2/14/13

Merokok Hukumnya Mubah



Yang berwenang menetapkan halal atau haramnya segala sesuatu adalah Allah SWT dan Rasul-Nya, padahal tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara jelas menerangkan hukum merokok. Rasulullah saw.,bersabda : Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan yang haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya, sedang yang tidak disebut di (keduanya) maka dimaafkan bagimu. (HR.Tirmidzi).
Maka, hukum merokok dikembalikan kepada hukum asal. Rokok tidak memabukkan dan tidak melemaskan (tidak muskir dan tidak muftir), bahkan sebagian orang ada yang menjadi lebih bersemangat setelah merokok.
Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sesuatu maka janganlah kamu menyia-nyiakannya dan Allah membatasi sesuatu dengan batasan maka janganlah kamu melanggarnya. Dan ia diamkan sesuatu sebagai rahmat untukmu bukan karena lupa, maka janganlah kamu bertanya tentangnya. (HR.Ahmad)
Bahaya merokok bersifat nisbi, yakni jika ada orang yang menerima bahaya yang dipastikan karena merokok, maka haram baginya merokok, akan tetapi hukum haram itu tidak berlaku bagi semua orang, sebab ternyata tidak semua orang yang merokok mendapat bahaya, bahkan ada orang yang mendapat manfaat dari rokok.
Sebagaimana halnya madu yang menurut Alquran dan hadis merupakan obat (syifa), namun bagi orang yang berpenyakit diabet parah madu itu berbahaya, maka bagi dia madu itu haram. Akan tetapi hukum haram tersebut tidak berlaku bagi semua orang.


Hukum Asal Benda

Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status hukum saja, yakni halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan manusia ada lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
”Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam (6): 145)

Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan oleh Allah swt, kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini. Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan hanya sebatas pada bangkai, darah yang mengalir, babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang disebutkan di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang bertaring dan berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Di ayat lain, Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil yang memalingkan hukum asalnya (mubah)…” [Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 64]

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada.

Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami dua hal penting. <b.Pertama, sesungguhnya urusan menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah hak prerogatif dari Allah SWT. Manusia tidak boleh menyematkan predikat halal dan haram atas suatu benda, tanpa keterangan dari Allah swt dan RasulNya. Manusia dilarang mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Imam Baidlawiy dalam Tafsir al-Baidlawiy¸ketika menafsirkan surat Al-An’aam:145, beliau menyatakan, ”Di dalam ayat ini ada peringatan (tanbih) bahwa pengharaman sesuatu hanya diketahui dengan wahyu, bukan dengan hawa nafsu”. [Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy (Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil), juz 2, hal. 213]. Kedua, hukum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak dalil yang mengharamkan”

Walhasil, semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya oleh Allah SWT, kecuali benda-benda tertentu yang diharamkanNya.


Status Hukum Rokok


Hukum Asal Rokok
Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok adalah benda-benda yang berhukum mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih yang mengharamkan keduanya, baik dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam keadaan seperti ini; status hukum tembakau dan cengkeh harus dikembalikan kepada konteks hukum asalnya, yakni mubah.

Jika benda-benda tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara bersama-sama atau terpisah, maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan demikian, produk yang menggunakan bahan baku tembakau, cengkeh, atau benda-benda mubah lainnya, mengikuti hukum bahan bakunya. Jika bahan bakunya berhukum mubah, maka produk olahannya juga berhukum mubah. Oleh karena itu, selama rokok dibuat dari bahan-bahan mubah, maka status hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh.

’Allamah ’Abd al-Ghaniy An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan bahwa tidak ada satu pun dalil syariat yang mengharamkan ataupun memakruhkan rokok; juga tidak terbukti bahwa rokok itu memabukkan, melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum pada orang yang menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh karena itu, rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’ Ibaahah”. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

Di dalam Kitab Fatawa al-Azhar, ”…Pendapat yang terpilih adalah yang pertama (hukum asal dari sesuatu adalah mubah). Pasalnya, seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Tahrir, menurut jumhur Hanafiyyah dan Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah hukum asal dari benda adalah mubah…” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]

Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus ada perincian lebih mendalam.

Pertama , jika seseorang merokok, dan menyebabkan bahaya secara pasti pada dirinya (muhaqqah), maka orang tersebut dilarang merokok, dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata bagi dirinya. Sebab, jika benda mubah mengandung atau menimbulkan dlarar (bahaya) bagi individu tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti) bagi individu tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu; sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram. Udang misalnya, hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu, udang bisa mendatangkan bahaya (dlarar) yang bersifat muhaqqah. Dalam kondisi semacam ini; orang tersebut dilarang (haram) mengkonsumsi udang, dikarenakan telah terbukti bahaya udang bagi dirinya. Hanya saja, hukum asal udang tetaplah mubah, bukan haram. Sebab, adanya dlarar (bahaya) pada benda-benda mubah, tidaklah mengubah status kemubahan dari benda tersebut. [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459] Oleh karena itu, individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi udang semampang tidak menyebabkan dlarar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya.

Ketentuan di atas didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Kitab Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di Hijr, beliau berhenti di sana. Pada saat itu, orang-orang meminum air dari sumur Hijr. Ketika, para shahabat sedang istirahat, beliau saw bersabda, ”Janganlah kalian minum dari air sumur Hijr, janganlah kalian berwudluk dengan airnya untuk sholat. Adonan roti apapun yang kalian buat dengan menggunakan airnya, berikanlah kepada onta, dan janganlah kalian memakannya sedikitpun. Dan janganlah seorang diantara kalian keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh temannya. Para shahabat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali dua orang laki-laki dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar untuk memenuhi urusannya, sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta miliknya. Adapun orang yang pergi untuk memenuhi urusannya, ia jatuh sakit. Sedangkan orang yang pergi untuk mencari ontanya, ia diterbangkan angin hingga terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’. Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ”Bukankah aku telah melarang kalian agar tak seorangpun diantara kalian pergi sendirian, kecuali disertai teman? Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh sakit ketika hendak bepergian, dan sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan laki-laki lain yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thai` menunjukkan kepada Rasulullah Saw ketika beliau Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam]

Berdasarkan riwayat ini dapat disimpulkan; perkara-perkara yang hukum asalnya mubah, jika di dalamnya mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah), maka perkara itu berhukum haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. Sebab, minum air dari sumur manapun, hukum asalnya adalah mubah, termasuk air sumur Hijr. Larangan nabi saw agar para shahabat tidak meminum airnya, tidak menggunakannya untuk berwudluk, dan untuk membuat adonan roti, dikarenakan air tersebut mengandung bahaya. Keluarnya seorang laki-laki di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara mubah. Adanya larangan dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada waktu malam di tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya (dlarar). Dengan demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan), jika perkara tersebut mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram (karena bahaya yang dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah.

Kedua , Bila dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya ada larangan dari Nabi Mohammad saw bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah masuk ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan dari keduanya. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami.” [HR. Imam Bukhari]

Imam Bukhari juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia memisahkan diri dari kami, atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia memisahkan diri dari masjid kami dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Sesungguhnya, Nabi saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya terdapat sayur-sayuran. Beliau mendapati bau dari sayuran itu. Lalu, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di sayuran itu. Lalu ia (perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk itu ke beberapa shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak suka memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Bukhari]

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian beliau saw mendapati bau. Lantas, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di dalam sayuran itu. Kemudian perawi berkata, ”Para mendekatkannya kepada sebagian shahabatnya. Tatkala beliau mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya, seraya berkata, ”Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Muslim]

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang memakan bawang putih atau bawang merah mendekati masjid disebabkan karena baunya yang mengganggu orang lain. Dengan demikian, larangan Nabi saw disebabkan karena aroma atau bau menyengatnya; yang ini hal ini tentunya menganggu orang lain yang hendak beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini. Dalam hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا فَقَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah saw melarang makan bawang mereka dan bawang bakung. Lalu, kebutuhan begitu mendesak kami, hingga akhirnya kami memakannya. Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa memakan tumbuhan ini, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu karenanya, begitu pula manusia.” [HR. Imam Muslim]

Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
”Barangsiapa memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat merasa terganggu, sebagaimana anak Adam merasa terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim]

Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ قَالَ ح و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang menurutku tidak baik, yakni bawang merah dan bawang puti. Sungguh, dahulu aku melihat Rasulullah saw jika mendapati bau keduanya dari seseorang, beliau menyuruh orang itu keluar dari masjid. Karenanya, jika kalian ingin memakannya, hendaklah kalian memasaknya terlebih dahulu.” [HR. Imam Muslim]

Berdasarkan hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa orang yang mengkonsumsi sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan berpotensi menganggu orang lain, semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas menyebarkan aroma atau bau menyengat yang sangat mengganggu orang lain. Atas dasar itu, seseorang makruh merokok di dalam masjid dikarenakan bisa mengganggu orang lain.

Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh, berdasarkan riwayat-riwayat di atas.

Ketiga, jika seseorang merokok, dan tidak menimbulkan dlarar yang bersifat muhaqqah pada dirinya, serta dilakukan di tempat atau komunitas yang tidak menganggu orang lain, maka status hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah kebolehan memanfaatkan benda-benda mubah. Selain itu, ’illat yang menyebabkan pengharaman rokok, yakni bahaya yang bersifat muhaqqah tidak terwujud pada orang tersebut; dan ia melakukan aktivitas di suatu tempat dan komunitas yang tidak terganggu oleh asap rokok.


Tentang surah al – baqarah ayat 195 itu bersangkutan pada orang yg meninggalkan jihad.
(Tafsir ibnu Katsir jilid 2 halaman 249 – 257 )



Wallahu A’lam bish Shawab.

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner