BAB I
MACAM-MACAM HADITS BERDASARKAN SIFAT SANAD
MACAM-MACAM HADITS BERDASARKAN SIFAT SANAD
1. HADITS MUTTASHIL
Muttashil menurut bahasa asdalah isim fa’il dari kata kerja ittashala lawan kata dari inqatha’a artinya bersambung.
Hadits Muttashil ialah:
Hadits Muttashil ialah:
ما اتصل سنده، وسلم من الانقطاع، ويصدق ذلك على المرفوع والموقوف .
"Hadits yang bersambungsambung sanadnya dan terhindatr dari terputusnya
sanad, dan yanh termasuk dalam hadits ini adalah hadits marfu’ dan
mauquf". Persambungan sanad itu dinamai ittishal.
Hadits muttashil tidak harus berupa hadits marfu’, akan tetapi bisa berupa hadits marfu’ atau hadits mauquf yang disandarkan pada shahabat atau tabiin akan tetapi dengan syarat tidak ada sesuatu yang mengindikasikan terputusnya sanad (inqitha’).
Dengan demikian setiap hadits yang munqathi’ tidak bisa dikatakan hadits muttshil baik terputus di permulaan isnad, di akhir isnad maupun diantara keduanya. Maka hadit Mu’allaq, hadits Mu’adlal, hadits mursal dan juga hadits mudallas tidak termasuk dalam kategori hadits muttasil.
Begitu juga tidak termasuk hadits Muttashil apabila seorang perawi menerima hadits dari gurunya dengan melalui salah satu dari dua cara penerimaan hadits yang dlaif.
Hadits muttasil berkaitan dengan sanad bukan pada matan hadits.
Contoh dari hadits yang marfu’ (hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW):
Hadits muttashil tidak harus berupa hadits marfu’, akan tetapi bisa berupa hadits marfu’ atau hadits mauquf yang disandarkan pada shahabat atau tabiin akan tetapi dengan syarat tidak ada sesuatu yang mengindikasikan terputusnya sanad (inqitha’).
Dengan demikian setiap hadits yang munqathi’ tidak bisa dikatakan hadits muttshil baik terputus di permulaan isnad, di akhir isnad maupun diantara keduanya. Maka hadit Mu’allaq, hadits Mu’adlal, hadits mursal dan juga hadits mudallas tidak termasuk dalam kategori hadits muttasil.
Begitu juga tidak termasuk hadits Muttashil apabila seorang perawi menerima hadits dari gurunya dengan melalui salah satu dari dua cara penerimaan hadits yang dlaif.
Hadits muttasil berkaitan dengan sanad bukan pada matan hadits.
Contoh dari hadits yang marfu’ (hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW):
عن جابر قال رسول الله ص. حسن الملكة يمن وسوء الخلق شؤم
Artinya:
dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah pelajaran dan
buruk kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir).
Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu karena dengan terang-terangan Jabr mengatakan “قال رسول الله”.
Contoh dari hadits Muquf (hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi) :
عن عبد الله بن مسعود قال : لا يقلدن احدكم دينه رجلا فان امن امن وان كفر كفر (رواه ابو نعيم 136:1
Artinya:
dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah hendaknya salah
seorang dari kamu taqlid agamanya dari seseorang, karena jika seseorang
itu beriman, maka ikut beriman, dan jika seseorang itu kufur, ia pun
ikut kufur”. (R. Abu Na`im 1:136).
Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud.
Contoh dari hadits Maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi`in atau orang yang berada pada tingakat dibawahnya):
Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud.
Contoh dari hadits Maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi`in atau orang yang berada pada tingakat dibawahnya):
عن عبد الله بن سعيد بن ابي هند قال : قلت لسعيد بن المسيب : ان فلانا اعطس والامام يخطب فشمته فلان. قال : مره فلا يعودن
Artinya:
dari Abdillah Bin Sa`Id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku pernah bertanya
kepada Sa`Id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin, padahal imam
sedang berkhutbah, lalu orang lain ucapkan “yarhamukallah” (bolehkan
yang demikian?) jawab Sa`Id Bin Musayib “perintahlah kepadanya supaya
jangan sekali-kali diulangi”. (al atsar 33).
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum.
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum.
2. HADITS MUSNAD
Menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata asnada yang berarti menyandarkan atau menisbahkan.
Hadits Musnad, ialah: "tiap-tiap hadits marfu' yang sanadnya muttashil." Sebagian ulama menamai musnad segala hadits muttashil, walaupun mauquf, atau maqthu'. Dan sebagian yang lain menamai musnad, segala hadits marfu', walaupun mursal, mu'dlal ataupun munqathi'. Pendapat yang pertama, itulah yang terkenal dan terkuat.
Hadits musnad memiliki sifat bersambung (ittishal) dalam sisi matannya dan juga ittishal pada sanadnya. Mak hadits muttashil terkumpul di dalamya dua macam hadits, yaitu hadits muttashil dan marfu’. Maka apabila kriteria kedua macam hadits ini terkumpul dalam suatu hadits maka hadits tersebut dihukumi hadits Musnad.
Dengan demikian suatu hadits dikatakan Hadits musnad apabila terpenuhi dua syarat:
1. Disandarkan pada Nabi
2. Sand-sanadnya muttashil (tidak terputus)
Apabila dijumpai suatu hadits yann sanadnya muttashil namun disandarkan pada sahabat bukan pada Nabi maka tidak bisa dikatakan hadits Musnad. Begitu juga sebalikny, apabila ditemukan suatu hadits yang di sandarkan pada Nabi akan tetapi terdapat sanad yang terputus (munqathi’) maka juga tidak disebut dengan hadits Musnad.
Contoh hadits Musnad:
Hadits yang dikeluarkan oleh Bikhari, yang berkata, “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abi Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seekor anjing meminum di dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak tujuh kali.”
Hadits ini sanadnya bersambung dari awal hingga akhir, juga marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Musnad, ialah: "tiap-tiap hadits marfu' yang sanadnya muttashil." Sebagian ulama menamai musnad segala hadits muttashil, walaupun mauquf, atau maqthu'. Dan sebagian yang lain menamai musnad, segala hadits marfu', walaupun mursal, mu'dlal ataupun munqathi'. Pendapat yang pertama, itulah yang terkenal dan terkuat.
Hadits musnad memiliki sifat bersambung (ittishal) dalam sisi matannya dan juga ittishal pada sanadnya. Mak hadits muttashil terkumpul di dalamya dua macam hadits, yaitu hadits muttashil dan marfu’. Maka apabila kriteria kedua macam hadits ini terkumpul dalam suatu hadits maka hadits tersebut dihukumi hadits Musnad.
Dengan demikian suatu hadits dikatakan Hadits musnad apabila terpenuhi dua syarat:
1. Disandarkan pada Nabi
2. Sand-sanadnya muttashil (tidak terputus)
Apabila dijumpai suatu hadits yann sanadnya muttashil namun disandarkan pada sahabat bukan pada Nabi maka tidak bisa dikatakan hadits Musnad. Begitu juga sebalikny, apabila ditemukan suatu hadits yang di sandarkan pada Nabi akan tetapi terdapat sanad yang terputus (munqathi’) maka juga tidak disebut dengan hadits Musnad.
Contoh hadits Musnad:
Hadits yang dikeluarkan oleh Bikhari, yang berkata, “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abi Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seekor anjing meminum di dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak tujuh kali.”
Hadits ini sanadnya bersambung dari awal hingga akhir, juga marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. HADITS MU’AN’AN
Hadits
Mu'an'an. "Hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafad "an", yang
diriwayatkan secara an'anah, seperti dikatakan: diriwayatkan Abu
Hurairah dari Nabi SAW." Sesuatu hadits yang diriwayatkan secara
tersebut, maka Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi-perawi itu harus
semasa harus mu'asharah. Al Bukhary mensyaratkan orang-orang itu di
samping mu'asharah, pernah pula berjumpa satu sama lainnya, yakni
diisyaratkan liqa’. Segolongan ulama yang lain mensyaratkan, bahwa orang
itu harus pernah mempelajari hadits pada yang selainnya yaitu, 'An'anah
yang dibuat oleh seseorang yang terkenal mudallis, tidak diterima.
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
a) Bahwa hadits yang jalurnya (sanad) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:
1) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
2) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
• Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu
b) Bahwa hadits mu’an’an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’anan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu ((سمعت. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .
Contoh hadis mu’an’an:
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
a) Bahwa hadits yang jalurnya (sanad) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:
1) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
2) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
• Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu
b) Bahwa hadits mu’an’an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’anan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu ((سمعت. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .
Contoh hadis mu’an’an:
حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا
عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر (رواه مسلم)
4. HADITS MUSALSAL
Musalsal
ini, merupakan salah satu sifat yang terdapat pada sanad (rawi) saja.
Berlainan dengan Marfu’ yang merupakan salah satu sifat yang terdapat
pada matan saja. Sedang shahih merupakan sifat yang terdapat baik pada
sanad maupun pada matan. Jika pada rawi-rawi yang menjadi sanad suatu
hadits atau pada periwayatannya, terdapat satu sifat atau keadaan yang
selalu sesuai, maka hadits yang mempunyai sifat-sifat demikian disebut
hadits musalsal (tali-temali).
Secara definitif yang disebut dengan hadits musalsal ialah:
Secara definitif yang disebut dengan hadits musalsal ialah:
هو ما تتابع فيه رجال الاسناد واحدا واحدا على صفة واحدة او حال واحدة او قول واحد
"Suatu hadits yang rawi-rawi (sanad)-nya Baling mengikuti se¬orang demi seorang mengenai satu sifat, keadaan atau perka¬taan".
Dengan memperhatikan di mana sifat-sifat yang selalu sesuai itu terdapat, maka hadits musalsal dapat diklasifisir kepada:
a. musalsal fi'r-ruwah dan
b. musalsal fi'r-riwayah.
I. Sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai terdapat pada para rawinya, dapat mengenai:
(1) Ucapannya, misalnya hadits Mu'adz bin Jabal yang men¬jelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda padanya, ujarnya:
Dengan memperhatikan di mana sifat-sifat yang selalu sesuai itu terdapat, maka hadits musalsal dapat diklasifisir kepada:
a. musalsal fi'r-ruwah dan
b. musalsal fi'r-riwayah.
I. Sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai terdapat pada para rawinya, dapat mengenai:
(1) Ucapannya, misalnya hadits Mu'adz bin Jabal yang men¬jelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda padanya, ujarnya:
يامعاذأحبك افقل فى دبركل صلاة: (اللهم أعنى على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك)
“Wahai Mu'adz! Aku cinta padamu. Karena itu, ucapkanlah la akhir setiap salat (doa) ini : Ta Allah, tolonglah aku untuk menzikiri-Mu dan membaguskan ibadahku kepada-Mu".
Rawi-rawi kemudian yang meriwayatkan hadits Mu'adz ini, di kala meriwayatkan kepada orang lain, selalu menggunakan kalimat "uhibbuka" (aku mencintaimu), yang sesungguhnya kalimat itu spesifik pujian Nabi kepada Mu'adz saja.
(2) Perbuatannya, misalnya hadits Abu Hurairah r.a., ujar¬nya:
شبك بيدى أبوالقاسم صلعم وقال : خلق الله الأرض يوم السبت والجبال يوم الأ حد ..الحديث
'Abul-Qasim
(Nabi Muhmmad) saw menjejerkan jari-jarinya dengan jari-jariku, seraya
bersabda: ‘Allah menjadikan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari Ahad,
dan seterusnya”.
Abu Hurairah r.a. dan rawi-rawi selanjutnya, bill meriwayat¬kan hadits, tersebut selalu dengan menjejerkan jari-jarinya de¬ngan jari-jari orang yang diberi riwayat.
(3) Perkataan dan perbuatan bersama-sama. Misalnya hadits Anas r.a., ujarnya:
Abu Hurairah r.a. dan rawi-rawi selanjutnya, bill meriwayat¬kan hadits, tersebut selalu dengan menjejerkan jari-jarinya de¬ngan jari-jari orang yang diberi riwayat.
(3) Perkataan dan perbuatan bersama-sama. Misalnya hadits Anas r.a., ujarnya:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لايجدالعبد حلا وة الاءيمان حتى يؤمن
بالقدرخيرة وشره وحلوهومره). وقبض رسول الله صلعم على لحيته وقال (امنت
بالقدرخيره وشره وحلوه ومره)
"Seseorang tidak akan mendapatkan kemanisan iman, sehing¬ga ia mempercayai qadar Allah, baik qadar yang baik atau buruk, maupun yang manis atau yang getir". Rasulullah setelah bersabda demikian itu, lalu memegang, janggut Anas dan seraya bersabda: "Aku percaya kepada qodar, baik qadar yang baik atau buruk, maupun yang nth atau yang getir.
Anas r.a. melakukan dan mengatakan persis dengan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi. Demikian juga rawi berikutnya, melakukan demikian di kala meriwayatkan hadits tersebut.
II. Adapun sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai pada periwayatannya (musalsal fi'r-Riwayah) itu, dapat mengenai:
a. shighat meriwayatkan hadits, misalnya apabila masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat yang dipakai rawi yang pertama, seperti kalau rawi pertama memakai shighat sami'tu / samina haddatsani / haddatsana, akhbarani/ akhbarana dan lain sebagainya, maka rawi yang kemudian pun demikian.
b. Zaman meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a., ujarnya:
شهدت
مع رسول الله صلعم يوم عيد فطراواضحى، فلما فرغ من الصلاة اقبل علينا
بوجهه فقال : ايها الناس قداصبتم خيرا فمن احب ان ينصرف فلينصرف ومن احب ان
يقيم حتى يسمع الخطبة فليقم
"Saya hadir bersama Rasulullah saw pada
salat Idul Fitri dan Idul Adha. Ketika selesai dari salat beliau
memandang kepada kami seraya bersabda: 'Wahai manusia! Kamu sekali¬an
telah memperoleh kebaikan. Maka siapa yang ingin pu¬lang, pulanglah dan
siapa yang ingin tinggal mendengarkan khotbah, tinggallah!
Hadits tersebut musalsal pada hari raya, yakni setiap rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu di saat-saat hari raya fitri atau Adha.
c. Tempat meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a. tentang doa yang mustajab, yang diucapkan di suatu tempat tertentu, yang disebut dengan Multazam. Kata Ibnu 'Abbas ra :
Hadits tersebut musalsal pada hari raya, yakni setiap rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu di saat-saat hari raya fitri atau Adha.
c. Tempat meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a. tentang doa yang mustajab, yang diucapkan di suatu tempat tertentu, yang disebut dengan Multazam. Kata Ibnu 'Abbas ra :
ماد غاأحدفى هذاالملتزم إلااستجيب له. وقال ابن عباس : وانا ماعوتالله فيه الا استجيب لى
Tidaklah
seorang mendoa di Multazam ini, kecuali selalu di¬kabulkan. Ibnu 'Abbas
selanjutnya berkata: Aku tidak mendoa kepada Allah di tempat ini,
selain selalu dikabulkannya.
Demikianlah setiap rawi yang mendoa di tempat tersebut, se¬lalu dikabulkan-Nya.
Hukum Hadits Musalsal itu adakalanya:
1. Sifat musalsalnya tidak shahih, tetapi matannya shahih. Seperti hadits musalsal-musabbakah (menjejerkan jari-jari) tertera di atas menurut pendapat As-Sakhawy, matannya ada¬lah shahih, karena terdapat di dalam kitab shahih Muslim, sedang tasalsulnya menjadi masalah yang diperbincangkan oleh seluruh ulama.
2. Sifat tasalsul dan matannya tidak shahih. Misalnya seper¬ti hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu 'Atha' dalam kitab Miftahul Falah:
Demikianlah setiap rawi yang mendoa di tempat tersebut, se¬lalu dikabulkan-Nya.
Hukum Hadits Musalsal itu adakalanya:
1. Sifat musalsalnya tidak shahih, tetapi matannya shahih. Seperti hadits musalsal-musabbakah (menjejerkan jari-jari) tertera di atas menurut pendapat As-Sakhawy, matannya ada¬lah shahih, karena terdapat di dalam kitab shahih Muslim, sedang tasalsulnya menjadi masalah yang diperbincangkan oleh seluruh ulama.
2. Sifat tasalsul dan matannya tidak shahih. Misalnya seper¬ti hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu 'Atha' dalam kitab Miftahul Falah:
بالله العظيم لقد حدثنى جبريل اوقال
: باالله العظيم لقد حدثنى اسرافيل اوقال : قال الله تبارك وتعالى :
يااسرافيل بعزتى وجلالى وجودى وكرمى من قرأ بسم الله الرحمن الرحيم متصلا
بفاتحة الكتاب مرة واحدة اشهدوا على، انى قد غفرت له وقبلت منه الحسنات
وتجاوزت عنه السيئات، ولا احرق لسانه فى النار واجيره من عذاب القبر وعذاب
النار وعذاب القيامة والفزع الاكبر، ويلقانى قبل الانبياء والاولياء اجمعين
"Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Jibril telah bercerita padaku,
ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Mikail telah bercerita
kepadaku, ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Israfil telah
bercerita kepadaku, ajar. nya: Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: Wahai
Israfil, dengan kegagahan-Ku, keagungan-Ku, kedermawanan-Ku dan
kemurahan-Ku, maka barang siapa yang membaca basmalah terus disambung
dengan al-Fatihah sekali, saksikanlah pada-Ku, bahwa Aku mengampuni
dosa-dosanya, menerima keba¬jikannya, menghapus kejelekannya, tidak
Kuhanguskan lidahnya dengan api, Kuhapus siksa kuburnya, siksa
nerakanya, siksa hari kiamatnya, kegelisahannya dan dapat menemui Aku
sebelum para Nabi dan wall seluruhnya."
Menurut Al-Hafidh As-Sakhawy, bahwa redaksi dan susunan kalimat hadits tersebut adalah batal sama sekali, baik dari segi sifat tasalsulnya, maupun dari segi matannya.
3. Tasalsul itu tidak selalu terjadi terus-menerus pada selu¬ruh rawi yang menerimanya, tetapi adakalanya terputus di awal, di tengah atau di akhirnya.
Misal yang putus di awal (awwaliyah):
Menurut Al-Hafidh As-Sakhawy, bahwa redaksi dan susunan kalimat hadits tersebut adalah batal sama sekali, baik dari segi sifat tasalsulnya, maupun dari segi matannya.
3. Tasalsul itu tidak selalu terjadi terus-menerus pada selu¬ruh rawi yang menerimanya, tetapi adakalanya terputus di awal, di tengah atau di akhirnya.
Misal yang putus di awal (awwaliyah):
الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من فى الارض يرحمكم من فى السماء
Pengasih-pengasih
itu bakal dikasihi oleh Zat Yang Maha¬ asih. Karena itu kasihilah
orang-orang di permukaan bumi ini, tentu orang-orang yang ada di langit
mengasihimu sekalian.
Hadits tersebut bertasalsul hanya kepada Ibnu 'Uyainah (yang pertama-tama menerima hadits) dari Ibnu Dinar, dan Ibnu Dinar (yang pertama-tama menerima) dari Abu Qabus dan Abu Qabus (yang pertama-tama menerima) dari 'Abdullah bin 'Amr dan Ibnu 'Amr (yang pertama-tama menerima) dari Nabi Muhammad saw. Setup rawi yang meriwayatkan hadits tersebut mengatakan: "Inilah hadits yang pertama saya dengar dari guru saya.
Jadi hadits itu merupakan hadits pertama yang diterimanya dari gurunya dan kemudian disampaikan kepada orang yang barn pertama kali menerima hadits daripadanya
Faedah mengetahui hadits musalsal ini, ialah untuk menambah penilaian tentang kekokohan ingatan para rawi.
Kitab yang terbaik yang khusus mengumpulkan hadits-hadits musalsal, ialah kitab "Fihrisu'l-Faharis wa’l-atsbat", karya al-Hafidh Muhammad 'Abdul Hayyi al-Kattany.
Hadits tersebut bertasalsul hanya kepada Ibnu 'Uyainah (yang pertama-tama menerima hadits) dari Ibnu Dinar, dan Ibnu Dinar (yang pertama-tama menerima) dari Abu Qabus dan Abu Qabus (yang pertama-tama menerima) dari 'Abdullah bin 'Amr dan Ibnu 'Amr (yang pertama-tama menerima) dari Nabi Muhammad saw. Setup rawi yang meriwayatkan hadits tersebut mengatakan: "Inilah hadits yang pertama saya dengar dari guru saya.
Jadi hadits itu merupakan hadits pertama yang diterimanya dari gurunya dan kemudian disampaikan kepada orang yang barn pertama kali menerima hadits daripadanya
Faedah mengetahui hadits musalsal ini, ialah untuk menambah penilaian tentang kekokohan ingatan para rawi.
Kitab yang terbaik yang khusus mengumpulkan hadits-hadits musalsal, ialah kitab "Fihrisu'l-Faharis wa’l-atsbat", karya al-Hafidh Muhammad 'Abdul Hayyi al-Kattany.
5. HADITS ‘ALI DAN NAZIL
Sebuah hadits yang
di-isnad-kan kepada Nabi Muhammad saw. kadang-kadang hanya melalui
rijalu's-sanad,(rawi hadits) yang banyak. Hadits yang melalui
rijalu's-sanad yang sedikit jumlahnya disebut Hadits 'Aly, sedang yang
melalui rijalu's¬ sanad yang banyak disebut Hadits Nazil (safil). Hadits
yang melalui sanad lebih sedikit disebut 'aly (tinggi), karena dari
jumlah sanad yang sedikit itulah dapat memperkecil noda-no¬da yang
terdapat pada sanad. Sebab setiap rijalu's-sanad itu, adalah manusia
biasa yang tidak terpelihara dari kekhilafan, baik sengaja ataupun tidak
disengaja. Dengan sedikitnya rija¬lu's-sanad, sedikit pula kemungkinan
adanya cacat dan noda. Sedangkan banyaknya rijalu's-sanad tidak menutup
adanya kemungkinan banyaknya noda. Oleh karena itu, derajat hadits yang
bersanad banyak, lebih rendah (nazil) daripada yang bersanad sedikit.
من
كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراأوليصمت ومن كان يؤمن بالله واليوم
الاخر فليكرم جاره. ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
"Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik
atau berdiam diri; Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendahlah memuliakan tetangganya; Dan Siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya".
Hadits Muslim yang bersanad: Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah dan Abu Hurairah (6 orang), adalah hadits nazil.
Sedang hadits Bukhary yang bersanad Qutaibah bin Sa'id, Abul-Akhwash, Abu Hashin, Abu Shalih dan Abu Hurairoh (5 orang) adalah hadits 'aly, karena sanadnya lebih sedikit.
Di samping tentang jumlah sedikit atau banyaknya sanad juga, disyaratkan keduanya bernilai shahih, bukan dla'if atau rawinya, bukan orang yang tertuduh dusta. Sesuatu hadits, walau. pun sanadnya sedikit tetapi dla'if bukan termasuk hadits, 'aly.
Macam-macam Hadits 'Aly dan Nazil
Hadits Muslim yang bersanad: Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah dan Abu Hurairah (6 orang), adalah hadits nazil.
Sedang hadits Bukhary yang bersanad Qutaibah bin Sa'id, Abul-Akhwash, Abu Hashin, Abu Shalih dan Abu Hurairoh (5 orang) adalah hadits 'aly, karena sanadnya lebih sedikit.
Di samping tentang jumlah sedikit atau banyaknya sanad juga, disyaratkan keduanya bernilai shahih, bukan dla'if atau rawinya, bukan orang yang tertuduh dusta. Sesuatu hadits, walau. pun sanadnya sedikit tetapi dla'if bukan termasuk hadits, 'aly.
Macam-macam Hadits 'Aly dan Nazil
Hadits 'ali itu ads 5 macam, yakni:
1.
'Aly-Mutlak. Hadits 'aly seperti pada contoh di atas, disebut dengan
'aly-mutlak. Bagian ini adalah bagian yang terpenting dan terutama.
Dengan ketentuan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh
dusta. Adapun kalau sanadnya dla'if, hilanglah keutamaannya. Apalagi
dalam sanadnya terdapat seorang pendusta, yang mengaku mendengar hadits
dan sahabat. Seperti Ibnu Hudabah, Nu'aim bin Salim, Ya'la bin al-Asydaq
dan lain sebagainya.
Kata Al-Hafidh Adz-Dzahaby: "Manakala kamu mengetahui: seorang Muhaddits bangga dengan ke-'aly-an sanadnya, anggaplah ia itu bodoh."
Kata Al-Hafidh Adz-Dzahaby: "Manakala kamu mengetahui: seorang Muhaddits bangga dengan ke-'aly-an sanadnya, anggaplah ia itu bodoh."
2. 'Aly-Nisby. Yaitu bila ukuran dekatnya
(karena rawinya sedikit jumlahnya) itu bukan kepada Nabi, tetapi kepada
imam-imam hadits, yang mempunyai sifat-sifat tinggi mengenai
kehafalannya, kedlabithannya, kemasyhurannya dan lain sebagainya.
Seperti Ibnu Juraij, Az-Zuhry, Syu'bah, Malik, Asy-Syafi'iy, Al-Bukhary,
Muslim dan lain sebagainya, walaupun kadang-kadang sanad antara
imam-imam tersebut dengan Nabi, banyak jumlahnya. Misalnya:
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم ان من اعظم الفرى ان يدعى الرجل الى غير ابيه
وايرى عينه مالم تراو يقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم مالم يقل
Rasulullah
saw. bersabda: 'Sebesar-besar dusta ialah mendakwakan ayah kepada yang
bukan ayahnya, memper¬lihat-lihatkan apa yang tidak dilihat oleh matanya
atau mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan."Hadits Imam Syafi'iy (I) bersanad Abdu'l-'Aziz, Muhammad bin Ajlan, Abdu'l-Wahab bin Bukht, Abdu'l-Wahid An-¬Nashry dan Watsilah bin Al-Asqa'.
Hadits Al-Bukhary (II) bersanad 'Aly bin 'Ayyas, Hariz, Abdu'l-Wahid An-Nashry dan Watsilah bin Al-Asqa'.
Jika dinisbatkan kepada Abdu'l-Wahid An-Nashry, hadits Bukhary adalah lebih dekat, karena sanadnya hanya dua orang, daripada hadits Syafi'iy, yang sanadnya tiga orang. Oleh karena itu hadits Bukhary-lah yang "'aly-nisby". Dalam pada itu juga dapat dikatakan 'aly-mutlak karena jumlah sanad Bukhary sampai kepada Nabi adalah lebih sedikit daripada jumlah sanad Asy-Syafi'iy sampai kepada Nabi.
'Aly-nisby itu derajatnya lebih rendah daripada 'aly-mutlak. Sungguh pun demikian, syarat-syarat mengenai keshahihan hadits dan ketiadaan cacat, masih diperlukannya.
3. 'Aly-Tanzil. Yakni bila ukuran dekatnya itu
dinisbatkan kepada suatu kitab dari kitab-kitab yang mu'tamad. Seperti
kedua kitab shahih Bukhary dari Muslim, kitab-kitab sunan dan kitab
musnad Imam Ahmad.
'Aly-Tanzil ini ada 4 macam yaitu:
a. Muwafagah. Misalnya seorang' muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab mu'tamad, kemudian sanad yang dicari oleh muhaddits tersebut bertemu dengan guru dari penyusun kitab yang mu'tamad dan ternyata sanadnya lebih sedikit dari pada sanad yang terdapat dalam kitab mu'tamad.
b. Badal. Misalnya seorang muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab yang mu'tamad, kemudian sanad yang diusa¬hakannya bertemu dengan guru dari gurunya pengarang kitab mu'tamad.
c. Musawah. Misalnya jumlah sanad seorang muhaddits dari awal sampai akhir bersamaan jumlahnya dengan jumlah sanad yang terdapat pada suatu kitab mu'tamad.
d. Mushafahah. Yakni bila jumlah sanad muhaddits tersebut kelebihan seorang daripada sanad pengarang kitab mu'tamad.
a. Muwafagah. Misalnya seorang' muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab mu'tamad, kemudian sanad yang dicari oleh muhaddits tersebut bertemu dengan guru dari penyusun kitab yang mu'tamad dan ternyata sanadnya lebih sedikit dari pada sanad yang terdapat dalam kitab mu'tamad.
b. Badal. Misalnya seorang muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab yang mu'tamad, kemudian sanad yang diusa¬hakannya bertemu dengan guru dari gurunya pengarang kitab mu'tamad.
c. Musawah. Misalnya jumlah sanad seorang muhaddits dari awal sampai akhir bersamaan jumlahnya dengan jumlah sanad yang terdapat pada suatu kitab mu'tamad.
d. Mushafahah. Yakni bila jumlah sanad muhaddits tersebut kelebihan seorang daripada sanad pengarang kitab mu'tamad.
4.
‘Aly bitaqdimi'l-wafat. Misalnya suatu hadits yang diri¬wayatkan dari
dua orang, dari Al-Baihaqy dari Al-Hakim ada¬lah lebih tinggi daripada
hadits yang diriwayatkan dari tiga orang, dari Abu Bakar bin Khalaf dari
Al-Hakim. Karena Al ¬Baihaqy lebih dahulu meninggal daripada Abu Bakar
bin Khalaf.
5. 'Aly bitaqdimis-sama'. Misalnya suatu hadits yang
diri¬wayatkan oleh seorang yang lebih dulu mendengarnya dari se¬orang
guru adalah lebih 'aly daripada hadits yang diriwayat¬kan oleh kawannya
yang mendengar kemudian dari guru ter¬sebut.
Sebagaimana hadits 'aly terbagi menjadi 5 macam seperti ter¬sebut di atas, maka hadits nazil pun demikian halnya.
Sebagaimana hadits 'aly terbagi menjadi 5 macam seperti ter¬sebut di atas, maka hadits nazil pun demikian halnya.
No comments:
Post a Comment