan yunani
seperti Archimedes, Aristoteles, Aristophanes, Euclid, Euripides, Herodotus,
Hippocrates, Homer, Sophocles, dan Plato dan berdiskusi tentang masalah ilmiah.
Pada masa al-Ma’mun, perpustakaan ini mampu mencetak ilmuan-ilmuan muslim
seperti al-Khawarizmi, al-Kindi, Mohamed jafar ibn musa, dan Ahmad ibn musa.
Terjemahan biasanya banyak bergerak dibidang astrologi, matematika, pertanian,
filsafat, dll.
D. KEMAJUAN-KEMAJUAN
DI MASA BANI ABBASIYAH
Masa ini
adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat islam sebagai pusat dunia dalam
berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan:
1.
Administratif pemerintahan dengan biro-bironya
Dalam menjalankan sistem teknis
pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh Al-Mahdi;
dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan
at-taqwi) yang menangani semua surat resmi, dokumen politik serta instruksi
dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan
pos. Dewan penyelidik keluhan (dewan
an-nazar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tinggi untuk menangani
kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Cikal bakal dewan ini dapat
dilacak pada masa Dinasti Umayah, karena Al-Mawardi meriwayatkan bahwa Abd
Al-Malik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk
mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyat.
2.
Sistem organisasi
Sistem militer terorganisasi dengan
baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara
reguler. Pasukan tetap (jund) yang
bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan
yang dibayar secara berkala oleh pemerintah). Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwi’ah (sukarelawan)yang hanya
menerima gaji ketika bertugas. Pada masa-masa awal pemerintahan khalifah
Dinasti Abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infanteri, di samping gaji dan
santunan rutin sekitar 960 dirham per tahun, pasukan kavaleri menerima dua kali
lipat dari itu.
3.
Administrasi wilayah pemerintahan
Provinsi Dinasti Abbasiyah
mengalami perubahan dari masa ke masa,dan klasifikasi politik juga tidak
terlalu terkait dengan klasifikasi geografis. Berikut ini merupakan
provinsi-provinsi utama pada masa awal kekhalifahan baghdad:
1) Afrika
2) Mesir
3) Suriah dan Palestina
4) Hijaz dan Yamamah
5) Yaman dan Arab
6) Bahrain dan Oman
7) Sawd atau Irak
8) Jazirah
9) Azerbainjan
10) Jibal
4.
Pertanian, perdagangan, dan industri
Bidang pertanian maju pesat pada
awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada
didaerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad.
Pertanian merupakan sumber utama pemasukan negara dan pengolahan tanah hampir
sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan
pada masa rezim baru.Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa-desa yang
hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara
bertahap.Mereka membuka kembali saluran irigasi yang lama dari sungai Efrat,
dan membuat saluran irigasi baru sehingga membentuk sebuah “jaringan yang
sempurna”.Ada 113 Kanal besar pertama, yang disebut Nahr ‘Isa setelah digali kembali oleh keluarga Al-Mansur,
menghubungkan aliran sungai Efrat di Anbar sebelah barat laut dengan sungai
Tigris di Baghdad.Salah satu cabang utama Nahr ‘Isa adalah Sharah.Kanal
terbesar kedua adalah Nahr Sharshar, yang bertemu dengan sungai Tigris di
daerah Madain.Kanal ketiga adalah Nahr Al-Malik (“sungai raja”), yang
tersambung ke sungai Tigris di bawah Madain.Di bawah dua sungai itu terdapat
Nahr Kutsa dan Sharah Besar, yang mengairi sejumlah saluran. Kanal lainnya, Dujayl
(sungai yang lebih kecil dari Diljah, Tigris), yang awalnya menghubungkan
Tigris dengan Efrat, semakin dangkal pada abad ke-10, dan nama itu kemudian
menjadi nama kanal baru berbentuk oval, yang merupakan cabang dari sungai
Tigris di bawah Kadisiyah dan membuat beberapa cabang lain sebelum akhirnya
bertemu kembali dengan sungai Tigris.
Tulang punggung perdagangan ini
adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina kepada dunia barat. Biasanya,
jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan
Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding wilayah-wilayah
dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadapan. Barang-barang dagangan
biasanya diangkut secara estafet; hanya sedikit khafilah yang menempuh sendiri
perjalanan sejauh itu.Akan tetapi, hubungan diplomatik telah dibangun sebelum
orang Arab terjun kedunia perdagangan.Pada pertengahan abad ke-8 telah
dilakukan pertukaran duta. Dalam catatan Cina abad itu, kata amir al-muminin diucapkan dengan hanmi mo mo ni oleh Abu Al-Abbas,
khalifah Dinasti Abbasiyah pertama, A bo
lo ba; dan Harun, A lun. Pada
masa khalifah-khalifah itu terdapat sejumlah orang Islam yang menetap di Cina.
Pada mulanya, Islam itu di kenal dengan sebutan Ta syih dan kemudian Hui Hui
(pengikut Muhammad). Perdagangan di Meditarania Arab tidak pernah mencapai
kemajuan yang berarti.
Namun. pada masa Abbsiyah,
orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah,
kapur barus, dan sutra dari kawasan Asia yang lebih jauh, juga mengimpor
gading, kayu eboni, dan budak kulit hitam dari Afrika. Para pengusaha dari
Bashrah yang membawa dagangannya dengan kapal laut ke berbagai negeri yang
jauh, masing-masing membawa muatan bernilai lebih dari satu juta dirham.Tingkat
aktivitas perdagangan semacam itu didukung pula oleh pengembangan industri
rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di
berbagai pelosok kerajaan.
5.
Islamisasi keislaman
Sebanyak 5.000 orang kristen Banu
Tanukh di dekat Alleppo mengikut perintah khalifah Al-Mahdi untuk masuk islam.
Proses konversi secara normal berjalan lebih gradual, damai, dan bersifat
pasti. Penduduk Persia baru beralih ke agama islam pada abad ketiga setelah
wilayah itu dikuasai islam. Sebelumnya meraka menganut zoroater .
6. Bidang kedokteran
Dari tulisan
Ibn Maskawayh, kita mendapatkan sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling
tua tentang optalmologi.Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh
hadits Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua kelompok: teologi dan
kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus merupakan seorang teolog.
Nama paling
terkenal dalam catatan kedokteran Arab setelah Ar-Razi adalah Ibn Sina
(Avicenna, yang masuk ke bahasa Latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina,
980-1037) yang disebut oleh orang Arab sebagai Asy-Syaikh Ar Ra’is,
“pemimpin” (orang terpelajar) dan “pangeran” (para pejabat). Ar-Razi lebih
menguasai kedokteran dari pada Ibn Sina, sedangkan Ibn Sina lebih menguasai
filsafat dari pada Ar-Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof, dan penyair
inilah, ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi.
Di antara
karya-karya ilmiahnya, dua buku yang paling unggul adalah Kitab Asy-Syifa’ (buku tentang penyembuhan), sebuah buku
ensiklopedia filsafat yang didasarkan atas tradisi Aristotelian yang telah
dipengaruhi oleh neo-Platonisme dan teologi islam, serta Al-Qanun fi
Ath-Thibb yang merupakan kondifikasi pemikiran kedokteran yunani Arab. Teks
berbahasa arab dari buku Al-Qanun diterbitkan di Roma pada 1593.
Seiring dengan ilmu-ilmu lain,
ilmu kedokteran juga sempat mencapai masa keemasannya, daulah Abbasiyah telah
melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran banyak
didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit besar yang
berfungsiselain sebagai perawatan para pasien,juga sebagai ajang peraktek para
dokter dan calon dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:
a.
Sekolah tinggi kedokteran di
Yunde Shafur (Iran)
b.
Sekolah tinggi kedokteran di
Harran (Syria)
c.
Sekolah tinggi kedokteran di
Bagdad.
Adapun para dokter yang populer
pada masa itu antara lain:
1)
Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih,
seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde Shafur.
2)
Sabur bin sahal, direktur rumah
sakit Yunde Shafur.
3)
Hunain bin Ishak (194-264 H/
810-878 M) seoranng ahli penyakit mata ternama.
4)
Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah
sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit campak dan cacar, dan dia juga
orang pertam yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
5)
Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037
M). Ia seorang ilmuan yang multi dimensi, yakni selain mengasai ilmu
kedokteran, juga ilmu-ilmu lain, seperti
filsafat dan sosiologi. Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah
pada manusia diantara karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang merupakan
ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah[4].
Dalam rangka menyebarkan
kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh
khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya
berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga
mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka
mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu farmasi.
Rumah sakit itu juga merupakan
tempat praktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit,
tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak
terpisah dari rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam juga
berfungsi sebagai lembaga pendidikan[5].
7. Perkembangan Ilmu-ilmu Non
Keislaman (Filsafat, Astronomi, dan lain-lain),
Para Ilmuan Muslim dan
Kepakarannya
a. Filsafat
Melalui proses penerjemahan
buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami dan
mengkaji filsafat serta mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan
ajaran islam. Sebab itulah lahirla filsafat islam yang akhirnya menjadi
bintangnya dunia filsafat diantara para ahli filsafat yang terkenal pada waktu
itu adalah:
1)
Abu Ishak Al-Kindi (1994-260
H/809-873 M). ia adalah satu-satunya filosof berkebangsaan asli arab, yakni
dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang dari 236 buah buku.
2)
Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M),
Al Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan,
etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles dan karyanya tak kurang
dari 12 buah buku.
3)
Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101
M), beliau dijuluki sebagai hujjatul islam, karyanya tidak kurang dari 70 buah
diantaranya:
a)
Al Munqidz Minadlalal
b)
Tahafutul Falasifah
c)
Mizanul Amal
d)
Ihyaulumuddin
|
e)
Mahkun Nazar
f)
Miyazul Ilmi, dan
g)
Maqashidul Falasifah
|
|
|
4)
Ibnu Rusyd di barat lebih
dikenal dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di barat dalam bidang filsafat,
sehingga disana terdapat aliran yang disebut averroisme[6].
b.
Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi atau
perbintangan berkembang dengan baik, bahkan sampai mencapai puncaknya, kaum
muslimin pada masa bani Abbasiyah mempunyai modal yang terbesar dalam
mengembanngkan ilmu perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan
aliran-aliran ilmu bintang yang berasal atau dianut oleh Yunani, Persia, India,
Kaldan. Dan ilmu falak arab jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam
menentukan garis politik para khalifah dan amir.
Diantara para ahli ilmu astronomi pada masa ini
adalah:
1)
Al-battani atau Albatagnius,
seorang ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
2)
Al-Fazzari, seorang pencipta
atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
3)
Abul Wafak, seorang menemukan
jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah ditemukan oleh ilmuan
yang berkebangsaan Yunani.
4)
Rahyan Al Bairuny, seorang
astronomi.
5)
Abu Mansyur Al Falaky, seorang
ahli ilmu falaq.
Untuk mendukung perkembangan ilmu
ini, para khalifah telah banyak membangun observatorium diberbagai kota,
disamping observatorium milik pribadi ilmuan.
Bidang ilmu matematika juga
mengalami kemajuan pesat, diantara para tokohnya yaitu:
1)
Umar Al Farukhan, seorang
insinyur dan arsitek kota Bagdad.
2)
Al-Khawarizmi, seorang pakar
matematika muslim yang mengarang buku Al-Gebra (Al-jabar). Dan dia juga yang
menemukan angka nol.
d. Ilmu
Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu
farmasi dan kimia pada masa dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak, tetapi
yang paling terkenal adalah ibnu Baithar. Ia adalah seorang ilmuan farmasi yang
produktif menulis, karyanya adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan
lain-lain.
8. Perpustakaan,
dan Toko Buku
Lembaga pendidikan islam pertama
untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al-Hikmah (Rumah Kebijakan) yang didirikan oleh Al-Ma’mun (830
M) di Baghdad, ibukota Negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemah,
lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum,
serta memiliki sebuah observatorium.Pada saat itu, observatorium-observatorium
yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran
Astronomi.
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz
oleh penguasa Buawaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua bukunya disusun
diatas lemari,didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh staf
administrator yang berjaga secara
bergiliran.
Diantara bangunan-bangunan atau
sarana untuk pendidikan pada masa Abbasiyah yaitu:
1.
Madrasah yang terkenal ketika itu
adalah Madrasah Annidzamiyah, yang didirikan oleh seorang perdana
menteri bernama Nidzamul Muluk (456-486 M). Bangunan madrasah tersebut tersebar
luas di kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabaristan, Naisabur dan lain-lain.
2.
Kuttab, yakni tempat belajar bagi para
siswa sekolah dasar dan menengah.
3.
Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga,
ilmuan, para ulama, cendikiawan dan para filosof dalam menyeminarkan dan
mengkaji ilmu yang mereka geluti.
4.
Darul Hikmah, gedung perpustakaan pusat[7].
Di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan
berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan
dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat
itu. Sebelum al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang
dipakai sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa
pada saat itu[8].
Selain banyaknya pembangunan gedung-gedung untuk
pendidikan pada waktu itu terdapat pula para Ilmuwan untuk mengungkap rahasia
alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan
ilmuwan Yunani Kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates, dan
sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad, lalu
diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitian,
Baitul Hikmah, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Sebelum didirikannya madrash-madrasah, terdapat
beberapa yang dijadikan tempat untuk pembelajara. Adapun lembaga-lembaga pendidikan islam yang
sebelum kebangkitan madrasah pada masa klasik, adalah:
1. Suffah
Pada masa Rasulullah SAW, suffah
adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan biasanya tempat ini
menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin
disini para siswa diajari membaca dan menghafal al-qur’an secara benar dan
hukum islam dibawah bimbingan langsung dari Nabi, dalam perkembangan
berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar menghitung,
kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu filsafat.
2. Kuttab atau maktab
Kuttab atau
maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis.
Sedangkan kuttab atau maktab berarti tempat untuk menulis atau tempat dimana
dilangsungkan kegiatan tulis menulis.
Kuttab adalah
tempat memberi pelajaran dasar pada anak-anak, menurut Muniruddin Ahmed semua
tempat-tempat belajar untuk anak-anak disebut kuttab[9].
Ahmad Salabi menjelaskan kuttab
dibagi menjadi 2[10]:
1.
Kuttab untuk belajar menulis dan membaca
2. Kuttab untuk
belajar al Quran dan pokok-pokok agama Islam..
Sejarah Nabi hadits, khususnya
yang berkaitan dengan Nabi SAW. Bahkan dalam perkembangan kuttab dibedakan
menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (secular
learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religius learning).
Dengan adanya perubahan kurikulum
tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga
pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban
helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum,
termasuk filsafat.
3. Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya
proses belajar mengajar disini dilaksanakan dimana murid dan meringkari
gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan
karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan
di halaqah ini tidak khusus untuk megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama,
tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
4. Majlis
Istilah majlis telah dipakai
dalam pendidikan sejak abad pertama islam, mulanya ia merujuk pada arti
tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya
disaat dunia pendidikan islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi
dimana aktivitas pengajaran atau berlangsung.
Seiring dengan perkembangan
pengetahuan dalam islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu
pengetahuan sebagai majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7
(tujuh) macam majlis, sebagai berikut:
1)
Majlis al-hadits
2)
Majlis al-tadris
3)
Majlis al-manazharah
4)
Majlis muzakarah
5)
Majlis al-syu’ara
6)
Majlis al-adab
7)
Majlis al-fatwa dan al-nazar
5. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi
SAW, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum
muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang
lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan.
Perkembangan masjid sangat
signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada
saat masyarakat islam mengalami kemajuan. Urgensi masyarakat terhadap masjid
menjadi semakin kompleks, hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang
menjadi dua bentuk yaitu mesjid sebagai tempat sholat jum’at atau jami dan
masjid biasa.
Kurikulum pendidikan dimasjid
biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-penjabat
pemerintah, seperti, qodhi, khotib dan iman masjid.
6. Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai
penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang
memiliki banyak toko, seperti, khan al narsi yang berlokasi di alun-alun karkh
di bagdad.
7. Ribarth
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi
yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri
untuk semata-mata ibadah.
8. Toko-toko buku dan perpustakaan
Toko-toko buku memiliki peranan
penting dalam kegiatan keilmuan islam, pada awalnya memang hanya manjual
buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat,
bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan disitu.
Disamping tokoh buku, perpustakan juga memilki
peranan penting dalam kegiatan transfer keilmuan islam.
E. FAKTOR-FAKTOR
KEMUNDURAN BANI ABBASIYAH
1.
Disintergrasi
Politik
Pada dinasti
Bani Umayah, puncak disintegrasi terjadi ketika para khalifah tidak lagi
memiliki kekuatan politik untuk menekan gerakan pemberontakan yang dilakukan
oleh kawan politik yang tidak menyukai kepemimpinan para khalifa tersebut. Hal
itu disebabkan antara lain, karena pada masa – masa akhir kekuasaan dinasti
Bani Abbasiyah para khalifahnya tidak memiliki kekuatan dan hanya sebagai
symbol kekuasaan saja. Mereka menjadi boneka para penguasa yang menguasai roda
pemerintahab saat itu, seperti penguasa Bani
Buwahiyah, Bani Saljuk dan para perwira tinggi Turki lainnya. Hal itu
diperparah dengan banyaknya daerah yang mencoba melepaskan diri dari pusat
kekuasaan di Bagdad. Dalam kata lain, disintergrasi politik dan kekuasaan
pemerinyahan Bani Abbasiyah muncul dalam beberapa bentuk. Berikut uraian
singkatnya.
a.
Pemberontakan
Berdasarkan
data dari perjalanan sejarah panjang pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah,
hamper semua khalifah pernah mengalami masa – masa pemberontakan yang di
lakukan oleh kelompok yang tidak menyukai kepemimpinan khalifah–khalifah
tersebut. Sebagai pemberontakan itu dapat diatasi, sehingga tidak menimbulakan
kegoncangan sosial politik dan ekonomi. Tetapi sebagaian lagi tidak dapat
diatasi dengan baik, sehingga membawa dampak negative bagi pemerintahan dan
perekonomian Negara.
b.
Perebutan
Kekuasaan
Sejak
masa–masa awal pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, terlihat ada indikasi
adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Diantara penyebabnya
adalah kurang tegasnya para khalifah dalam menentukan putra mahkota. Contoh
yang dapat dipelajari dari kenyataan ini adalah peristiwa perebutan kekuasaan
antara Al–Amin dengan Al–Makmun masing–masing memiliki kelompok pendukung
fanatik. Al–Amin yang beribukan orang Arab bernama Zubaidah, mendapat dukungan kuat darikelompok masyarakat Arab.
Sementara Al –Makmun, yang beribukan orang Persia bernama Marajil, memiliki pendukung kuat dari kelompok masyarakat Persia.
Perebutan
kekuasaan itu semakin tampak jelas ketika Al–Amin memecat Al–Makmun dari
jabatannya sebagai gubernur di Khurasan. Posisinya sebagai putra mahkota yang
akan menggantikan kedudukannya kelak, diganti oleh putra Al–Amin yang masih
kecil. Pemecatan dan pengangkatan putra mahkota ini menimbulkan amarah
Al–Makmun. Dengan kekuatan 40.000 personel tentara dibawah pimpinan Taber bin Husein, ditambah dengan
dukungan para perwira tinggi yang berasal dari Persia, akhirnya perang saudara
tidak dapat dihindari. Kekuatan Al –Amin yang berjumlah sekitar 10.000 personel
tentara, dapat dikalahkan dalam sebuah pertempuran di Ray pada tahun 811 M.
c.
Kedudukan
Khalifah yang Lemah
Wibawah
khalifah Bani Abbas memudar sejak masa Al-
Watsiq, Al–Mutawakil dan sesudahnya. Tidak ada seorang pun diantara mereka
yang mempunyai kemampuan cukup untuk memimpin kerajaan. Mereka hanya menjadi
boneka kekuasaan para wazir dan para
menteri yang korup dan ambisius. Kelemahan dan ketidak mampuan mereka
dimanfaatkan oleh para pejabat gubernur diberbagai propinsi untuk melepaskan
diri dari pemerintahan pusat. Sebagai contoh, sepeninggal Al–Muntashir
orang–orang Turki mengangkat A–Musta’in sebagai khalifah (248 – 252 H / 862 –
866 M). Sebagai seorang khalifah, mestinya ia memiliki kekuasaan penuh. Tapi
nyatanya, ia banyak diatur oelh orang – orang Turki yang pernah mengangkatnya
dan tidak diizinkan untuk menjalankan roda pemerintaha.[11]
2.
Krisis Ekonomi
Khilafah
Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi . Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.[12] Yang menjadi penyebab terjadinya kemunduran
dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah adalah krisi ekonomi. Krisis
ekonomi ini merupakan akibat langsung dari krisis politik yang terjadi pada
masa itu. Sebab, pergolakan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah
menyebabkan banyak pendapatan Negara yang terhambat masuk. Terhambatnya
pemasukan kas Negara dari berbagai pajak ini disebabkan banyak kelompok yang
enggan membayar, bahkan ada beberapa wilayah yang dengan terang – terangan
menyatakan merdeka dan tidak lagi terikat dengan pemerintahan pusat di Bagdad.
Di antara wilayah yang menolak dan menyatakan merdeka dari Bagdad adalah
Tunisia dan kemudian Mesir ketika berada di bawah kekuasaan dinasti Fathimiyah.
Selain itu,
krisis ekonomi ini juga disebabkan oleh membengkaknya jumlah pengeluaran Negara
yang dipergunakan untuk kepentingan kelompok istana. Semua pengeluaran diambil
dari kas yang ada di baitul mal,
sehingga jumlah uang yang ada pada kas tersebut berkurang. Dalam perkembangan
selanjutnya, ketika tidak ada lagi pemasukan dari kharraj (pajak bumi) dan jizyah
(pajak perkepala / jiwa), yang dipungut dari masyarakat, Negara benar – benar
mengalami krisis ekonomi yang sangat parah.
Sebagai akibat dari krisis
politik dan ekonomi yang berkepanjangan, masyarakat tidak lagi percaya kepada
para pejabat pemerintahan. Bahkan banyak pula di antara mereka yang kemudian
menyusun kekuatan untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap pejabat
pemerintahan Bani Abbas.[13]
3.
Ketergantungan
Pada Tentara Bayaran
Faktor yang
tak kalah pentingnya adalah sifat ketergantungan yang sangat tinggi kepada
tentara bayaran. Sifat ketergantungan ini disebabkan antara lain oleh semakin
canggihnya teknologi perang, sehingga para khalifah tidak lagi banyak
bergantung pada kekuatan milisi. Para penguasa dinasti Bani Abbasiyah ini mulai
melirik kepada kekuatan baru dalam upaya mempertahankan dan menjaga keamanan
pribadi dan keluarga mereka. Mereka menginginkan adanya pengawal yang loyal,
tegas dan berani menjalankan perintah atasan.
Sebagai
konsekuensi dari pengangkatan tentara pribadi dan professional itu, para
khalifah harus memberi gaji atau bayaran yang sesuai dengan jabatan dan
pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengeluaran dana belanja Negara
semakin bertambah. Perilaku ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh para
khalifah, juga para gubernur. Bila mereka menginginkan keselamatan dan
kekuasaan mereka terus bertahan, maka mereka harus mengangkat tentara bayaran.
Ketergantungan
ini dimanfaatkan oleh para tentara bayaran yang kebanyakan berasal dari daerah
Turki. Dengan kemampuan dan kelebihan yang mereka miliki, mereka dapat
melakukan tawar–menawar dalam masalah tugas dan hak yang akan mereka peroleh.
Biasanya para khalifah atau penguasa local tidak banyak pilihan, kecuali
menerima tawaran mereka. Sebab secara fisik, mereka memiliki tubuh lebih besar
dan sudah terbiasa dengan berbagai pertempuran.[14]
4.
Ancaman Dari
Luar
Faktor
eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur adalah
perang Salib yang berlangsung beberapa periode dan menelan banyak korban .
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam.
