2/26/13
2/14/13
Merokok Hukumnya Mubah
Yang berwenang menetapkan halal atau haramnya segala
sesuatu adalah Allah SWT dan Rasul-Nya, padahal tidak ada nash Alquran dan
hadis yang secara jelas menerangkan hukum merokok. Rasulullah saw.,bersabda : Yang
halal adalah sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan yang haram
adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya, sedang yang tidak disebut
di (keduanya) maka dimaafkan bagimu. (HR.Tirmidzi).
Maka, hukum merokok dikembalikan kepada hukum asal. Rokok
tidak memabukkan dan tidak melemaskan (tidak muskir dan tidak muftir), bahkan
sebagian orang ada yang menjadi lebih bersemangat setelah merokok.
Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan sesuatu maka janganlah kamu menyia-nyiakannya dan Allah membatasi
sesuatu dengan batasan maka janganlah kamu melanggarnya. Dan ia diamkan sesuatu
sebagai rahmat untukmu bukan karena lupa, maka janganlah kamu bertanya
tentangnya. (HR.Ahmad)
Bahaya merokok bersifat nisbi, yakni jika ada orang yang
menerima bahaya yang dipastikan karena merokok, maka haram baginya merokok,
akan tetapi hukum haram itu tidak berlaku bagi semua orang, sebab ternyata
tidak semua orang yang merokok mendapat bahaya, bahkan ada orang yang mendapat
manfaat dari rokok.
Sebagaimana halnya madu yang menurut Alquran dan hadis
merupakan obat (syifa), namun bagi orang yang berpenyakit diabet parah madu itu
berbahaya, maka bagi dia madu itu haram. Akan tetapi hukum haram tersebut tidak
berlaku bagi semua orang.
Hukum Asal Benda
Pada dasarnya,
para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status hukum saja, yakni
halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan manusia ada lima, yakni wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Para ulama
juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang
melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا
عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
”Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua
itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Qs. Al-An’aam (6): 145)
Ayat ini
dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan oleh Allah swt,
kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini. Hanya saja, karena ayat ini
Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan hanya sebatas pada bangkai, darah
yang mengalir, babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang disebutkan
di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang bertaring dan
berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah
mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Di ayat lain,
Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي
خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy
di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang
menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang diciptakan adalah mubah, hingga
ada dalil yang memalingkan hukum asalnya (mubah)…” [Imam Syaukaniy, Fath
al-Qadiir, juz 1, hal. 64]
قُلْ مَنْ
حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ
الرِّزْقِ
”Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”
(Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih banyak ayat lain yang memiliki pengertian
senada.
Berdasarkan
ayat-ayat di atas dapat dipahami dua hal penting. <b.Pertama, sesungguhnya
urusan menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah hak prerogatif dari Allah
SWT. Manusia tidak boleh menyematkan predikat halal dan haram atas suatu benda,
tanpa keterangan dari Allah swt dan RasulNya. Manusia dilarang mengharamkan apa
yang telah dihalalkan Allah, atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT.
Imam Baidlawiy dalam Tafsir al-Baidlawiy¸ketika menafsirkan surat
Al-An’aam:145, beliau menyatakan, ”Di dalam ayat ini ada peringatan (tanbih)
bahwa pengharaman sesuatu hanya diketahui dengan wahyu, bukan dengan hawa
nafsu”. [Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy (Anwaar al-Tanziil wa Asraar
al-Ta`wiil), juz 2, hal. 213]. Kedua, hukum asal benda adalah mubah selama
tidak ada dalil yang mengharamkannya.
الأ صل فى
الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal
dari benda adalah mubah selama tidak dalil yang mengharamkan”
Walhasil,
semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya oleh Allah SWT,
kecuali benda-benda tertentu yang diharamkanNya.
Status Hukum
Rokok
Hukum Asal
Rokok
Tembakau dan
cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok adalah benda-benda yang
berhukum mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih yang mengharamkan
keduanya, baik dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam keadaan seperti ini; status
hukum tembakau dan cengkeh harus dikembalikan kepada konteks hukum asalnya,
yakni mubah.
Jika
benda-benda tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara bersama-sama atau
terpisah, maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan demikian, produk yang
menggunakan bahan baku tembakau, cengkeh, atau benda-benda mubah lainnya,
mengikuti hukum bahan bakunya. Jika bahan bakunya berhukum mubah, maka produk
olahannya juga berhukum mubah. Oleh karena itu, selama rokok dibuat dari
bahan-bahan mubah, maka status hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh.
’Allamah ’Abd
al-Ghaniy An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan bahwa tidak ada satu pun
dalil syariat yang mengharamkan ataupun memakruhkan rokok; juga tidak terbukti
bahwa rokok itu memabukkan, melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum
pada orang yang menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh karena
itu, rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’ Ibaahah”. [Ibnu
’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
Di dalam Kitab
Fatawa al-Azhar, ”…Pendapat yang terpilih adalah yang pertama (hukum asal dari
sesuatu adalah mubah). Pasalnya, seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Tahrir,
menurut jumhur Hanafiyyah dan Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah hukum asal
dari benda adalah mubah…” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]
Ini dari sisi
status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus
ada perincian lebih mendalam.
Pertama , jika
seseorang merokok, dan menyebabkan bahaya secara pasti pada dirinya (muhaqqah),
maka orang tersebut dilarang merokok, dikarenakan telah tampak bahaya yang
nyata bagi dirinya. Sebab, jika benda mubah mengandung atau menimbulkan dlarar
(bahaya) bagi individu tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti)
bagi individu tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu;
sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram. Udang misalnya,
hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu, udang bisa
mendatangkan bahaya (dlarar) yang bersifat muhaqqah. Dalam kondisi semacam ini;
orang tersebut dilarang (haram) mengkonsumsi udang, dikarenakan telah terbukti
bahaya udang bagi dirinya. Hanya saja, hukum asal udang tetaplah mubah, bukan
haram. Sebab, adanya dlarar (bahaya) pada benda-benda mubah, tidaklah mengubah
status kemubahan dari benda tersebut. [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani,
al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459] Oleh karena itu,
individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi udang semampang tidak
menyebabkan dlarar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya.
Ketentuan di
atas didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Kitab
Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di Hijr, beliau berhenti di sana.
Pada saat itu, orang-orang meminum air dari sumur Hijr. Ketika, para shahabat
sedang istirahat, beliau saw bersabda, ”Janganlah kalian minum dari air sumur
Hijr, janganlah kalian berwudluk dengan airnya untuk sholat. Adonan roti apapun
yang kalian buat dengan menggunakan airnya, berikanlah kepada onta, dan
janganlah kalian memakannya sedikitpun. Dan janganlah seorang diantara kalian
keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh temannya. Para shahabat
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali dua orang laki-laki
dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar untuk memenuhi urusannya,
sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta miliknya. Adapun orang yang pergi
untuk memenuhi urusannya, ia jatuh sakit. Sedangkan orang yang pergi untuk
mencari ontanya, ia diterbangkan angin hingga terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’.
Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ”Bukankah aku
telah melarang kalian agar tak seorangpun diantara kalian pergi sendirian,
kecuali disertai teman? Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh sakit
ketika hendak bepergian, dan sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan laki-laki
lain yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thai` menunjukkan
kepada Rasulullah Saw ketika beliau Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu Hisyam dan
Sirah Ibnu Hisyam]
Berdasarkan
riwayat ini dapat disimpulkan; perkara-perkara yang hukum asalnya mubah, jika
di dalamnya mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah), maka perkara itu berhukum
haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. Sebab, minum air dari sumur
manapun, hukum asalnya adalah mubah, termasuk air sumur Hijr. Larangan nabi saw
agar para shahabat tidak meminum airnya, tidak menggunakannya untuk berwudluk,
dan untuk membuat adonan roti, dikarenakan air tersebut mengandung bahaya.
Keluarnya seorang laki-laki di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara
mubah. Adanya larangan dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada waktu
malam di tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya (dlarar). Dengan
demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan), jika perkara tersebut
mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram (karena bahaya yang
dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah.
Kedua , Bila
dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya ada larangan dari
Nabi Mohammad saw bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah masuk
ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan dari keduanya. Imam
Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya
Rasulullah saw bersabda;
مَنْ أَكَلَ
ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa
memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami,
atau memisahkan diri dari masjid kami.” [HR. Imam Bukhari]
Imam Bukhari
juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ
ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ
فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ
أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي
أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa
memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia memisahkan diri dari kami,
atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia memisahkan diri dari masjid kami dan
hendaknya ia duduk di rumahnya”. Sesungguhnya, Nabi saw diberi sebuah periuk
yang di dalamnya terdapat sayur-sayuran. Beliau mendapati bau dari sayuran itu.
Lalu, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di sayuran itu. Lalu
ia (perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk itu ke beberapa
shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak suka
memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan
malaikat”. [HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim
meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda:
مَنْ أَكَلَ
ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ
بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ
فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا
قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa
memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami,
atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaknya ia duduk di rumahnya”.
Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian
beliau saw mendapati bau. Lantas, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa
yang ada di dalam sayuran itu. Kemudian perawi berkata, ”Para mendekatkannya
kepada sebagian shahabatnya. Tatkala beliau mengetahuinya, beliau tidak suka
memakannya, seraya berkata, ”Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan
malaikat”. [HR. Imam Muslim]
Hadits-hadits
ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang memakan bawang putih atau
bawang merah mendekati masjid disebabkan karena baunya yang mengganggu orang
lain. Dengan demikian, larangan Nabi saw disebabkan karena aroma atau bau
menyengatnya; yang ini hal ini tentunya menganggu orang lain yang hendak
beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini diperkuat oleh hadits-hadits berikut
ini. Dalam hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya
ia berkata:
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ
فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا فَقَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ
الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ
تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah
saw melarang makan bawang mereka dan bawang bakung. Lalu, kebutuhan begitu
mendesak kami, hingga akhirnya kami memakannya. Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa
memakan tumbuhan ini, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat
terganggu karenanya, begitu pula manusia.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim
juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
مَنْ أَكَلَ
الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
”Barangsiapa
memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung, janganlah mendekati
masjid kami. Sesungguhnya malaikat merasa terganggu, sebagaimana anak Adam
merasa terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim
juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;
إِنَّكُمْ
أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ
هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ
أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا
طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ
ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ قَالَ ح و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ شَبَابَةَ بْنِ
سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذَا
الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai
manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang menurutku tidak baik,
yakni bawang merah dan bawang puti. Sungguh, dahulu aku melihat Rasulullah saw
jika mendapati bau keduanya dari seseorang, beliau menyuruh orang itu keluar
dari masjid. Karenanya, jika kalian ingin memakannya, hendaklah kalian
memasaknya terlebih dahulu.” [HR. Imam Muslim]
Berdasarkan
hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa orang yang mengkonsumsi
sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan berpotensi menganggu orang lain,
semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas
menyebarkan aroma atau bau menyengat yang sangat mengganggu orang lain. Atas
dasar itu, seseorang makruh merokok di dalam masjid dikarenakan bisa mengganggu
orang lain.
Begitu pula
jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi mengganggu orang lain,
maka hukumnya makruh, berdasarkan riwayat-riwayat di atas.
Ketiga, jika
seseorang merokok, dan tidak menimbulkan dlarar yang bersifat muhaqqah pada
dirinya, serta dilakukan di tempat atau komunitas yang tidak menganggu orang
lain, maka status hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah kebolehan memanfaatkan
benda-benda mubah. Selain itu, ’illat yang menyebabkan pengharaman rokok, yakni
bahaya yang bersifat muhaqqah tidak terwujud pada orang tersebut; dan ia
melakukan aktivitas di suatu tempat dan komunitas yang tidak terganggu oleh
asap rokok.
Tentang surah al – baqarah ayat 195 itu
bersangkutan pada orang yg meninggalkan jihad.
(Tafsir ibnu Katsir jilid 2 halaman 249 – 257
)
Wallahu A’lam
bish Shawab.
2/11/13
Hak Suami Atas Isteri (Yang Wajib Dipenuhi Oleh Isteri)
Allah Ta'ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (an-Nisa':34)
Keterangan:
Menilik isi yang tersirat dalam ayat di atas, maka Allah Ta'ala
sudah memberikan ketentuan yang tidak dapat diubah – ubah atau sudah merupakan
sunatullah, iaitu bahawa keharmonian rumahtangga itu, manakala lelaki dapat
menguasai seluruh hal – ehwal rumah tangga, dapat mengatur dan mengawasi isteri
sebagai kawan hidupnya dan menguasai segala sesuatu yang masuk dalam urusan rumah
tangganya itu sebagaimana pemerintah yang baik, pasti dapat menguasai dan
mengatur sepenuhnya perihal keadaan rakyat.
Manakala ini terbalik, misalnya isteri yang menguasai suami, atau
sama – sama berkuasanya, sehingga seolah – olah tidak ada pengikut dan yang di ikuti,
tidak ada pengatur dan yang diatur, sudah pasti keadaan rumah tangga itu
menemui kericuan dan tidak mungkin ada ketenangan dan ketenteraman di dalamnya.
Ringkasnya para suamilah yang wajib menjadi Qawwaamuun, yakni
penguasa, khususnya kepada isterinya. Ini dengan jelas diterangkan oleh Allah
perihal sebab-sebabnya, iaitu kaum lelakilah yang dikurniai Allah Ta'ala akal
yang cukup sempurna, memiliki kepandaian dalam mengatur dan menguasai segala
persoalan, juga kekuatannya pun dilebihkan oleh Allah bila dibandingkan dengan
kaum wanita, baik dalam segi pekerjaan ataupun peribadatan dan ketaatan kepada
Tuhan. Selain itu suami mempunyai pertanggunganjawab penuh untuk mencukupi
nafkah seluruh isi rumahtangga itu.
Oleh sebab itu isteri itu baru dapat dianggap shalihah, apabila ia
selalu taat pada Allah, melaksanakan hak – hak suami, memelihara diri di waktu
suaminya tidak di rumah dan tidak seenaknya saja dalam hal memberikan harta
yang menjadi milik suaminya itu. Dengan demikian isteri itu pun pasti akan
dilindungi oleh Allah dalam segala hal dan keadaan, juga ditolong untuk dapat
melaksanakan tanggungjawabnya yang dipikulkan kepadanya mengenai urusan rumah tangganya
itu.
ü Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Jikalau seseorang lelaki mengajak isterinya ke tempat
tidurnya, tetapi isteri itu tidak mendatangi ajakannya tadi, lalu suami itu
menjadi marah pada malam harinya itu, maka para malaikat melaknati - mengutuk -
isteri itu sampai waktu pagi." (Muttafaq 'alaih)
ü
Dalam riwayat
Imam Bukhari dan Imam Muslim yang lain lagi, disebutkan demikian:
"Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apabila seseorang isteri meninggalkan
tempat tidur suaminya pada malam harinya, maka ia dilaknat oleh para malaikat
sampai waktu pagi."
ü
Dalam riwayat
lain lagi disebutkan sabda Rasulullah s.a.w. demikian: “Demi Zat yang jiwaku
ada di dalam genggaman kekuasaanNya, tiada seseorang lelaki pun yang mengajak
isterinya untuk datang di tempat tidurnya, lalu isteri itu menolak ajakannya,
melainkan semua penghuni yang ada di langit - yakni para malaikat - sama murka
pada wanita itu sehingga suaminya rela padanya - yakni mengampuni
kesalahannya."
ü Dari Abu Hurairah r.a. pula bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tiada halal - yakni haram - bagi seorang isteri untuk
berpuasa - sunnat - sedangkan suaminya menyaksikan - yakni ada, melainkan
dengan izin suaminya itu dan tidak halal mengizinkan seseorang lelaki lain pun
untuk masuk rumahnya - baik lelaki lain mahramnya atau bukan, kecuali dengan
izin suaminya." (Muttafaq 'alaih)
Dan yang di atas itu lafaznya Imam Bukhari.
ü Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Semua
orang dari engkau sekalian itu adalah pemimpin dan semuanya saja akan ditanya
perihal pimpinannya. Seorang amir - pemerintah - adalah pemimpin, orang lelaki
juga pemimpin pada keluarga rumahnya, orang perempuan pun pemimpin pada rumah
suaminya serta anaknya. Maka dari itu semua orang dari engkau sekalian itu
adalah pemimpin dan semua saja akan ditanya perihal pimpinannya." (Muttafaq
'alaih)
ü Dari Abu Ali, iaitu Thalq bin Ali r.a. bahawasanya Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Jikalau seseorang lelaki mengajak isterinya untuk
keperluannya - masuk ke tempat tidur - maka wajiblah isteri itu mendatangi -
mengabulkan - kehendak suaminya itu, sekalipun di saat itu isteri tadi sedang
ada di dapur."
Diriwayatkan oleh Imam-Imam Tirmidzi dan an-Nasa'i dan Tirmidzi
berkata bahawa ini adalah Hadis hasan.
ü Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Andaikata
saya boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, nescayalah saya
akan menyuruh isteri supaya bersujud kepada suaminya."
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah
Hadis hasan shahih.
ü Dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Mana saja wanita yang meninggal dunia sedang suaminya rela
padanya - tidak sedang mengkal padanya, maka wanita itu akan masuk
syurga."
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah
Hadis hasan.
ü Dari Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w.,
sabdanya:
"Saya tidak meninggalkan sesuatu fitnah sepeninggalku nanti
yang fitnah itu Iebih besar bahayanya untuk dihadapi oleh kaum lelaki, Iebih
hebat dari fitnah yang ditimbulkan oleh kerana persoalan orang-orang perempuan."
(Muttafaq 'alaih)
ü Dari Mu'az bin Jabal r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:
"Tidaklah seseorang isteri itu menyakiti pada suaminya di dunia - baik
hati atau badannya, melainkan isterinya yang dari bidadari yang membelalak
matanya itu berkata: "Janganlah engkau menyakiti ia, semoga engkau
mendapat siksa Allah. Hanyasanya ia di dunia itu adalah sebagai tamu bagimu,
yang hampir sekali akan berpisah denganmu untuk menemui kita."
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah
Hadis hasan.
2/10/13
Ziarah Kubur
"ًَََاكثرؤا ذكر هادم اللذات".
قالوا: يا رسول الله, وما هادم اللذات؟ قال: الموت" (رواه احمد)
Rasulullah saw bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat penghancur
nikmat” . mereka bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
‘’Kematian”. (H.R. Ahmad)
Ziarah, nyekar,
nyadran dan istilah-istilah lainnya yang sering digunakan untuk menunjukkan aktifitas
seseorang yang sengaja mendatangi pemakaman. Sudah menjadi tradisi ketika
bulan-bulan tertentu, sebagian kaum muslimin berduyun-duyun menziarahi
tempat-tempat yang dianggap keramat yang di dalamnya terdapat kuburan tokoh,
atau orang yang dianggap mempunyai kelebihan.
Ziarahnya mereka
ke kuburan tersebut dengan tujuan diantaranya adalah mencari solusi atas
berbagai macam persoalan hidup dengan cara meminta bantuan atau pertolongan
kepada kuburan. Tentunya hal-hal tersebut tidak diperintahkan oleh Allah SWT
dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta para sahabatnya.
Ziarah kubur
awalnya dilarang oleh Rasulullah SAW, yang kemudian beliau memerintahkannya.
Bias jadi larangan itu terjadi karena satu kekhawatiran terjadinya perbuatan
yang melanggar dan menyimpang dari perintah Allah dan Rasul-Nya, seperti
perbuatan syirik, dengan menjadikan kuburan sebagai sembahan, tempat meminta
dan lain-lainnya.
Sebagaimana pernah
terjadi pada masa Nabi Nuh As. Bahkan dikatakan bahwa dosa besar (syirik)
pertama yang dilakukan oleh umat manusia dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh, yaitu
menjadikan kuburansebagai sembahan. Sehingga hal tersebut diantisipasi dengan
pelarangan menziarahinya. Akan tetapi kemudian Rasulullah SAW memerintahkan,
karena ada hikmah yang lebih besar.
Perintah untuk
melakukan ziarah kubur berlaku umum, yaitu berlaku untuk laki-laki dan
perempuan sebagaimana larangan sebelumnya pun berlaku umum. Khusus bagi
perempuan dilarang untuk mengantar jenazah yang akan dikuburkan sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Ummu ‘Athiah, akan tetapi
mereka (perempuan) diperbolehkan untuk menziarahinya, dengan catatan tidak
melakukannya secara terus menerus atau sering sebagaimana dinyatakan dalam
hadits bahwa, “ Rasulullah SAW bersabda, (Allah) melaknat para wanita yang
terlalu sering menziarahi pemakaman atau kuburan” (H.R. Al-Jama’ah).
Faidah Ziarah Kubur
ibnu Abi Syuaibah, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ahmad dan Al-Hahim
meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah meminta izin kepada Allah untuk
memohonkan ampunan kepada ibunya, tetapi Allah tidak berkenan memberikan izin
tersebut, kemudian Rasulullah SAW meminta izin untuk menziarahi kuburannya, dan
Allah pun mengizinkannya, lalu beliau SAW bersabda “ maka oleh karena itu
ziarahilah (kuburan) oleh kalian, karena hal tersebut akan mengingatkan kepada
kematian”. Dalam hadits hasan yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Anas bin
Malik Radiungkapkan dengan “ Maka oleh karena itu kunjungilah atau ziarahilah
(kuburan) oleh kalian, karena hal tersebut akan melembutkan hati, meneteskan
air mata dan mengingatkan akan kehidupan Akhirat”. Al- Hakim meriwayatkn dengan
sanad yang shahih, “….karena padanya ada hikmah atau pelajaran”.
Dari
riwayat-riwayat di atas bias didapatkan hikmah dari ziarah kubur: petama, mengingat
kematian dan Akhirat. Ketika diingatkan dengan kematian, kita pun akan mengalami hal yang sama seperti orang-orang
yang sudah menghuni kuburan, bahwa satu saat kita akan menjadi salah satu dari
penghuninya. Kita pun akan disebut mayat atau jenazah, Umar bin Khathab Ra
mengatakan, “ Tiada hari yang senggang melainkan di katakana padanya si fulan
telah meninggal, si fulan telah menjadi mayit dan si fulan telah menjadi
jenazah, dan mesti satu hari itu dikatakan Umar telah meninggal..”. dan mesti
suatu hari yang disebut jenazah atau mayit itu diri kita.
Kedua, melembutkan
hati. Sehebat apapun, setinggi apapun jabatan, dan keunggula-keunggulan apapun
yang dimiliki serta disandang seseorang, semuanya berakhir dan lenyap di
kuburan. Tidak ada artinya sebuah kebanggaan, keangkuhan, dan kehebatan itu
manakala sukma itu telah berpisah dengan raga. Ziarah kubur akan menata kembali
hati yang sudah sirasuki keangkuhan dan berganti dengan kelembutan dan
ketundukan.
Ketiga,
meneteskan air mata, ketika hati sudah tunduk dan lembut, maka mendorong
kesadaran akan dosa, kesalahan dan kekurangan diri, membekali diri dengan
hal-hal yang akan bermanfaat bagi diri ketika harus kembali ke pangkuan Illahi.
Keempat,
kematian adalah pelajaran atau pengingat, kehidupan dunia banyak melalaikan
manusia dari kehidupan Akhirat, membutakan mata hati, mengaburkan arah tujuan
kehidupan, maka ziarah kubur akan memberikan banyak pelajaran dan peringatan
tentang kematian. Rasulullah SAW kadang pun keluar dari rumahnya menuju kuburan
(baqi’) pada sepertiga malam (H>R Muslim/974). Inilah sesungguhnya beberapa
esensi yang mendasari melakukan ziarah kubur, bukan berdasarkan tujuan-tujuan
lainnya.
Adab Ziarah Kubur
Dalam hadits yang
hasan yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW pernah
lewat sebuah pemakaman di madinah, kemudian beliau menghadapkan wajahnya ke
pemakaman tersebutsambil berkata, “Keselamatan atas kalian semua wahai penghuni
kubur, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa kami dan kalian, kalian telah
mendahului kami dan kami pun akan mengikuti jejak kalian”. (H.R. Tirmidzi/
1053).
Hadits ini
setidaknya mengajarkan dua adzab yang sangat penting ketika ziarah kubur: pertama,
mengucapkan salam, untuk penghuni kubur sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW “(Assalamu ‘alaikum ya ahladdiyarminal mukminin wal muslimin wa
inna insya allah bikum lahiqun as’alu allahu lana wa lakum al-afiyah)” . (H.R.
Muslim/975).
Kedua,
mendo’akan ahli kubur, dan do’a yang paling bermanfaat dan dibutuhkan oleh
orang yang sudah tiada adalah do’a permohonan ampun (istighfar), sebagaimana
diisyaratkanoleh Rasulullah SAW dalam peristiwa lainnya; seperti di saat
kematian sahabat Abu Salamah Ra, beliau memohonkan ampun untuknya. Lalu ketika
usai menguburkan, beliau menghimbau kepada para sahabat untuk memohonkan
ampunan bagi jenazah (istaghfiruu li akhikum was-alillaha bit tatsbit fainnahul
aan yus-al).
Dengan demikian,
esensi dari ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan beberapa faidah di
dalamnya, serta dengan senantiasa memperhatikan adzab-adzabnya. Dan ingat, kita
dilarang untuk meminta pertolongan atau solusi untuk kebutuhan hidup , dengan
cara menziarahi kuburan, ini adalah perbuatan syirik yang harus kita jauhi.
Wallahu
a’lam.
2/9/13
HUKUM WANITA BEPERGIAN TANPA MAHRAM
Beberapa Hadits – hadist tentang
larangan wanita bepergian sendirian.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ
مَعَ ذِي مَحْرَمٍ … (البجاري)
Dari Ibnu ‘Abbas ra.,
ia berkata: “Nabi saw. bersabda: Janganlah
seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya …”(HR. Bukhari)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ (البجاري)
Dari Ibnu ‘Umar
ra., sungguh Nabi saw. pernah bersabda: Janganlah
seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya …”(HR.
Bukhari)
عن أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ … قَالَ
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ
ذُو مَحْرَمٍ … (البجاري)
Dari Abu Sa’id Al
Khudri ra., … beliau bersabda: “Janganlah
seorang wanita bepergian selama dua hari kecuali bersama suaminya atau ditemani
mahramnya …” (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُسَافِرِ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يوْمٍ وَلَيْلَةٍ
إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ (الترمذى)
Dari Abu Hurairah,
ia berkata: “Nabi saw. bersabda: Janganlah
seorang wanita bepergian selama sehari semalam kecuali bersama mahramnya …”
(HR. Tirmidzi)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُسَافِرِ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمٍ تَامٍّ
إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ (أحمد)
Dari Abu Hurairah,
ia berkata: “Nabi saw. bersabda: Janganlah
seorang wanita bepergian selama sehari penuh kecuali bersama mahramnya …” (HR.
Ahmad)
Hadits – hadits tersebut menerangkan tentang larangan seorang wanita
bepergian tanpa di dampingi oleh mahramnya.
Disinilah yang perlu kita amati, betapa dijaganya seorang wanita yang
keluar tanpa mahram. Kenapa demikian....????
Apakah di era yang
moderen ini para wanita itu di jamin aman jikalau keluar tanpa mahram...????
Yang kita ketahui bahwa era sekarang ini lebih jahiliyah dari pada
jaman sebelum Muhammad di utus sebagai Nabi.
Bersukurlah para kaum wanita yang telah di jaga oleh Dinul Allah. Ta’atlah pada Allah dan Ta’atlah pada
Rasulullah. karena dirimu betul – betul dijaga oleh Allah SWT...
Perlu kita ketahui, bahwa hukum (Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram)
itu berlaku kepada orang yang sudah baligh dan berakal sehat. Jika kita sudah
baligh dan berakal sehat maka hukum – hukum Allah dan Rasulullah wajib kita ta’ati.
Wallahu ta’ala a’lam
Kami masi perlu kritik dan saran anda sebagai pengunjung Blog Kami..... TRIMAKASIH...
2/7/13
MENJAGA DIRI, HARTA, DAN KELUARGA
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَايُؤْمَرُونَ . التحريم : 6
Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim 66:6)
Segala puji bagi Allah Ta’ala, sholawat dan salam kita tujukan kepada Nabi
Muhammad SAW, para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in serta kepada siapa saja
yang mengikuti jejak mereka sampai hari Qiyamat.
Marilah kita senantiasa berusaha meningkatkan amal harian kita, sebagai suatu
bukti ibadah kita kepada Allah SWT. Sehingga hidup kita mendapat ridha
dari-Nya. Yaitu dengan cara menjaga diri dan keluarga, istri, anak, orang tua,
dan sanak kerabat kita dari adzab api neraka. Berikut ini kami ambilkan
beberapa perkataan sahabat dan tabiin serta ahli fiqih dari berbagai macam
Tafsir.
قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka
Umar bin Khottob berkata : saat turun ayat ini, bertanya kepada Rasul. Kami
akan jaga diri kami, lalu bagaimana dengan keluarga kami ? Jawab Rasul : Kau
larang mereka apa yang Allah telah larang dari-Nya, kamu perintah mereka dengan
apa yang Allah telah perintah dari-Nya, jika itu kau lakukan, akan
menyelamatkan mereka dari neraka.
Al-Qurtubi berkata : Di dalamnya hanya ada satu masalah : yaitu penjagaan
seseorang terhadap diri dan keluarganya dari siksa neraka.
Ali bin Abi Tolhah berkata dari Ibnu Abbas : Jaga diri dan keluargamu, suruhlah
mereka dzikir dan doa kepada Allah, sehingga Allah menyelamatkan kamu dan
mereka dari neraka.
Sebagian Ulama berkata : kalau dikatakan Qu anfusakum : mencakup arti
anak-anak, karena anak adalah bagian dari mereka. Maka hendaklah orang tua
mengajarkan tentang halal dan haram dan menjauhkannya dari kemaksiatan dan
dosa, juga mengajarkan hukum-hukum lain selain hal tersebut.
على
بن أبى طالب : ادبوهم وعلموهم
Ali bin Abi Tholib berkata :
Didiklah dan ta’limlah ( ajarlah ) mereka ( dirimu & keluargamu.)
ابن
عباس : اعملوا بطاعة الله واتقوا معاصي الله وأمروا أهليكم بالذكر ينجيكم الله من
النار
Ibnu Abbas berkata : Ta’atlah kamu
kepada Allah. Janganlah bermaksiat kepada-Nya, Suruhlah keluargamu untuk dzikir
mengingat Allah, niscaya Allah akan selamatkannya dari neraka.
مجاهد
: اتقوا الله وأوصوا اهليـكم بتقوى الله.
Mujahid berkata : Takwalah kepada Allah dan suruhlah keluargamu untuk takwa
kepada-Nya.
قتادة
: تأمرهم بطاعة الله وتنها هم عن معصية الله فإذا رأيت لك معصية قذعتهم عنها
وزجرتهم عنها
Qotadah berkata : Kau suruh
keluargamu untuk taat kepada Allah, kau cegah mereka supaya tidak maksiat. Jika
kamu lihat maksiat di antara keluargamu, maka ingatkan mereka dan tinggalkan
kemaksiatannya.
الضحاك
: حق على المسلم ان يعلم اهله من قرابته وامائه وعبيده ما فرض الله عليهم وما
نهاهم الله عنه.
Adh-Dhohak berkata : Hak seorang
muslim adalah supaya mengajari keluarga dan sanak kerabatnya tentang kewajiban
mereka kepada Allah dan memberitahu larangan-larangan-Nya.
الفقهاء
: وهكذا فى الصوم, ليكون ذلك تمرينا له على العبادة لكى يبلغ وهو مستمر على
العبادة والطاعة ومجانبة المعصية وترك المنكر.
Ulama Fiqih berkata : Demikian juga seperti mengajarkan masalah-masalah shoum,
agar keluarga membiasakan ibadah, agar mereka terus-menerus dalam kondisi
selalu ibadah, taat kepada Allah, menjauhi larangan dan meninggalkan
kemungkaran.
Al-Maroghi berkata : Hai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya,
hendaklah di antara kamu memberitahukan satu dengan yang lain, yaitu apa-apa
yang menyelamatkan kamu dari neraka, selamatkanlah diri kalian darinya, yaitu
dengan taat kepada Allah melaksanakan perintah-Nya, beritahulah keluargamu,
tentang ketaatan kepada Allah, karena dengan itu akan menyelamatkan jiwa mereka
dari neraka, berilah mereka nasehat dan pendidikan. Hendaklah seorang lelaki
itu membenahi dirinya dengan ketaatan kepada Allah, juga membenahi keluarganya
sebagai rasa tanggungjawabnya sebagai pemimpin dan yang dipimpinnya.
Al Qurthubi mengingatkan lagi : Hak anak terhadap orang tua, hendaklah orang
tua memberikan nama yang baik, mengajarkannya tulis menulis dan menikahkan bila
telah baligh. Tidak ada pemberian orang tua terhadap anak yang lebih baik
daripada mendidiknya dengan didikan yang baik. Perintahlah anak-anakmu sholat
jika sudah berumur 7 tahun, dan pukullah jika umur 10 th, jika meninggalkan
sholatnya, pisahkan tempat tidur mereka.
MENJAGA HARTA
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا
وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
bodah, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
untukmu sebagai penegak. Berikanlah rizki dan sandangilah mereka dari harta-harta tersebut dan
berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik.
Makna umum ayat 5:
Kita dilarang menyerahkan harta, uang, atau barang yang berharga yang
diamanatkan kepada kita kepada orang yang tidak mampu mengelolanya (menunaikan
hak-hak harta tersebut), baik karena masih kecil seperti anak yatim atau orang
yang memang bodoh tentang pengelolaan harta secara benar seperti orang gila
atau sejenisnya. Dan menjadi kewajiban bagi kita untuk memberi nafkah kepada
mereka, memberi pakaian, dan mencukupi kebutuhan mereka dari hasil pengelolaan
harta tersebut, dan berbicara kepada mereka dengan perkataan yang bagus. Kita
tidak boleh menyakiti mereka baik dengan kata-kata atau lebih dari itu, dengan
perlakuan fisik.
Penjelasan dan hikmah:
1.
السُّفَهَاءَ bentuk jamak dari kata
safih. Artinya orang yang bodoh. Banyak penafsirannya, di antaranya anak kecil,
anak yang belum berakal, orang gila, dsb. Orang yang mubadzirkan hartanya juga bisa masuk dalam kategori safih.
2.
Disebutkan أَمْوَالَكُمُ, padahal sebenarnya itu harta yang dititipkan pada kita. Ini tujuannya
supaya yang mendapatkan amanah untuk mampu menjaga harta anak yatim itu seperti
serasa miliknya sendiri sehingga tidak menggunakannya semaunya atau melakukan
berbagai penyelewengan.
3.
الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا harta tersebut Allah jadikan
untukmu sebagai penegak, pemegang amanah. Artinya, kamu diberi hak atau tugas
untuk mengelola, menjaganya dengan baik agar tidak tersia-sia. Hal ini
meninjukkan kepada kita,
bahwa untuk menyerahkan harta itu harus kepada orang yang
benar-benar bisa amanah
dan mengelola terhadap harta tersebut dengan
baik. Kalau mau investasi, harus tahu bahwa orang tsb bisa mengelola harta
dengan baik, sehingga harta kita akan terus berkembang. Artinya orang
yang mendaptkan amanah untuk menjaga harta anak yatim itu dianggap mampu mengelola dan mengembangkan harta
tersebut, supaya bisa memberi rizki kepada mereka.
4. Penggunaan kata فِيهَا
“fiha”, bukan “minha”, padahal secara maksud pengertian
adalah penuhilah kebutuhan anak-anak yatim tadi dari harta yang
dititipkan kepadamu. Menurut Imam Zamakhsyari,
lafal ini (فِيهَا) menunjukkan bahwa wali anak yatim
diharapkan tidak memberi nafkah kepada mereka dari pokok harta mereka, tetapi
dari hasil pengembangan harta anak yatim.
Karena kalau diambil dari pokok
harta, lama kelamaan harta mereka akan habis sebelum mereka dewasa. Beginilah Islam itu mengajrkan
tentang masa depan. Pemikiran ini juga yang dilakuakn
Nabi Yusuf. Dia menyuruh untuk menanan dan disimpan untuk periode 7 th.
5. Ayat ini tidak hanya
ditujukan kepada wali tetapi juga kepada siapapun yang mengasuh anak yatim,
seperti yayasan panti asuhan anak yatim. Juga tidak hanya berlaku
untuk anak yatim, tapi untuk anak sendiri juga begitu. Misalnya anak mempunyai
penghasilan, maka orang tua tidak boleh mengambil hartanya karena itu adalah
hak anak, walaupun ada sedikit perbedaan hukum, karena pada hakikatnya “anta
wa maluka li abika” kamu dan hartamu adalah milik ayahmu (HR. Ibnu Majah). Walaupun begitu tetap kita diperintahkan untuk tidak
semena-mena
terhadap harta anak sendiri.
6. Biasanya, wali atau pengurus anak yatim sering diuji kesabaran dan
keikhlasannya oleh Allah. Bisa saja melalui kenakalan mereka –mungkin karena
kejiwaan mereka yang tidak seimbang karena ditinggal ayahnya- atau melalui
perasaan capek mengurus harta mereka. Di ayat ini Allah memerintahkan kepada
wali untuk menahan diri dan bersabar dalam menghadapi mereka dengan menjaga
perkataan, tidak menyakiti atau menzhalimi mereka dalam bentuk apapun. bahkan
kita sangat dianjurkan untuk mendoakan mereka. Anak yatim sangat dihargai dan
dijaga haknya oleh Allah. maka kita sebagai hambaNya yang taat kepadaNya,
hendaknya kita jaga hak anak yatim pula.
7. Pernyataan “ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا” (dan berkatalah kepada
mereka dengan perkataan yang baik), karena terkadang terjadi dari segi materi
sudah dicukupi, tapi omongannya menyakitkan. Disamping itu, hal ini karena umumnya
reaksi yang mudah diumbar dan sulit dikendalikan ketika orang yang marah adalah
ucapan yang keluar dari mulut. Karena itu, penyebutan perkataan dalam ayat
ini lebih dipertegas. Namun yang jelas, perintah berbuat baik tidak hanya
terbatas pada ucapan, tetapi segala bentuk ucapan dan tindakan harus membuat
nyaman bagi anak yatim.
8. Ayat ini merupakan
pengajaran bagi kita untuk menjaga harta. Kalau punya rizki banyak, dapat investasikan. Jangan hanya
dibiarkan menumpuk.
Karena kalau hanya disimpan saja tidak akan membawa manfaat pada orang lain.
Makanya kalau menyimpan harta, harus dizakati agar membawa manfaat kepada orang
lain. Dengan
demikian Islam tidak hanya mengurusi masalah ibadah ritual seperti shalat saja –sebagaimana
disalah pahami oleh musuh Islam dan sebagian umat Islam-, melaikan juga masalah investasi harta dan
lainnya. Wallahu `alam bish shawab.
MENJAGA KELUARGA
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
وَلاَنِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ
الْفُسُوْقُ بَعْدَاْلإِيْمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ () يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ
الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَتَجَسَّسُوْاوَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ
مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ()
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ()
(11).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum
yang lain (karena) boleh jadi mereka yang yang diolok-olok lebih baik dari
mereka yang mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita
lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih baik dari wanita
yang mengolok-olok dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan yang
buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim. (12). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya,
dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (13) Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seseorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan adab-adab (pekerti) yang
harus berlaku diantara sesama mukmin, dan juga menjelaskan beberapa fakta yang
menambah kukuhnya persatuan umat Islam, yaitu:
a.
Menjauhkan
diri dari berburuk sangka kepada yang lain.
b.
Menahan
diri dari memata-matai keaiban orang lain.
c.
Menahan
diri dari mencela dan menggunjing orang lain.
Dan
dalam ayat ini juga, Allah menerangkan bahwa semua manusia dari satu keturunan,
maka kita tidak selayaknya menghina saudaranya sendiri. Dan Allah juga
menjelaskan bahwa dengan Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku
dan bergolong-golong tidak lain adalah agar kita saling kenal dan saling
menolong sesamanya. Karena ketaqwaan, kesalehan dan kesempurnaan jiwa itulah
bahan-bahan kelebihan seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Kita
tidak boleh saling menghina diantara sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh
Allah sebagai peringatan dan nasehat agar kita bersopan santun dalam pergaulan
hidup kaum yang beriman. Dengan hal ini berarti Allah melarang kita untuk
mengolok-olok dan menghina orang lain, baik dengan cara membeberkan keaiban,
dengan mengejek ataupun menghina dengan ucapan / isyarat, karena hal ini dapat
menimbulkan kesalah-pahaman diantara kita.
عَسَى اَنْ
يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
Allah
melarang kita menghina sesamanya karena boleh jadi orang yang dihina itu lebih
baik dan lebih mulia disisi Allah kedudukannya dari pada yang menghina.
وَلاَنِسَاءُ
مِنْ نِسَاءِ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Orang
yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa
akan kesalahan dan kekhilafan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam
sabda Nabi:
الكِبْرُ
بَطْرُالْحَقِّ وَغَمْصُ النَاسِ
“Kesombongan
itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
Dalam
penggalan ayat ini Allah melarang kita mencela orang lain karena mencela orang
lain sama saja mencela diri sendiri, karena orang-orang mukmin itu bagaikan
satu badan. firman Allah SWT yang menerangkan tentang balasan bagi orang yang
suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ
لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Neraka
wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan mencela orang”. (al-Humazah:
1)
Adapun dari arti هُمَزَةٍ yaitu mencedera,
yakni memukul dengan tangan, sedangkan لُمَزَةٍ yaitu mencela
dengan mulut.[5]
وَلاَتَنَابَزُوْا
بِاْلاَلْقَابِ
Allah
melarang kita memanggil orang lain dengan gelaran-gelaran yang mengandung
ejekan-ejekan, karena hal ini termasuk menjelekkan seseorang dengan sesuatu
yang telah diperbuatnya. Sedangkan orang yang dihina itu telah bertaubat, tapi
jika gelaran (panggilan) itu mengandung pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu
tidak di benci sebagaimana gelar yang diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ
الإِسْمُ الْفُسُوْقَ بَعْدَاْلإِيْمَانِ
Allah
melarang kita memanggil orang dengan kata “fasik” setelah ia sebulan masuk
Islam atau beriman.
Para
ulama’ mengharamkan kita memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak di
sukai.
وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Ayat
ini di turunkan mengenai “Shafiyah binti Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang
mengadu kepada Rasul bahwa isteri Rasul yang lain mengatakan kepadanya. Hai
orang Yahudi, hai anak dari orang Yahudi, mendengar itu, Rasul berkata: mengapa
kamu tidak menjawab: ayahku Harun, pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina
orang lain tapi tidak bertaubat, maka mereka termasuk orang dholim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ
Dalam
ayat ini Allah melarang bahkan mengharamkan kita berprasangka buruk atau
berfikiran negatif terhadap orang yang secara lahiriyah tampak baik dan
memegang amanat, atau kita tidak boleh menfitnah seseorang, karena menfitnah
itu bukan saja menyakiti seseorang dari lahirnya saja tapi juga menyakiti
bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ اِثْمُ
Allah
melarang kita berburuk sangka terhadap orang lain karena sebagian dari buruk
sangka itu dosa.
Prasangka
adalah dosa, karena prasangka adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa
memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang baik.
Dalam
hal ini prasangka yang di larang adalah prasangka buruk yang dapat menimbulkan
tuduhan kepada orang lain, sedangkan prasangka tentang perkiraan itu tidak di
larang.
Sebagaimana
terdapat dalam suatu hadits :
ثَلاَثٌ
لَأَزِمَّاتٌ ِلأُمَتِّى : الطِبْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُالظَّنِّ
“Tiga
macam membawa krisis bagi umatku, yaitu memandang kesialan, dengki, dan buruk
sangka”.[6]
وَلاَتَجَسَّسُوْ
Allah
melarang kita mencari-cari keaiban dan menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika
kita memata-matai seseorang atau musuh agar tidak terjadi kejahatan, maka itu
di perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Allah
melarang mencela orang di belakangnya atau menggunjing tentang sesuatu yang
tidak di sukainya.
Menurut
para ulama’, mencela yang dibenarkan adalah jika bertujuan untuk :
a.
Untuk
mencari keadilan,
b.
Untuk
menghilangkan kemungkaran,
c.
Untuk
meminta fatwa atau mencari kebenaran,
d.
Untuk
mencegah manusia berbuat salah,
e.
Untuk
membeberkan orang yang tidak malu-malu melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ
اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
Allah
melarang kita membicarakan keburukan seseorang, karena hal itu sama halnya
dengan makan bangkai saudaranya yang busuk. Allah melarang hal ini karena
perbuatan ini merupakan penghancuran pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ
اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Dalam
ayat ini Allah menyuruh kita bertaubat dari kesalahan yang telah kita perbuat
dengan di sertai penyesalan dan bertaubat (taubat an-nasukha). Dalam
ayat ini Allah juga memberitahukan bahwasanya Allah senantiasa membuka pintu
kasih sayangnya, membuka pintu selebar-lebarnya dan menerima kedatangan para
hambanya yang ingin bertaubat supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
يَاَيُّهَاالنَّاسُ
اِنَّا خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى
Dalam
ayat ini mengandung dua penafsiran, yaitu :
a.
Seluruh
manusia diciptakan pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Adam dan dari
seorang perempuan, yaitu Hawa.
b.
Segala
manusia sejak dulu sampai sekarang terjadi dari seorang laki-laki dan
perempuan.
وَجَعَلْنَكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
Allah
menjadikan manusia dari berbagai macam suku dan bangsa agar kita saling
mengenal. Ayat ini merupakan dasar demokrasi yang benar di dalam Islam, dengan
menghilangkan kasta dan perbedaan.
اِنْ
اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
Semua
manusia di sisi Allah SWT itu sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Taqwa
adalah suatu prinsip umum yang mencakup takut kepada Allah dan mengerjakan apa
yang diridhoinya yang melengkapi kebaikan dunia dan akhirat. Kemuliaan hati
yang di anggap bernilai adalah kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan
pada Allah.
اِنَّ اللهَ
عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu baik yang tampak ataupun tersembunyi. Dan
bahwa Allah adalah sebaik-baiknya Sang Pencipta.
Subscribe to:
Posts (Atom)