11/30/15

PEMBENTUKAN BANI ABBASIYAH




A.   PENDAHULUAN
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat  Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilāfah kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya. pendiri dari khilafah ini adalah adalah Abdullah al-Saffah ibnu Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara islam. Sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar di kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda berlomba-lomba untuk menuntut ilmu pengetahuan, pergi kepusat-pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Kerajaan islam di Timur yang berpusat di Baghdad dan Cordova telah menunjukan dalam segala cabang ilmu pengetahuan sehingga kalau kita buka lembaran sejarah dunia pada masa keemasan, yang bermula dengan berdirinya kerajaan Abbasiyah di Bagdad. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Dan di masa Dinasti Abbasiyah ini telah banyak kemajuan-kemajuan yang didirikan oleh Dinasti Abbasiyah, dan telah muncul beberapa  tokoh ahli dalam berbagai macam bidang mulai dari bidang ilmu pengetahuan,  sosial budaya, dan pembangunan, yang mana kemajuan-kemajuan tersebut menjadi konstribusi terhadap dunia islam hingga sampai dunia barat, dan sampai sekarang.

B.   ASAL-USUL DAN PEMBENTUKAN BANI ABBASIYAH
            Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah kturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw.Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas.Kekuasaannya berlagsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).selama dinasti ini berkuasa, pola pemarintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Dan perubahan pola pemerinta dan politik itu, para sejaarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1.         Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/843 M).  disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.              Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh.
3.         Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam      pemerintahan  khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.         Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki  kedua.te
5.         Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa   
khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
                 Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat yaitu dari tahun 750 M. karna itu, Pembina sebenarna dari daulah dari Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M). Dia dengan ykeras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan  dari kekuasaan. Abdullah bin Ali dan Shalih bin  Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syi’ah dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’ far. Pada mulanya, ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dengan Kufah. Namun, untuk lebih menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya. Demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
            Khalifah Al-Manshuhr berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Bala tentaranya melintasi pegunungan Taurusdan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V. Dan bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan  Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspi, Turki di bagian lain Oskus dan India.
            Pada masa Al-Mansur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia bseserkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan tuhan di bumi-Nya)”. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi ssesudahnya yang merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al-khulafa’ al-Rasyadun. Di samping itu berbeda dari daulat Umayyah, khalifah-khalifah  Abbasiyah memakai “gelar tahta” seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu  Ja’far. Gelar itu lebih populer dari pada nama yang sebenarnya.
Dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Al-Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasannya dari dinasti ini bereda pada tujuh khalifah sesudahya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M),  Harun Al-Rasyid (786-806 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).
            Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai nagara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun pengganti Al-Rasyid, pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mum inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
            Dari gambaran di atas terlihat bahwa, dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradapan dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Sebagaimaana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas.  Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah di mulai sejak awal kebangkitan islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat.
a.     Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak        mengenal dasar-sadar bacaan, hitungan dan tulasan: dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, separti: tafsir, hadist, fiqih, dan bahasa.
b.    Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, ilmu yang dituntut     adalah ilmu-ilmu agama. Pelajaran berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah para
            Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1)    Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu         mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
2)    Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Manshur hingga harun Al-Rasyid. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah Al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Dan fase  ketiga berlangsung setelah tahun 300 H.
            Dalam bidang tafsif, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits  dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kuffah,kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madina. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’I (767-820 M) Dan Imam ibn Hanbal (780-855 M).
            Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti khawarij, murjiah, dan Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Asy’ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu-Hasan  Al-Asy’ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbasiyah ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani, karena Al-Asy’ari sebelummnya adalah pengikut Mu’tazilah. Pengaruh garakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia , dan sejarah.
            Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain AL-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak yang menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya ialah al-syifa’.
            Demikian kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik,  kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajun politik berjalan seiring dengan kemajuan peradapan dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan ini mencapai puncaknya returama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun setelah periode ini trakhir, Islam mengalami masa kemunduran.
C.   SISTEM PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH
Pada masa Dinasti Abassiyah pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1]Namun, secara umum sistem pemerintahan berbentuk monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan ini merupakan sistem pemerintahan tertua di dunia.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik pada masa Dinasti Abbasiyah, Al Ustadz Muhammad Al-Khudari membagi periode masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode.[2]Kelima periode tersebut, yaitu:
1.       Masa Abbasiyah I (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.       Masa Abbasiyah II (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3.       Masa Abbasiyah III (334 H/945 M - 447 H/1055 M), yaitu masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.       Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), yaitu masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Masa ini disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.       Masa Abbasiyah V (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.[3]

Masa Dinasti Abbasiyah pertama, dikenal dengan masa keemasan Islam (The Golden Age in Islam).Kekuasaan khalifah pada masa ini dipegang oleh orang-orang Persia dimana secara politis, khalifah empunyai kekuasaan penuh atas pemerintahan. Adapun para khalifah pada masa Dinasti Abbasiyah I, yaitu :

No
Nama
Lama Jabatan
Periode Jabatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
As-Saffah
Al-Manshur
Al-Mahdi
Al-Hadi
Ar-Rasyid
Al-Amin
Al-Ma’mun
Al-Mu’tashim
Al-Watsiq
4 tahun
22 tahun
10 tahun
1 tahun 3 bulan
23 tahun 2 bulan
4 tahun 8 bulan
20 tahun
8 tahun 8 bulan
5 tahun 9 bulan
132-136 H / 750-754 M
136-158 H / 754-775 M
158-169 H / 775-785 M
169-170 H / 785-786 M
170-193 H / 786-809 M
193-198 H / 809-813 M
198-218 H / 813-833 M
218-227 H / 833-842 M
227-232 H / 842-847 M

Sentral kekuasaan dalam sistem pemerintahan pada masa Daulah Bani Abbasiyah pertama berada pada tangan khalifah. Bani Abbasiyah tidak hanya menempatkan diri sebagai penguasa politik,  melainkan juga menjabat sebagai pemimpin tertinggi agama. Sehingga sistem monarki yang digunakan mempunyai keuntungan, salah satunya untuk mempermudah penyebaran agama.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan itu berasal dari Allah, bukan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan aplikasi sistem pemerintahan yang digunakan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khulafa’urrasyidin. Umar bin Khattab pada saat itu mengatakan “Lastubikhayrin min ahadikumwalakinnautsaqqilukumhamla”. Sedangkan di sisi lain khalifah Al-Manshur mengatakan bahwa, “Saya adalah sultan Tuhan di atas bumi-Nya.”
            Dalam menjalankan pemerintahan, khalifah Dinasti Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh wazir, yaitu seorang perdana menteri yang menjadi kaki tangannya khalifah. Wazir mewakili khalifah dalam memerintah negeri-negeri, mengangkat pegawai dan menarik pajak. Jabatan eorang wazir disebut wizaraat. Wizaraat ini dibagi menjadi 2, yaitu :
  1. Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah.
  2. Wizaaratul Tafwidl (parlemen kabinet) yaitu wazir yang berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan khalifahs ebagail ambangs aja.
            Jadi dapat dikatakan bahwa pada diri wazirterdapat dua kekuasaan, yaitu kekuasaan sipil dan kekuasaan militer di samping tuga sutama seorang wazir sebagai penasehat dan pembantu khalifah.
Selain itu untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu oleh beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamulidary al-markazy. Selain itu pada masa Dinasti Bani Abbasiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal dan organisasi kehakiman.
Ketika beban pekerjaan wazir banyak dan menumpuk, maka diangkatlah para khati untuk membantu pekerjaan wazi rtersebut. Para khatib itu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu Katibur-Rasail, Khatibul-Kharraj, Khatibul Jundi, Khatibul Syarathah, dan Katibul Qadhi.
            Sistem pemerintahan Bani Abbasiyah mengikuti pemerintahan Bani Umayyah dalam bentuk hajib. Hajib itu sendiri merupakan suatu kedudukan yang tinggi dalam istana dan merupakan pejabat tinggi yang bertugas mengatur orang yang ingin bertemu dengan khalifah.Jadi siapapun yang ingin bertemu dengan khalifah, baik untuk menyampaikan aspirasia taupun menyampaikan keluh kesahnya sebagai rakyat maka ia harus lapor terlebih dahulu kepada hajib.
            Pada masa Abbasiyah kedua, khalifah-khalifah lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang  Turki. Pada masa ini ajaran Salaf kembali muncul dan aliran Mu’tazilah mengalami kemunduran. Adapun para khalifah pada masa DinastiAbbasiyah kedua, yaitu :
No
Nama
Lama Jabatan
Periode Jabatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Al-Mutawakkil
Al-Muntashir
Al-Musta’in
Al-Mu’taz
Al-Muhtadi
Al-Mu’tamid
Al-Mu’tadhid
Al-Muktafi
Al-Muqtadir
Al-Qaahir
Ar-Radhi
Al-Muttaqi
Al-Mustakfi
14 tahun 9 bulan
6 bulan
3 tahun 9 bulan
3 tahun 8 bulan
11 bulan
23 tahun 6 bulan
9 tahun 9 bulan
6 tahun 9 bulan
25 tahun
1 tahun 5 bulan
6 tahun
4 tahun
1 tahun 4 bulan
232-247 H / 847-861 M
247-248 H / 861-862 M
248-252 H / 862-866 M
252-255 H / 866-868 M
255-256 H / 868-869 M
256-279 H / 869-892 M
279-289 H / 892-902 M
289-295 H / 902-908 M
296-320 H / 908-932 M
320-322 H / 932-934 M
322-329 H / 934-940 M
329-333 H / 940-944 M
333-334 H / 944-945 M

            Masa Abbasiyah ketiga ditandai dengan besarnya pengaruh keluarga Bani Buaihi yang merupakan penganut aliran syi’ah. Khalifah dan kebanyakan rakyatnya tetap sebagai orang-orang Sunni. Adapun para khalifah pada masa ini,  yaitu:
No
Nama
Lama Jabatan
PeriodeJ abatan
1.
2.
3.
4.
Al-Muthi’
Ath-Tha’i
Al-Qadir
Al-Qaim
29 tahun 5 bulan
17 tahun 8 bulan
41 tahun 1 bulan
44 tahun 9 bulan
334-363 H / 945-973 M
363-381 H / 973-991 M
381-422 H / 991-1033 M
422-467 H / 1033-1070 M

            Masa bani Abbasiyah keempat ditandai dengan besarnya peranan Bani Saljuk dalam mengendalikan pemerintahan. Adapun para khalifah pada masa ini, yaitu:
No
Nama
Lama Jabatan
Periode Jabatan
1.
2.
3.
4.
5.
Al-Muqtadi
Al-Mustazhir
Al-Murtasyid
Ar-Rasyid
Al-Muqtafi
19 tahun 8 bulan
25 tahun 7 bulan
17 tahun 7 bulan
11 bulan
24 tahun
467-487 H / 1073-1094 M
487-512 H / 1094-1118 M
512-529 H / 1118-1134 M
529-530 H / 1134-1135 M
530-555 H / 1135-1160 M

            Pada masa Daulah Abbasiyah kelima, terjadi interverensi Daulah Khawaismi danj atuhnya Baghdad ketangan tentara Mongol. Adapun para khalifah pada masa ni, yaitu:
No
Nama
Lama Jabatan
Periode Jabatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Al-Mustanjid
Al-Mustadhi
An-Nashir
Az-Zhahir
Al-Mustanshir
Al-Musta’shim
10 bulan
9 tahun
46 tahun 11 bulan
9 bulan
18 tahun
16 tahun
555-556 H / 1160-1170 M
556-575 H / 1170-1179 M
575-622 H / 1179-1225 M
622-623 H / 1225-1226 M
623-641 H / 1226-1243 M
641-656 H / 1243-1257 M

Dalam pemerintahannya, dinasti ini memberikan julukan seperti al-Mahdi, al-Ma’mun, dan al-Qadir kepada setiap raja yang memerintah sebagai penghargaan akan jasa mereka terhadap kerajaan, dan juga untuk menunjukan hubungan mereka dengan Allah, dan mereka mengadopsi titel al-Imam sebagai pengganti kata khalifah. Pada dasarnya, pemerintahan dinasti abbasiyah fokus dalam mengkonsolidasikan gaya kepemimpinan islam, mengembangkan budaya timur tengah, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia yang dibuktikan dengan munculnya ilmuan muslim dizaman tersebut.
Pada masa pemerintahan al-Mansur, khalifah kedua dinasti ini menggabungkan dan memperkuat kekuatan dinasti abbasiyah dengan caranya sendiri, yaitu: (1)  menyingkirkan rival dinasti, baik yang berada dipemerintahan maupun diluar lokasi;(2) menjadikan baghdad sebagai ibu kota dinasti, sehingga kota ini menjadi pusat ekonomi,  budaya, dan intelektual dunia islam, ditambah dengan adanya dukungan penuh khalifah dan wazirnya untuk para pelajar dalam melakukan penterjemahan yang dapat meningkatkan keilmuan muslim dengan ruang lingkup budaya asing sehingga memunculkan kesadaran bagi orang muslim untuk belajar lebih giat.
Puncak keemasan dalam ilmu pengetahuan dicapai pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dengan didirikannya perpustakaan bayt al-Hikma, tempat dimana para ilmuan muslim dan non-muslim berkumpul untuk menterjemah karya ilmuan yunani seperti Archimedes, Aristoteles, Aristophanes, Euclid, Euripides, Herodotus, Hippocrates, Homer, Sophocles, dan Plato dan berdiskusi tentang masalah ilmiah. Pada masa al-Ma’mun, perpustakaan ini mampu mencetak ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Khawarizmi, al-Kindi, Mohamed jafar ibn musa, dan Ahmad ibn musa. Terjemahan biasanya banyak bergerak dibidang astrologi, matematika, pertanian, filsafat, dll.
D.   KEMAJUAN-KEMAJUAN DI MASA BANI ABBASIYAH
Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan:
1.                 Administratif pemerintahan dengan biro-bironya
             Dalam menjalankan sistem teknis pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-taqwi) yang menangani semua surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif  dan politik. Cikal bakal dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasti Umayah, karena Al-Mawardi meriwayatkan bahwa Abd Al-Malik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyat.
2.                 Sistem organisasi
            Sistem militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara reguler. Pasukan tetap (jund) yang bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar secara berkala oleh pemerintah). Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwi’ah (sukarelawan)yang hanya menerima gaji ketika bertugas. Pada masa-masa awal pemerintahan khalifah Dinasti Abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infanteri, di samping gaji dan santunan rutin sekitar 960 dirham per tahun, pasukan kavaleri menerima dua kali lipat dari itu. 
3.                     Administrasi wilayah pemerintahan
            Provinsi Dinasti Abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa,dan klasifikasi politik juga tidak terlalu terkait dengan klasifikasi geografis. Berikut ini merupakan provinsi-provinsi utama pada masa awal kekhalifahan baghdad:
1)      Afrika
2)      Mesir
3)      Suriah dan Palestina
4)      Hijaz dan Yamamah
5)      Yaman dan Arab
6)      Bahrain dan Oman
7)      Sawd atau Irak
8)      Jazirah
9)      Azerbainjan
10)    Jibal

4.                 Pertanian, perdagangan, dan industri
            Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada didaerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan negara dan pengolahan tanah hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru.Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa-desa yang hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap.Mereka membuka kembali saluran irigasi yang lama dari sungai Efrat, dan membuat saluran irigasi baru sehingga membentuk sebuah “jaringan yang sempurna”.Ada 113 Kanal besar pertama, yang disebut Nahr ‘Isa setelah digali kembali oleh keluarga Al-Mansur, menghubungkan aliran sungai Efrat di Anbar sebelah barat laut dengan sungai Tigris di Baghdad.Salah satu cabang utama Nahr ‘Isa adalah Sharah.Kanal terbesar kedua adalah Nahr Sharshar, yang bertemu dengan sungai Tigris di daerah Madain.Kanal ketiga adalah Nahr Al-Malik (“sungai raja”), yang tersambung ke sungai Tigris di bawah Madain.Di bawah dua sungai itu terdapat Nahr Kutsa dan Sharah Besar, yang mengairi sejumlah saluran. Kanal lainnya, Dujayl (sungai yang lebih kecil dari Diljah, Tigris), yang awalnya menghubungkan Tigris dengan Efrat, semakin dangkal pada abad ke-10, dan nama itu kemudian menjadi nama kanal baru berbentuk oval, yang merupakan cabang dari sungai Tigris di bawah Kadisiyah dan membuat beberapa cabang lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan sungai Tigris.   
            Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina kepada dunia barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding wilayah-wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadapan. Barang-barang dagangan biasanya diangkut secara estafet; hanya sedikit khafilah yang menempuh sendiri perjalanan sejauh itu.Akan tetapi, hubungan diplomatik telah dibangun sebelum orang Arab terjun kedunia perdagangan.Pada pertengahan abad ke-8 telah dilakukan pertukaran duta. Dalam catatan Cina abad itu, kata amir al-muminin diucapkan dengan hanmi mo mo ni oleh Abu Al-Abbas, khalifah Dinasti Abbasiyah pertama, A bo lo ba; dan Harun, A lun. Pada masa khalifah-khalifah itu terdapat sejumlah orang Islam yang menetap di Cina. Pada mulanya, Islam itu di kenal dengan sebutan Ta syih dan kemudian  Hui Hui (pengikut Muhammad). Perdagangan di Meditarania Arab tidak pernah mencapai kemajuan yang berarti.
Namun. pada masa Abbsiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan sutra dari kawasan Asia yang lebih jauh, juga mengimpor gading, kayu eboni, dan budak kulit hitam dari Afrika. Para pengusaha dari Bashrah yang membawa dagangannya dengan kapal laut ke berbagai negeri yang jauh, masing-masing membawa muatan bernilai lebih dari satu juta dirham.Tingkat aktivitas perdagangan semacam itu didukung pula oleh pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan.
5.                 Islamisasi keislaman
             Sebanyak 5.000 orang kristen Banu Tanukh di dekat Alleppo mengikut perintah khalifah Al-Mahdi untuk masuk islam. Proses konversi secara normal berjalan lebih gradual, damai, dan bersifat pasti. Penduduk Persia baru beralih ke agama islam pada abad ketiga setelah wilayah itu dikuasai islam. Sebelumnya meraka menganut zoroater .

6.    Bidang kedokteran
Dari tulisan Ibn Maskawayh, kita mendapatkan sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentang optalmologi.Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh hadits Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua kelompok: teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus merupakan seorang teolog.
Nama paling terkenal dalam catatan kedokteran Arab setelah Ar-Razi adalah Ibn Sina (Avicenna, yang masuk ke bahasa Latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina, 980-1037) yang disebut oleh orang Arab sebagai Asy-Syaikh Ar Ra’is, “pemimpin” (orang terpelajar) dan “pangeran” (para pejabat). Ar-Razi lebih menguasai kedokteran dari pada Ibn Sina, sedangkan Ibn Sina lebih menguasai filsafat dari pada Ar-Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof, dan penyair inilah, ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi.
Di antara karya-karya ilmiahnya, dua buku yang paling unggul adalah Kitab Asy-Syifa’  (buku tentang penyembuhan), sebuah buku ensiklopedia filsafat yang didasarkan atas tradisi Aristotelian yang telah dipengaruhi oleh neo-Platonisme dan teologi islam, serta Al-Qanun fi Ath-Thibb yang merupakan kondifikasi pemikiran kedokteran yunani Arab. Teks berbahasa arab dari buku Al-Qanun diterbitkan di Roma pada 1593.
Seiring dengan ilmu-ilmu lain, ilmu kedokteran juga sempat mencapai masa keemasannya, daulah Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran banyak didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit besar yang berfungsiselain sebagai perawatan para pasien,juga sebagai ajang peraktek para dokter dan calon dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:
a.     Sekolah tinggi kedokteran di Yunde Shafur (Iran)
b.    Sekolah tinggi kedokteran di Harran (Syria)
c.     Sekolah tinggi kedokteran di Bagdad.
Adapun para dokter yang populer pada masa itu antara lain:
1)      Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde Shafur.
2)      Sabur bin sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
3)      Hunain bin Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seoranng ahli penyakit mata ternama.
4)      Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit campak dan cacar, dan dia juga orang pertam yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
5)      Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuan yang multi dimensi, yakni selain mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lain, seperti filsafat dan sosiologi. Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia diantara karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah[4].
Dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu farmasi.
Rumah sakit itu juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak terpisah dari rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan[5].
7.    Perkembangan Ilmu-ilmu Non Keislaman (Filsafat, Astronomi, dan lain-lain),
Para Ilmuan Muslim dan Kepakarannya
a.    Filsafat
Melalui proses penerjemahan buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami dan mengkaji filsafat serta mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran islam. Sebab itulah lahirla filsafat islam yang akhirnya menjadi bintangnya dunia filsafat diantara para ahli filsafat yang terkenal pada waktu itu adalah:
1)    Abu Ishak Al-Kindi (1994-260 H/809-873 M). ia adalah satu-satunya filosof berkebangsaan asli arab, yakni dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang dari 236 buah buku.
2)    Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles dan karyanya tak kurang dari 12 buah buku.
3)    Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M), beliau dijuluki sebagai hujjatul islam, karyanya tidak kurang dari 70 buah diantaranya:
a)        Al Munqidz Minadlalal
b)      Tahafutul Falasifah
c)        Mizanul Amal
d)        Ihyaulumuddin
e)        Mahkun Nazar
f)        Miyazul Ilmi, dan
g)       Maqashidul Falasifah