Namun, diantara komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang
tertarik dengan perang Salib dan melibatkan diri Salib itu.[15]
Pengaruh Salib
juga terlihat dalam penterbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan,
panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi
oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi
dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong kantong
ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam ,
ikut memperbaiki Yerusalem.[16]
Tiga Kerajaan
Pasca Abbasiyah
1.
Kerajaan
Turki Usmani
Pendiri
kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol
dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad , mereka
pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk islam sekitar abad
kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah
tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke 13 M. Di bawah pimpinan Ertogrhul, mereka mengabdikan diri
kepada Sultan Alauddin II. Ertogrhul
meniggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Usman.
Putra Ertogrhul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani. Usman
memerintah antara tahun 1290-1326M. Pada tahun 1300M, bangsa Mongol menyerang
kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian
terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan
dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Usmani
dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut juga
Usman I.
Setapak demi
setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan
Bizantium dan menaklukkan kota Broessa. Pada masa pemerintahan Orkhan kerajaan
Turki Usmani ini dapat menaklukkan Azmir (1327 M), Ankara (1354 M), Uskandar
(1338 M). Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki
kerajaan Usmani. Kemudian diganti dengan Orkhan, berkuasa (761 H/ 1359 M-789 H/
1389 M), selain memantapkan keamanan dalam negeri , ia melakukan perluasan
daerah ke Benua Eropa. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk
memukul mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja
Hongaria. menghancurkan sekutu Kristen
Eropa tersebut.
Ekspansi
kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi diarahkan ke
Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke
Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki
Usmani menalami kekalahan. Bayazid bersama putranya, Musa tertawan dan wafat
dalam tawanan tahun 1403 M. [17] Kemajuan dan perkembangan
ekspansi kerajaan Usmani yang begitu luas dan berlansung dengan cepat itu
diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain.
Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Bidang Kemiliteran dan Pemerintahan
b.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya
c.
Bidang Keagamaan
2.
Dinasti Safawi
Dinasti Safawi berawal dari sebuah pergerakan tarekat di
Ardabil, kota kecil di Azarbaijan, Asia
Kecil.[18] Tarekat ini didirikan
oleh Safiudin (1252-1332 M). Nama gerkan tarekat diambil dari nama pendirinya,
yaitu Saifuddin. Ketika gerakan ini semakin besar dan kuat, dan berhasil
mendirikan sebuah dinasti, nama Safawiyah tetap dipertahankan, sehingga dinasti
yang didirikan oleh gerakan ini disebut dengan dinasti Safawiyah. Tarekat ini
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Tujuan awal dari gerakan tarekat
ini adalah untuk memberantas penyimpangan yang dilakukan masyarakat muslim di
Asia Kecil, yang dikenal dengan sebutan ahli bid’ah. Tetapi karena begitu
fanatiknya para pengikut gerakan tarekat ini, akhirnya gerakan ini yidak hanya
bertujuan memberantas kelompok bid’ah, bahkan melakukan gerakan melawan mereka
yang bukan berasal dari golongan Syi’ah. Sejak saat itu, gerakan tarekat
Safawiyah ini memasuki wilayah politik
praktis.
Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud
konkretnya pada masa kepemimpina Juneid (1447-1460M). Dinasti Safawi memperluas
geraknya dengan menabkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.Perluasan
kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Konyunlu
(domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu.[19] Pada tahun 1460 M, Juneid
mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara
Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.[20] Sepeniggalan Juneid,
pimpinan tarekat Safawiyah digantikan oleh anaknya yang bernama Haidar. Haidar
mengawini putri Uzun Hasan dan melahirkan anak bernama Isma’il. Dialah yang
kelak berhasil mendirikan kerajaan Safawiyah di Persia. Ismail memproklamasikan
dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.[21] Ia disebut juga Ismail I.
Ismail I berkuasa selama lebih kurang 23
tahun. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya.
Ambisi politik mendorongnya untuk terus
mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya seperti ke Turki Usmani.
Akhirya terjadi peperangan dengan Turki Usmani pada tahun 1514 M di Chaldiran.
Namun dalam peperangan ini Ismail mengalami kekalahan dan kondisinya sangat
memprihatinkan. Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, baru bias diatasi
setelah raja Safawi kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1558
– 1628 M.[22]
Masa Kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan
kerajaanSafawi. Dan juga mengalami banyak kemajuan, antara lain:
a.
Bidang Ekonomi
b.
Bidang Ilmu Penetahuan
c.
Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Demikianlah puncak kejayaan yang dicapai oleh kerajaan Safawi.
Walaupun tidak setaraf dengan kemajuan Islam da masa klasik, kerajaan ini telah
memberikan kontribusinya mengisi peradaban islam melalui kemajuan-kemajuan yang
dicapainya.
3.
Kerajaan
Mughal di India
Kerajaan Mughal berdiri seperempet
abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Kerajaan Mughal di India dengan Delhi
sebagai ibu kota, didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530), salah satu dari
cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza yang merupakan seorang penguasa
Farghana, sedang ibunya keturunan Jenghis Khan. Sepeninggalan ayahnya, Babur
yang berusia 11 tahun mewarisi tahta kekuasaan wilayah Farghana. Ia berambisi
dan bertekat akan menaklukkan Samarkand yang menjadi kota penting di Asia
Tengah pada masa itu. Pada mulanya, ia mengalami kekalahan, tetapi karena
mendapat bantuan dari Raja Safawi, Ismail I akhirnya berhasil menaklukkan
Samarkand pada tahun 1494 M.Pada tahun 1504 M, ia menduduki Kabul, ibu kota
Afganistan. Setelah Kabul dapat ditaklukkan, Babur meneruskan ekspansinya ke
India. Kala itu Ibrahim Lodi, penguasa India, dilanda krisis, sehingga
stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Alam Khan, paman dari Ibrahim Lodi,
bersama-sama Daulat Khan, Gubernur Lahore, mengirim utusan ke Kabul, meminta bantuan
Babur untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim Lody di Delhi.[23]
Permohonan itu langung diterimanya. Pada tahun 1525
M, Babur berhasil menguasai Punjab dengan ibu kota Lahore. Setelah itu, ia
memimpin tentaranya menuju Delhi. Pada 21 April 1526 M, terjadilah pertempuran
yang dahsyat di Panipat. Ibrahim Lody beserta ribuan tentaranya terbunuh dalam
menegakkan pemerintahannya di sana. Dengan demikian berdirilah Kerajaan Mughal
di India.
Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh
beberapa orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah:
- Zahiruddin Muhammad Babur (1526-1530)
2.
Humayun (1530-1556)
3.
Akbar (1556-1605)
4.
Jahangir (1605-1627)
5.
Syah Jihan (1628¬-1658)
6.
Aurangzeb (1658-1707)
7.
Bahadur Syah (1707-1712)
8.
Jehandar (1712-1713)
9.
Bahadur Syah (1837-1858)
Kemajuan yang dicapai
Kerajaan Mughal:
- Bidang Politik dan Administrasi Pemerintahan
- Bidang Ekonomi
- Bidang Agama
- Bidang Seni dan Budaya
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kekuasaan dinasti Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun
1858 M yaitu:
- Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.
- Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
- Pendekatan Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melak¬sanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan¬-sultan sesudahnya.
- Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.[24]
F. KONTRIBUSI
DINASTI ABBASIYAH TERHADAP DUNIA ISLAM
Dinasti Bani abbasiyah merupakan dinasti islam yang
paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Keberhasilan menciptakan
pemikiran kreatif dan menghasilkan karya yang monumental dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, peradaban islam, sosial budaya, dan sebagainya, tidak pernah
lepas dari kebijakan-kebijakan khalifah dan para peran tokoh. Para tokoh inilah
yang menjadi ujung tombak di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
islam serta kemajuan sosial budaya.
Dan dari
kemajuan ini terciptakan beberapa sumbangan (konstribusi) dinasti Bani
Abbasiyah terhadap dunia islam hingga kedunia barat,
1.
Dalam bidang sosial budaya
Dalam hal seni
bangunan dan arsitektur masjid, salah satu bangunan masjid yang didirikan pada
masa pemerintah Bani Abbas adalah bangunan Masjid Samarra, di Baghdad. Masjid ini sangat indah yang mewakili
keindahan seni arsitektur pada zamannya. Masjid ini dilengkapi oleh sahn, sebuah lengkungan menyerupai
bentuk piring, sekeliling pinggir sahn
dilengkapi dengan serambi-serambi. Pada setiap sudut masjid didirikan [25]mercu berbentuk bulat yang
terbuat dari batu bata. Hal penting lainya dari gaya dan seni arsitektur Masjid
Samarra adalah tiang-tiang yang
dipasang beratap lengkung. Masjid ini merupakan bangunan yang memiliki seni
arsitektur sangat megah pada zamannya.
Selain Masjid Samarra yang memiliki seni arsitektur
bangunan yang luar biasa, Masjid Ibnu
Thulun juga memiliki keistimewaan dari segi seni bangunan atau
arsitekturnya. Masjid ini didirikan pada tahun 876 M oleh Ahmad bin Thulun,
salah seorang penguasa di wilayah Mesir.[26]
Begitu besar
usaha-usaha yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah untuk mewujudkan suatu negara
yang maju dan berkembang. Tidak hanya dalam pembangunan masjid saja tetapi juga
dalam seni bangunan islam di kota Baghdad yang merupaka ciri khas dan gaya
islam di Baghdad tersendiri yang terwujud
dalam bentuk pilar, lengkung kubah, hiasan lebah bergantung
(muqarnashat) yang menonjol bersusun di depan masjid dan di menara tempat adzan
ataupun di puncak pilar.
Di sekeliling kota, dibangun pagar tembok yang sangat
kuat dan tinggi dengan empat pintu masuk dari empat penjuru.[27]Selain itu, kota di hiasi
dan dilengkapi dengan taman-taman bunga dan berbagai masjid. Sehingga pada masa
dinasti Abbasiyah peradaban islam berpusat di Baghdad karena kemajuan dan
kemegahannya.
2.
Dalam bidang pendidikan dan perpustakaan
Salah satu
kontribusi dinasti Bani Abbasiyah dalam pendidikan adalah adanya biro
penerjemahan Bait Al-Hikmah (rumah
kebijakan) dikenal juga sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum yang
terletak di kota Baghdad.[28] Yang mana tempat tersebut
adalah salah satu titik kemajuan pada dinasti Bani Abbasiyah terhadap dunia
pendidikan.
Selain itu peninggalan dari usaha Bani Abbasiyah untuk
memajukan kekuasaannya adalah perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di
Syiraz oleh penguasa buwaihi, yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, di daftar
dalam katalog, dan diatur dengan baik, sehingga sekarang dijadikan oleh bangsa
modern sebagai perpustakaan digital.
3.
Dalam bidang ilmu pengetahuan
a. Kedokteran
“Ilmu kedokteran adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
berbagai keadaan sehat maupun tidak. Artinya kesehatan bisa hilang, dan jika
hilang, perlu diperbaiki. Dengan kata lain, seni dimana kesehatan berkaitan,
dan akan diperbaiki setelah hilang.“ (Ibnu Sina, Al Qanun fi al-Tibb/The Canon
of Medicine).
Kedokteran merupakan cabang ilmu kesehatan yang mempelajari
tentang cara-cara untuk mempertahankan tubuh dari penyakit dan cara-cara untuk
penyembuhan tubuh dari penyakit tersebut. Dalam kemajuannya, ilmuan muslim
mempunyai pengaruh yang besar dibidang ini,dokter islam Al-Kindi (809-873)
telah menulis buku ‘Ilmu Mata’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi
optics. Salah seorang pengagumnya adalah Roger Bacon. Kemudian ada pula nama Ar-Razi
(865-925 M) yang mengarang sebuah buku
kedokteran berjudul ‘Al-Hawi’. Buku tersebut, atas perintah Raja Charles I
telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Faraj bin Salim (seorang tabib Yahudi) dengan judul continens. Dalam
buku ini termuat rangkuman ilmu pengetahuan ketabiban dari Persi, Yunani dan
Hindu, dan hasil hasil penyelidikan yang dilakukan sendiri.
