7/19/25

Mengapa Strategi Seragam Justru Membawa Kehancuran?

“Kegagalan terbesar dalam manajemen adalah menerapkan manajemen yang seragam untuk kondisi organisasi yang berbeda-beda.” Ungkapan dari Michel Porter ini tidak sekadar kalimat, tetapi peringatan keras bagi siapa pun yang memimpin organisasi.

Dalam pengalaman saya mengamati berbagai bentuk organisasi mulai dari lembaga sosial, komunitas, hingga dunia usaha pernyataan Porter terasa begitu nyata. Banyak pemimpin tergoda meniru kesuksesan organisasi lain, berharap bahwa dengan mengadopsi metode yang sama, hasil yang didapat akan serupa. Padahal, manajemen bukanlah sekadar “copy paste” strategi. Bagi saya, keberhasilan justru lahir dari keberanian memahami keunikan organisasi dan menemukan pendekatan yang sesuai dengan konteks.

Setiap organisasi ibarat manusia dengan kepribadian berbeda. Ada yang agresif, ada yang konservatif, ada pula yang bergerak lambat namun pasti. Budaya kerja, kompetensi sumber daya manusia, model bisnis, hingga visi misi adalah faktor-faktor yang membentuk karakter unik suatu organisasi.

Ketika seorang pemimpin memaksakan strategi seragam, ia mengabaikan keunikan ini. Misalnya, gaya kepemimpinan militeristik mungkin efektif di industri manufaktur yang menuntut ketelitian dan disiplin tinggi, namun tidak akan cocok di industri kreatif yang membutuhkan inovasi dan kebebasan bereksperimen.

Michel Porter dalam Competitive Advantage menekankan bahwa strategi adalah tentang “memilih untuk berbeda” (choosing to be different). Menurut saya, esensi dari pernyataan ini adalah keberanian organisasi untuk mengenali kelebihan dan keterbatasan dirinya, lalu menyesuaikan langkah tanpa harus meniru orang lain.

Contoh Nyata di Indonesia

1. Gojek: Menang karena Paham Konteks Lokal

Ketika Uber gagal berkembang di Indonesia, banyak yang bertanya mengapa Gojek justru mampu meroket. Jawabannya sederhana: Gojek tidak meniru Uber secara mentah. Mereka memahami budaya lokal ojek pangkalan yang sudah akrab di masyarakat, sistem pembayaran tunai, serta kebutuhan layanan antar barang yang fleksibel. Strategi manajemen yang disusun berdasarkan kebutuhan lokal inilah yang membuat Gojek berhasil menjadi super-app.

Jika Gojek memaksakan model bisnis Uber yang kaku, mereka mungkin tidak akan mampu bertahan menghadapi kerumitan pasar Indonesia.

2. Telkomsel: Transformasi Bertahap

Sebagai salah satu BUMN terbesar, Telkomsel menghadapi tantangan besar di era digital. Alih-alih langsung mengadopsi budaya startup, Telkomsel memilih transformasi bertahap. Mereka membangun inovasi digital melalui anak perusahaan seperti Telkomsel Mitra Inovasi dan mengakuisisi platform digital. Pendekatan ini terbukti efektif karena selaras dengan kultur kerja BUMN yang lebih birokratis, tanpa kehilangan daya saing di era teknologi.

3. BUMN vs Startup

Banyak BUMN yang mencoba meniru gaya kepemimpinan ala startup: kerja fleksibel, flat organization, hingga budaya fail fast. Namun dalam praktiknya, sistem ini sering gagal karena tidak sesuai dengan struktur birokrasi yang sudah ada. Dari sini kita belajar bahwa meniru tanpa menyesuaikan konteks sama saja dengan menabur benih di tanah yang salah.


Saya percaya ada tiga bahaya utama ketika organisasi menerapkan manajemen seragam:

1. Hilangnya Identitas.
Organisasi kehilangan jati diri saat berusaha menjadi seperti orang lain. Padahal, keunikan adalah sumber kekuatan terbesar.

2. Kinerja yang Menurun.
Ketika strategi tidak sesuai dengan pola kerja internal, karyawan bisa merasa tertekan, tidak nyaman, bahkan kehilangan arah.

3. Pengambilan Keputusan yang Salah.
Keputusan yang diambil tanpa memahami konteks cenderung kontraproduktif, merugikan organisasi dalam jangka panjang.


Dalam pandangan saya, solusi dari masalah ini adalah manajemen kontekstual. Seorang pemimpin yang bijak harus:

Mengenali Karakter Internal. Apa kekuatan, kelemahan, dan nilai utama organisasi?

Membaca Lingkungan Eksternal. Bagaimana tren pasar, teknologi, dan perilaku konsumen yang memengaruhi organisasi?

Mengadaptasi Gaya Kepemimpinan. Pemimpin harus bisa fleksibel. Kadang dibutuhkan kepemimpinan visioner, di waktu lain kepemimpinan berbasis kontrol lebih diperlukan.



Di era disrupsi teknologi, banyak perusahaan tergoda untuk meniru pola kerja perusahaan teknologi raksasa. Tidak sedikit organisasi yang mengadopsi konsep open office, agile, atau scrum hanya karena tren, bukan karena kebutuhan. Menurut saya, ini justru menciptakan kebingungan internal.

Michel Porter mengingatkan bahwa keunggulan kompetitif muncul dari differentiation bukan meniru. Ketika organisasi berani menemukan cara uniknya sendiri, di situlah kekuatan nyata lahir.


Saya meyakini bahwa setiap pemimpin harus berani memimpin dengan kesadaran penuh terhadap karakter organisasinya. Kesuksesan manajemen bukan ditentukan oleh siapa yang paling modern atau paling meniru tren global, tetapi siapa yang paling paham dengan orang-orang yang ia pimpin.

Bagi saya, kegagalan terbesar dalam manajemen bukanlah kegagalan dalam mencoba hal baru, melainkan kegagalan untuk melihat ke dalam memahami potensi unik, budaya, dan kekuatan organisasi sendiri.


Sebagaimana dikatakan Michel Porter, “The essence of strategy is choosing what not to do.” Bagi saya, ini bukan sekadar tentang menghindari kesalahan, tapi juga tentang berani menolak strategi yang tidak sesuai dengan karakter organisasi.

Di tengah gempuran tren manajemen modern, organisasi harus kembali pada jati diri. Keunikan adalah kekuatan, dan adaptasi adalah kunci.

No comments:

About

Ahmad Fathullah, M.Pd
No.Hp : wa.me/6282143358433 (SMS/WA)
Alamat : Jl. Bulak Sari 1/59 Surabaya
Email : ad.fathullah@gmail.com
Fb : ahmad.fathullah.10
IG : a.fathullah94