BAB II
MACAM-MACAM HADITS DITINJAU DARI DITERIMA / DITOLAKNYA MENJADI HUJJAH
A. Hadits Maqbul dan Permasalahannya
1) Pengertian
Maqbul menurut bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang dibenarkan. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya . Adapun syarat-syarat penerimaan hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat.
Hadits maqbul ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama sepakat bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik hadits shohih maupun hadits hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima (Maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi hadits shohih, tetapi rawi hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melakukan dusta.
2) Klasifikasi Hadits Maqbul
Yang termasuk kedalam kategori hadits maqbul ialah :
1. Hadits Shohih, baik shohih lidzatihi maupun shohih ligahirih.
2. Hadits Hasan, baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi.
Kedua macam hadits tersebut wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan lain yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Maka dari itu, apabila ditinjau dari sifatnya. Maka hadits maqbul terbagi pula menjadi dua, yakni Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat pula diamalkan, inilah yang disebut dengan hadits maqbul ma’mulun bih. Disamping itu juga ada hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul ghairu ma’mulin bih. Berikut ini adalah rincian dari masing-masing hadits tersebut yakni sebagai berikut :
a) Hadits Maqbul yang Ma’mul bih.
1. Hadits Muhkam
Al-Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantara dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikitpun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.
2. Hadits Mukhtalif.
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
3. Hadits Rajih
Yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya.
4. Hadits Nasikh
Yakni hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Contoh dari hadits Maqbul ma’mulul bih banyak sekali. Secara garis besar pembagiannya ialah hadits yang tidak ada perlawanannya dengan hadits lain dan hadits yang terjadi perlawanan dengan hadits lain. Sebagai contoh akan dikemukakan tentang hadits yang tidak memiliki perlawanan dengan hadits lain (Hadits Muhkam) berikut ini.
“janganlah kamu larang isterimu untuk pergi kemesjid (untuk bersembahyang), tetapi sembahyang dirumah lebih baik bagi mereka” (H.R Abu Daud dari Ibnu Umar)[4]
Contoh Hadits yang memiliki perlawanan dari hadits lain tetapi salah satu dari hadits tersebut telah menghapus ketentuan hukum yang terkandung dari hadits yang turun sesudahnya (hadits nasikh). Yakni sebagai berikut :
Barra berkata : “sesungguhnya nabi saw. pernah sembahyang menghadap baitul maqdis selama enam belas bulan”. (Riwayat Bukhari)
Hukum menghadap kiblat ke baitul maqdis itu telah dinasikhkah oleh Allah pada firmanNya :
“Hendaklah kamu menghadapkan mukamu kearah masjidil haram (ka’bah). (QS. Albaqarah :144)
b) Hadits Maqbul Ghairu Ma’mul bih
1. Hadits Mutasyabih
yakni hadits yang sukar dipahami maksudnya lantaran tidak dapat diketahui takwilnya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.
2. Hadits Mutawaqqaf fihi
Yakni dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits ini hendaklah dibekukan sementara.
3. Hadits Marjuh
Yakni sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh oleh hadits Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh,
4. Hadits Mansukh
Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni maqbul yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
5. Hadits Maqbul
yang maknanya berlawanan dengan alQur’an, Mutawatir, akal yang sehat dan ijma’ ulama.
Contoh dari hadits Maqbul ghairu ma’mul bih ini salah satunya ialah tentang hadits yang bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :
”Konon termasuk yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan di malam hari dan nabi melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu Abi Hatim dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)[6]
Hadits tersebut secara akal sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah lupa sedangkan menurut akal sehat dan putusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari dosa dan kelupaan (ma’shum) dalam menyampaikan syariat dan wahyu.
3) Persoalan seputar hadits Maqbul
Apabila kita mendapati dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya, maka :
1. Hendaklah kita berusaha untuk mengumpulakan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya. Dalam hal ini apabila dapat dikumpulakan, maka kedua hadits tersebut wajib diamalkan.
2. Kalau usaha pertama gagal, maka kita mencari, mana diantara kedua hadits tersebut yang datang lebih dahulu (Nasikh), dan mana yang datang kemudian (mansukh).[7]
3. Kalau usaha mencari nasikh tidak pula berhasil, beralih pada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad ataupun matannya untuk ditarjihkan. Dalam hal ini hadits yang lebih kuat tersebut (rajih) diamalkan, sedangkan hadits yang lemah tersebut (marjuh) untuk tidak diamalkan.[8]
4. Jika usaha terakhir juga gagal, maka hadits tersbut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya.
B. Hadits Mardud dan Permasalahannya
1) Pengertian Hadits Mardud
Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima. Secara istilah Hadits Mardud ialah hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Dalam definisi yang ekstrim disebutkan bahwa hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi dhoif[9]
Simpulan tentang penyebab-penyebab tidak diterimanya hadits ini akan dijelaskan berdasarkan klasifikasi hadits mardud ini sebagai berikut :
2) Klasifikasi Hadits Mardud
(1) Adanya Kekurangan pada Perawinya
Dalam hal ini, kekurangan pada perawinya dapat disebabkan oleh ketidakadilannya maupun kehafalannya. Yakni terbagi menjadi :
(a) Dusta (hadits maudlu)
(b) Tertuduh dusta (hadits matruk)
(c) Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
(d) Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
(e) Menyalahi riwayat orang kepercayaan
(f) Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
(g) Penganut Bid’ah (hadits mardud)
(h) Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
(2) Karena sanadnya tidak bersambung
(a) Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
(b) Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
(c) Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
(d) Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
(3) Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’.
BAB III
ILMU JARH DAN TA’DIL
A. Ta’rif
Lafadz 'Jarh ", menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraan¬nya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men¬ta'dilkannya.
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritik¬an adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh watta'dil ".
Dr. 'Ajjaj Al-Khathib menta'rifkannya sebagai berikut:
هوا العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dart segi diterima atau ditolak periwayatannya.
B. Faedah Ilmu Jarh wat-Ta'dil
Faedah mengetahui Ilmu Jarh wat-Ta'dil itu ialah untuk mene¬tapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh Oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
- Macam-macam keaiban rawi
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam raja. Yakni:
1. Bid'ah (melakukan tindakan tercela, di luar. ketentuan syari'at),
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu'l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan
5. Da'wa'l-ingitha' (diduga kerns sanadnya tidak bersambung).
Orang yang disifati dengan bid'ah adakalanya tergolong orang' yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasik¬kan. Mereka yang dianggap kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada Sayyidina 'Ali, dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa 'Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.
Sedang orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai itikad berlawanan dengan dasar syari'at. Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadits berlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama'kan. Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan kalau perlawanannya itu berkesangatan atau rawinya sangat lemah hafalannya, periwayatnnya (hadits¬nya) disebut munkar.
Ghalath (salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hen¬daklah diadakan peninjauan mengenal hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatnnya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath.
Maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad)nya. Sedang apabila tidak didapati selain dengan jalan (sanad) nya hendaklah ditawaqufkan.
Adapun seorang rawi yang disifati dengan sedikit kesalaha¬nnya, seperti lemah hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka ditetapkan seperti ketentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayat mutabi’at yang terdapat dalam shahih Bukhary itu lebih banyak daripada riwayat yang terda¬pat pada mereka. Jahalatu'l-hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkari¬nya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya (rnenafikannya).
Da'wa'l-inqitha' (pendakwaan terputus) dalam sanad, misal¬nya mendakwa rawi men-tad-lis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
- Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Dalam uraian yang baru lalu telah (dikemukakan bahwa: men-ta'dil-kan (menganggap adil seorang rawi) ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa ke-'adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat.
Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu jari dua ketetapan berikut:
Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa din terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu'bah bin al-Hajjaj, Asy-Syafi'iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh ka¬rena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalang¬an para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diper¬bincangkan tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah) Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil . yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta'dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
b. Setup orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:
a. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki¬-laki yang adil.
1. Syarat-syarat bagi orang yang men-ta'dil-kan dan men-tajrih-kan
Bagi orang yang men-ta'dil-kan (mu'addil) dan orang yang men-jarh-kan (Jarih) diperlukan syarat-syarat. Yakni:
1) Berilmu pengetahuan.
2) Takwa.
3) Wara,' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
4) Jujur.
5) Menjauhi.fanatik golongan dan
6) Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
2. Dapatkah pen-ta'dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya
Sebagaimana kita ketahui, bahwa men-ta'dil-kan atau men-taj¬rih-kan seorang rawi itu adakalanya mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Untuk mubham ini, diperselisihkan oleh para ula¬ma, dalam beberapa pendapat:
1) Men-ta'dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, dite¬rima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa me¬nyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam, mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinan¬nya, tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia tercacat atau tidak, perlu diterangkan sebab sebabnya.
2) Untuk ta'dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta'dil- kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang mentaj-rih-kan tidak.
3) Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
4) Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebab¬nya. Sebab, si jarih dan mu'addil sudah mengenal seteliti-¬telitinya sebab-sebab tersebut.
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang dianut oleh kebanyakan Para muhadditsin, semisal Bukhary-Muslim, Abu Dawud dan lain-lainnya.
3. Jumlah orang yang dipandang Cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi
Dalam masalah ini juga diperselisihkan:
1) Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
2) Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta'dil-kan dan men-tajrih rawi-rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3) Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun da¬lam soal syahadah.
Adapun kalau ke-'adalah-annya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-¬ahli ilmu, maka tidak memerlukan orang yang men-ta'dil-kan (muzakky = mu'addil). Seperti Malik, As-Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu'l-Mubarak, Syu'bah, Is-haq dan lain-lainnya.
4. Perlawanan antara jarh dan ta'dil
Apabila terdapat ta'arudl antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta'dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat:
1) Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu'addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu'addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu'addil.
Pendapat ini dipegang oleh jumhuru'l-ulama.
2) Ta'dil harus didahulukan daripada jarh.
Karena si jarih dalam meng-aibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk men-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu'addil, sudah barang tentu tidak serampangan men-ta'dil-kan se¬seorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3) Bila jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarih¬nya, didahulukan ta'dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.
4) Masih tetap dalam ke-ta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khi¬laf ini, ialah jika jumlah mu'addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu'addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma' .
5. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi
lafadh-lafadh yang digunakan untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu's Shalah dan Imam Nawawy, lafadh-lafad itu di¬susun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh Ad-Dzahaby dan Al-'Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusun¬nya menjadi 6 tingkatan, yakni:
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan rawi-rawi.
Pertama : segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af'alut-tafdil atau ungkapan Yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
اوثق الناس Orang yang paling tsiqah,
اثبت الناس حفظا وعدالة Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya,
اليه المنتهى فى الثبت Orang Yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
ثقة فوق الثقة Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
Kedua : memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna, Misalnya:
ثبت ثبت : Orang yang teguh (lagi) teguh,
ثقة ثقة : Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,
حجة حجة : Orang yang ahli (lagi) patah lidahnya,
ثبت ثقة : Orang yang teguh (lagi) tsiqah,
حافظ حجة : Orang yang hafidh lagi petah lidahnya.
ضابظ متقن : Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya.
Ketiga : menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
ثبت : Orang yang teguh (hati dan lidahnya)
متفق : Orang yang meyakinkan (ilmunya),
ثقة : Orang yang tsiqah,
حافظ : Orang yang hafidh (kuat hafalannya),
حجة : Orang yang petah lidahnya.
Keempat : menunjuk keadilan dan kedlabithan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
صدوق : Orang yang sangat jujur,
مأمون : Orang yang dapat memegang amanat,
لابأس به : Orang Yang tidak cacat.
Kelima : menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabithan. Misalnya:
محله الصدق : Orang yang berstatus jujur,
جيد الحديث : Orang yang baik haditsnya,
حسن الحديث : Orang yang bagus haditsnya,
مقارب الحديث : Orang yang haditsnya berdekatan de¬ngan hadits-hadits orang lain yang tsiqah.
Keenam : menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadh "insya Allah", atau lafadh tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti). atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
صدوق إنشاء الله : Orang yang jujur, insya Allah.
فلان أرجو بأن لابأس به : Orang yang diharapkan tsiqat
فلان صويلح : Orang yang sedikit kesalehannya
فلان مقبول حديثه : Orang yang diterima haditsnya.
Para ahli ilmu menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita'dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawi yang dita'dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk mentajrih rawi-rawi.
Pertama : menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
اوضع الناس : orang yang paling dusta,
اكذب الناس : orang yang paling bohong,
اليه المنتقى فى الوضع : orang yang paling top kebohongannya
Kedua : menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan la¬fadh berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
كذاب : orang yang pembohong,
وضاع : orang yang pendusta,
دجال : orang yang penipu.
Ketiga : menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
فلان منهم بالكذب : orang yang dituduh bohong,
اومهم بالوضع : orang yang dituduh dusta,
فلان فيه النظر : orang yang perlu diteliti,
فلان ساقط : orang yang gugur,
فلان ذاهب الحديث : orang yang haditsnya telah hilang,
فلان متروك الحديث : orang yang ditinggalkan haditsnya.
Keempat : menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
مطرح الحديث : orang yang dilempar haditsnya,
فلان ضعيف : orang yang lemah,
فلان مردود الحديث : orang yang ditolak haditsnya.
Kelima : menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
فلان لايحتج به : orang yang tidak dapat dibuat huj¬jah haditsnya,
فلان مجهول : orang yang tidak dikenai identitasnya.
فلان منكر الحديث : orang yang mungkar haditsnya,
فلان مضطرب الحديث : orang yang kacau haditsnya,
فلان واه : orang yang banyak menduga-duga.
Keenam : menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
ضعف حديثه : orang yang didla'ifkan haditsnya,
فلان مقال فيه : orang yang diperbincangkan,
فلان فيه خلف : Orang yang disingkiri
فلان لين : Orang yang lunak
فلان ليس بالحجة : orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya,
فلان ليس بالقوى : orang yang tidak kuat.
Orang-orang yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai seba¬gai i'tibar (tempat membandingkan).
Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan Muhadditsin bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima.
Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wat¬ta'dii ini ialah rawi-rawi selain sahabat.
- Untuk diperhatikan
Apabila kita temui sebagian ahli jarh dan ta'dil men-jarh-kan seorang rawi, maka kita tidak perlu segera menerima pen tajrih-an tersebut, tetapi hendaklah diselidiki lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendati¬pun yang men-tajrih-kan tersebut orang-orang atau ulama-ulama yang masyhur sekalipun, tidak boleh terus kita terima pen¬-tajrih-annya. Sebab kadang-kadang, sebab-sebab yang diguna¬kan untuk men-jarh-kannya, setelah kita adakan penelitian da¬pat dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.
Hal itu disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain, ialah si jarih sendiri termasuk orang yang di-tajrih-kan oleh orang lain, hingga pen-tajrih-annya dan pen-ta'dil-annya tidak harus segera kita terima selama orang-orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih termasuk orang yang berkesangatan dalam men-tajrih¬kan seseorang. Sedang menurut pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta'dil, lebih ringan.
Para ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama Muhad¬ditsin yang terkenal berkesangatan dan menjemukan bila men¬tajrih seseorang rawi. Mereka itu, ialah: Abu Hatim, An¬Nasa'iy. Yahya bin Main, Yahya bin Khaththan dan Ibnu Hibban."
C. Kitab-kitab Ilmu Jarh wat-Ta'dil
Para penulis kitab-kitab Jarh wat-Ta'dil berbeda-beda dalam menyusun buku-bukunva. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi bebera¬pa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu rijalus-sanad.
Di samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang hanya menulis ten¬ting rawi-rawi yang dla'if dan bohong saja. ada yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja, dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain:
1. Ma'rifatu'r-rijal. Karya Yahya Ibni Ma' in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuskrip (tulisan tangan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
2. Ad-Dlu'afa'. Karya Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhary (194 - 252 H.). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi. Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4. Al-Jarhu wat-Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat-Ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H. ki¬tab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai mu¬kadimah, sedang tiap-tiap jilid yang ash dijadikan dua jilid.
5. Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748 H.). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biarpun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
6. Lisanu'l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah mencakup isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. ia dicetak di India pada tahun 1329 - 1331 H. dalam 6 jilid.
No comments:
Post a Comment