Dokter Islam lain yang terkenal adalah Ibnu Sina. Ia menulis
buku berjudul ‘al-Qanun fit-Thib’ diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan
judul Qanun of Medicine dan menajdi buku pegangan di pergurua perguruan Eropa
selama 30 tahun terakhir dari abad 15.[29]
Dengan demikian tidak mengherankan jika potret Ibnu Sina dan
al-Razi dijadikan hiasan di ruang besar Fakultas Kedokteran Universitas Persia,
karena dengan jasa-jasanya juga ikhtiyarnya untuk menciptakan suatu karya yang
sangat berharga dan sangat bermanfaat di kalangan dunia islam.
b. Astronomi dan Ilmu Pasti
Dalam bidang ini sarjana Islam
,AL-Khawarizmi, banyak sekali menyumbang dengan karya karyanya dan mempunyai
pengaruh terbesar atas pelik pelik ilmu pasti di abad pertengahan. Ia menulis
buku ‘Al jabr wa al-Muqabalah’, suatu
buku standar ilmu pasti. Buku tersebut
memuat daftar astronomi yang tertua dan al-Khawarizmi merupakan orang pertama
yang menyusun buku ilmu berhitung dan aljabar[30]. Kitab inilah yang memperkenalkan ilmu aljabar
serta nama itu sendiri di benua Eropa. Pengaruhnya diperkuat dengan kenyataan
bahwa ‘alogarisme’ untuk waktu yang lama berarti ‘aritmatik’ dan dewasa ini
dipergunakan sebagai metode untuk mengkalkulasi
yang kini telah dibakukan. Begiu pula bapak kimia Islam ,Jabir Ibnu
Hayyan, (721-815M). Kitab kimianya merupakan buku yang paling berpengaruh di
Eropa dan Asia sampai sesudah abad 14.
c. Filsafat
Sumbangan dari bani Abbasiyah
terhadap islam maupun barat dalam hal filsafat adalah Ibnu Rusyd (1126-1198M),
dan Al Kindi (809-873M). Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator fikiran fikiran
Aristoteles, karenanya dijuluki Aristoteles II, pengaruhnya sangat menonjol atas
pendukung filsafat skholastik Kristen dan fikiran fikiran sarjana Eropa pada Abad pertengahan. Sedang Al Kindi terkenal dengan metode filsafatnya yang
menggabungkan dalil dalil Plato dan Aristoteles dengan cara Neo-Platonis.
Tokoh-tokoh yang lainnya yang
berperan dalam filsafat antara lain al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Farabi banyak
menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan
interpretasi terhadap filsafat Aritoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku
tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya adalah al-syifa’.[31]
d. Ilmu Sejarah dan Sosiologi
Dalam ilmu sejarah dan
sosiologi, muncul nama Ibnu Khaldun (1332-1406M) dengan karya Muqaddimah-nya yang telah memberikan sumbangan dan pengaruh
terhadap pemikiran pemikiran sarjana barat. Dialah yang pertama kali
mengemukakan teori perkembangan sejarah, baik berdasarkan penyelidikan faktor
faktor jasmani dan iklim, mapun kekuatan moral dan rohani.[32]
e. Hadits
Hadits berasal dari bahasa arab
yaitu الحديث yang bermakna
perkataan, dalam syariat islam hadits bermakna segala sesuatu yang disandarkan
pada nabi besar Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun apa yang
dilakukan para sahabat nabi dan disetujui olehnya. Pada zaman dinasti
Abbasiyah, ilmu hadits merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat, bahkan
para ulama hadits dizaman tersebut masih terkenal sampai hari ini, seperti Imam
Bukhori (194-252 H / 810-866 M), Imam Muslim (204-261 H / 820-875 M), Ibnu
Majah (207-273 H / 822-887 M), Abu Dawud (202-275 H / 818-889 M), dan Tirmidzi
(200-279 H / 816-82 M), mereka merupakan para perawi hadits yang terjamin
keshahihannya.
Kumpulan
hadits yang mereka riwayatkan telah dikumpulkan dalam bentuk buku yang diberi
judul atas nama mereka sendiri, seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan
Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, dan Sunan at-Tirmidzi.
f.
Ilmu
fiqh
Dalam
bidang fiqh, para fuqaha’, yaitu ahli
ilmu fiqih yang ada pada masa Bani Abbasiyah, mampu menyusun kitab-kitab
terkenal hingga saat ini, misalnya Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Ia menyusun
kitab Musnad al-imam al-‘A’dhamatau fiqh
al-akbar; Imam Malik (97-179 H) menyusu kitab al-Muwatha’; Imam Syafi’i
(150-204 H) menyusun kitab al-Um dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, Ibnu
Hanbal (780-85 H) meyusun kitab al-Musnad.[33]
Salah
satu kontribusi
Bani Abbasiyah terhadap dunia keislaman dalam bidang ilmu fiqh adalah
terciptanya empat madzab yang mana sampai sekarang dijadikan pedoman bagi
seluruh umat islam sedunia. Empat madzab itu antara lain: Imam Abi Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Pemikiran para ahli fiqih tersebut
kemudian tersebar melalui pemikiran
murid-murid mereka yang ada di seluruh penjuru dunia islam saat itu. Sehingga
pemikiran para imam madzab fiqih tersebut dikenal dan dipraktikkan di dalam
kehidupan masyarakat muslim sehari-hari.
Sebagai
salah satu peradaban yang maju ditengah kegelapan bangsa barat, dinasti
Abbasiyah muncul sebagai peradaban yang sangat memperhatikan kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dengan munculnya ulama dan ilmuan muslim di zaman
tersebut sebagai ahli dalam bidangnya masing-masing, baik bidang agama maupun
dalam bidang perkembangan teknologi dan modernisasi, hal ini dikarenakan mereka
sadar bahwa perkembangan ilmu pengetahuan sangat penting bagi majunya peradaban
Bani Abbasiyah, para ilmuan tersebut sangat berpengaruh baik di timur tengah
maupun di barat, seperti ibnu Sina yang dikenal dibarat sebagai bapak
kedokteran dunia dengan bukunya al qanun fi al-tibb, selain itu ada para
ilmuan dan sejarawan seperti al Biruni, Nasir ad-Din Tusi, al-Kindi,
al-Khawarizmi, Jabir ibn Hayyan, al-Battani, ibn Rusyd,dll. Selain itu,
dibidang medis dan sosiokultural ada al-Washsha. Dan sampai sekarang karya
karya mereka menjadi rujukan para ilmuan zaman sekarang.
G. KESIMPULAN
Dari semua deskripsi yang dituliskan
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Masa dinasti Abbasiyah berdiri selama
kurang lebih 5 abad, dengan para khalifah yang cinta kepada ilmu pengetahuan
sehingga mengantarkan pendidikan Islam ke masa puncak kejayaan ilmu
pengetahuan. Sehingga menjadi kiblat ilmu pengetahuan bagi negara lainnya.
Pada masa Dinasti Abassiyah pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya Namun, secara
umum sistem pemerintahan berbentuk monarki. Monarki atau sistem pemerintahan
kerajaan ini merupakan sistem pemerintahan tertua di dunia.Dalam pemerintahannya, dinasti ini memberikan julukan
seperti al-Mahdi, al-Ma’mun, dan al-Qadir kepada setiap
raja yang memerintah sebagai penghargaan akan jasa mereka terhadap kerajaan,
dan juga untuk menunjukan hubungan mereka dengan Allah
Kemajuan
Diasti Abbasiyah bukan hanya dalam ilmu pengetahuannya bahkan di bidang
administratif pemerintahan dengan biro-bironya, pertanian, perpustakaan seni
rupa dll. Yang paling menonjol dari masa ini adalah bidang ilmu pengetahuannya,
karena sudah melahirkan berbagai macam tokoh ahli yang menciptakan
karya-karyanya dalam bidang ilmu pegetahuan masing-masing yang menjadi
konstribusi terhadap islam maupun barat seperti dua buku karya Ibnu Sinah yang
paling unggul adalah Kitab Asy-Syifa’
(buku tentang penyembuhan),serta Al-Qanun fi Ath-Thibb.
Lembaga-lembaga pendidikan terus
berbenah menjadi lebih baik, dari beberapa lembaga pendidikan yang telah
dituliskan di atas yaitu: kuttab, pendidikan rendah di istana, kedai-kedai saudagar
kitab, perpustakaan, hanya kedai saudagar kitab yang baru muncul pada permulaan
bani Abbasiyah. Untuk lembaga pendidikan yang lainya, merupakan warisan ide
dari pemerintahan dinasti Umayyah, sehingga pemerintahan Abbasiyah tinggal
melanjutkan atau merenovasi.
H.
Refrensi
Murodi, Pendidikan
Agama Islam , Semarang: PT. Karya Toha Putra,2009
Badri yatim,, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada,2008
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung:Pustaka
setia,2008
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984
Asrohah, Hanun.Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta:
Logos Wacana iImu,1999
[1]Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2008), hal.141
[2]Muhammad Al-Khudari, MudharatulUmamilIslamiyah,
(Kairo, 1921), hal. 542
[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
hal.30
[4]Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Bandung: CV Amirco, 1994),
[5]Zuhairini dkk. op. cit., h, 97-98
[6]Ibid, hlm. 26-27
[7]Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Bandung: CV Amirco, 1994), h. 25-26. Pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan
tinggi dengan perpustakaan yang besar karena di samping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi dan menjadi perpustakaan umum
dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di
perpustakaan lainnya.
[8] Sebenarnya pengfungsian masjid semasa Rasulullah SAW masih hidup bukan
hanya difingsikan sebagai tempat ibadah akan tetapi sebagai majlis ta’lim,
tempat untuk menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa,
disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat
menerima duta-duta asing bahkan pada serambi-serambi masjid digunakan untuk tempat tinggal para ahli ilmu yang tidak memiliki
tempat tinggal, yang biasa dikenal par Ahli Shuf.
[10]Salabi, Ahmad.. Sejarah Pendidikan Islam.
(Jakarta: Bulan Bintang.1970), hlm. 33
Melihat dari dua pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli yang mengatakan demikian, berarti fungsi kuttab
yang sebagai tempat untuk melangsungkan kegiatan belajar baik membaca,
mempelajari al-quran dan tulis menulis yang bisa diikuti semua kalangan tanpa
pnadang umur.
[11] Murodi, ,Sejarah
Kebudayaan Islam ,( Semarang:2009), hlm. 131.
[12]
Philip K. Hitti, loc., cit
[13]Murodi
, Sejarah Kebudayaan Islam ,
(Semarang:2009), hlm.136.
[14]Murodi
,Sejarah Kebudayaan Islam ,
(Semarang: 2009), hlm. 136.
[15]
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 35.
[16]
Sir Wiliam Muir, op. cit., hlm. 432
[17]Ibid., hlm.7.
[18] P. M. Holt, The Cambridge History of Islam, vol. IA,
(LondonL: Cambridge University press, 1970), hal. 394.
[19] P.M. Holt, op. cit., hlm. 396.
[20] Carl Brockelmann, Tarikh al- Syu’ub al- Islamiyah,
(Beirul: Dar Al- ‘Ilm, 1974), hlm. 495.
[21]Ibid., hlm. 398.
[22] P. M. Holt, op. cit., hlm. 401- 413.
[23]Murodi ,Sejarah Kebudayaan Islam , (Semarang: 2009), hlm. 136
[24]
http://mashajirismail.wordpress.com/2011/02/02/sejarah-peradaban-islam-pada-kerajaan-mughal-india/
[25] Mercu yaitupuncak bagian
yang tertingi (menara)
[26]Murodi, Pendidikan Agama
Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT. Karya Toha Putra,2009)
hlm:94-95
[27] Murodi, Pendidikan Agama Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT.
Karya Toha Putra,2009) hlm:96
[28] Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
(Bandung:Pustaka setia,2008) hlm:136
[29]Badri yatim.Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada,2008)hlm:58
[30]
Ibid., hlm.88
[31] Badri yatim,, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2008)hlm:
58
[32]Murodi, Pendidikan Agama Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT.
Karya Toha Putra,2009) hlm:108-109
[33]Murodi, Pendidikan Agama Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT.
Karya Toha Putra,2009) hlm:113