7/24/25

Pemaknaan Sakit dalam Masyarakat Modern Studi Kasus Asma Berdasarkan Konsep Health Belief Model dan Health Seeking Behavior

 


Oleh : Ahmad Fathullah

A.    PENDAHULUAN

Pemahaman tentang sehat dan sakit dalam masyarakat modern telah berkembang jauh melampaui definisi medis-biologis. Dalam konteks kontemporer, konsep sehat-sakit tidak hanya dilihat dari segi fisik atau biologis semata, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial, budaya, dan spiritual. Paradigma ini dikenal dengan pendekatan biopsikososial dan menjadi dasar dari pengembangan teori-teori perilaku kesehatan, seperti Health Belief Model (HBM) dan Health Seeking Behavior (HSB). Salah satu penyakit yang sering menjadi contoh dalam konteks ini adalah asma—penyakit pernapasan kronis yang tidak hanya menimbulkan dampak fisiologis, tetapi juga membentuk respons psikososial individu dalam mengelolanya.

Penelitian ini berangkat dari pengalaman pribadi penulis sebagai penderita asma dan bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana keyakinan dan perilaku pencarian kesehatan terbentuk dalam menghadapi penyakit tersebut. Dengan menggunakan kerangka teori HBM dan HSB, tulisan ini memberikan perspektif akademik tentang bagaimana masyarakat modern memaknai sakit dan mengupayakan penyembuhan, baik melalui jalur medis maupun non-medis.

 

B.     ASMA SEBAGAI FENOMENA KESEHATAN

Asma merupakan penyakit tidak menular (PTM) yang ditandai dengan inflamasi kronis pada saluran napas, menyebabkan gejala seperti sesak napas, batuk, dan mengi. Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 262 juta orang di seluruh dunia menderita asma pada tahun 2019, dengan 461.000 kematian terkait penyakit ini.[1] Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi asma mencapai 2,4% dari populasi, dengan angka yang cenderung meningkat di wilayah perkotaan akibat polusi dan gaya hidup modern.[2]

Penderita asma umumnya mengalami kekambuhan yang dipicu oleh faktor lingkungan (debu, asap, udara dingin), emosi (stres, cemas), aktivitas fisik, hingga makanan tertentu. Gejala ini dapat membatasi produktivitas dan kualitas hidup, sehingga penanganannya memerlukan pendekatan yang holistik, tidak hanya secara farmakologis, tetapi juga psikososial.

 

C.    HEALTH BELIEF MODEL (HBM) DALAM KONTEKS ASMA

HBM merupakan model teoritis yang digunakan untuk memahami motivasi individu dalam mengambil tindakan kesehatan. Model ini dikembangkan oleh Becker dan Rosenstock  dan mencakup enam komponen utama: persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, isyarat untuk bertindak, dan efikasi diri.[3]

a.      Perceived Susceptibility (Kerentanan yang Dirasakan)

Sebagai penderita asma sejak remaja, saya menyadari bahwa tubuh saya memiliki kecenderungan besar untuk mengalami serangan asma, terutama saat paparan udara dingin atau aktivitas berat. Kesadaran ini membuat saya lebih waspada terhadap kondisi cuaca, pola tidur, serta kebersihan lingkungan.

b.      Perceived Severity (Keparahan yang Dirasakan)

Setiap kali mengalami serangan sesak napas di malam hari, saya merasakan bahwa asma bukan penyakit ringan. Ada kecemasan tersendiri jika serangan terjadi saat sendirian atau jauh dari fasilitas kesehatan. Persepsi ini meningkatkan komitmen saya untuk menjalankan pengobatan preventif dan memperhatikan pola hidup.

c.       Perceived Benefits (Manfaat yang Dirasakan)

Saya percaya bahwa penggunaan inhaler, penghindaran alergen, serta pengobatan alternatif seperti herbal dan bekam mampu mengurangi frekuensi kambuh. Keyakinan ini memperkuat perilaku saya dalam menjaga kesehatan dan tidak hanya bergantung pada intervensi farmakologis.

d.      Perceived Barriers (Hambatan yang Dirasakan)

Beberapa hambatan yang saya alami meliputi ketergantungan pada obat kimia, efek samping jangka panjang, serta biaya pengobatan spesialis yang relatif mahal. Selain itu, terkadang stigma sosial terhadap penggunaan inhaler di tempat umum membuat saya enggan menggunakannya.

e.       Cues to Action (Isyarat untuk Bertindak)

Isyarat untuk bertindak bisa berupa pengalaman serangan berat, saran dari dokter, informasi media sosial, atau pengalaman orang lain. Misalnya, setelah mengalami serangan berat saat di tempat kerja, saya memutuskan untuk lebih aktif mencari terapi pendamping selain obat medis.

f.        Self-Efficacy (Efikasi Diri)

Saya memiliki keyakinan bahwa dengan manajemen diri yang baik, saya dapat mengontrol gejala asma. Efikasi diri ini diperkuat oleh pengalaman sukses menghindari serangan melalui teknik relaksasi, olahraga ringan, dan diet sehat.

 

D.    HEALTH SEEKING BEHAVIOR (HSB) DALAM PRAKTIK

Konsep Health Seeking Behavior merujuk pada proses pencarian bantuan atau intervensi ketika individu mengalami gejala atau gangguan kesehatan. Proses ini melibatkan pengenalan gejala, pencarian informasi, pengambilan keputusan, dan evaluasi hasil pengobatan.[4]

a.      Pengenalan Gejala

Gejala awal asma sering disalahartikan sebagai batuk biasa atau masuk angin. Pengalaman saya membuktikan bahwa pengetahuan yang terbatas dapat menunda pengobatan. Kesadaran akan pentingnya diagnosis dini mendorong saya untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.

b.      Pencarian Informasi

Dalam masyarakat modern, pencarian informasi tidak hanya melalui dokter, tetapi juga internet, media sosial, dan komunitas pasien. Saya mengikuti forum penderita asma, membaca jurnal kesehatan, dan menonton edukasi kesehatan di YouTube untuk memperkaya pengetahuan saya.

c.       Pilihan Pengobatan: Medis dan Non-Medis

Saya menjalani terapi inhaler sebagai standar medis, disertai kontrol berkala ke dokter paru. Di sisi lain, saya juga mencoba pengobatan alternatif seperti bekam, minum herbal (madu, jahe, daun saga), serta terapi spiritual seperti ruqyah. Pendekatan ini mencerminkan integrasi antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan budaya-religius.

d.      Evaluasi dan Penyesuaian

Saya mengevaluasi efektivitas pengobatan secara berkala. Jika dalam satu bulan frekuensi serangan berkurang, saya anggap terapi berhasil. Namun bila gejala memburuk, saya segera mengubah pendekatan atau berkonsultasi ulang ke dokter spesialis.

 

E.     DIMENSI SOSIAL-BUDAYA DAN SPIRITUALITAS

Dalam masyarakat Indonesia, aspek budaya dan spiritual memiliki peran penting dalam pemaknaan penyakit. Banyak penderita mengaitkan sakit dengan gangguan spiritual atau ujian dari Tuhan. Dalam pengalaman saya, pendekatan spiritual—seperti memperbanyak ibadah, doa, dan ruqyah—memberikan ketenangan batin yang secara psikologis membantu pemulihan.

Aspek sosial juga tidak bisa diabaikan. Dukungan keluarga, teman kerja, dan komunitas sangat penting dalam meningkatkan efikasi diri dan semangat hidup. Saya mendapatkan motivasi tambahan ketika melihat sesama penderita berhasil menjalani hidup aktif meski dengan kondisi kronis.

 

F.     ANALISIS

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma sehat, sakit di masyarakat modern sangat dipengaruhi oleh kompleksitas psikososial dan budaya. HBM memberikan kerangka untuk memahami bagaimana persepsi individu membentuk perilaku kesehatannya, sementara HSB menjelaskan langkah konkret dalam pencarian bantuan. Keduanya saling melengkapi dalam menjelaskan dinamika perilaku kesehatan masyarakat kontemporer.

Integrasi pendekatan medis dan non-medis, sebagaimana dilakukan oleh banyak individu termasuk saya sendiri, mencerminkan pluralisme medis yang semakin kuat di era modern. Hal ini menuntut tenaga kesehatan untuk lebih inklusif, tidak hanya fokus pada terapi klinis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan spiritual dalam pelayanan.

 

G.    KESIMPULAN

Pengalaman pribadi sebagai penderita asma menunjukkan bahwa sakit bukan hanya kondisi biologis, tetapi juga fenomena psikososial dan spiritual. Dengan menggunakan pendekatan Health Belief Model dan Health Seeking Behavior, dapat dipahami bahwa keputusan individu dalam menghadapi penyakit sangat dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, dan nilai-nilai budaya yang dianut. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan masa kini harus bersifat holistik dan kontekstual, agar mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara komprehensif.

 


DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization (WHO). (2023). Asthma. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asthma

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Becker, M.H., & Rosenstock, I.M. (1974). The Health Belief Model and Personal Health Behavior. Health Education Monographs, 2(4), 324–508.

MacKian, S. (2003). A Review of Health Seeking Behaviour: Problems and Prospects. University of Manchester.



[1] World Health Organization (WHO). (2023). Asthma. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asthma

[2] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

[3] Becker, M.H., & Rosenstock, I.M. (1974). The Health Belief Model and Personal Health Behavior. Health Education Monographs, 2(4), 324–508.

[4] MacKian, S. (2003). A Review of Health Seeking Behaviour: Problems and Prospects. University of Manchester.

No comments:

About

Ahmad Fathullah, M.Pd
No.Hp : wa.me/6282143358433 (SMS/WA)
Alamat : Jl. Bulak Sari 1/59 Surabaya
Email : ad.fathullah@gmail.com
Fb : ahmad.fathullah.10
IG : a.fathullah94