Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu,
ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
“Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya
(mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka
dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan
hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) , dan demikian itu adalah
selemah-lemah iman”. [Muslim no. 49]
Muslim meriwayatkan Hadits ini dari jalan
Thariq bin Syihab, ia berkata : Orang yang pertama kali mendahulukan khutbah
pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan. Lalu seorang laki-laki datang
kepadanya, kemudian berkata : “Shalat sebelum khutbah?”. Lalu (laki-laki
tersebut) berkata : “Orang itu (Marwan) telah meninggalkan yang ada di sana
(Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam)”. Abu Sa’id berkata : “Adapun dalam
hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran
hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia
tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika tak sanggup juga,
maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu
adalah selemah-lemah iman’ “. Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan semacam
itu belum pernah dilakukan oleh siapa pun sebelum Marwan.
Jika ada yang bertanya : “Mengapa Abu Sa’id
terlambat mencegah kemungkaran ini, sampai laki-laki tersebut mencegahnya?” Ada
yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id belum hadir ketika Marwan berkhutbah sebelum
shalat. Lelaki itu tidak menyetujui perbuatan tersebut, lalu Abu Sa’id datang
ketika kedua orang tersebut sedang berdebat. Atau mungkin Abu Sa’id sudah hadir
tetapi ia merasa takut untuk mencegahnya, karena khawatir timbul fitnah akibat
pencegahannya itu, sehingga tidak dilakukan. Atau mungkin Abu Sa’id sudah
berniat mencegah, tetapi lelaki itu mendahuluinya, kemudian Abu Sa’id
mendukungnya”.
Wallaahu a’lam.
Pada Hadits lain yang disepakati oleh
Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya, disebutkan bahwa Abu Sa’id
menarik tangan Marwan ketika ia hendak naik ke atas mimbar. Ketika keduanya
berhadapan, Marwan menolak peringatan Abu Sa’id sebagaimana penolakannya
terhadap seorang laki-laki seperti yang dikisahkan pada Hadits di atas, atau
mungkin kasus ini terjadinya berlainan waktu.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya
(mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib oleh segenap kaum muslim. Dalam
Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Ini termasuk nasihat dan merupakan urusan agama. Adapun firman Allah :
“Jagalah diri kamu sekalian, tidaklah
merugikan kamu orang yang sesat, jika kamu telah mendapat petunjuk”. (QS. Al
Maidah : 105)
tidaklah bertentangan dengan apa yang telah
kami jelaskan, karena paham yang benar menurut para ulama ahli tahqiq adalah
bahwa makna ayat tersebut ialah jika kamu sekalian melaksanakan apa yang
dibebankan kepadamu, maka kamu tidak akan menjadi rugi bila orang lain
menyalahi kamu.
Hal ini semakna dengan firman Allah :
قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ
رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلا عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Katakanlah:
"Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi
segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya
kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan".{Q.S. Al –‘an’am:
164}
Dengan demikian, amar ma’ruf dan nahi
mungkar yang dibebankan kepada setiap muslim, jika ia telah menjalankannya, sedangkan
orang yang diperingatkan tidak melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah
terlepas dari celaan, sebab ia hanya diperintah menjalankan amar ma’ruf dan
nahi mungkar, tidak harus sampai bisa diterima oleh yang diberi peringatan.
Wallaahu a’lam.
Kemudian, amar ma’ruf dan nahi mungkar
merupakan perbuatan wajib kifayah, sehingga jika telah ada yang menjalankannya,
maka yang lain terbebas. Jika semua orang meninggalkannya, maka berdosalah
semua orang yang mampu melaksanakannya, terkecuali yang ada udzur. Kemudian ada
kalanya menjadi wajib ‘ain bagi seseorang. Misalnya, jika di suatu tempat yang
tidak ada orang lain yang mengetahui kemungkaran itu selain dia, atau
kemungkaran itu hanya bisa dicegah oleh dia sendiri, misalnya seseorang yang
melihat istri, anak, atau pembantunya melakukan kemungkaran atau kurang dalam
melaksanakan kewajibannya.
Para ulama berkata : “Tanggung jawab amar
ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah terlepas dari diri seseorang hanya Karena
ia beranggapan bahwa peringatannya tidak akan diterima. Dalam keadaan demikian
ia tetap saja wajib menjalankannya. Allah berfirman :
“Berilah peringatan, karena peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. 51 : 55)
Telah disebutkan di atas bahwa setiap orang
berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tidak diwajibkan sampai
peringatannya itu diterima.
Allah berfirman :
مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ
“Kewajiban Rasul
tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan.”. (QS. Al – Ma’idah : 99)
Para ulama berkata : “Orang yang
menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah diharuskan dirinya telah
sempurna melaksanakan semua yang menjadi perintah agama dan meninggalkan semua
yang menjadi larangannya. Ia tetap wajib menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar
sekalipun perbuatannya sendiri menyalahi hal itu. Hal ini Karena seseorang
wajib melakukan dua perkara, yaitu menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar kepada
diri sendiri dan kepada orang lain. Jika yang satu (amar ma’ruf nahi mungkar
kepada diri sendiri) dikerjakan, tidak berarti yang satunya (amar ma’ruf nahi
mungkar kepada orang lain) gugur”.
Para ulama berkata : “Tugas amar ma’ruf dan
nahi mungkar tidak hanya menjadi kewajiban para penguasa, tetapi tugas setiap
muslim”. Yang diperintahkan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang
mengetahui tentang apa yang dinilai sebagai hal yang ma’ruf atau mungkar. Bila
berkaitan dengan hal-hal yang jelas, seperti shalat, puasa, zina, minum khamr,
dan semacamnya, maka setiap muslim wajib mencegahnya karena ia sudah mengetahui
hal ini. Akan tetapi, dalam perbuatan atau perkataan yang rumit dan hal-hal
yang berkaitan dengan ijtihad yang golongan awam tidak banyak mengetahuinya,
maka mereka tidaklah punya wewenang untuk melakukan nahi mungkar. Hal ini
menjadi wewenang ulama. Dan para ulama hanya dapat mencegah kemungkaran yang
sudah jelas ijma’nya. Adapun dalam hal yang masih diperselisihkan, maka dalam
hal semacam ini tidak dapat dilakukan nahi mungkar, sebab setiap orang berhak
memilih salah satu dari dua macam paham hasil ijtihad. Sedang pendapat setiap
mujtahid itu dinilai benar sesuai keyakinannya masing-masing. Inilah pendapat
yang dipilih oleh sebagian besar ulama tahqiq. Pendapat lain mengatakan bahwa
yang benar itu hanya satu dan yang salah bisa banyak, tetapi mujtahid yang
salah itu tidak berdosa. Sekalipun demikian, dinasihatkan supaya kita menjauhi
persoalan yang diperselisihkan. Hal ini adalah satu sikap yang baik. Kita
dianjurkan untuk melaksanakan nahi mungkar ini dengan santun.
Syaikh Muhyidin berkata : “Ketahuilah bahwa
sejak lama amar ma’ruf nahi mungkar ini oleh sebagian besar orang telah
diabaikan. Pada masa-masa ini hanyalah tinggal dalam tulisan yang amat sedikit,
padahal ini merupakan hal yang amat besar peranannya bagi tegaknya urusan umat
dan kekuasaan. Apabila perbuatan-perbuatan buruk merajalela, maka orang-orang
shalih maupun orang-orang jahat semuanya akan tertimpa adzab. Jika orang yang
shalih tidak mau menahan tangan orang yang zhalim, maka nyaris adzab Allah akan
menimpa mereka semua. Allah berfirman :
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah rasul-Nya khawatir tertimpa fitnah atau adzab yang pedih”. (QS. 24 :
63)
Oleh karena itu, sepatutnya para pencari
akhirat dan orang yang berusaha mendapatkan keridhaan Allah memperhatikan
masalah ini. Hal ini karena kemanfaatannya amat besar, apalagi sebagian besar
orang sudah tidak peduli, dan orang yanng melakukan pencegahan kemungkaran
tidak lagi ditakuti, karena martabatnya yang rendah. Allah berfirman :
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ
بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ
النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ
وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ
يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“(yaitu) orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya
Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”{Q.S.
Al – Hajj : 40}
Oleh karena itu, ketahuilah bahwa pahala
itu diberikan sesuai dengan usahanya dan tidak boleh meninggalkan nahi mungkar
ini hanya karena ikatan persahabatan atau kecintaan, sebab sahabat yang jujur
ialah orang yang membantu saudaranya untuk memajukan kepentingan akhiratnya,
sekalipun hal itu dapat menimbulkan kerugian dalam urusan dunianya. Adapun
orang yang menjadi musuh ialah orang yang berusaha merugikan usaha untuk
kepentingan akhiratnya atau menguranginya sekalipun sikapnya seperti dapat
membawa keuntungan duniawinya.
Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar seyogyanya dilakukan dengan sikap santun agar dapat lebih mendekatkan
kepada tujuan. Imam Syafi’i berkata : “Orang yang menasihati saudaranya dengan
cara tertutup, maka orang itu telah benar-benar menasihatinya dan berbuat baik
kepadanya. Akan tetapi orang yang menasihatinya secara terbuka, maka
sesungguhnya ia telah menistakannya dan merendahkannya”.
Hal yang sering diabaikan orang dalam hal
ini, yaitu ketika mereka melihat seseorang menjual barang atau hewan yang
mengandung cacat tetapi ia tidak mau menjelaskannya, ternyata mereka tidak mau
menegur dan memberitahukan kepada pembeli atas cacat yang ada pada barang itu.
Orang-orang semacam itu bertanggung jawab terhadap kemungkaran tersebut, karena
agama itu adalah nasihat (kejujuran), maka barang siapa tidak mau berlaku jujur
atau memberi nasihat, berarti ia telah berlaku curang.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya
(mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka
dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan
hatinya” , maksudnya hendaklah ia mengingkari perbuatan itu dalam hatinya. Hal
semacam itu tidaklah dikatakan telah merubah atau melenyapkan, tetapi itulah
yang sanggup ia kerjakan. Dan kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman”
maksudnya ialah – Wallaahu a’lam – paling sedikit hasilnya (pengaruhnya).
Orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi
mungkar tidaklah punya hak untuk mencari-cari, mengontrol, memata-matai, dan
menyebarkan prasangka, tetapi jika ia menyaksikan orang lain berbuat mungkar,
hendaklah ia mencegahnya. Al Mawardi berkata : “Orang yang melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar tidaklah punya hak untuk menyebarkan praduga atau
memata-matai, kecuali memberitahukan kepada orang yang bisa dipercaya”. Bila
ada seseorang yang membawa orang lain ke tempat sunyi untuk dibunuh, atau membawa
seorang perempuan ke tempat sunyi untuk dizinai, maka dalam keadaan semacam
ini, bolehlah ia memata-matai, mengawasi dan mengintai karena khawatir
terdahului oleh kejadiannya.
Disebutkan bahwa kalimat “demikian itu
adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah hasilnya (pengaruhnya) sangat
sedikit. Tersebut dalam riwayat lain :
“Selain dari itu tidak lagi ada iman
sekalipun sebesar biji sawi”.
Artinya selain dari tiga macam sikap
tersebut tidak lagi ada sikap lain yang ada nilainya dari segi keimanan. Iman
yang dimaksud dalam Hadits ini adalah dengan makna islam.
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang
takut pembunuhan atau pemukulan, ia terbebas dari melakukan pencegahan
kemungkaran. Inilah pendapat para ulama ahli tahqiq zaman salaf maupun khalaf.
Sebagian dari golongan yang ekstrim berpendapat bahwa sekalipun seseorang
takut, tidaklah ia terbebas dari kewajiban mencegah kemungkaran.
Wallahu ta'ala a'lam
No comments:
Post a Comment