1/27/19

MUSTHOLAH HADITS (6) TAHAMUL WA ADA'UL HADITS

BAB VII
CARA MENYAMPAIKAN
DAN MENERIMA HADITS
(tahamul wa ada’ul-hadits)

1. Pengertian tahammul wa ada’ul-hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.

b. Ada’ al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.

1/20/19

MUSTHOLAH HADITS (5) SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

BAB VI
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
PERIODE MUTAQODDIMIN
A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits

Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.

Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,

"بلغوا عنى ولو أية"

“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”

Dalam hadits lain disebutkan
,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "

“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku).
Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.

c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya

Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi,

"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"

“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.

"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"

“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.”
B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab

Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits
(عصر تقليل رواية الحديث).
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya."
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua."
2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.

Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.

a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :

a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
b. Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
c. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
d. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
e. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
f. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
g. Mesir
-Yazid ibn Habib
h. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani

PERIODE MUTAAKHIRIN
Yang dimaksud dengan mutaakhkhirin adalah periode anatara Abab IV-VII Hijriyah. Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi pada masa dinasti ’Abba siyah angkatan ke dua yaitu pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim Billah.
Pada periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi tudak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak sedikit ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan hadis.
Pada periode ini ulama pada umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis terdahulu, sebab pada IV H hadis-hadis telah terhkodofikasi dalam bentuk kitab sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling menonjol pada periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis Nabi saw yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh mutaqaddimin.
Para ulama hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan mnyusun hadis dalam bentuk mus}annaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;
1. Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan saanad dan matannya, ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah; Atraf alSahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H), Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H), Atraf Kutub al-Sittah karya Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H), Atraf al-Ahadis} al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H), Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H), Atraf al-Masand al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).
2. Kitab Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian penyusun meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah; Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ih}ya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij ahadis al-Baagawi karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij ahadis al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).
3. Kitab al-Mustadrak adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya, dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah : al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni(w. 385 H).
4. Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitan yang telah adalah, dianatar kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk seperti ini adalah;
1. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim:
1) Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
2) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-H{umaidi (w. 488 H)
3) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)
2. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadi dari Kutub al-Tis’ah:
1) Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan oleh Ibnu al-Asir al- Jazairipada kitab yang diberi judul ”al-Jami’u al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
2) Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
3. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
1) Maabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al- Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih}”
2) Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w. 579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-T{abari.
3) Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).
4. Kitab yang disusun berdasarkan pokok masalah, dianatara kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan masalah-masalah tertentu dari kitab-kitab hadis terdahulu adalah :
1. Himpunan Hadis-hadis hukum
1) Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majdu al-Din Abdussalam Ibnu Abdillah (w. 625 H)
2) Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baihqi (w. 458 H)
3) Al-Ah}kam al-Sugra, karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H)
4) ’Umdatu al-Ahkam, karya Abdulgani al-Maqdisi (w. 582)
5) Bulug al-Maram min Adillat al-Ah}kam karya Ibnu H{ajar al-’Asqalani.
2. Himpunan hadis-hadis al-Targib wa al-Tarhib (hadis-hadis tentang menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri perbuatan dosa yang dibenci) salah satu diantara kitab tersebut adalah kitab al-Targib wa al-Tarhib karya al-Munziri (w. 656 H)
Pada abad VII selain karya-karya ulama dalam bidang hadis yang disusun dalam bentuk mustakhrajat dan atraf, juga para ulama abad VII dan seterusnya menyusun karya dalam bentuk syuruh, mukhtas\arat, al-zawaid, dan ma’ajim. Adapun karya-karya para ulama pada abad VII dan seterusnya dapat diklasifikasiakan sebagai berikut:
1. Kitab al-Syuruh mrupakan kitab hadis yang memuat uraian dan penjelasan terhadap atas kandungan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya ulama Mutaqaddimin dengan memberikan beberapa hubungan dengan atau relasi baik dari Al-Qur’an , hadis, maupun kaodah-kaidah syara’ lainnya. Adapun karya-karaya yang disusun dalam bentuk syuruh dapat diklasifikasikan berdasarkan kitab-kitab himpunan sebagai berikut:
1. Kitab Syarah untuk Sahih al-Bukhari
1) Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani
2) Irasyad al-Sari oleh al-Qast}lani (w. 923 H)
3) ’Umadat al-Qari’ oleh al-’Aini (w. 855 H)
2. Kitab Syarah untuk Sahih Muslim
1) Al-Minhaj oleh al-Nawawi
2) Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi (w. 743 H)
3. Kitab Syarah untuk al-Sahihain: Zad al-Muslim oleh al-Syinqiti
4. Kitab Syarah untuk Sunan Abu Daud
1) ’Aun al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-’Azim al-Abadi bersama dengan syarah Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah.
2) Ma’alim al-Sunan oleh al-Khattabi (w. 388 H)
5. Kitab syarah untuk Sunan al-Tirmizi
1) Tuhfat al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
2) ’Arid} al-Ah}wazi oleh Ibnu al-’Arabi (w. 543 H)
6. Kitab Syarah untuk Sunan al-Nasa’i
1) Ta’liq oleh al-Suyuti
2) Ta’liq oleh al-Sindi
7. Kitab syarah untuk Sunan Ibnu Majah
1) Ihdau al-Dibajah oleh Ahmad al-’Adawi
2) Syarah Suanan Ibnu Majah oleh al-Maglatayi (w.767 H)
8. Kitab-Kitab Syaraj untuk Himpunan Hadis-hadis Ahkam
1) Subul al-Salam oleh al-San’ani terhadap Bulug al-Maram oleh Ibnu Hajar al-’Aqalani
2) Nail al-Autar oleh al-Syaukani terhadap muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Abdussalam.
2. Kitab Mukhtasarat adalah kitab yang berisi ringkasan-ringkasan dari satu kitab hadis. Diantara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk muktasarat adalah: kitab al-Jami’ al-Sagir karya al-Suyuti dan kitab Mukhtasar Sahih Muslim.
3. Kitab Zawaid adalah kitab yang didalamnya terhimpun hadis-hadis yang terdapat dalam satu karya mutaqaddimin tertentu dan tidak terdapat dalam kitab himpunan hadis lainnya, salah satu kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah Zawaid al-Sunan al-Kubra oleh al-Busiri, yang mnghimpun riwayat-riwayat yang terdapat dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihqi yang tidak terdapt dalam Kutub al-Tis’ah.
4. Kitab Ma’ajim atau disebut juga dengan kitab indeks hadis yakni kitab yang berisi perunjuk-petunjuk praktis untuk mempermudah pencarian matan-matan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab himpunan hadis riwayah tertentu, salah satu dianttara kitab tersbut adalah Miftah Kunuz al-Sunnah yang merupakan terjemahan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dari karya A.J. Wensink, kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam 14 kitab himpunan hadis, dan disusun dalam bentuk tematik.
Selain dari kitab-kitab di atas pada abad VII dan seterusnya tersusun pula kitab himpunan hadis-hadis Qudsi dianatar kitab himpunan hadis-hadis Qudsi adalah : Al-tuhfah al-Saniyyah oleh Al-Munnawi dan al-Kalimat al-Tayyibah oleh Ibnu Taymiyyah, dan banyak lagi lainnya.

PENELITIAN HADITS PERIODE KONTEMPORER
Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimi>n dan disempurnakan pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai berikut:
1. Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
2. Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtas\ar Sahih Muslim.
3. Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4. Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah :
1. Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah sanad.
2. Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah, maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-H{adis}.
3. Program Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh para ulama baik dari kalangan mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n, sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.

1/14/19

Mengamalkan sifat muhammadiyah

Nama kelompok 2 : -   Syafira Berliana
-         Mega aulia
-         Annis dwi
-         Ivan riski 
-         M ali
-         M eka

Mengamalkan sifat muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, berdasarkan Islam, berjuang menuju terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah Swt, bukan dengan jalan politik, bukan dengan jalan ketatanegaraan, melainkan melalui pembentukan masyarakat, tanpa memperdulikan struktur politik yang menguasai. Muhammadiyah berpikir layaknya politisi yang mempunyai tujuan jangka pendek, tapi berpikir layaknya negarawan yang mempunyai tujuan jangka panjang. Ketahanan hingga jangka satu abad ini juga tak lepas dari menjadi karakter kepribadian organisasi. Tak hanya itu, berbagai sifat kebajikan itu juga ditransformasikan pada warganya melalui ragam pengajaran 
Sebagai organisasi dakwah islam Muhammadiyah memiliki sifat-sifat yang wajib dipelihara, yaitu :

1. "Beramal dan Berjuang Untuk Perdamaian dan Kesejahteraan".
Dengan sifat ini, Muhammadiyah tidak boleh mencela dan mendengki golongan lain. Sebaliknya, Muhammadiyah harus tabah menghadapi celaan dan kedengkian golongan lain tanpa mengabaikan hak untuk membela diri kalau perlu, dan itu pun harus dilakukan secara baik tanpa dipengaruhi perasaan aneh. Tapi, membela itu pun harus dilakukan secara baik. Muhammadiyah merupakan elemen bangsa yang berhasil melampaui satu abad dalam mewarnai dinamika kehidupan sosial dan politik di indonesia. Salah satu kunci ketahananini tak lepas dari keberhasilan dakwahnya yang selalu mengedepankan perdamaian.
Di muhammadiyah tidak ada dakwah dengan kekerasan, karena dakwah yang menggunakan kekerasan adalah dakwah yang kekanak – kanakan. Seyogyanya dakwah agama dilakukann dengan menghilangkan nuansa kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda. Ayat – ayat Allah dan risalah kenabian harus didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menasehati dan meluruskan yang kurang dan tidak lurus. Bukan malah dijadikan alat untuk memaki yang salah atau untuk memanipulkasi untuk menebar kebencian kepada kelompok yang berbeda.
Berjuang untuk perdamaian ini tidak lepas dari hakikat ajaran islam sebagai jalan serta menjamin keselamatan (slavery), cinta, perdamaian serta nilai – nilai kemanusiaan lainnya.  Dengan kata lain, ajaran agama memang seharusnya mendorong pemeluknya untuk bersikap saling mencintai dan mengasihi antar sesama dikarenakan faktor agama. Kemuliaan dan keluhurana agama ini sudah tentu harus diamalkan dalam berdagai kegiatan yang mendorong terciptanya sifat beramal dan berjuang untuk perdamaian ini tak hanya dipraktikkan muhammadiyah dalam pergaulan lokal indonesia, tetapi juga dilakukan dalam tingkat internasional. Di antatra peran yang sudah dilakukan atas kepercayaan dunia adalah menjadi bagian dari penyelesaian konflik muslim thailand dengan pemerintah thailand, pemerintah filiphina dengan muslim moro, keterlibatannya dalam world peace forum (forum perdamaian dunia), serta steering comite di persatuan bangsa – bangsa (pbb)dalam komisi antar agama dan antar budaya untuk perdamaian.    
Lewat berbagai forum internasional, muhammadiyah juga tidak segan – segan menggali dan memperkuat gagasan perdamaian. Tidak hanya aktif sebagai tamu tetapi juga sebagai tuan rumah dengan menghadirkan peserta dari dalam dan luar negeri: pemuka agama, tokoh politik, akademis, cendekiawan, pengambil kebijakan, praktisi media, dan pegiat perdamaian. Dan yang bpaling penting adalah pesan – pesan perdamaian akan disampaikan kederbagaiorganisasi internasional.
Selain perdamaian, perjuangan muhammadiyah ini diarahkan untuk ikut serta memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Muhammadiyah mengadakan berbagai usaha kesejahteraan sosial dengan mengadakan garis kedijaksanaan dan ketentuan – ketentuan yang berlaku. Amal usaha ini tak lepas dari ajaran al qur an surat al maun yang menganjurkan umat islam perduli terhadap kalangan yang bermasalah dalam kesejahteraan sosial.
 
2."Memperbanyak Kawan dari Mengamalkan Ukhuwah lslamiyah"
Setiap warga Muhammadiyah, siapa pun orangnya, termasuk para pemimpin dan da'inya, harus memegang teguh sifat ini. Dalam rangka untuk "Memperbanyak Kawan dan Mengamalkan Ukhuwah Islamiyah". Inilah, pada umumnya ceramah atau kegiatan dakwah lainnya yang dilancarkan oleh dai-da'i Muhammadiyah memakai gaya "sejuk penuh senyum", bukan dakwah yang agitatif menebar kebencian ke sana ke mari.
Di kalangan Muhammadiyah di Surakarta terkenal semboyan "Jiniwit Katut". Jiniwit artinya dijiwit (dicubit), tetapi justru lama-lama orang yang njiwit akan katut atau terpiat oleh Muhammadiyah yang selalu bertingkah simpatik kepada siapa pun.
Dan tampaknya sifat inilah salah satu rahasia, mengapa Muhammadiyah terus berkembang makin mengakar dalam masyarakat.
Terkait dengan kalangan yang berbeda dengan pengalaman sekalipun, muhammadiyah telah memberi garis jelas sebagaimana tertuang dalam kaidah majelis tarjih. Dalam memahami sebuah pengalaman agama, sesuai namanya, tarjih akan memilih pendapat yang “dipandang” lebih arjah (kuat), baik menurut dalil al qur an, sunnah maupun kaidah. Meski punya dalil yang diyakini sebagai terkuat, tapi tidak ada sifat perlawanan, menentang atau menjatuhkan pemahaman lain yang tidak dipilih oleh tarjih. Sebab, sifat dari hasil pertajihan punya catatan tidak membatalkan faham lain yang tidak sependapat.
Muhammadiyah memandang pemahaman ajaran islam yang berbeda – beda sebagai warisan sejarah umat islam. Keragaman justru memperkaya pengetahuan, tapi tetap dengan catatan tidak boleh memmbelengguh pikiran. Muhammadiyah merujuk langsung kepada al qur an dan asunnah nabi dan tidak terikat oleh golongan, paham, maupun aliran manapun. Muhammadiyah bisa memiliki pemikiran yang sama atau berbeda dengan aliran – aliran yang sudah ada, tetapi sifatnya hanya kebetulan. Muhammadiyah tidak mengikuti aliran (firkah atau mahzab) manapun, tetapi tidak anti-aliran.
Ukhuwan islamiyah merupakan implementasi ajaran etik al qur an surat al hujurat (42):10, yang artinya “sesungguhnya orang – orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara dua saudaramu dan bertakwalah pada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” Ayat ini menegaskan bahwa sepanjang iman masih dalam dada, maka seberapa besar perbedaan di antara paham dalam islam, masih bersaudara. Ukhuan tentu tidak dimakhsudkan untuk menyatukan paham – paham dalam islam yang sejatinya memiliki perbedaan, terutama dalam persoalan yang bersifat furu’ (cabang).
Ukhwan yang dimakhsud adalah tetap terjalinnya persaudaraan antar golongan yang berbeda pemahaman tersebut. Harapannya terwujud sikap yang saling menghormati dalam penyikapi perbedaan, dengan menyusung spirit bersepakat dalam perbrdaan (agree in disagreement). Dialog, diskusi atau perdebatan untuk mencari kebenaran adalah kebajikan asal tetap dengan semangat ukhuwan (persaudaraan) tanpa perasaan ‘adawah (permusuhan).        

3.  "Lapang Dada, Luas Pandangdan Dengan Memectanct Teguh Ajaran Islam"
Lapang dada atau toleransi adalah satu keharusan bagi siapapun yang hidup dalam masyarakat, apalagi hidup dalam masyarakat yang majemuk seperti masyarakat Indonesia. Tanpa adanya lapang dada, kehidupan akan goncang. Dan prinsip "Memperbanyak Kawan" tentu berubah menjadi "Memperbanyak Musuh". Namun bagaimana, pun dalam berlapang dada, kita tidak boleh kehilangan identitas sebagai warga Muhammadiyah yang harus tetap memegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, bebas tetapi tetap terkendali.
Sikap toleransi ini bukan berarti ragu – ragu, karena setiap orang justru dituntut memiliki pendirian yang jelas dan yakin atas kebenaran pendiriannya yang jelasdan yakin atas kebenaran pilihannya. Tetapiu ia harus tetap menjunjung tinggi hak orang lain untuk berbeda pendapat, sekalipun dalam keyakinannya itu adalah salah. Umat harus menjadi semakin cerdas dan dewasa dalam menyikapin perbedaan. Terlepas dari sikap pribadi seseorang “bersepakat” atau tidak terdapat satu agama, ras, suku, dan golongan tertentu, gerakan apresiasi terhadap yang “lain” adalah mutlak untuk diimpelementasikan. Kurangnya toleransi dalam rana sosia akan berdampak serius dalam keharmonisan hidup antar sesama, karena akan menimbulkan sikap tidak menghargai yang lain. Kemajemukan yang sudah didesain oleh Allah SWT seharusnya dibarengi oleh sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi pluralitas. Toletansi bukanlah sikap yang bertujuan untuk menipiskan keimanan seseorang atau pindah keyakinan, kecuali menimbulkan sikap saling memahami dan menghargai dalam nuansa kedamaian.   

4. "Bersifat Keagamaan Dan Kemasyarakatan "
Sifat "Keagamaan dan kemasyarakatan" sudah merupakan sifat Muhammadiyh sejak lahir. Karena ini sifat yang tidak mungkin terlepas dari jiwa dan raga Muhammadiyah. Mengapa? Muhammadiyah sejak lahir mengemban misi agama, sedang agama diturunkan oleh Allah melalui para Nabi-Nya juga untuk masyarakat, yakni untuk memperbaiki masyarakat. Masyarakat adalah "lahan" bagi segala aktivitas perjuangan Muhammadiyah.
Dua sifat ini, yakni keagamaan dan kemasyarakatan, tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Harus berjalin berkelindan. Karena itu, Muhammadiyah bukan gerakan sosial semata-mata, dan bukan juga gerakan keagamaan semata-mata. Muhammadiyah adalah gerakan kedua-duanya, ya keagamaan ya kemasyarakatan.
Tetapi Muhammadiyah juga bukan gerakan politik, sebab kalau gerakan politik, tercermin dalam berbagai amal usaha yang telah tertekuninya selama ini.
Sifat keagamaan organisasi muhammadiyah bisa dilihat dari kejatiannya sebagai gerakan islam. Dalam pelaksanaannya, muhammadiyah memberikan tuntunan keagamaan pada warganya berdasarkan al qur an dan asunnah. Secara organisatoris, muhammadiyah memberikan pedoman hidup yang islami kepada warganya dalam urusan aqidah, akhlak, ibadah serta muamalah duniawiyah. Muhammadiyah telah menetapkan aturan tersendiri tentang hukum islam untuk kalangan mereka. Mulai dari tuntutan kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan dernegara, dan lain – lain.
Sifat keagamaan muhammadiyah ini juga dilengkapi dengan sifat kemasyarakatan, karena masyarakat adalah “lahan” bagi segala aktivitas perjuangannya. Sebagaimana sejarah para nabi yang mendakwahkan agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk masyarakat, begitu juga muhammadiyah punya tujuan untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Karena itu, sebagai tuntutan kehidupan islamu yang dibuatnya memang harus dijadikan materi yang didakwahkan kepada masyarakat ialam secara umum.
Yang tak kalah pentingnya, muhammadiyah berjuang melalui berbagai kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan. Adapun dalam dunia politik, muhammadiyah melakukan kegiatan politik tidak langsung (high politics)yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral. Tujuan yang ingin dicapainya bersifat kemasyarakatan, yaitu terwujudnya kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara. Muhammadiyah mengambil kemasyaratan karena pemberdayaan terhadap mereka tidak kalah penting dan strategis dari pada aspek perjuangan politik kekuasaan. Muhammadiyah bukan organisasi politik, danjuga tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organosatoris dengan kekuatan – kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip kenegaraan yang berkeadaban. Muhammadiyah memberikan kebebasan pada angggotanya untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing – masing. Jika ada warganya yang berpolitik, maka muhammadiyah mendorong agar perjuangan mereka selaras upaya memperjuangkan misipersyarikatan dalam melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar.

5. "Mengindahkan, segala Hukum, Undang-undang Serta dan Falsafah Negara Yang Sah"
Muhammadiyah sebagai satu organisasi, mempunyai sejumlah anggota. Anggota ini adalah warga negara dari suatu negara hukum. Hukum negara mempunyai kekuatan mengikat bagi segenap warga negaranya. Ini adalah kenyataan. Karena itu, Muhammadiyah mengindahkan peraturan yang ada selama dalam karidor kebajikan. Meski islam tidak pernah menawarkan bentuk ideal sebuah negara, tetapi agama ini memberikan rambu – rambu penting bagaimana sebuah negara disebut negara “negara islam”. Keberadaan negara mengharuskan adanya pemerintah yang melindungi warga negaranya, bersikap adil, seta memenuhin hak – hak orang miskin dan teraniaya.
Terkait dengan pancasila sebagai dasar negara indonesia, muhammadiyah memandang sebagai rahmat Allah SWTuntuk bangsa indonesia sebagai Dasar untuk memajukan dan membangun indonesia yang merdeka dan berkemajuan. Pancasila bukan agama, tetapi intinya mengandung dan sejalan dengan nilai – nilai islam. Sila pertama mengandung makna ketauhidan, disusul sila berikutnya tentang kemanisiaan, persatuan (ukhuwwah), musyawarah, dan keadilan, yang seluruhnya tidak bertentangan dengan ajaran islam.
Muhammadiyah menegaskan sikap dan pandangan bahwa pancasila merupakan konsensus nasional yang diisi dengan persaingan secara sehat (fastabiq al-khairat). Indonesia yang berdasarkan pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (dar al-‘ahdi), aman dan damai (dar al- salam). Sengan demikian, diperlukan instutisionalisasi dan substansialisasi atas nilai – nilai pancasila yang terbuka dan dinamis dalam berbangsa dan bernegara.
Jika ada peraturan negara yang dianggap menyalahi prinsip islam atau merugikan kepentingan rakyat indonesia, muhammadiya merasa berkewajiban untuk membetulkan. Dalam konteksinilah dapat dipahami jika muhammadiyah berdiri digarda terdepan dalam mengajukan gugatan kepada mahkama konstitusi (MK) atas undang – undang yang merugikan kedaulatan indonesia diantara salah satu keberhasilan yang telah dicapai adalah pembatalan MK atau UU UU tentang migas. Sebab, UU ini bertentangan dengan berbagai pasal yang terkandung dalam UUD 1945 dan berlawanan dengan semangat pancasila.  

6. "Amar Maruf Nahi Munkar Dalam Segala Lapangan Serta Menjadi Contoh
Teladan Yang Baik"
Salah satu kewajiban tiap muslim ialah beramar ma'ruf dan bernahi munkar, yakni menyuruh berbuat baik dan mencegah kemunkaran. Yang dimaksud kemunkaran ialah semua kejahatan yang merusak dan menjijikkan dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya amar ma'ruf dan nahi munkar, tidak akan kebaikan dapat ditegakkan, dan tidak akan kejahatan dapat diberantas. Untuk itu, Muhammadiyah harus sanggup menjadi suri teladan dalam kegiatan ini, baik ke dalam tubuh sendiri ataupun ke luar, ke tengah-tengah masyarakat ramai, dengan penuh kebijaksanaan dan pendekatan yang simpatik.
Amar ma'ruf nahi munkar, bagaimanapun harus kita lakukan dengan cara yang baik, sebab kalau tidak begitu, adalah Machiavellisme namanya.
Namun, semuanya itu dilakukan dengan cara yang penuh kebijaksaan dan perdekatan yang simpatik sesuai dengan karidor hukum yang berlaku. Beramar makruf nahi munkar tidak dimakhsudkan untuk mencela atau mencari aib orang lain, tetapi memang mengajak kepada kebajikan dengan hati yang ikhlas. Karena itu, saat mengamslkan sifat ini, muhammadiyah akan selalu berusaha untuk memberi peringatan pada tewmpatnya. Yaitu berdasarkan “menarik nmaslahat dan menjauhkan madharat”, serta diiringi dengan hikmah, dan nasehat yang baik.
Berdasarkan sifat amar makruf nahi munkar ini dapat dipahami jika muhammadiyah melakukan berbagai kritik konstruktif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sifat ini telah menjadi panggilan sejarah bagi muhammadiyah sejak zaman pegerakan hingga awal kemerdekaan. Maka dari itu anggota muhammadiyah bahkan pimpinanya harus punya sifat sebagai “shalihul muslih”. Yaitu orang yang pribadinya shaleh, mau dan sanggup berjuang untuk menshalehkan orang lain.
Selain lantang menyuarakan amar makruf nahi munkar, muhammadiyah tidak lupa dengan dirinya. Sebab, selain bersuara keras terhadap kondisi keutamatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang sedang rusak, muhammadiyah harus menjadi teladan dalam mengatasi dalam mengatasi masalah tersebut. Ketika menyuarakan pentingnya negara bebas dari korupsi musalnya, muhammadiyah harus menjadi teladan. Lembaga pendidikan dan kesehatan yang dimiliki harus memperhatikan ragam pengelolaan yang transparan atau antikorupsi. Begitu juga dengan warganya yang betrkiprah dalam bidang apapun adalah orang – orang yang bersih dari korupsi.

7. "Aktif Dalam Perkembangan Masyarakat Dengan Maksud !slab dan Pembangunan Sesuai Dengan Ajaran Islam"
Kapan pun dan dimana pun Muhammadiyah memang harus selalu aktif dalam perkembangan masyarakat, sebab tanpa begitu, Muhammadiyah akan kehilangan peran dan akan ketinggalan oleh sejarah. Tetapi keaktifan Muhammadiyah dalam perkembangan masyarakat, tidak berarti sekedar ikut arus perkembangan masyarakat, Muhammadiyah adalah kekuatan ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran.
Muhammadiyah menyakini bahwa agama islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama, baik itu tentang tetangga maaupun anggota masyarakat lain. Kehadiran warga muhammadiyah membawa rasa aman bagi masyarakat sekitarnya, bukan sebaliknya malah menjadi “masalah” bagi masyarakat. Karena itu, setiap anggota dan keluarga muhammadiyah harus menunjukkan keteladanan dalam sikap baik kepada anggota masyarakat, termasuk dengan yang berlain agama.
Relasi ini harus dibangun berdasarkan pada perinsip saling memelihara hak dan kehormatan baik sesama musling atau dengan non-muslim. Terhadap mereka yng tidak seiman, islam memberikan beberapa batasan khusus seperti tidak boleh mengadakan perkawinan dengan mereka, ikutmerayakan ibadah natal bersama – sama, dan lain – lain. Ukuran hubungan dengan mereka yang tidaj seiman adalah selama tidak masuk pada rana aqidah dan syariah. Diluar itu, islam tidak melarang umat islam berhubungan dalam membangun hidup masyarakat yang rukun dan menghomati.
Dalam hubungan – hubungan sosial yang lebih luas, setiap anggota muhammadiyah baik sebagai individu, keluarga, maupun jama’ah (warga) dan jam’iyah (organisasi) haruslah menunjukkan sikap – sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai kehirmatan manusia. Selain itu, warga muhammadiyah juga harus menunjukkan etos kerja yang islami secara makhsimal dalam berbagai amal kegiatan yang bersifat perbaikan dan pembangunan. Seperti kerja keras, disiplin, tidak menyia nyiakan waktu berusaha secara maksimal \ optimal untuk mencapai suatu tujuan.    

8. "Kerjasama Dengan Golongan Lain Mana Pun, Dalam Usaha Menyiarkan Dan Mengamalkan Ajaran Islam Serta Membela Kepentingannya"
Menyiarkan Islam, mengamalkan dan membela kepentingan Islam, bukan hanya tugas Muhammadiyah, tetapi juga tugas semua umat Islam. Karena itu, Muhammadiyah perlu menjalin kerjasama dengan semua golongan umat Islam. Tanpa kerjasama ini, tidak mudah kita melaksanakan tugas yang berat ini. Karena itu, muhammadiyah harus melakukan ta’aruf dan ta’awun dengan siapapunn untuk kemaslahatan umat, bangsa dan dunia kemanisiaan sesuai pesan risalah islam untuk tampil sebagai rahmatan lil-‘alamin.
KH. Ahmad Dahlan pun telah memberi contoh teladan dengan keluwesan dan kepiawaian dalam berkomunikasi dan berkerja samadengan berbagai kalangan. Pergaulan pendiri muhammadiyah ini luas sekali, karena diajuga aktif di budi utomo, jam’iyatul khair, dan syarikat islam. Selain itu, dia juga  selalu berkomunikasi dan bergaul dengan tokoh – tokoh nasional dari mana pun. Dengan rahmat pergaulan tersebut, terbuka ragam kesempatan bekerja sama dalam hal pengajaran agama islam.
Lewat Budi utomo misalnya, KH. Ahmad Dahlan bisa mengajar agama islam kepada umat islam yang sedang menempuh pendidikan di sekolah – sekolah yang didirikan Belanda. padahal sebelumnya, tidak pernah ada cerita tentang pengajaran agama di sekolah – sekolah tersebut. Bahkan, berkat bantuan dan nasehat dari para aktivis Budi utomo pula, yang mempermudah persyarikatan muhammadiyah.
Menurut Dr. Haedar Nashir MSi, bukan suatu yang aneh dan baru jika PP muhammadiyah kini sering berkomunikasi dengan berbagai pihak yang bersifat lintas golongan. Termasuk dengan mengundang tokoh – tokoh lain dalam sejumlah acara. Pergaulan yang luas tidak akan melunturkan kepribadian dan mengorbankan kepentingan muhammadiyah. Sebaliknya dapat memberi kemanfaatan dan kemaslahatan bagi muhammadiyah lebih – lebih untuk umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan.
Semangat untuk menebar islam sebagai rahmatan lil-‘alamin, kerahmatan islam tidak hanya dirasakan oleh umat islam saja, yang dijalani muhammadiyah dalam melakukan kerja sama untuk peningkatan program kemanusiaan. Bagi muhammadiyah, tiak ada masalah bekerja sama dengan pihak mana pun selama masih dalam karidor islam. 

9. "Membantu Pemerintah Serta Kerjasama Dengan Golongan Lain Dalam Memelihara Negara dan Membangunnya, Untuk Mencapai Masyarakat Yang Adil dan Makmur Yang Diridhai"
Negara Indonesia adalah memiliki semua warga negaranya, termasuk warga Muhammadiyah. Adalah suatu keharusan dijalinnya kerjasama di antara semua unsur pemilik negara, untuk membangun Negara dan bangsa menuju tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah.
Muhammadiyah kemakmuran masyarakat ini, sebab kemakmuran mempersubur iman dan takwa, sedang kemelaratan mempersubur kriminalitas sosial dan kekufuran. Bukankah telah disabdakan oleh Nabi kita, "kada al-faqru ayyakuna kufran" (Kekafiran itu dapat menyebabkan kekufuran).
Muhammadiyah berpandangan bahwa agama islam mengangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlat, dan mu’amalat duniawiah yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Muhammasdiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan bernegara merupakan salah satu aspek dari ajaran islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkain oleh nilai – nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu di perlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk ntegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar makruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita – cita leluhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
Menurut muhammadiyah, pemerintahan adalah institusi yang bertugas meneruskan misi kenabian untuk memelihara agama, serta memberikan kesejahteraan kepada warganya. Sejauh ini muhsmmadiyah telah membuktikan selalu mendukung pemerintah, siapapun yang berkuasa, asalkan berada dalam jalan yanmg benar. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka muhammadiyah tidak pernah ragu untuk mengingatkan. Inilah cara muhammadiyah untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

10. "Bersifat Adil Serta Korektif Ke Dalam dan Keluar, Dengan Bijaksana"
Dengan sifat adil dan korektif, Muhammadiyah tidak senang melihat sesuatu yang tidak semestinya, dan ingin mengubahnya dengan yang lebih tepat dan lebih baik, meskipun mengenai diri sendiri. Jadi Muhammadiyah tidak tinggal diam saja dan taqlid. Tetapi koreksi pada diri sendiri dan ke luar ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus dengan adil dan bijaksana. Kesalahan adalah kesalahan, sekalipun ada pada orang atau golongan lain. Bukan sifat Muhammadiyah tetap bersikukuh membela suatu hal, padahal misalnya jelas-jelas yang dibelanya itu salah atau tidak baik.
Dalam konteks perjuangan dan dakwah, segala usaha dan pekerjaan organisasi selain diperbesar dan dikembangkan, yang tidak boleh dilupakan agar lebih sempurna. Untuk memperbaiki sudah tentu harus dilakukan evaluasi atau koreksi secara menyeluruh, teliti dan cermat. Korektif merupakan amal yang dapat mendatangkan kebaikan dan kesempurnaan, dan ia menjadi syarat pokok dalam usaha menuju perbaikan dan kesempurnaan.
Berbekal sikap korektif, maka warga muhammadiyah harus bisa mengetahui segala apa yang ada pada dirinya, yang baik maupun buruk. Barulah menambah apa – apa yang telah baik, Dan berubah segala yang tidak atau kurang baik. Sikap korektif ini secara organisatoris di implementasikan dalam berbagai musyawarah secara periodik di setiap jenjang pimpinan. Selain muktamar sebagai hajatan tertinggi, juga ada musyawarah wilayah (musywil), musyawarah daerah (musyran), musyawarah cabang (musycab), musyuawarah ranting (musyran), tanwir, dan juga musyawarah pimpinan (musypim).    
(Kamal Pasha dkk, 1971: 58-65).

1/13/19

MUSTHOLAH HADITS (4) KITAB-KITAB HADITS

BAB V
KITAB-KITAB HADITS

1) Pengertian Kitab Hadis
Para muhaddisin telah menulis berbagai jenis kitab dalam berbagai bidang bahasannya. Hal ini merupakan suatu khazanah ilmu hadis yang dapat menjawab semua masalah yang di jumpai oleh para ulama dan peneliti berbagai kitab . Selanjutnya inilah yang disebut sebagai kitab hadis.

2) Kitab Hadis Ditinjau dari Kriterianya

i) Kitab Shahih
kitab shahih merupakan kitab yang penyusunannya hanya menyatakan hadis-hadis yang shahih saja . Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis-hadis shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Kemudian disusul oleh sahabat yang juga muridnya Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi. Kedua kitab ini adalah kitab yang paling shahih. Tetapi Bukhari lebih kuat karena Bukhari dalam mengeluarkan hadis mensayaratkan dua hal, yakni:

1. Perawi harus semasa dengan gurunya.

2.Perawi benar-benar bertemu atau mendengar langsung dari gurunya. 
Sedangkan Muslim tidak mensyaratkan poin yang kedua, tetapi hanya mensyaratkan yang pertama .


ii) Kitab Sunnan
Kitab Sunnan adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu' dan disusun berdasarkan bab-bab fikih. Kitab-kitab yang masyhur adalah Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah.
Keempat kitab sunan ini masyhur dengan sebutan al-Sunnan al-Arba'ah. Bila dikatakan al-Sunan al-Tsalasah, maka maksudnya ketiga sunan yang pertama, yakni selain Sunan Ibnu Majah.
Bila dikatakan al-Khamsah, maka yang dimaksud adalah al-Sunan al-Arba'ah dan Musnad Ahmad.
Bila dikatakan al-Sittah, maka yang dimaksud adalah Shahihaini dan al-Sunnan al-Arba'ah.


iii) Kitab Musnad
Di dalam sistem ini pengatur mengatur secara sistematis (tertib) mulai nama-nama dari sahabat yang lebih utama beserta seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta sahabat yang lebih rendah derajatnya beserta hadis-hadisnya. Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a dengan menyebut seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan nama Umar r.a dengan mencantumkan seluruh hadis yang beliau riwayatkan dan seterusnya berturut-turut nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Umar dengan seluruh hadisnya.

iv) Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis shahih dan kitab tersebut mengikuti syarat kitab hadis shahih yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah al-Mustadrak al-Hakim. Di situ al-hakim menyebutkan hadis-hadis shahih yang sesuai syarat dri Bukhari-Muslim atau salah satu syarat dari keduanya, tetapi keduanya tidaka mengeluarkan hadis tersebut.

3) Kitab Hadis Ditinjau dari Cara Penggunaannya

i) Kitab Mu'jam
Kitab Mu'jam menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan susunan guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, sehingga penyusun mengawali pembahasan kitab mu'jamnya dengan hadis-hadis yang diterima dari Aban, lalu yang dari Ibrahim dan seterusnya.
Diantara kitab mu'jam yang terkenal adalah tiga buah kitab mu'jam karya al-Muhaddits al-Hafidz al-Kabir Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani (w. 360 H). Ketiga kitab mu'jam itu adalah: al-Mu'jam al-Shaghir , al-Mu'jam al-Ausath , dan al-Mu'jam al-Kabir .
Satu lagi kitab mu'jam adalah Mu'jam al-Buldan. Kitab ini disusun berdasarkan nama kota. Merupakan karya dari Abi Ya'la Ahmad bin Ali al-Muslihi. Beliau wafat pada tahun 307 H.

ii) Kitab Takhrij
Yaitu kitab yang disusun untuk mentakhrij hadis-hadis kitab tertentu. Di antara kitab takhrij yang terpenting adalah:

Nahbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafidz Jamluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila'I al-Hanafi (w. 762 H). kitab ini merupakan takhrij hadis-hadis kitab al-Hidayah, sebuah kitab fikih madzhab Hanafi, yang disusun oleh ali bin Abu Bakar al-Marghinani, salah satu seorang pemuka fuqaha Hanafi (w. 593 H).
Kitab ini mengungkp secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faedah, dan mengupas setiap hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah dusertai riwayat dan hadis-hadis lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkpkan pembahasan mengenai hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat dengan ulama hanafiah secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.

iii) Kitab Jarh wa Ta'dil
Lahirnya kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil merupakan jerih payah para kritikus dan kajian mereka terhadap perilaku para perawi, dilihat dari sisi diterima atau tidak diterimanya hadis mereka.
Para ulama yang menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil menggunakan methode yang berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang menyebutkan para pendusta dan para perawi yang lemah di dalam kitabnya. Ada yang menambahkan dengan menyebutkan sebagian hadis palsu. Ada yang menulis kitab hanya tentang perawi yang tsiqah, dan ada pula yang menulis kitab tentang para perawi yang lemah dan perawi yang tsiqah.

iv) Kitab al-Athraf
Kitab al-Athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pad kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan lengkap dan sebagian lainnya hany menyebutkan sebagiannya. Kitab-kitab ini tidak memuat matan hadis secara lengkap dan bagian hadis pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual. Kitab ini disusun berdasarkan nama perawi pada tingkat sahabat.

4) Kitab Hadis Ditinjau dari Sejarahnya
Buku-buku dan catatan kecil yang muncul pertama kli tau bahkan pada awal abad kedua, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok; pertama, buku-buku yang berisi hadis-hadis Nabi semata, koleksi acak, tanpa sistemasi bahan. Kedua, buku-buku kecil (catatan) yang berisikan hadis-hadis Nabi yang msih bercampur dengan keputusan (resmi) yang diarahkan oleh para khalifah dan sahabat lainnya, bahkan para tabi'in.
Pada abad kedua, terjadi perubahan trend sedikit dan buku-buku yang kebanyakan membahas masalah hukum muli bermunculan. Al-Muwatha' termasuk dalam kategori ini. Buku tersebut telah diatur menurut judul-judul dalam masalah hukum yang berkaitan dengan keseluruhan jaringan kehidupan manusia; dari ibadah (ritual), zakat, haji, perkawinan, perceraian, pertnian, perdagangan dan lain-lain.
Berikutnya pada abad ketiga, kebanyakan buku-buku yang muncul adalah berisikan hadis-hadis semata. Sejumlah buku muncul, pada periode ini, yang mengikuti pada pola abad kedua, seperti Mushannaf, karangan Abdur Razaq dan Ibnu Abu Syaibah (w. 235 H), al-Awsath, karangan Ibnu al-Mundzir (w. 319 H). Buku-buku inti dikarang dengan pola yang berbeda dan disebut Musnad, Jami', Shahih, Sunan, Mustakhraj atau Mu'jam.
Abad keempat dan kelima adalah masa pengisnadan hadis dan muncul kitab al-Mustadrak, yaitu kitab hadis yang standar keshahihannya sama dengan standar Imam yang lain tetapi tidak terdapat dalam kitab asli. Abad ketujuh dan kedelapan mulai muncul kritik sanad dan matan. Yaitu dengan munculnya kitab jarh wa ta'dil.

5) Urgensi Pengkajian Kitab Hadis
• Membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwiyatkan oleh
para sahabat dari Nabi SAW dan mempermudah pengecekannya.
• Mempermudah mengetahui sanad-sanad hadis, kerena sanad-sanad itu terkumpul dalam satu tempat.
• Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan hadis
tersebut serta bab hadis dalam sumber-sumber tersebut.

6) Contoh-Contoh Kitab Hadits

JENIS KKITAB NAMA KITAB PENGARANG TAHUN
الجامع صحيح الإمام البخاري , محمد بن إسماعيل 256 هـ
صحيح الإمام مسلم الإمام مسلم 261 هـ
صحيح ابن خزيمة محمد بن إسحاق 311 ه
صحيح الإمام ابن حبان محمد بن حبان 354 هـ
السنن سنن أبي داود السجستاني أبي داود السجستاني 275 هـ

سنن الترمذي – ويسمى بالجامع أيضا الترمذي 279 هـ

سنن النسائي ( المجتبى ) أحمد بن شعيب
302 هـ .
السنن الكبرى أحمد بن شعيب

سنن ابن ماجة القزويني
ابن ماجة القزويني
275 هـ .
سنن سعيد بن منصور
سعيد بن منصور
227 هـ
سنن الدارمي عبد الله بن عبد الرحمن 255 هـ
سنن البيهقي سنن البيهقي , أحمد بن الحسين 458 هـ
المعجم المعجم الكبير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الأوسط لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الصغير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
معجم الصحابة لأحمد بن علي بن لال الهمداني 398 هـ
معجم الصحابة لأبي القاسم عبد الله بن محمد البغوي 317 هـ
المصنف المصنف لأبي بكر عبد الله بن محمد بن أبي شيبة الكوفي
المصنف لأبي بكر عبد الرزاق بن همام الصنعاني ( 211 هـ)
المصنف لبقي بن مخلد القرطبي 276 هـ
المصنف لأبي سفيان وكيع بن الجراح الكوفي 196 هـ
المصنف لأبي سلمة حماد بن سلمة البصري 167 هـ
المسند مسند أحمد بن حنبل أحمد بن حنبل 204 هـ
مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي 212
مسند أبي داود سليمان بن داود الطيالسي أبي داود سليمان بن داود الطيالسي 228 هـ
مسند أسد بن موسى الأموي أسد بن موسى الأموي 229 هـ
مسند مسدد بن مسرهد الأسدي البصري مسدد بن مسرهد الأسدي البصري 213 هـ
مسند نعيم بن حماد نعيم بن حماد 234 هـ
مسند عبيد الله بن موسى العبسي عبيد الله بن موسى العبسي 307 هـ
مسند أبي خيثمة زهير بن حرب أبي خيثمة زهير بن 249هـ
مسند أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي 307 هـ
مسند عبد بن حميد (249 عبد بن حميد (249هـ
الاطراف تحفة الأشراف بمعرفة الأطراف للحافظ الإمام أبي الحجاج يوسف بن عبد الرحمن المزي 742هـ .
إتحاف المهرة بأطراف العشرة للحافظ ابن حجر العسقلاني
أطراف المسانيد العشرة لشهاب الدين أبي العباس أحمد بن أبي بكر الكناني البوصيري الشافعي نزيل القاهرة ، المتوفى سنة 840هـ
ذخائر المواريث في الدلالة على مواضع الحديث لشيخ عبد الغني النابلسي المتوفى سنة 1143هـ
اطراف المسند المعتلى بأطراف المسند الحنبلي للإمام ابن حجر
أطراف الأحاديث المختارة للضياء المقدسي للإمام ابن حجر
أطراف مسند الفردوس للإمام ابن حجر
المستدرك المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري

1/6/19

MUSTHOLAH HADITS (3) SEJARAH SINGKAT SHAHABAT YANG BANYAK MERIWAYATKAN HADITS DAN PENTAKHRIJ HADITS

BAB IV
SEJARAH SINGKAT SHAHABAT YANG BANYAK MERIWAYATKAN HADITS DAN PENTAKHRIJ HADITS

A. Riwayat tokoh-tokoh Rijalul Hadits dari kalangan sahabat
1. Abu Hurairah
Abu Hurairah ialah Abdur Rahman ibn Sakhr (Abdulah ibn Skhr) Ad Dausy At Tamimy.
Para ahli sejarah berbeda-beda pendapat mengenai nama beliau ini. Demikian pula tentang nama ayahnya. Beliau sendiri menerangkan, bahwa di masa jahiliyah beliau bernama Abu Syam. Setelah memeluk Islam, beliau diberi nama oleh Nabi dengan Abdur Rahman atau Abdullah, ibunya bernama Maimunah, yang memeluk Islam berkat seruan Nabi.
Beliau lahir tahun 21 sebelum Hijrah = tahun 602 M.
Abu Hurairah datang ke Madinah pada tahun Khaibar yakni pada bulan Muharram tahun 7 H, lalu memeluk nama Islam. Setelah beliau memeluk Islam, beliau tetap beserta Nabi dan menjadi ketua Jama'ah Ahlus Suffah. Karena inilah beliau mendengar hadits dari Nabi.
Menurut pentahqikan Baqy ibn Makhlad, seperti yang dikutib oleh Ibn Dausy, beliau meriwayatkan hadits sejumlah 5374 hadits, menurut Al Kirmany 5364. Dari jumlah tersebut, 325 hadits disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri meriwayatkan 93 hadits dan Muslim sendiri sejumlah 189 hadits.
Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Nabi sendiri, dan dari shahabi, di antaranya ialah Abu Bakr, 'Umar, Al Fadlel ibn 'Abbas ibn 'Abdil Munththalib, 'Ubay ibn Ka'ab, Usamah ibn Zaid, 'Aisyah.
Hadits-haditsnya banyak diriwayat oleh Sahabat dan Tabi’in.
Di antara para sahabat Wah lbnu Abbas, Ibnu 'Umar, Anas, Watsilah ibn Al Asqa', Jabir ibn 'Abdullah Al Anshary.
Di antara para thabi'in besar, ialah: Marwan ibn Al Hakam, Said ibn Al Musaiyab, 'Urwah ibn Az Zubair, Sulaiman Al. Asyja'y Al Aghr, Abu Muslim, Syuraih ibn Hani', Sulaiman ibn Yasr, 'Abdullah ibn Syaqiq, Hamdlalah Al Aslamy, Tsabit ibn Iyadl, Sa'id ibn 'Amr ibn Sa'id Al 'Asy, Abu Al Habbab,Sa'id ibn Yassar, Muhammad ibn Sirrin, 'Abdur Rahman ibn Sa'ad, Abdullah ibn'Uqbab ibn Masud, Atha ibn Abi Rabah, Atha ibn Yassar.
Lebih dari 800 perawi menerima hadits dari beliau.
Kata Asy Syafi'y, "Abu Hurairah adalah orang yang paling banyak menghafal hadits di masanya."
Tersebut dalam Ash Shahih, bahwa Abu Hurairah berkata, "Ya Rasulullah, saya mendengar dari tuan banyak hadits, tetapi saya banyak lupa. Mendengar itu Nabi bersabda, "Hamparkan selimutmu". Maka Nabi mengambil kain itu dengan tangannya. Kemudian Nabi berkata, "Berselimutlah!" Selanjutnya Abu Hurairah berkata, "Maka saya pun berselimut. Setelah itu saya tidak pernah lupa sesuatu yang saya dengan dari Nabi." Abu Hurairah adalah orang yang pertama di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Al Hafidl ibn Hajar telah menerangkan keistimewaan Abu Hurairah dalam kitabnya Al Ishabah.
Abu Hurairah pemah menjadi gubernur Madinah, dan pada masa pemerintahan umar, beliau diangkat menjadi gubernur di Bahrain, kemudian beliau diberhentikan.
Beliau meninggal di Madinah pada tahun 59 H = 679 M.

2. Abdullah ibn Umar
Abdullah ibn Umar ialah Abu Abdur Rahman 'Abdullah ibn 'Umar ibn Al Khaththab Al Quraisyi Al Adawy, seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam lapangan ilmu dan aural.
Abdullah dilahirkan di Makkah pada tahun 10 s.H = 618 M.
Dalam usia 10 tahun Beliau berhijrah Madinah beserta ayahnya. Ada yang menyatakan ketika berusia 13 tahun. Beliau adalah saudara kandung dari Hafshah, permaisuri Rasul. 'Abdullah dapat menyaksikan peperangan Khandak. Bai'atul Ridlwan dan peperangan-peperangan yang sesudahnya. Beliau adalah seorang dari empat 'abadilah.
'Abdullah meriwayatkan sejumlah 2630 hadits.
Sejumlah 1700 di antaranya disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri meriwayatkan 81 dan Muslim sendiri meriwayatkan 31 hadits.
Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari sahabat. Di antaranya ialah ayahnya sendiri Umar, pamannya Zaid, saudara kandungnya Hafshah, Abu Bala, Utsman, Ali, Bilal, Ibnu Mas'ud, Abu Dzar dan Mu'adz.
Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh sahabat dan tabi'ip.
Di antara para sahabat ialah Jabir dan Ibnu Abbas, putera-putera beliau sendiri yaitu Salim, 'Abdullah, Hamzah, Bilal dan Zaid.
Di antara tabi'in ialah Nafi, Said ibn Al Musaiyab, Alqamah ibn Waqqash Al Laitsy, Abu Abdur Rahman Al Qahry Masruq, Abdur Rahman ibn Abi Laila, Mus'ab ibn Sa'ad ibn Abi Waqqash, Urwah ibn Az Zubair.
Di antara para mawaly ialah 'Abdullah ibn Dinar Al Adawy, Musa ibn 'Uqbail Atha' ibn Abi Rabah, Thariq ibn'Amral Amawy, Mujahid ibn Ja'far, Ibn Sirrin, Muhammad Abu Bakr Al Bishry Al Hasan ibn Abi Hasan Al Bishry, Shafwan ibn Sulaiman, Az Zuhry.
Menurut Malik, "Selama 60 tahun sesudah Nabi wafat ibn Umar memberi fatwa dan meriwayatkan hadits."
Ibn Al Bakr mengatakan, "Ibnu 'Umar menghafal semua yang didengar dari Rasul dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis Rasul tentang tutur dan perbuatan Rasul.
'Abdullah ibn 'Umar adalah orang yang kedua antara 7 sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau tidak mau campur tangan atas segala rupa fitnah yang terjadi di masanya. Dalam kalangan sahabat beliau terkenal sebagai orang yang sangat meneladani segala gerak-gerik Rasul.
"Abdullah ibn 'Umar wafat di Makkah pada tahun 73 H = 693 H.

3. Anas Ibn Malik
Anas ibn Malik ialah Abu Tsumamah (Abu Hamzah) Anas ibn Malik ibn Nadler ibn Dlamdlam Al Najjary Al Anshary, seorang sahabat yang tetap selalu meladeni Rasulullah selama 10 tahun.
Anas dilahirkan di Madinah pada tahun 10 s. H = 612 M, setelah Rasul tibadi Madinah, Ibunya menyerahkan Anas kepada Rasul untuk menjadi khadam Rasul. Setelah Rasul wafat, Anas pindah ke Bashrah sampai akhir hayatnya.
Beliau meriwayatkan sejumlah 2276 atau 2236 hadits. Sejumlah 166 hadits disepakati oleh Bukhary Muslim, 93 di antaranya diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 70 diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
Anas menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari banyak sahabat.
Diantaranya ialah: Abu Bakar, Umar, 'Utsman, 'Abdullah ibn Rahawah, Fathimah Az Zahra, Tsabit ibn Qais, Abdur Rahman ibn'Auf, ibnu Mas'ud, Abu Dzar, Malik ibn Shasha'ah, Mu'adz ibn Jabal, 'Ubadah ibn Shamit dari ibunya sendiri Ummu Sulaim dan saudara-saudara ibunya Ummu Hiram, dan Ummu Fadlel.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh anak-anaknya, yaitu Musa An Nadir dan Abu Bakr.
Di antara tabi'in yang meriwayatkan haditsnya ialah: Al Hasanu Bishry, Sulaim at Tamimy, Abu Qilabah, 'Abdul'Aziz ibn Suhaib, Ishaq ibn Abi Thalhah, Abu Bakr ibn'Abdur Rahman, 'Abdullah Al Muzany, Qatadah, Tsabit Al Bana'iy, Humaid At Thawil, Al Ja'ad Abul 'Utsman, Muhammad ibn Sirrin, Anas ibn Sirrin, Az Zuhry, Yahya ibn Sa'id Al Anshary, Sa'id ibn Jubair.
Qatadah mengatakan, bahwa di hari Anas wafat, Muwarrid berkata, "Pada had ini telah lenyap seperdua ilmu."
Anas ibn Malik adalah orang ketiga di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau wafat di Bashrah pada tahun 93 H 912 M, dalam usia 100 tahun.

4. 'Aisyah Ash Shiddiqiah
'Aisyah Ash Shiddiqiah ialah Aisyah binti Abi Bakr Ash Shiddieq.
Ibunda beliau bernama Ummu Ruman binti 'Amr ibn Umaimir Al Kinaniyah.
'Aisyah dilahirkan sesudah Nabi di bangkit menjadi Rasul.
Menurut riwayat yang masyhur Nabi mengawini beliau di Makkah di waktu beliau berusia enam tahun, sesudah sebulan Nabi kawin dengan Saudah, yaitu tiga tahun sebelum hijrah. Pada bulan Syawal sesudah 8 bulan Nabi berhijrah ke Madinah di kala itu 'Aisyah berusia 9 tahun, baru Nabi berumah tangga dengan beliau. Di kala Nabi wafat, beliau baru berusia 13 tahun.
Beliau meriwayatkan 2210 hadits. Bukhary Muslim menyepakati sejumlah 174 hadits. Bukhary sendiri meriwayatkan 64 hadits dan Muslim sendiri meriwayatkan 63 hadits.
Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari para sahabat. Di antaranya ialah ayahanda beliau sendiri, Umar Hamzah ibn Al Aslamy, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Fathimah az Zahra.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi'in.
Di antara para sahabat tersebut ialah: 'Amr ibn 'Ash, Abu Musa Al Asy'ary, Zaid ibn Khalib Al Juhany, Abu Hurairah, 'Ibnu'Umar, Rabi'ah ibn Abbas, saudaranya sendiri Ummu Kaltsum bint Abi Bakr, saudara sesusuannya 'Auf ibn al Harits dan anak saudaranya Al Khisim ibn Muhammad.
Di antara para tabi’in ialah: Sayid ibn al Musaiyab 'Abdullah ibn 'Amr ibn Rabi'ah, Urwah, Asy Sarby' Atha, Mujahid, Mu'adzah al 'Adawiyah, Nafi' Maula ibn 'Umar.
Asy Syaby berkata, "Apabila Masruq meriwayatkan hadits dari 'Aisyah beliau berkata, kepadaku diceritakan oleh Shiddiqiah binti As Shiddiq, habibah habibillah."
Banyak para sahabat dan tabi'in menerima berbagai macam hukum dari beliau.
Pernah orang mengatakan, bahwa seperempat hukum syari'at diperoleh dari beliau.
Hisyam Ibn ‘Urwah mengatakan., "Aku tidak melihat seseorang yang mengetahui tentang Fiqh, obat-obatan dan syi'ir Arab selain 'Aisyah."
'Atha' berkata, "'Aisyah adalah sepandai-pandai ulama."
Menurut Az Zuhry, jika dibandingkan ilmu yang dimiliki oleh 'A,isyah dengan seluruh ilmu yang dipunyai oleh permaisuri-permaisuri Rasul yang lain dan ilmu para sahabat, maka ilmu yang dimiliki oleh 'Aisyah masih lebih unggul.
Ulama-ulama sahabat bertanya kepada 'Aisyah tentang soal-soal fara'idl.
'Aisyah adalah orang yang keempat di antara tujuh orang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau wafat pada bulan Ramadlan sesudah melakukan shalat whir pada tahun 57 atau 58 H = 668 M.

5. Abdullah ibn Abbas
Abdulllah ibn Abbas ialahAbul 'Abbas ibn Abbas ibn 'Abdil Muththolib, seorang putera paman Rasulullah.
lbundanya bernama Ummu Fadlel Lubabah Al Qubra binti Al Harts Al Hilaliyah, saudara perempuan Maimunah permaisuri Rasul.
Beliau dilahirkan di Makkah ketika Bani Hasyim berada di Syi'ib, 3 atau 5 tahun sebelum hijrah. Di kala Rasul wafat beliau barn berusia 13 atau 15 tahun.
Beliau meriwayatkan sejumlah 1660 hadits. Bukhary dan Muslim menyepakati sejumlah 95 hadits, 29 buah di antaranya diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 49 buah diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
Beliau menerima hadits dari Nabi dan dari para sahabat.
Di antara para sahabat ialah, ayahandanya, bundanya, saudaranya Al Fadliel, makciknya Maimunah, Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman, 'Ali, 'Abdur Rahman ibn'Auf, Mu'adz ibn Jabal, Abu Dzar, Ubay ibn Ka'ab, Abu Hurairah dan lain-lain.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh putra-putranya, yaitu, 'Ali dan Muhammad cucunya Muhammad ibn 'Aly, saudaranya Katsir ibn Abbas.
Di antara para sahabat yang meriwayatkan hadits beliau ialah, 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khaththab, Tsa'labah ibn al Hakam, Abul Thufail dan lain-lain.
Di antara para tabfin ialah, Abu Umamah ibn Sahal, Said ibn Musayyab, 'Abdullah ibn Harts ibn Naufal, Abu Salamah ibn Abdur Rahman ibn 'Auf, Abu Raja'. Abdullah ibn 'Abdullah ibn 'Utbah ibn Abi Waqqash, Ikrimah, Atha, Sa'id ibn Jubair, Sa'id ibn Abil Hasan al Bishry dan Sa'id ibn Yatsar.
Banyak sekali laqab-laqab Ibn Abbas ini.
Beliau bergelar Al Hijr dan Al Bahr, karena sangat luas ilmunya.
Ibnu 'Umar berkata, "Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling mengetahui tantang apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW. di antara orang¬-orang yang masih tinggal."
Menurut Masruq, "Apabila beliau melihat Ibnu 'Abbas, beliau mengatakan bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling gagah, apabila ia berbicara, beliau mengatakan, Ibnu 'Abbaslah orang yang paling fasih lidahnya dan apabila ia meriwayatkan hadits beliau mengatakan, bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling alim."
Kata 'Amr ibn Dinar, "Aku belum pernah melihat suatu majlis yang mengumpulkan semua kebajikan selain dari majlis Ibnu 'Abbas. Majlisnya menerangkan hukum halal dan haram, kesusasteraan Arab dan syair."
Beliau wafat di Thaif pada tahun 68 H = 687 M dalam usia 71 tahun. Jenazahnya disembahyangkan oleh Muhammad ibn Hanafrah.

B. Sejarah sinhkat enam perawi hadits
1. Imam Bukhari
Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadith (pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi."
Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:

"Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."

Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Pengembaraannya
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Shahih dan pendahuluannya.
Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadith."
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.

Kemasyhuran Imam Bukhari

Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.

Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya."

Imam Bukhari Difitnah
Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.
Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.
Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Shahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.
Imam Bukhari, kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.

Kewafatannya

Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.
Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnya ini: "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana."
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.
Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.

Guru-gurunya
Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.

Murid-muridnya
Keluasan ilmu beliau terdengar ke berbagai pelosok bumi ini sehingga tidak heran jika begitu banyak penuntut ilmu yang mendatanginya untuk talaqqi ilmu. Menurut Muhammad bin Yusuf Al Firabri jumlah murid yang mendengarkan dan meriwayatkan dari beliau kitab shohih Bukhari berjumlah 90.000 orang.
Diantara murid beliau yang terkenal :
1. Abul Husain Muslim bin Hajjaj An Naisaburi (wafat 261 H); penyusun kitab Shahih Muslim
2. Abu Isa Muhammad bin Isa Tirmidzi (wafat 279 H); penyusun kitab Jami’ atau Sunan Tirmidzi dan beliau salah seorang murid yang terdekat dengan Imam Bukhari
3. Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib An Nasaai (wafat 303 H); penyusun kitab Al Mujtaba’ atau Sunan Nasaai
4. Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi (wafat 255 H); penyusun kitab Sunan Darimi
5. Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazi (wafat 294 H); faqih, hafizh, imam dan penulis beberapa kitab yang bermanfaat seperti Ta’zhim Qadri Ash Sholah dan Qiiyam Al Lail
6. Abu Hatim Muhammad bin Idris Al Hanzhali Ar Rozi (wafat 277 H); hafizh dan salah seorang ulama al jarh wa at ta’diel.
7. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat 311 H); imamnya para imam dan penyusun kitab Shohih Ibn Khuzaimah
8. Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq Al Harbi (wafat 285 H); salah seorang tokoh ulama di zamannya yang digelari dengan Syaikhul Islam, Daraquthni pernah mengatakan bahwa beliau disamakan dengan Imam Ahmad dari sisi zuhud, ilmu dan wara’nya.
9. Muhammad bin Yusuf Al Firabri (wafat 330 H); salah seorang yang meriwayatkan shohih Bukhari dan riwayatnya adalah riwayat yang paling dikenal
10. Abu Ishaq Ibrahim bin Ma’qil An Nasafi (wafat 295 H); termasuk yang meriwayatkan shohih Bukhari dengan sanadnya di negeri Maghrib
Keutamaan dan Keistimewaan Imam Bukhari
Kerana kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung hadithnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmidzi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari.
Dalam bidang kekuatan hafalan, ketazaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadith, juga dalam bidang ilat-ilat hadith, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadith lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadith shahih, dan 200.000 hadith yang tidak shahih."
Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadith di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadith, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadith ini diberi sanad hadith lain dan sanad hadith lain dinbuat untuk matan hadith yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadith kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadith, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadith yang Anda sebutkan ini." Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya."
Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadith pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadith kedua isnadnya yang benar adalah beginii…"
Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadith. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadith-hadith yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang hadith.
Sebahagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji cuba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah kerana Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadith secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.
Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadith pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadith sahabat dan tabi'in, yakni hadith-hadith mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW."
Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadith dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma'il al-Bukhari."
Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadith, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadith melebihi Muhammad bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Iraq yang melebihi kealimannya."
Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap. Bahawa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadith dan dokter ahli penyakit (ilat) hadith." Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."
Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."
Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: "Hadithnya diingkari."
Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadith yang diriwayatkan seseorang hanya kerana orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahawa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan."
Selain dikenal sebagai ahli hadith, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadith, bukan sebagai ahli fiqh.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.
Karya-karya Imam Bukhari

Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :

• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Bukhari).
• Al-Adab al-Mufrad.
• At-Tarikh as-Sagir.
• At-Tarikh al-Awsat.
• At-Tarikh al-Kabir.
• At-Tafsir al-Kabir.
• Al-Musnad al-Kabir.
• Kitab al-'Ilal.
• Raf'ul-Yadain fis-Salah.
• Birril-Walidain.
• Kitab al-Asyribah.
• Al-Qira'ah Khalf al-Imam.
• Kitab ad-Du'afa.
• Asami as-Sahabah.
• Kitab al-Kuna.

Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH (Shahih Bukhari)
Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebahagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadith Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' as-Shahih."
Dalam menghimpun hadith-hadith shahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadith-hadithnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti keshahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadith selama 16 tahun." Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahawa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahawa hadith itu benar-benar shahih."
Maksud pernyataan itu ialah bahawa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-hadith dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.
Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Kerananya tidak menghairankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadith Nabi yang Paling Shahih."
Diriwayatkan bahawa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-Jami' as-Shahih ini kecuali hadith-hadith yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadith shahih kerana khawatir membosankan."
Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadith yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in.
Jumlah Hadith Kitab Al-Jami'as-Shahih (Shahih Bukhari)
Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.
Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahawa semua hadith shahih mawsil yang termuat dalam Shahih Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadith. Sedangkan matan hadith yang mu'alaq namun marfu', yakni hadith shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua hadith Shahih Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya.

11. Imam Muslim

Penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.
Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu
Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadith kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadith kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadith yang lain.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadith, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadith dalam Shahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Shahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Wafatnya
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.
Murid-muridnya
Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim. Di antaranya terdapat ulama-ulama besar yang sederajat dengannya, seperti Abu Hafidh al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Tawwanah al-Ishfiroyini, dan Abu Isa al-Tirmidzi. Selain ulama-ulama di atas, yang juga tercatat sebagai murid Imam Muslim antara lain; Ahmad bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishak bin al-Siraj. Di antara sekian banyak muridnya itu, yang paling istimewa adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih lagi zahid. Ia adalah perawat utama kitab Shahih Muslim.
Keahlian dalam Hadith
Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith shahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadith, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadith hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadith terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadith itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :

• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Muslim).
• Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadith).
• Kitabul-Asma' wal-Kuna.
• Kitab al-'Ilal.
• Kitabul-Aqran.
• Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal.
• Kitabul-Intifa' bi Uhubis-Siba'.
• Kitabul-Muhadramin.
• Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
• Kitab Auladis-Sahabah.
• Kitab Awhamil-Muhadditsin.


Kitab Shahih Muslim
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Shahih, terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Shahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Shahihnya.
Bukti konkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadith."
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadith.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahawa perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya: "Tidak setiap hadith yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya. Aku hanya mencantumkan hadith-hadith yang telah disepakati oleh para ulama hadith."
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini."
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadith dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadith daripadanya melainkan dengan alas an pula."
Imam Muslim di dalam penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.

12. Imam Abu Dawud
Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Perkembangan dan Perlawatannya
Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal.
Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
Guru-gurunya
Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.

Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya)
Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.
Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."
Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji
Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”
Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:
"Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Pujian Para Ulama Kepadanya
Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
"Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia."
Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan."

Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: "Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
Madzhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i.
Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.
Tanggal Wafatnya
Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
Karya-karyanya

Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
• Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
• Kitab Al-Marasil.
• Kitab Al-Qadar.
• An-Nasikh wal-Mansukh.
• Fada'il al-A'mal.
• Kitab Az-Zuhd.
• Dala'il an-Nubuwah.
• Ibtida' al-Wahyu.
• Ahbar al-Khawarij.

Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap eredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama unan Abi Dawud.

Kitab Sunan Karya Abu Dawud
Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.

Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:

"Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadith tersebut adalah, yang ertinya:
Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."
Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."
Ketiga: "Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."
Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati."
Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadith ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud
Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam." Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.

Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik
Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud
Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.
Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.
13. Imam Tirmidzi
Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:

“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadith yang tergolong hadith-hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Cuba ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadith Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:
"Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”

Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat mendalam.

Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:

“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata: “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).”
Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:

• Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
• Kitab Al-‘Ilal.
• Kitab At-Tarikh.
• Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
• Kitab Az-Zuhd.
• Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”

“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadith ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn Munzir.
Hadith-hadith da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan haram.

14. Imam Nasa'i
Imam Nasa'i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa'i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu 'Abdurrahman Ahmad bin 'Ali bin Syu'aib 'Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa' pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
Pengembaraannya
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa', sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur'an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang 'Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.
Nasa'i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu'awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa'i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu'awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan "Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu'awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?" Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya
Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-'Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa'i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja'far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa "menjaga jarak" dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa'i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa'i
Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa'i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami'ul Usul-nya, bahawa Nasa'i bermazhab Syafi'i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi'i, rahimahullah.
Karya-karyanya
Imam Nasa'i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
• As-Sunan ul-Kuba.
• As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
• Al-Khasa'is.
• Fada'ilus-Sahabah.
• Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang Sunan An-Nasa'i
Nasa'i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa'i Sa'id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, 'Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami'.
Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu'jam, Abu Ja'far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu'awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa'i.
Ketika Imam Nasa'i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: "Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?" "Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya," jawabnya. "Kalau demikian," kata sang Amir, "Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja." Atas permintaan Amir ini maka Nasa'i berusaha menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa'i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: "Kedudukan kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadith dha'if yang tedapat di dalamnya."
Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa'i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan dha'if, hanya saja hadith yang dha'if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith shahih.
Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa'i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang telah disepakati oleh ulama kritik hadith untuk ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada Nasa'i, misalnya dikatakan, "hadith riwayat Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah "riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra", kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab 'Aunul-Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: "Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini diriwayatkan oleh Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, "diriwayatkan oleh Nasa'i" adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa'i adalah salah satu kitab hadith pokok yang menjadi pegangan.

15. Imam Ibn Majah
Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi'i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata "Majah" dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.
Pengembaraannya
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktivitas Periwayatannya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin 'Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin 'Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya
Abu Ya'la al-Khalili al-Qazwini berkata: "Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith."
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadith besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.
Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam Bidayah-nya: "Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu'."
Karya-karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:

• Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith yang Pokok).
• Kitab Tafsir Al-Qur'an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
• Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedan jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah hadith.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadith
Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok "Kitab Hadith Pokok" mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.
Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok), yaitu:
• Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
• Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
• Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
• Sunan Nasa'i, karya Imam Nasa'i.
• Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
• Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul 'A'immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz 'Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma' ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa'idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta', yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta' susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam'i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa'adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi'i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi'i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.

Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da'if (lemah), bahkan hadith-hadith munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadith-hadith da'if di dalamnya.
Oleh kerana itu tidak sayugianya kita menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Sulasiyyat Ibn Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.

About

Ahmad Fathullah, M.Pd
No.Hp : wa.me/6282143358433 (SMS/WA)
Alamat : Jl. Bulak Sari 1/59 Surabaya
Email : ad.fathullah@gmail.com
Fb : ahmad.fathullah.10
IG : a.fathullah94