4)    Ibnu Rusyd di barat lebih dikenal dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di barat dalam bidang filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut averroisme[6].
b.    Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi atau perbintangan berkembang dengan baik, bahkan sampai mencapai puncaknya, kaum muslimin pada masa bani Abbasiyah mempunyai modal yang terbesar dalam mengembanngkan ilmu perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan aliran-aliran ilmu bintang yang berasal atau dianut oleh Yunani, Persia, India, Kaldan. Dan ilmu falak arab jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam menentukan garis politik para khalifah dan amir.
Diantara para ahli ilmu astronomi pada masa ini adalah:
1)    Al-battani atau Albatagnius, seorang ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
2)    Al-Fazzari, seorang pencipta atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
3)    Abul Wafak, seorang menemukan jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah ditemukan oleh ilmuan yang berkebangsaan Yunani.
4)    Rahyan Al Bairuny, seorang astronomi.
5)    Abu Mansyur Al Falaky, seorang ahli ilmu falaq.
Untuk mendukung perkembangan ilmu ini, para khalifah telah banyak membangun observatorium diberbagai kota, disamping observatorium milik pribadi ilmuan.
Bidang ilmu matematika juga mengalami kemajuan pesat, diantara para tokohnya yaitu:
1)                                     Umar Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota Bagdad.
2)        Al-Khawarizmi, seorang pakar matematika muslim yang mengarang buku Al-Gebra (Al-jabar). Dan dia juga yang menemukan angka nol.
d.    Ilmu Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu farmasi dan kimia pada masa dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak, tetapi yang paling terkenal adalah ibnu Baithar. Ia adalah seorang ilmuan farmasi yang produktif menulis, karyanya adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.
8.     Perpustakaan, dan Toko Buku
             Lembaga pendidikan islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al-Hikmah (Rumah Kebijakan) yang didirikan oleh Al-Ma’mun (830 M) di Baghdad, ibukota Negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemah, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah observatorium.Pada saat itu, observatorium-observatorium yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran Astronomi.
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buawaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua bukunya disusun diatas lemari,didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator  yang berjaga secara bergiliran.
Diantara bangunan-bangunan atau sarana untuk pendidikan pada masa Abbasiyah yaitu:
1.       Madrasah yang terkenal ketika itu adalah Madrasah Annidzamiyah, yang didirikan oleh seorang perdana menteri bernama Nidzamul Muluk (456-486 M). Bangunan madrasah tersebut tersebar luas di kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabaristan, Naisabur dan lain-lain.
2.       Kuttab, yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.
3.       Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan, para ulama, cendikiawan dan para filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.
4.       Darul Hikmah, gedung perpustakaan pusat[7].
Di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu. Sebelum al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu[8].
Selain banyaknya pembangunan gedung-gedung untuk pendidikan pada waktu itu terdapat pula para Ilmuwan untuk mengungkap rahasia alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan ilmuwan Yunani Kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates, dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad, lalu diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitian, Baitul Hikmah, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Sebelum didirikannya madrash-madrasah, terdapat beberapa yang dijadikan tempat untuk pembelajara.  Adapun lembaga-lembaga pendidikan islam yang sebelum kebangkitan madrasah pada masa klasik, adalah:
1.       Suffah
Pada masa Rasulullah SAW, suffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin disini para siswa diajari membaca dan menghafal al-qur’an secara benar dan hukum islam dibawah bimbingan langsung dari Nabi, dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar menghitung, kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu filsafat.

2.       Kuttab atau maktab
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab atau maktab berarti tempat untuk menulis atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis.
Kuttab adalah tempat memberi pelajaran dasar pada anak-anak, menurut Muniruddin Ahmed semua tempat-tempat belajar untuk anak-anak disebut kuttab[9].
Ahmad Salabi menjelaskan kuttab dibagi menjadi 2[10]:
1.    Kuttab untuk belajar menulis dan membaca
2.    Kuttab untuk belajar al Quran dan pokok-pokok agama Islam..
Sejarah Nabi hadits, khususnya yang berkaitan dengan Nabi SAW. Bahkan dalam perkembangan kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religius learning).
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
3.       Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya proses belajar mengajar disini dilaksanakan dimana murid dan meringkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
4.       Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama islam, mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau berlangsung.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sebagai majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7 (tujuh) macam majlis, sebagai berikut:
1)    Majlis al-hadits
2)    Majlis al-tadris
3)    Majlis al-manazharah
4)    Majlis muzakarah
5)    Majlis al-syu’ara
6)    Majlis al-adab
7)    Majlis al-fatwa dan al-nazar
5.       Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi SAW, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan.
Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada saat masyarakat islam mengalami kemajuan. Urgensi masyarakat terhadap masjid menjadi semakin kompleks, hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk yaitu mesjid sebagai tempat sholat jum’at atau jami dan masjid biasa.
Kurikulum pendidikan dimasjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-penjabat pemerintah, seperti, qodhi, khotib dan iman masjid.
6.       Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko, seperti, khan al narsi yang berlokasi di alun-alun karkh di bagdad.
7.       Ribarth
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah.
8.       Toko-toko buku dan perpustakaan
Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan islam, pada awalnya memang hanya manjual buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan disitu.
Disamping tokoh buku, perpustakan juga memilki peranan penting dalam kegiatan transfer keilmuan islam.
E.   FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN BANI ABBASIYAH
1.       Disintergrasi Politik
Pada dinasti Bani Umayah, puncak disintegrasi terjadi ketika para khalifah tidak lagi memiliki kekuatan politik untuk menekan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh kawan politik yang tidak menyukai kepemimpinan para khalifa tersebut. Hal itu disebabkan antara lain, karena pada masa – masa akhir kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah para khalifahnya tidak memiliki kekuatan dan hanya sebagai symbol kekuasaan saja. Mereka menjadi boneka para penguasa yang menguasai roda pemerintahab saat itu, seperti penguasa Bani Buwahiyah, Bani Saljuk dan para perwira tinggi Turki lainnya. Hal itu diperparah dengan banyaknya daerah yang mencoba melepaskan diri dari pusat kekuasaan di Bagdad. Dalam kata lain, disintergrasi politik dan kekuasaan pemerinyahan Bani Abbasiyah muncul dalam beberapa bentuk. Berikut uraian singkatnya.
a.       Pemberontakan
Berdasarkan data dari perjalanan sejarah panjang pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, hamper semua khalifah pernah mengalami masa – masa pemberontakan yang di lakukan oleh kelompok yang tidak menyukai kepemimpinan khalifah–khalifah tersebut. Sebagai pemberontakan itu dapat diatasi, sehingga tidak menimbulakan kegoncangan sosial politik dan ekonomi. Tetapi sebagaian lagi tidak dapat diatasi dengan baik, sehingga membawa dampak negative bagi pemerintahan dan perekonomian Negara.
b.       Perebutan Kekuasaan
Sejak masa–masa awal pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, terlihat ada indikasi adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Diantara penyebabnya adalah kurang tegasnya para khalifah dalam menentukan putra mahkota. Contoh yang dapat dipelajari dari kenyataan ini adalah peristiwa perebutan kekuasaan antara Al–Amin dengan Al–Makmun masing–masing memiliki kelompok pendukung fanatik. Al–Amin yang beribukan orang Arab bernama Zubaidah, mendapat dukungan kuat darikelompok masyarakat Arab. Sementara Al –Makmun, yang beribukan orang Persia bernama Marajil, memiliki pendukung kuat dari kelompok masyarakat Persia.
Perebutan kekuasaan itu semakin tampak jelas ketika Al–Amin memecat Al–Makmun dari jabatannya sebagai gubernur di Khurasan. Posisinya sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak, diganti oleh putra Al–Amin yang masih kecil. Pemecatan dan pengangkatan putra mahkota ini menimbulkan amarah Al–Makmun. Dengan kekuatan 40.000 personel tentara dibawah pimpinan Taber bin Husein, ditambah dengan dukungan para perwira tinggi yang berasal dari Persia, akhirnya perang saudara tidak dapat dihindari. Kekuatan Al –Amin yang berjumlah sekitar 10.000 personel tentara, dapat dikalahkan dalam sebuah pertempuran di Ray pada tahun 811 M.
c.       Kedudukan Khalifah yang Lemah
Wibawah khalifah Bani Abbas memudar sejak masa Al- Watsiq, Al–Mutawakil dan sesudahnya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mempunyai kemampuan cukup untuk memimpin kerajaan. Mereka hanya menjadi boneka kekuasaan para wazir dan para menteri yang korup dan ambisius. Kelemahan dan ketidak mampuan mereka dimanfaatkan oleh para pejabat gubernur diberbagai propinsi untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Sebagai contoh, sepeninggal Al–Muntashir orang–orang Turki mengangkat A–Musta’in sebagai khalifah (248 – 252 H / 862 – 866 M). Sebagai seorang khalifah, mestinya ia memiliki kekuasaan penuh. Tapi nyatanya, ia banyak diatur oelh orang – orang Turki yang pernah mengangkatnya dan tidak diizinkan untuk menjalankan roda pemerintaha.[11]
2.       Krisis Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi . Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.[12]  Yang menjadi penyebab terjadinya kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah adalah  krisi ekonomi. Krisis ekonomi ini merupakan akibat langsung dari krisis politik yang terjadi pada masa itu. Sebab, pergolakan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah menyebabkan banyak pendapatan Negara yang terhambat masuk. Terhambatnya pemasukan kas Negara dari berbagai pajak ini disebabkan banyak kelompok yang enggan membayar, bahkan ada beberapa wilayah yang dengan terang – terangan menyatakan merdeka dan tidak lagi terikat dengan pemerintahan pusat di Bagdad. Di antara wilayah yang menolak dan menyatakan merdeka dari Bagdad adalah Tunisia dan kemudian Mesir ketika berada di bawah kekuasaan dinasti Fathimiyah.
Selain itu, krisis ekonomi ini juga disebabkan oleh membengkaknya jumlah pengeluaran Negara yang dipergunakan untuk kepentingan kelompok istana. Semua pengeluaran diambil dari kas yang ada di baitul mal, sehingga jumlah uang yang ada pada kas tersebut berkurang. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika tidak ada lagi pemasukan dari kharraj (pajak bumi) dan jizyah (pajak perkepala / jiwa), yang dipungut dari masyarakat, Negara benar – benar mengalami krisis ekonomi yang sangat parah.
     Sebagai akibat dari krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan, masyarakat tidak lagi percaya kepada para pejabat pemerintahan. Bahkan banyak pula di antara mereka yang kemudian menyusun kekuatan untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap pejabat pemerintahan Bani Abbas.[13]

3.      Ketergantungan Pada Tentara Bayaran
Faktor yang tak kalah pentingnya adalah sifat ketergantungan yang sangat tinggi kepada tentara bayaran. Sifat ketergantungan ini disebabkan antara lain oleh semakin canggihnya teknologi perang, sehingga para khalifah tidak lagi banyak bergantung pada kekuatan milisi. Para penguasa dinasti Bani Abbasiyah ini mulai melirik kepada kekuatan baru dalam upaya mempertahankan dan menjaga keamanan pribadi dan keluarga mereka. Mereka menginginkan adanya pengawal yang loyal, tegas dan berani menjalankan perintah atasan.
Sebagai konsekuensi dari pengangkatan tentara pribadi dan professional itu, para khalifah harus memberi gaji atau bayaran yang sesuai dengan jabatan dan pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengeluaran dana belanja Negara semakin bertambah. Perilaku ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh para khalifah, juga para gubernur. Bila mereka menginginkan keselamatan dan kekuasaan mereka terus bertahan, maka mereka harus mengangkat tentara bayaran.
Ketergantungan ini dimanfaatkan oleh para tentara bayaran yang kebanyakan berasal dari daerah Turki. Dengan kemampuan dan kelebihan yang mereka miliki, mereka dapat melakukan tawar–menawar dalam masalah tugas dan hak yang akan mereka peroleh. Biasanya para khalifah atau penguasa local tidak banyak pilihan, kecuali menerima tawaran mereka. Sebab secara fisik, mereka memiliki tubuh lebih besar dan sudah terbiasa dengan berbagai pertempuran.[14]
4.    Ancaman Dari Luar
Faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur adalah perang Salib yang berlangsung beberapa periode dan menelan banyak korban . Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan  Islam. Namun, diantara komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan perang Salib dan melibatkan diri   Salib itu.[15]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penterbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam , ikut memperbaiki Yerusalem.[16]
Tiga Kerajaan Pasca Abbasiyah
1.    Kerajaan Turki Usmani
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad , mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke 13 M. Di bawah  pimpinan Ertogrhul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II.  Ertogrhul meniggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Ertogrhul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani. Usman memerintah antara tahun 1290-1326M. Pada tahun 1300M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut juga Usman I.
Setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukkan kota Broessa. Pada masa pemerintahan Orkhan kerajaan Turki Usmani ini dapat menaklukkan Azmir (1327 M), Ankara (1354 M), Uskandar (1338 M). Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani. Kemudian diganti dengan Orkhan, berkuasa (761 H/ 1359 M-789 H/ 1389 M), selain memantapkan keamanan dalam negeri , ia melakukan perluasan daerah ke Benua Eropa. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria.  menghancurkan sekutu Kristen Eropa tersebut.
Ekspansi kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki Usmani menalami kekalahan. Bayazid bersama putranya, Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. [17] Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang begitu luas dan berlansung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut:
a.     Bidang Kemiliteran dan Pemerintahan
b.     Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya
c.     Bidang Keagamaan
2.     Dinasti  Safawi
            Dinasti Safawi berawal dari sebuah pergerakan tarekat di Ardabil,  kota kecil di Azarbaijan, Asia Kecil.[18] Tarekat ini didirikan oleh Safiudin (1252-1332 M). Nama gerkan tarekat diambil dari nama pendirinya, yaitu Saifuddin. Ketika gerakan ini semakin besar dan kuat, dan berhasil mendirikan sebuah dinasti, nama Safawiyah tetap dipertahankan, sehingga dinasti yang didirikan oleh gerakan ini disebut dengan dinasti Safawiyah. Tarekat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Tujuan awal dari gerakan tarekat ini adalah untuk memberantas penyimpangan yang dilakukan masyarakat muslim di Asia Kecil, yang dikenal dengan sebutan ahli bid’ah. Tetapi karena begitu fanatiknya para pengikut gerakan tarekat ini, akhirnya gerakan ini yidak hanya bertujuan memberantas kelompok bid’ah, bahkan melakukan gerakan melawan mereka yang bukan berasal dari golongan Syi’ah. Sejak saat itu, gerakan tarekat Safawiyah  ini memasuki wilayah politik praktis.
            Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpina Juneid (1447-1460M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menabkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Konyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu.[19] Pada tahun 1460 M, Juneid mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.[20] Sepeniggalan Juneid, pimpinan tarekat Safawiyah digantikan oleh anaknya yang bernama Haidar. Haidar mengawini putri Uzun Hasan dan melahirkan anak bernama Isma’il. Dialah yang kelak berhasil mendirikan kerajaan Safawiyah di Persia. Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.[21] Ia disebut juga Ismail I. Ismail I berkuasa selama  lebih kurang 23 tahun. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Ambisi politik  mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya seperti ke Turki Usmani. Akhirya terjadi peperangan dengan Turki Usmani pada tahun 1514 M di Chaldiran. Namun dalam peperangan ini Ismail mengalami kekalahan dan kondisinya sangat memprihatinkan. Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, baru bias diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1558 – 1628 M.[22]
        Masa Kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaanSafawi. Dan juga mengalami banyak kemajuan, antara lain:
a.       Bidang Ekonomi
b.       Bidang Ilmu Penetahuan
c.       Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
      Demikianlah puncak kejayaan yang dicapai oleh kerajaan Safawi. Walaupun tidak setaraf dengan kemajuan Islam da masa klasik, kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban islam melalui kemajuan-kemajuan yang dicapainya.
3.     Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal berdiri seperempet abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kota, didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530), salah satu dari cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza yang merupakan seorang penguasa Farghana, sedang ibunya keturunan Jenghis Khan. Sepeninggalan ayahnya, Babur yang berusia 11 tahun mewarisi tahta kekuasaan wilayah Farghana. Ia berambisi dan bertekat akan menaklukkan Samarkand yang menjadi kota penting di Asia Tengah pada masa itu. Pada mulanya, ia mengalami kekalahan, tetapi karena mendapat bantuan dari Raja Safawi, Ismail I akhirnya berhasil menaklukkan Samarkand pada tahun 1494 M.Pada tahun 1504 M, ia menduduki Kabul, ibu kota Afganistan. Setelah Kabul dapat ditaklukkan, Babur meneruskan ekspansinya ke India. Kala itu Ibrahim Lodi, penguasa India, dilanda krisis, sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Alam Khan, paman dari Ibrahim Lodi, bersama-sama Daulat Khan, Gubernur Lahore, mengirim utusan ke Kabul, meminta bantuan Babur untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim Lody di Delhi.[23]
            Permohonan  itu langung diterimanya. Pada tahun 1525 M, Babur berhasil menguasai Punjab dengan ibu kota Lahore. Setelah itu, ia memimpin tentaranya menuju Delhi. Pada 21 April 1526 M, terjadilah pertempuran yang dahsyat di Panipat. Ibrahim Lody beserta ribuan tentaranya terbunuh dalam menegakkan pemerintahannya di sana. Dengan demikian berdirilah Kerajaan Mughal di India.
           Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh beberapa orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah:
  1. Zahiruddin Muhammad Babur (1526-1530)
2.       Humayun (1530-1556)
3.       Akbar (1556-1605)
4.        Jahangir (1605-1627)
5.       Syah Jihan (1628¬-1658)
6.       Aurangzeb (1658-1707)
7.       Bahadur Syah (1707-1712)
8.       Jehandar (1712-1713)
9.       Bahadur Syah (1837-1858)
Kemajuan yang dicapai Kerajaan Mughal:
  1. Bidang Politik dan Administrasi Pemerintahan
  2. Bidang Ekonomi
  3. Bidang Agama
  4. Bidang Seni dan Budaya
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M yaitu:
  1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.
  2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
  3. Pendekatan Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melak¬sanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan¬-sultan sesudahnya.
  4. Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.[24]
F.   KONTRIBUSI DINASTI ABBASIYAH TERHADAP DUNIA ISLAM
            Dinasti Bani abbasiyah merupakan dinasti islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Keberhasilan menciptakan pemikiran kreatif dan menghasilkan karya yang monumental dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, peradaban islam, sosial budaya, dan sebagainya, tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan khalifah dan para peran tokoh. Para tokoh inilah yang menjadi ujung tombak di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban islam serta kemajuan sosial budaya.
Dan dari kemajuan ini terciptakan beberapa sumbangan (konstribusi) dinasti Bani Abbasiyah terhadap dunia islam hingga kedunia barat,
1.    Dalam bidang sosial budaya
Dalam hal seni bangunan dan arsitektur masjid, salah satu bangunan masjid yang didirikan pada masa pemerintah Bani Abbas adalah bangunan Masjid Samarra, di Baghdad. Masjid ini sangat indah yang mewakili keindahan seni arsitektur pada zamannya. Masjid ini dilengkapi oleh sahn, sebuah lengkungan menyerupai bentuk piring, sekeliling pinggir sahn dilengkapi dengan serambi-serambi. Pada setiap sudut masjid didirikan [25]mercu berbentuk bulat yang terbuat dari batu bata. Hal penting lainya dari gaya dan seni arsitektur Masjid Samarra adalah tiang-tiang yang dipasang beratap lengkung. Masjid ini merupakan bangunan yang memiliki seni arsitektur sangat megah pada zamannya.
Selain Masjid Samarra yang memiliki seni arsitektur bangunan yang luar biasa, Masjid Ibnu Thulun juga memiliki keistimewaan dari segi seni bangunan atau arsitekturnya. Masjid ini didirikan pada tahun 876 M oleh Ahmad bin Thulun, salah seorang penguasa di wilayah Mesir.[26]
Begitu besar usaha-usaha yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah untuk mewujudkan suatu negara yang maju dan berkembang. Tidak hanya dalam pembangunan masjid saja tetapi juga dalam seni bangunan islam di kota Baghdad yang merupaka ciri khas dan gaya islam di Baghdad tersendiri yang terwujud  dalam bentuk pilar, lengkung kubah, hiasan lebah bergantung (muqarnashat) yang menonjol bersusun di depan masjid dan di menara tempat adzan ataupun di puncak pilar.
            Di sekeliling kota, dibangun pagar tembok yang sangat kuat dan tinggi dengan empat pintu masuk dari empat penjuru.[27]Selain itu, kota di hiasi dan dilengkapi dengan taman-taman bunga dan berbagai masjid. Sehingga pada masa dinasti Abbasiyah peradaban islam berpusat di Baghdad karena kemajuan dan kemegahannya.

2.    Dalam bidang pendidikan dan perpustakaan
Salah satu kontribusi dinasti Bani Abbasiyah dalam pendidikan adalah adanya biro penerjemahan Bait Al-Hikmah (rumah kebijakan) dikenal juga sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum yang terletak di kota Baghdad.[28] Yang mana tempat tersebut adalah salah satu titik kemajuan pada dinasti Bani Abbasiyah terhadap dunia pendidikan.
            Selain itu peninggalan dari usaha Bani Abbasiyah untuk memajukan kekuasaannya adalah perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa buwaihi, yang semua buku-bukunya  disusun di atas lemari-lemari, di daftar dalam katalog, dan diatur dengan baik, sehingga sekarang dijadikan oleh bangsa modern sebagai perpustakaan digital.
3.    Dalam bidang ilmu pengetahuan
a.       Kedokteran
“Ilmu kedokteran adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai keadaan sehat maupun tidak. Artinya kesehatan bisa hilang, dan jika hilang, perlu diperbaiki. Dengan kata lain, seni dimana kesehatan berkaitan, dan akan diperbaiki setelah hilang.“ (Ibnu Sina, Al Qanun fi al-Tibb/The Canon of Medicine).
Kedokteran merupakan cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang cara-cara untuk mempertahankan tubuh dari penyakit dan cara-cara untuk penyembuhan tubuh dari penyakit tersebut. Dalam kemajuannya, ilmuan muslim mempunyai pengaruh yang besar dibidang ini,dokter islam Al-Kindi (809-873) telah menulis buku ‘Ilmu Mata’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi optics. Salah seorang pengagumnya adalah Roger Bacon. Kemudian ada pula nama Ar-Razi (865-925 M) yang  mengarang sebuah buku kedokteran berjudul ‘Al-Hawi’. Buku tersebut, atas perintah Raja Charles I telah  diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Faraj bin Salim (seorang tabib Yahudi) dengan judul continens. Dalam buku ini termuat rangkuman ilmu pengetahuan ketabiban dari Persi, Yunani dan Hindu, dan hasil hasil penyelidikan yang dilakukan sendiri.
Dokter Islam lain yang terkenal adalah Ibnu Sina. Ia menulis buku berjudul ‘al-Qanun fit-Thib’ diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Qanun of Medicine dan menajdi buku pegangan di pergurua perguruan Eropa selama 30 tahun terakhir dari abad 15.[29]
Dengan demikian tidak mengherankan jika potret Ibnu Sina dan al-Razi dijadikan hiasan di ruang besar Fakultas Kedokteran Universitas Persia, karena dengan jasa-jasanya juga ikhtiyarnya untuk menciptakan suatu karya yang sangat berharga dan sangat bermanfaat di kalangan dunia islam.
b.       Astronomi dan  Ilmu Pasti
Dalam bidang ini sarjana Islam ,AL-Khawarizmi, banyak sekali menyumbang dengan karya karyanya dan mempunyai pengaruh terbesar atas pelik pelik ilmu pasti di abad pertengahan. Ia menulis buku ‘Al jabr wa al-Muqabalah’, suatu  buku standar ilmu pasti.  Buku tersebut memuat daftar astronomi yang tertua dan al-Khawarizmi merupakan orang pertama yang menyusun buku ilmu berhitung dan aljabar[30].  Kitab inilah yang memperkenalkan ilmu aljabar serta nama itu sendiri di benua Eropa. Pengaruhnya diperkuat dengan kenyataan bahwa ‘alogarisme’ untuk waktu yang lama berarti ‘aritmatik’ dan dewasa ini dipergunakan sebagai metode untuk mengkalkulasi  yang kini telah dibakukan. Begiu pula bapak kimia Islam ,Jabir Ibnu Hayyan, (721-815M). Kitab kimianya merupakan buku yang paling berpengaruh di Eropa dan Asia sampai sesudah abad 14.
c.     Filsafat
Sumbangan dari bani Abbasiyah terhadap islam maupun barat dalam hal filsafat adalah Ibnu Rusyd (1126-1198M), dan Al Kindi (809-873M). Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator fikiran fikiran Aristoteles, karenanya dijuluki Aristoteles II, pengaruhnya sangat menonjol atas pendukung filsafat skholastik Kristen dan fikiran fikiran sarjana Eropa  pada Abad pertengahan. Sedang Al Kindi  terkenal dengan metode filsafatnya yang menggabungkan dalil dalil Plato dan Aristoteles dengan cara Neo-Platonis.
Tokoh-tokoh yang lainnya yang berperan dalam filsafat antara lain al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aritoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya adalah al-syifa’.[31]



d.    Ilmu Sejarah dan Sosiologi
Dalam ilmu sejarah dan sosiologi, muncul nama Ibnu Khaldun (1332-1406M)  dengan karya Muqaddimah-nya  yang telah memberikan sumbangan dan pengaruh terhadap pemikiran pemikiran sarjana barat. Dialah yang pertama kali mengemukakan teori perkembangan sejarah, baik berdasarkan penyelidikan faktor faktor jasmani dan iklim, mapun kekuatan moral dan rohani.[32]
e.       Hadits
Hadits berasal dari bahasa arab yaitu الحديث yang bermakna perkataan, dalam syariat islam hadits bermakna segala sesuatu yang disandarkan pada nabi besar Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun apa yang dilakukan para sahabat nabi dan disetujui olehnya. Pada zaman dinasti Abbasiyah, ilmu hadits merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat, bahkan para ulama hadits dizaman tersebut masih terkenal sampai hari ini, seperti Imam Bukhori (194-252 H / 810-866 M), Imam Muslim (204-261 H / 820-875 M), Ibnu Majah (207-273 H / 822-887 M), Abu Dawud (202-275 H / 818-889 M), dan Tirmidzi (200-279 H / 816-82 M), mereka merupakan para perawi hadits yang terjamin keshahihannya.
Kumpulan hadits yang mereka riwayatkan telah dikumpulkan dalam bentuk buku yang diberi judul atas nama mereka sendiri, seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, dan Sunan at-Tirmidzi.
f.          Ilmu fiqh
Dalam bidang fiqh, para fuqaha’, yaitu ahli ilmu fiqih yang ada pada masa Bani Abbasiyah, mampu menyusun kitab-kitab terkenal hingga saat ini, misalnya Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Ia menyusun kitab Musnad al-imam al-‘A’dhamatau fiqh al-akbar; Imam Malik (97-179 H) menyusu kitab al-Muwatha’; Imam Syafi’i (150-204 H) menyusun kitab al-Um dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, Ibnu Hanbal (780-85 H) meyusun kitab al-Musnad.[33]
Salah satu kontribusi Bani Abbasiyah terhadap dunia keislaman dalam bidang ilmu fiqh adalah terciptanya empat madzab yang mana sampai sekarang dijadikan pedoman bagi seluruh umat islam sedunia. Empat madzab itu antara lain: Imam Abi Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Pemikiran para ahli fiqih tersebut kemudian  tersebar melalui pemikiran murid-murid mereka yang ada di seluruh penjuru dunia islam saat itu. Sehingga pemikiran para imam madzab fiqih tersebut dikenal dan dipraktikkan di dalam kehidupan masyarakat muslim sehari-hari.
Sebagai salah satu peradaban yang maju ditengah kegelapan bangsa barat, dinasti Abbasiyah muncul sebagai peradaban yang sangat memperhatikan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dengan munculnya ulama dan ilmuan muslim di zaman tersebut sebagai ahli dalam bidangnya masing-masing, baik bidang agama maupun dalam bidang perkembangan teknologi dan modernisasi, hal ini dikarenakan mereka sadar bahwa perkembangan ilmu pengetahuan sangat penting bagi majunya peradaban Bani Abbasiyah, para ilmuan tersebut sangat berpengaruh baik di timur tengah maupun di barat, seperti ibnu Sina yang dikenal dibarat sebagai bapak kedokteran dunia dengan bukunya al qanun fi al-tibb, selain itu ada para ilmuan dan sejarawan seperti al Biruni, Nasir ad-Din Tusi, al-Kindi, al-Khawarizmi, Jabir ibn Hayyan, al-Battani, ibn Rusyd,dll. Selain itu, dibidang medis dan sosiokultural ada al-Washsha. Dan sampai sekarang karya karya mereka menjadi rujukan para ilmuan zaman sekarang.
G.  KESIMPULAN
Dari semua deskripsi yang dituliskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Masa dinasti Abbasiyah berdiri selama kurang lebih 5 abad, dengan para khalifah yang cinta kepada ilmu pengetahuan sehingga mengantarkan pendidikan Islam ke masa puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Sehingga menjadi kiblat ilmu pengetahuan bagi negara lainnya.
Pada masa Dinasti Abassiyah pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya Namun, secara umum sistem pemerintahan berbentuk monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan ini merupakan sistem pemerintahan tertua di dunia.Dalam pemerintahannya, dinasti ini memberikan julukan seperti al-Mahdi, al-Ma’mun, dan al-Qadir kepada setiap raja yang memerintah sebagai penghargaan akan jasa mereka terhadap kerajaan, dan juga untuk menunjukan hubungan mereka dengan Allah
Kemajuan Diasti Abbasiyah bukan hanya dalam ilmu pengetahuannya bahkan di bidang administratif pemerintahan dengan biro-bironya, pertanian, perpustakaan seni rupa dll. Yang paling menonjol dari masa ini adalah bidang ilmu pengetahuannya, karena sudah melahirkan berbagai macam tokoh ahli yang menciptakan karya-karyanya dalam bidang ilmu pegetahuan masing-masing yang menjadi konstribusi terhadap islam maupun barat seperti dua buku karya Ibnu Sinah yang paling unggul adalah Kitab Asy-Syifa’  (buku tentang penyembuhan),serta Al-Qanun fi Ath-Thibb.
Lembaga-lembaga pendidikan terus berbenah menjadi lebih baik, dari beberapa lembaga pendidikan yang telah dituliskan di atas yaitu: kuttab, pendidikan rendah di istana, kedai-kedai saudagar kitab, perpustakaan, hanya kedai saudagar kitab yang baru muncul pada permulaan bani Abbasiyah. Untuk lembaga pendidikan yang lainya, merupakan warisan ide dari pemerintahan dinasti Umayyah, sehingga pemerintahan Abbasiyah tinggal melanjutkan atau merenovasi.








H.  Refrensi
Murodi, Pendidikan Agama Islam , Semarang: PT. Karya Toha Putra,2009

Badri yatim,, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2008
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung:Pustaka setia,2008
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Asrohah, Hanun.Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Logos Wacana iImu,1999



[1]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2008), hal.141
[2]Muhammad Al-Khudari, MudharatulUmamilIslamiyah, (Kairo, 1921), hal. 542
[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.30
[4]Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung: CV Amirco, 1994),
[5]Zuhairini dkk. op. cit., h, 97-98
[6]Ibid, hlm. 26-27
[7]Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung: CV Amirco, 1994), h. 25-26. Pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya.
[8] Sebenarnya pengfungsian masjid semasa Rasulullah SAW masih hidup bukan hanya difingsikan sebagai tempat ibadah akan tetapi sebagai majlis ta’lim, tempat untuk menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta asing bahkan pada serambi-serambi masjid digunakan untuk tempat tinggal para ahli ilmu yang tidak memiliki tempat tinggal, yang biasa dikenal par Ahli Shuf.
[9]Asrohah, Hanun.. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana iImu.
1999), hlm. 48

[10]Salabi, Ahmad.. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang.1970), hlm. 33
Melihat dari dua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli yang mengatakan demikian, berarti fungsi kuttab yang sebagai tempat untuk melangsungkan kegiatan belajar baik membaca, mempelajari al-quran dan tulis menulis yang bisa diikuti semua kalangan tanpa pnadang umur.
[11]  Murodi, ,Sejarah Kebudayaan Islam ,( Semarang:2009), hlm. 131.
[12] Philip K. Hitti, loc., cit
[13]Murodi , Sejarah Kebudayaan Islam , (Semarang:2009), hlm.136.
[14]Murodi ,Sejarah Kebudayaan Islam , (Semarang: 2009), hlm. 136.
[15] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 35.
[16] Sir Wiliam Muir, op. cit., hlm. 432
[17]Ibid., hlm.7.
[18] P. M. Holt, The Cambridge History of Islam, vol. IA, (LondonL: Cambridge University press, 1970), hal. 394.
[19] P.M. Holt, op. cit., hlm. 396.
[20] Carl Brockelmann, Tarikh al- Syu’ub al- Islamiyah, (Beirul: Dar Al- ‘Ilm, 1974), hlm. 495.
[21]Ibid., hlm. 398.
[22] P. M. Holt, op. cit., hlm. 401- 413.
[23]Murodi ,Sejarah Kebudayaan Islam , (Semarang: 2009), hlm. 136
[24] http://mashajirismail.wordpress.com/2011/02/02/sejarah-peradaban-islam-pada-kerajaan-mughal-india/
[25] Mercu yaitupuncak bagian yang tertingi (menara)
[26]Murodi, Pendidikan Agama Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT. Karya Toha Putra,2009) hlm:94-95
[27] Murodi, Pendidikan Agama Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT. Karya Toha Putra,2009) hlm:96
[28] Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:Pustaka setia,2008) hlm:136
[29]Badri yatim.Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2008)hlm:58
[30] Ibid., hlm.88
[31]  Badri yatim,, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2008)hlm: 58
[32]Murodi, Pendidikan Agama Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT. Karya Toha Putra,2009) hlm:108-109
[33]Murodi, Pendidikan Agama Islam (Sejarah Kebudayaan Islam), (Semarang: PT. Karya Toha Putra,2009) hlm:113

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner