8/17/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (10)

فِعِلْ النَّبِي
Fi’il : perbuatan
Kalau banyak pekerjaan atau perbuatan, disebut Af’al
Fasal ini memperbincangkan beberapa hal yang berhubungan dengan perbuatan – perbuatan Rasulullah SAW sebagai berikut :
1.      BAGIAN AF’AL NABI
Perbuatan atau perilaku Nabi SAW itu, terbagi dalam tiga bagian :
1.      قُرْبَةٌ = Qurbah (Ibadah)
2.      طَاعَةٌ = Tha’at (Ikutan)
3.      جِبِلِيَّةٌ = Jibilliyah (Tabiat)
KETERANGAN :
1.      Yang dikatakan Qurbah atau Ibadah itu seperti : Shalat, Puasa, Hajji dan lain – lain amalan yang berkenaan dengan keakhiratan.
2.      Yang disebut Tha’at atau ikutan : Nikah, Jual – beli, dan lain – lain amal yang berhubungan dengan keduniaan.
3.      Yang dinamakan Jibilliyah atau tabiat : makan, minum, tidur, dan lain – lain perbuatan dan kelakuan yang menjadi tabiat (sifat kemestian) bagi manusia, dari semenjak ia lahir.

2.      TIAP – TIAP QURBAH WAJIB DITURUTI
Tiap – tiap fi’il Qurbah, seperti : Shalat, Puasa, dan yang lainnya itu pada asalnya semuanya wajib diikuti sebagaimana yang diperintahkan dan dicontohkan Agama, dengan tidak ditambahi, dikurangi, diubah, dan sebagainya.

3.      QURBAH JADI SUNNAH
Fi’il – fi’il Qurbah yang pada asalnya berketetapan “wajib”, bias berubah menjadi Sunnah, bila ada keterangan. Seperti : Puasa Asyura’[1]. Puasa ini, satu Qurbah (Ibadah). Tiap – tiap Qurbah, asalnya wajib dituruti. Jadi, puasa Asyura’ tiu mestinya wajib dikerjakan.
Akan tetapi ada hadits Nabi menyatakan bahwa puasa Asyura’ itu tidak wajib :
إنَّ هَذَا يَوْمُ عَاشُوْرَا ءَوَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ وَأَنَا صَاءِـمٌ
sesungguhnya hari ini, hari Asyura’, dan tidak diwajibkannya atas kamu, tetapi aku berpuasa {Bukhari}
Dengan Hadits ini, berubahlah hukum yang asalnya tadi wajib menjadi sunnah.

4.      QURBAH JADI TERTENTU
Fi’il – fi’il Qurbah yang asalnya wajib dituruti itu, bisa menjadi tertentu untuk Nabi saja, jika ada dalilnya
Seperti puasa siang dan malam bersambung dalam beberapa hari, dikerjakan oleh Nabi.
Puasa ini, satu Qurbah, tiap – tiap Qurbah asalnya wajib dituruti. Jadi, wajib kita melakukan puasa siang dan malam dalam beberapa hari, seperti yang dikerjakan oleh Nabi SAW, tetapi ada hadits yakni :
عَنْ أبِيْ هُرِيْرَةَ, قال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلام. عَنِ الْوِصَالِ. فقالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَإِنَّكَ تَوَاصِلُ يَارَسُلَ الله ؟ فقَالَ : وَ أيُّكُمْ مِثْلِى ؟
“Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW melarang menyambung puasa, maka salah seorang dari shahabat berkata : sesungguhnya engkau sendiri menyambung puasa, ya Rasulullah ! Nabi menyahut : siapakah diantara kamu seperti aku ?” {Bukhari}
Maksud dari hadits ini, melarang puasa terus menerus, yaitu siang bersambung malam, tanpa bebuka di waktu maghrib, sedangkan Nabi sendiri melakukannya.
Karena Nabi pernah melakukan, akan tetapi beliau melarang ummatnya berbuat demikian, berarti, Ibadah Puasa wishal hanya tertentu dilakukan untuk Nabi Muahammad saja.

5.      TIAP – TIAP FI’IL THA’AT WAJIB DITURUTI
Tiap – tiap perbuatan, kelakuan, amal Nabi SAW, yang berupa Tha’at, pada asalnya wajib dituruti.
Seperti Hadits berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَسْلَمَتْ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَزَوَّجَتْ فَجَاءَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ وَعَلِمَتْ إِسْلَامِي فَنَزَعَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَوْجِهَا الْآخِرِ وَرَدَّهَا عَلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ
“dari Ibnu Abbas ia berkata; Seorang wanita masuk Islam pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu ia menikah, kemudian suami yang pertamanya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata; Wahai Rasulullah, Sesungguhnya aku telah masuk Islam dan ia juga telah mengetahui keIslamanku. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melepaskannya dari suami (kedua) lalu mengembalikannya kepada suami pertamanya” {Ahmad}

KETERANGAN :
Riwayat ini, menunjukkan bahwa seorang perempuan kafir yang bersuami, jika masuk islam lalu nikah dengan laki – laki Islam, kemudian suaminya yang pertama itu masuk islam pula, maka perempuan tadi mesti dikembalikan kepada suami yang pertama, bila si suami tadi mau.
Perbuatan itu suatu Tha’at, sedangkan Tha’at wajib dituruti
Kalau ada kejadian seperti tersebut, maka wajib kita perbuat sebagaimana Nabi perbuat tadi.
Karena tidak ada keterangan lain yang mengubahnya, maka tetap mengikuti hukum asalnya tadi, yaitu “wajib”

6.      THA’AT MENJADI SUNNAH
Fi’il Tha’at yang asalnya mempunyai ketetapan “wajib” dapat berubah menjadi “sunnah jika ada dalil yang mengubah ketapan asalnya itu.
Seperti : mendera peminum arak (khomer)
Di masa Nabi SAW hidup. Beliau mendera peminum arak 40x deraan. Ini satu Tha’at. Tiap – tiap Tha’at asalnya wajib dituruti. Jadi, mestinya mendera 40x itu, wajib kita ikuti.
Tetapi, ketika Baginda Umar menjadi Khalifah, beliau mendera peminum arak 80x. Perbuatan ini Baginda Umar lakukan dengan diketahui shahabat – shahabat lain dan tidak ada teguran dari mereka. Kejadian seperti ini merupakan ijma’ shahabat.
Perbuatan Umar mendera 80x itu.menunjukkan bahwa perbuatan Nabi SAW mendera 40x itu bukan “wajib” melainkan “sunnah” (dalam memilih salah satunya).
Ini Riwayatnya :
جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendera peminum khamer sebanyak empat puluh kali, Abu Bakar juga pernah melakukan hal yang sama, sementara Umar bin Khattab pernah melaksanakan hukuman dera sebanyak delapan puluh kali. Sebenarnya semua itu adalah sunnah (pernah dilakukan), dan itulah yang lebih aku sukai” {Muslim}

7.      THA’AT TERTENTU UNTUK NABI
Fi’il Tha’at yang asalnya wajib di turuti sebagaimana yang dikerjakan Nabi, ada kalanya menjadi tertentu untuk Nabi SAW saja. Bilamana ada keterangan yang menunjukkan ke situ.
Seperti : beristri lebih dari 4
Nabi SAW beristri lebih dari 4, yaitu 9. Perkawinan Nabi ini, tidak salah, karena Firman Allah :
...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ...
“... maka nikahilah perempuan – perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat....” {An – Nisa’ : 3}
Perkataan “dua, tiga, atau empat” itu, bukan sebagai suatu batasan sampai empat saja. Kalau sekiranya Ayat tadi membatasi hingga empat, tentu Nabi SAW tidak akan menikah lebih dari empat.
Perbuatan Nabi itu, sebagai Tha’at. Tiap – tiap Tha’at, pada asalnya “wajib” diikuti.
Jadi, mestinya setiap orang, boleh nikah lebih dari empat.
Tetapi bagi umatnya, Nabi SAW telah membatasi sampai empat saja, sebagaimana diriwayatkan, Umar berkata :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ
“dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari mereka.” {Tirmidzi}
Perintah untuk memilih 4 istri kepada Ghailan itu menetapkan bahwa kita juga tidak boleh beristri lebih dari 4.
Maka, nikah lebih dari 4 itu khusus bagi Nabi. Maka dikatakan, Tha’at itu tertentu bagi Nabi.
Sesuatu yang tertentu bagi Nabi SAW, disebut khushushiyah.

8.      TIAP – TIAP FI’IL JIBILLIYAH TIDAK WAJIB DITURUTI
Tiap – tiap perbuatan yang berhubungan dengan tabiat (jibilliyah), yang dilakukan Nabi SAW, pada asalnya “tidak wajib” dituruti oleh ummatnya.
Seperti : Nabi SAW makan, minum, berjalan, tidur, tertawa, senyum, duduk dan sebagainya yang berhubungan dengan Tha’at kebiasaan manusia
Ini semua dikatakan “jibilliyah”.
Tiap – tiap jibilliyah, pada asalnya, tidak wajib dituruti. Maka, semua yang tersebut tadi itu tidak wajib kita turuti.

9.      FI’IL JIBILLIYAH MENJADI WAJIB
Fi’il Jibilliyah Nabi SAW, yang asalnya “tidak wajib” di turuti itu, dapat berubah menjadi wajib, jika ada keterangan. Seperti berikut :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَلْيَسْتَطِبْ بِهَا فَإِنَّهَا تَجْزِي عَنْهُ
“Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, " Bila salah seorang dari kalian pergi ke WC, maka bawalah tiga buah batu dan bersucilah dengannya. Itu telah mencukupi.” {Nasa’i}
Pada asalnya tiap – tiap perbuatan jibilliyah ialah tidak wajib dituruti, ketidak wajiban itu, berubah menjadi wajib lantaran hadits diatas tersebut. “wajib beristinja dengan batu atau lainnya”

10.  JIBILLIYAH MENJADI SUNNAH
Fi’il jibilliyah yang pada asalnya tidak wajib dituruti itu, dapat berubah jadi “sunnah”, jika ada keterangannya
Seperti : mendahulukan tangan kanan dan kaki kanan dalam beberapa perbuatan dan kelakuan. Ini dikerjakan oleh Nabi SAW.
Mendahulukan kanan, satu fi’il jibilliyah. Tiap – tiap fi’il jibilliyah, pada asalnya “wajib” dituruti, dan tidak Sunnah
Jadi, “tidak wajib dan tidak Sunnah” mendahulukan kanan dalam kelakuan dan perbuatan.
Tetapi ada Riwayat, yaitu :
عَنْ عاإشَةَ : كَانَ النَّبِيّ ص. يُحِبُّ التَّيَا مُنَ مَااسْتَطَاعَ فِيْ شَأْ نِهِ كُلِّهِ.
“Dari Aisyah, adalah Nabi SAW, suka sekali menggunakan anggota – anggota kanan beliau, selama sempat, dalam semua halnya” {Abu Dawud}
Selain dari riwayat tersebut, ada beberapa riwayat lagi yang menggemarkan berkanan, bukan perintah.
Semua itu menunjukkan bahwa menggunakan anggota kanan (fi’il jibilliyah), “Sunnah” dituruti sebagaimana yang dilakukan dan digemari Nabi SAW.

11.  FI’IL BERTENTANGAN DENGAN FI’IL ?
Dalam Ushul Fiqh ada pembicaraan tentang fi’il Nabi SAW, yang dianggap bertentangan dengan fi’ilnya sendiri.
Sebenarnya, kalau kita periksa benar – benar, tidak akan terdapat satupun fi’il Nabi yang berlawanan dengan fi’ilnya sendiri, maupun fi’il – fi’il yang berkenaan dengan Qurbah, Tha’at dan lainnya.

12.  PERBUATAN DENGAN OMONGAN
Tentang perbuatan Nabi SAW yang orang anggap berlawanan dengan sabdah beliau, juga ada masalahnya dalam kitab – kitab Ushul.
Tetapi dengan pemeriksaan dan perhatian yang teliti, tidak akan kita dapati satupun perbuatan Nabi SAW yang mungkin bertentangan dengan sabdahnya sendiri, maupun tentang fi’il Qurbah, Tha’at, dan jibilliyah.
Sebagai contoh, hadits yang sepintas lalu kelihatan bertentangan antara satu dengan yang lainnya, yaitu :
·        عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ قالَ : سَقَيْتُ رَسول اللهِ ص. مِنْ زَمْزَمَ فَسَرِبَ وَهُوَ قَاءِمٌ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Aku memberi minum kepada Nabi SAW, dari air zamzam, lalu beliau minum sambal berdiri” {Muslim}

·        قَالَ رسول اللهِ ص. لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدُكُمْ قَاءِمًا
“Rasulullah bersabdah : “Tidak boleh sekali – kali seorang dari antara kamu minum sambil berdiri” {Muslim}

KETERANGAN :
Riwayat pertama menunjukkan Nabi SAW minum dengan berdiri. Ini dikatakan fi’il Nabi SAW.
Riwayat kedua melarang umatnya minum sambil berdiri. Ini qoul (sabdah/perkataan) Nabi SAW.
Zhahirnya, kelihatan fi’il Nabi SAW itu bertentangan dengan sabdah beliau sendiri, benarkah demikian ?
Mari kita perhatikan :
a.       Kalau dikatakan sabdah Nabi SAW, lebih kuat derajatnya fi’il dari fa’il beliau, maka tentu kita mesti berpegang kepada larangan beliau, yaitu : “tidak boleh sekali – kali minum dengan berdiri”.
Jika kita berpegang kepada sabdah ini, sedangkan Nabi SAW pernah mengerjakan minum dengan berdiri, maka ini tidaklah munasabah[2]. Karena tidak patut Nabi SAW, melarang sesuatu, tetapi Beliau sendiri mengerjakannya, kecuali kalau ada alasan yang tegas.
b.      Bilamana dikatakan, Nabi SAW minum sambil berdiri itu, maksudnya untuk menunjukkan, bahwa larangan minum sambil berdiri tadi, ialah larangan makruh, bukan haram, maka ini juga tidak pada tempatnya, karena tidak patut seorang Nabi berbuat sesuatu yang makruh
c.       Apabila ditakdirkan Nabi SAW, tadi, diucapkannya kemudian dari perbuatan beliau, boleh jadi akan ada orang yang berkata, bahwa sabdah yang kemudian ini dihapuskan perbuatan beliau yang terdahulu.
Kepada yang berpendirian demikian, kita bertanya : “siapakah yang menetapkan, bahwa semata – mata sabdah, kemudian menghapuskan fi’il yang lebih dulu ? dan siapakah yang menentukan, semata – mata fi’il yang kemudian menggugurkan qaul yang lebih dulu ?
Penetapan ini, jika memang dari Nabi SAW sendiri tentu diterima, sedang ini, tidak terdapat satupun dalilnya dari Rasulullah SAW.
Karena itu semua, tetap Riwayat dan Hadits tersebut diatas, kedua – duanya, masih terpakai. Jadi, mendudukkannya begini :
A.    Kata – kata “berdiri” dalam larangan itu, ada yang mengartikan “berjalan”, karena kata mereka dalam bahasa Arab ada arti demikian.
Kalau demikian, makna hadits itu : “ Tidak boleh sekali – kali seorang dari antara kamu minum sambil berjalan”.
Sedangkan perkataan “berdiri” dalam riwayat fi’il Nabi itu tetap artinya “berdiri” biasa.
Dengan demikian, Riwayat dan Hadits itu dapat dipakai kedua – duanya, dan tidak bertentangan.
B.     Perkataan “berdiri” yang ada dalam Hadits larangan itu, ditunjukkan kepada suatu cara berdiri yang dapat mengganggu kesehatan mengenai jantung, kerongkongan dan sebagainnya.
Maka maknanya : “ Tidak boleh sekali – kali seorang diantara kamu minum sambil berdiri (dengan cara yang mengganggu kesehatannya)”
Adapun “berdiri” yang Nabi SAW perbuat itu, ialah dengan sifat yang tidak mengganggu kesehatan
Dengan cara ini juga, kedua – dua hadits dan riwayat itu tadi, terpakai dan tidak bertentangan.


[1] Puasa Asyura’ = puasa tgl 10 Muharram
[2] Munasabah : cocok, sesuai

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner