الْإسْتِدْلَالُIstidlal artinya minta petunjukDalam Ushul Fiqh maksudnya : “satu dalil yang bukan dari Qur’an dan juga bukan Hadits Nabi SAW, bukan Ijma’, bukan ,Qiyas. Ringkasnya : keterangan yang diluar dari 4 macam itu.Yang termasuk dalam Istidlal itu bermacam – macam hal, diantaranya ialah :1. Istishab2. Syara’ sebelum Islam3. Perkataan seorang Shahabat Nabi4. Dalalatul Iqtiran5. Dalalatul Ilham6. Memipikan Nabi SAWSemuanya itu kami akan terangkan satu persatu, beserta contohnya.1. Istishab (الْإ سْتِصْحَابُ)Istishab artinya menjadikan kawan.Dalam pembahasan Ushul yaitu : “Hukum yang sudah tetap masa lalu, diteruskan sampai masa yang akan datang, selama tidak terdapat yang mengubahnya”.Tegasnya yaitu : suatu hukum yang sudah tetap di masa lalu, tetap berlaku sampai masa yang akan datang, kalau tidak ada keterangan yang mengubahnya.Contoh I : seorang ragu – ragu : apakah ia tadi sudah berwudhu atau belum. Diwaktu ini, ia harus berpegang kepada yang “belum berwudhu”, karena inilah yang yakin baginya. Pegangan ini dikatakan “hukum yang sudah tetap untuk dimasa lalu”.Ia tidak boleh shalat sekarang dan nanti, selama ia belum berwudhu. Ia tidak boleh shalat ini karena hukum yang sudah tetap dimasa lalu, yaitu keyakinan “belum berwudhu”, ditetapkan sampai sekarang (waktu ia ragu).Contoh II : seorang yakin bahwa tadi ia sudah berwudhu, tetapi sekarang ia ragu – ragu : apakah tetap ada wudhunya itu atau tidak ?. Dalam keadaan begitu, ia mesti berpegang kepada yang awal, yaitu sudah berudhu.Pegangan yang demikian ini dikatakan : hukum yang sudah tetap dimasa lalu.Jadi, boleh ia shalat, karena hukum yang lalu itu, ditetapkan adanya sampai sekarang (ketika ia tadi ragu)Contoh III : perkawinan yang sudah cukup rukun dan syarathnya, tentulah sudah shah. Dan ini suatu hukum yang sudah tetap. Menurut syar’I dan fikiran, keshahihannya itu mesti terus berlaku sampai sekarang dan yang akan datang, selama tidak diubahnya dengan jalan thalaq, fasakh[1], khulu’[2], meninggalnya salah seorang, dan sebagainya.Istidlal dari 3 macam contoh Istishab yang telah disebutkan diatas tadi itu boleh dipakai semua.2. Syara’ sebelum Islam (شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا)Syara’ sebelum Islam itu maksudnya ialah Agama yang ada sebelum adanya Islam, seperti Agamanya Nabi Isa A.S., Musa A.S., Ibrahim A.S., dan lainnya.Dalam pembahasan Ushul Fiqh yaitu : bolehkah peraturan – peraturan Agama sebelum Agama Islam itu dituruti ?Perlu kita ketahui, bahwa kedatangan Agama Islam ini menghapuskan sekalian Agama dahulu dan hukum – hukumnya.Karena itu, tidak boleh kita menuruti atau menggunakan hukum – hukum Agama sebelum Islam, melainkan yang dibenarkan saja dengan perintah yang nyata – nyata dari Agama Islam sendiri, seperti puasa Nabi Dawud. Ini mestinya tidak boleh kita turuti, tetapi oleh sebab ada kebenaran dari Agama Islam, maka boleh kita ikuti atau kita amalkan. Sebagaimana Sabdah Nabi :...... فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا فَذَالِكَ صِيَامُ دَاوُدَ“……. Maka puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu puasa Nabi Dawud” {Bukhari}3. Perkataan seorang Shahabat Nabi (قَوْلُ الصَّحَابِيِّ)Ucapan seorang Shahabat Nabi tentang Ibadah dalam Agama atau yang seumpamanya itu, bolehkah dijadikan dalil dan dipakai atau tidak ?Hendaklah kita ketahui, bahwa kitab yang menjadi undang – undang kita hanya satu saja, yaitu Al – Qur’an. Dan orang yang Allah telah utus bagi ummat Islam untuk dituruti dan ditaati hanya seorang saja, yaitu Nabi Muhammad SAW. Selain dari itu tidak ada lagi.Adapun Shahabat – sahabat Nabi, sama saja seperti kita, tidak ada sedikitpun perbedaannya tentang mesti sama – sama menurut Qur’an dan Nabi Muhammad SAW.Karena tidak ada perintah dari Agama, sedang mereka sama dengan kita dalam mentaati Agama, maka tentulah omongan Shahabat atau pendiriannya semata – mata itu, tidak menjadi dalil bagi AgamaKalau kita menerima, bahwa semata – mata omongan seorang Shahabat itu boleh dijadikan alasan Agama, berarti kita telah menetapkan pokok yang Agama sendiri tidak menetapkan. Ini tentu sudah salah.Contoh perkataan Umar r.a. :الْخُطْبَةُ مَوْضِعُ الرَّكْعَتَيْنِ فَمَنْ فَاتَتْهُ الْخُطْبَةُ صَلَّى أرْبَعًا“khutbah Jum’ah itu, pengganti dua rakaat. Maka barangsiapa luput khutbah, hendaknya ia Shalat empat rakaat” {Al – Muhalla 5 : 58}Perkataan Umar tersebut, tidak boleh dijadikan dalil untuk berhukum, sebagaimana yang dikehendakinya, karena tidak terdapat satupun seketerangan dari Agama yang menetapkan seperti omongan Umar itu.Hanya, yang ada dalilnya yaitu : kita diperintah mendengarkan khutbah Jum’ah dan shalat dua rakaat.Kalau luput mendengar khutbah, tidak berarti luput pula shalatnya yang dua raka’at. Paling tinggi kita dapat berkata, bahwa orang yang luput khutbah dengan sengaja itu, salah. Karena tidak menurut perintah mendengarkannya.Usaha lain untuk mengerjakan Jum’ah masih ada.4. Dalalatul Iqtiran (دَلَا لَةُ الْإقْتِرَانِ)Dalalah artinya = dalil, keterangan, atau petunjukIqtiran artinya = sambungan atau perhubunganJadi, Dalalatul Iqtiran ialah berdalil dari sesuatu yang ada perhubungannya.Tegasnya : kita mengambil hukum dari suatu yang bersambungan dengan yang lain, dalam Qur’an atau Hadits.Jika yang satunya mempunyai ketetapan “Haram” umpamanya, maka yang disambungkan kepadanya juga ikut dianggap “Haram”Kalau yang satu “Jaiz”, maka yang dihubungkan kepadanya itu juga ikut “Jaiz”. Demikian selainnya.Begitulah yang ditujukan dalam pembahasan ini.Tetapi sebenarnya, ketetapan serupa ini tidak dapat menerima dan dipakai, kerena dalam Qur’an dan Hadits terdapat bermacam – macam kedudukan.Umpamanya seperti firman Allah :كُلُوْا وَشْرَبُوْا...“dan makan dan minumlah....” {Al – A’raf : 31}Keterangan :“minumlah” yang terletak dibelakang, dihubungkan dengan “makanlah” dengan huruf “wau : dan”Hukum “makan” kita sudah ketahui yaitu “Jaiz : boleh makan dan boleh tidak”Karena minum dihubungkan dengan makan, maka “minum” juga mempunyai hukum JaizIni, kebetulan benar, karena kita telah mengetahui hukum “makan” dan hukum “minum” itu jaiz dari keterangan – keterangan lain, bukan dari Ayat tersebutCoba perhatikan ayat ini :كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ“makanlah dari buahnya, apabila ia telah berubah, dan keluarkanlah zakatnya pada hari dipertiknya” {Al – An’am : 141}Keterangan :Perkataan “keluarkanlah” yang terletak dibelakang, dihubungkan dengan makanlah. “makan” hukumnya jaiz, sebagaimana yang telah kita ketahui.Kalau diakui, bahwa sesuatu yang dihubungkan dengan yang lain itu, sama hukumnya, maka mestinya “keluarkanlah” zakat itupun, jadi jaiz, yaitu boleh mengeluarkan zakat dan boleh tidak. Padahal sudah kita ketahui mengeluarkan zakat itu hukumnya “wajib”Dengan demikian, Iqtirarnya itu tidak dapat dipakai.Nah, dari dua contoh yang telah dipaparkan, nyatalah bahwa Dalalatul Iqtiran ini tidak dapat dijadikan sebagai penetapan hukum.5. Dalalatul Ilham (دَلَ لَةُ الْإلْهَامِ)Dalalah artinya dalil, petunjukIlham artinya mengabarkanMaksudnya, dalam Ilmu Ushul ialah : khabar ghaib yang didapati seseorang dalam dirinya untuk mengerjikan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatuSoal Ilham ini, tentu tidak boleh dijadikan dalil Agama sama sekali, karena kita tidak akan dapat meyakini bahwa khabaran ghaib itu datangnya dari Allah, bahkan mungkin datangnya dari gangguan syaithan atau lainnya.Boleh jadi satu – satu masa Ilham itu betul dan cocok, tetapi itu hanya kebetulan saja.Umpamanya : seorang mendapat Ilham mesti shalat sehari semalam lima kali. Ini memang benar. Tapi benarnya itu bukan karena Ilham, tetapi karena ada perintah dari Agama yang sudah kita ketahui lebih dahulu.Jika tidak ada keterangan memerintah kita untuk shalat, maka bagaiman kita dapat mengetahui kebenarannya Ilham itu ?Umpamanya lagi : seorang dapat kabar ghaib, bahwa shalat subuh itu, tiga rakaat. Bagaimana kalau kejadian itu begitu ? apakah boleh orang itu shalat subuh tiga rakaar berdasarkan kepada ilhamnya ?Tentu tidak ! karena tidak ada perintah begitu dari Agama kitaDengan ini, jelaslah bahwa Ilham atau khabar ghaib itu, tidak boleh dijadikan dalil dalam Agama, maupun timbulnya pada orang – orang biasa atau pada Ulama’ – ulama’6. Memipikan Nabi SAW (رُءْ يَا النَّبِيِّ ص.)Maksudnya ialah kalau seorang bermimpi melihat Nabi Muhammad SAW, dan dalam mimpi itu, “Nabi” memerintahkan hal ini dan itu., maka bolehkah yang demikian itu kita jadikan dalil Agama ?Begitu dibicarakan dalam UshulHendaklah kita maklum, bahwa Agama kita ini, sudah sempurna, tidak boleh ditambah, dan tidak boleh dikurangi, sebagai mana firman Allah :....الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ....“....hari ini[3] telah AKU sempurnakan bagi kamu, Agama kamu....” {Al – Maidah : 3}Ayat ini memberi makna bahwa, kalau kita mimpi Nabi, tentu apa yang Nabi perintah atau larang dalam impian itu, tidak akan keluar dari apa yang sudah ada dalam Agama, karena kalau perintah atau larangan Beliau itu keluar dari Agama, berarti ayat Qur’an tersebut dusta. Ini, suatuhal yang tidak mungkin (mustahil)Bilamana yang Nabi perintah atau larang didalam mimpi itu, umpamanya berhubungan dengan urusan keduniaan, serta tidak mengenai aqidah, maka perlu dibicarakan, karena sudah terang itu bukan urusan Agama.Kalau bukan urusan Agama, maka tentulah bukan dalil Agama.Ada hadits yang mengatakan : bahwa syaitan itu tidak dapat menyerupai Nabi SAW, tetapi sabdah Nabi ini, tidak menunjukkan, bahwa mimpi itu dapat dijadikan hujjah dalam AgamaDalam pembicaraan diatas dapat kita mengambil kesimpulan begini :Ada kemungkinan orang bermimpi melihat Nabi SAW, tapi bisa kejadian dalam mimpi itu Nabi memerintah atau melarang sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan Agama yang ia bawa, tidak bisa terjadi ada tambahan atau pengurangan dalam AgamaAllah telah menyempurnakan Agama-Nya.Kalau ditakdirkan ada juga mimpi seperti ini yang bersifat berlawanan, bertambah atau mengurangi Agama nyatalah mimpi tadi bukan dari Nabi. Melainkan dari syaithan atau sebagainya.
9/24/18
QAIDAH - QAIDAH USHUL FIQIH (16)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment