9/10/18

QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (14)

الظَّاهِرٌ وَ التَّأْوِيْلُ
Zhahir itu ialah : suatu perkataan yang tertuju kepada dua makna tetapi ia lebih berat menuju kepada salah satunya, seperti :
يَدٌ = yad, mempunyai arti tangan.
Sebenarnya perkataan “yad” itu dapat ditujukan kepada makna “tangan” dan boleh juga mempunyai makna “kekuasaan”, tetapi perkataan itu lebih berat kepada makna, “tangan”
“Yad” ini, kalau dimaknakan “kekuasaan”, maka ia dinamakan “Muawwal”, artinya yang dita’wil (yang dipalingkan artinya). Cara atau jalan kita mengartikan dengan makna “kekuasaan” itu dikatakan “Ta’wil”
Maka “ta’wil” itu ialah memalingkan kata – kata atau omongan dari yang Zhahir kepada arti lain, atau makna lain.

Syarat – Syarat Ta’wil
Dalam mena’wil suatu perkataan atau omongan, hendaklah diperhatikan syarat – syarat sebagai berikut :
1.      Hendaklah yang di ta’wil (muawwal) itu, setuju dengan bahasa (Arab)
2.      Hendaklah muawwal itu, cocok dengan kebiasaan yang dipakainya, jangan yang tidak bias digunakan orang
3.      Hendaklah muawwal itu setuju dengan istilah – istilah yang terpakai dalam Agama
4.      Hendaklah muawwal itu mempunyai keterangan atau jalan yang menunjukkan, bahwa dia boleh diartikan begitu
Contoh seperti sabdah Nabi SAW :
إنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
“sesungguhnya maiyit (orang mati) itu, di adzab karena ratapan keluarganya, atasnya” {Muslim}

KETERANGAN :
Kalau kita berpegang kepada arti tersebut, maka bertentangan dengan firman Allah dalam Q.S. An – Najm : 38
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,”

Karena firman Allah ini menetapkan bahwa manusia tidak akan memikul dosa orang lain, sedangkan Hadits diatas menetapkan orang dapat memikul dosa orang lain, yaitu ratapan, sebab meratapi itu dilarang Agama.
Oleh karena hadits tersebut shahih, datangnya dari Rasulullah, tetapi tidak patut kalau berlawanan dengan firman Allah, maka supaya keduanya cocok, perlu ta’wil, yakni kita palingkan artinya
Yang mesti di ta’wil adalah perkataan “disiksa” (لَــيُعَذَّبُ) yang ada dalam hadits terebut.
Hendaknya terlebih dahulu kita ketahui, bahwa dalam kubur menurut keterangan yang shah dari Agama kita ada “nikamat kubur” da nada “adzab kubur”
“nikmat kubur” yaitu kesenangan yang akan diterima nanti di hari kemudian dibayang – bayangkan kepada orang mati, dalam kubur.
“Siksa kubur” yaitu kesusahan yang akan diterima (dirasakan) di hari kemudian yang dibayang – bayangkan kepada si mati dalam kubur.
Orang yang dibayang – bayangkan kesenangan dalam kubur, hatinya akan merasa senang.
Orang yang dibayang – bayangkan kesusahan dalam kubur, hatinya akan merasa susah.
Dari keterangan tersebut, dapat kita ta’wilkan perkataan “disiksa” tadi menjadi : “kesusahan” yang dirasakan si maiyit karena memikirkan adzab yang akan diterima oleh yang meratapkannya, yang mana telah diharamkan Agama.
Maka makna hadits diatas tadi menjadi :
“sesungguhnya maiyit itu merasakan kesusahan, karena memikirkan adzab ratapan keluarganya atas dirinya”
Ta’wil ini setuju dengan empat syarat yang tersebut diatas tadi.


No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner