BAB VI
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
PERIODE MUTAQODDIMIN
A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah
hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara
bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit
para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan
sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai
panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik
dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa
langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di
luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala
permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk
pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan
ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan
pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para
pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits.
Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk
membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang
yang mereka temui.
Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat
cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk
menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,
"بلغوا عنى ولو أية"
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”
Dalam hadits lain disebutkan
,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "
“Hendaknya
orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang
tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang
menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang
mendengar (langsung dariku).
Perintah tersebut membawa pengaruh
yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap,
seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di
luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah
diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak
memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari
saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode
penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya
Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b.
Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat
orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran
agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara
berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya
Penyebaran
hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke
mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat
yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk
menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat
Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang
melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu
Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id al-Khudri
yang berbunyi,
"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah
kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa
yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya.
Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama
saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).
Disini
Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan
menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai
ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan
satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut
Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang
semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas
dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
Nabi
telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa
fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah
terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan,
bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan
orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu
Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi
memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.”
B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah
Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar
Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun,
dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup
membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar
menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga
dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut
disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits
(عصر تقليل رواية الحديث).
Pembatasan
tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah
penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan
dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti
bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat
selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang
mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti
dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Abu
Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya
oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar,
lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti
aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan
mencambukku dengan cambuknya."
Riwayat Abu Hurairah tersebut
menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan
pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain,
Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar
mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah
riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk
memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya
mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu
semua."
2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara
umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh
kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah
setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan,
Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak
mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya,
periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada
pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية
الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh
karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan
Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga
menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara
maksimal.
Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi
pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu
merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan
antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan
Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam
periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak
tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh
periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.
a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada
masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits
jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan
hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa
pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja
menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan
jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk
mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah
masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk
mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun
sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan
erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha
pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas
dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa'
al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif
meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu
sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun
pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam
dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak
timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan
masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai
puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah
Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah
bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi
(hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu
ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh.
Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan
Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat
dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat
kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada
masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits
sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa
tersebut, di antaranya :
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
b. Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
c. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
d. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
e. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
f. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
g. Mesir
-Yazid ibn Habib
h. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani
PERIODE MUTAAKHIRIN
Yang
dimaksud dengan mutaakhkhirin adalah periode anatara Abab IV-VII
Hijriyah. Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan dan penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi
pada masa dinasti ’Abba siyah angkatan ke dua yaitu pada masa
kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim Billah.
Pada
periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi
tudak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak
sedikit ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam
memelihara dan mengembangkan hadis.
Pada periode ini ulama pada
umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis terdahulu, sebab pada IV H
hadis-hadis telah terhkodofikasi dalam bentuk kitab sebagaimana yang
telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling menonjol pada
periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis Nabi saw
yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa
dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang
dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan
matan yang saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah
dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh mutaqaddimin.
Para ulama
hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan mnyusun hadis dalam
bentuk mus}annaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru
seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;
1.
Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan
bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan
saanad dan matannya, ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk
seperti ini adalah; Atraf alSahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400
H), Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti
(w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H),
Atraf Kutub al-Sittah karya Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H),
Atraf al-Ahadis} al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H),
Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H), Atraf al-Masand
al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).
2. Kitab
Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian
penyusun meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang
berbeda. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini
adalah; Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih
Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa
Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis
al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat
dalam kitab Ih}ya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij ahadis
al-Baagawi karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis
yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij ahadis
al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis
yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).
3. Kitab al-Mustadrak
adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari
dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya, dianatara kitab-kitab
hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah : al-Mustadrak karya
al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni(w.
385 H).
4. Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitan
yang telah adalah, dianatar kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk
seperti ini adalah;
1. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim:
1) Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
2) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-H{umaidi (w. 488 H)
3) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)
2. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadi dari Kutub al-Tis’ah:
1)
Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan
oleh Ibnu al-Asir al- Jazairipada kitab yang diberi judul ”al-Jami’u
al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
2) Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
3. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
1) Maabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al- Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih}”
2)
Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w.
579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-T{abari.
3) Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).
4.
Kitab yang disusun berdasarkan pokok masalah, dianatara kitab-kitab
hadis yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan masalah-masalah tertentu
dari kitab-kitab hadis terdahulu adalah :
1. Himpunan Hadis-hadis hukum
1) Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majdu al-Din Abdussalam Ibnu Abdillah (w. 625 H)
2) Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baihqi (w. 458 H)
3) Al-Ah}kam al-Sugra, karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H)
4) ’Umdatu al-Ahkam, karya Abdulgani al-Maqdisi (w. 582)
5) Bulug al-Maram min Adillat al-Ah}kam karya Ibnu H{ajar al-’Asqalani.
2.
Himpunan hadis-hadis al-Targib wa al-Tarhib (hadis-hadis tentang
menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri perbuatan dosa yang
dibenci) salah satu diantara kitab tersebut adalah kitab al-Targib wa
al-Tarhib karya al-Munziri (w. 656 H)
Pada abad VII selain
karya-karya ulama dalam bidang hadis yang disusun dalam bentuk
mustakhrajat dan atraf, juga para ulama abad VII dan seterusnya
menyusun karya dalam bentuk syuruh, mukhtas\arat, al-zawaid, dan
ma’ajim. Adapun karya-karya para ulama pada abad VII dan seterusnya
dapat diklasifikasiakan sebagai berikut:
1. Kitab al-Syuruh mrupakan
kitab hadis yang memuat uraian dan penjelasan terhadap atas kandungan
hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya ulama Mutaqaddimin dengan
memberikan beberapa hubungan dengan atau relasi baik dari Al-Qur’an ,
hadis, maupun kaodah-kaidah syara’ lainnya. Adapun karya-karaya yang
disusun dalam bentuk syuruh dapat diklasifikasikan berdasarkan
kitab-kitab himpunan sebagai berikut:
1. Kitab Syarah untuk Sahih al-Bukhari
1) Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani
2) Irasyad al-Sari oleh al-Qast}lani (w. 923 H)
3) ’Umadat al-Qari’ oleh al-’Aini (w. 855 H)
2. Kitab Syarah untuk Sahih Muslim
1) Al-Minhaj oleh al-Nawawi
2) Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi (w. 743 H)
3. Kitab Syarah untuk al-Sahihain: Zad al-Muslim oleh al-Syinqiti
4. Kitab Syarah untuk Sunan Abu Daud
1) ’Aun al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-’Azim al-Abadi bersama dengan syarah Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah.
2) Ma’alim al-Sunan oleh al-Khattabi (w. 388 H)
5. Kitab syarah untuk Sunan al-Tirmizi
1) Tuhfat al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
2) ’Arid} al-Ah}wazi oleh Ibnu al-’Arabi (w. 543 H)
6. Kitab Syarah untuk Sunan al-Nasa’i
1) Ta’liq oleh al-Suyuti
2) Ta’liq oleh al-Sindi
7. Kitab syarah untuk Sunan Ibnu Majah
1) Ihdau al-Dibajah oleh Ahmad al-’Adawi
2) Syarah Suanan Ibnu Majah oleh al-Maglatayi (w.767 H)
8. Kitab-Kitab Syaraj untuk Himpunan Hadis-hadis Ahkam
1) Subul al-Salam oleh al-San’ani terhadap Bulug al-Maram oleh Ibnu Hajar al-’Aqalani
2) Nail al-Autar oleh al-Syaukani terhadap muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Abdussalam.
2.
Kitab Mukhtasarat adalah kitab yang berisi ringkasan-ringkasan dari
satu kitab hadis. Diantara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk
muktasarat adalah: kitab al-Jami’ al-Sagir karya al-Suyuti dan kitab
Mukhtasar Sahih Muslim.
3. Kitab Zawaid adalah kitab yang didalamnya
terhimpun hadis-hadis yang terdapat dalam satu karya mutaqaddimin
tertentu dan tidak terdapat dalam kitab himpunan hadis lainnya, salah
satu kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah Zawaid al-Sunan
al-Kubra oleh al-Busiri, yang mnghimpun riwayat-riwayat yang terdapat
dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihqi yang tidak terdapt dalam Kutub
al-Tis’ah.
4. Kitab Ma’ajim atau disebut juga dengan kitab indeks
hadis yakni kitab yang berisi perunjuk-petunjuk praktis untuk
mempermudah pencarian matan-matan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab
himpunan hadis riwayah tertentu, salah satu dianttara kitab tersbut
adalah Miftah Kunuz al-Sunnah yang merupakan terjemahan oleh Muhammad
Fuad Abdul Baqi dari karya A.J. Wensink, kitab ini memuat hadis-hadis
yang terdapat dalam 14 kitab himpunan hadis, dan disusun dalam bentuk
tematik.
Selain dari kitab-kitab di atas pada abad VII dan seterusnya
tersusun pula kitab himpunan hadis-hadis Qudsi dianatar kitab himpunan
hadis-hadis Qudsi adalah : Al-tuhfah al-Saniyyah oleh Al-Munnawi dan
al-Kalimat al-Tayyibah oleh Ibnu Taymiyyah, dan banyak lagi lainnya.
PENELITIAN HADITS PERIODE KONTEMPORER
Setelah
terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimi>n dan disempurnakan
pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer
kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw
dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan
system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis
periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi
saw adalah sebagai berikut:
1. Metode Takhrij yaitu melakukan
penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh
oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan
pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad
Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’
al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan
menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh
al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah
Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi
karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
2. Metode
Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam
meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari
kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu
Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtas\ar Sahih Muslim.
3. Metode
tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu,
kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk
mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan
uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah
problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun
aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya
metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4. Metode digital
yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang
telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para
peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah :
1.
Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya
memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu
Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’
Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing
kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah
sanad.
2. Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh
kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah,
maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk
manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat
kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-H{adis}.
3. Program
Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari
program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu
lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan
agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh
para ulama baik dari kalangan mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n,
sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam
utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.
No comments:
Post a Comment