يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَايُؤْمَرُونَ . التحريم : 6
Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim 66:6)
Segala puji bagi Allah Ta’ala, sholawat dan salam kita tujukan kepada Nabi
Muhammad SAW, para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in serta kepada siapa saja
yang mengikuti jejak mereka sampai hari Qiyamat.
Marilah kita senantiasa berusaha meningkatkan amal harian kita, sebagai suatu
bukti ibadah kita kepada Allah SWT. Sehingga hidup kita mendapat ridha
dari-Nya. Yaitu dengan cara menjaga diri dan keluarga, istri, anak, orang tua,
dan sanak kerabat kita dari adzab api neraka. Berikut ini kami ambilkan
beberapa perkataan sahabat dan tabiin serta ahli fiqih dari berbagai macam
Tafsir.
قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka
Umar bin Khottob berkata : saat turun ayat ini, bertanya kepada Rasul. Kami
akan jaga diri kami, lalu bagaimana dengan keluarga kami ? Jawab Rasul : Kau
larang mereka apa yang Allah telah larang dari-Nya, kamu perintah mereka dengan
apa yang Allah telah perintah dari-Nya, jika itu kau lakukan, akan
menyelamatkan mereka dari neraka.
Al-Qurtubi berkata : Di dalamnya hanya ada satu masalah : yaitu penjagaan
seseorang terhadap diri dan keluarganya dari siksa neraka.
Ali bin Abi Tolhah berkata dari Ibnu Abbas : Jaga diri dan keluargamu, suruhlah
mereka dzikir dan doa kepada Allah, sehingga Allah menyelamatkan kamu dan
mereka dari neraka.
Sebagian Ulama berkata : kalau dikatakan Qu anfusakum : mencakup arti
anak-anak, karena anak adalah bagian dari mereka. Maka hendaklah orang tua
mengajarkan tentang halal dan haram dan menjauhkannya dari kemaksiatan dan
dosa, juga mengajarkan hukum-hukum lain selain hal tersebut.
على
بن أبى طالب : ادبوهم وعلموهم
Ali bin Abi Tholib berkata :
Didiklah dan ta’limlah ( ajarlah ) mereka ( dirimu & keluargamu.)
ابن
عباس : اعملوا بطاعة الله واتقوا معاصي الله وأمروا أهليكم بالذكر ينجيكم الله من
النار
Ibnu Abbas berkata : Ta’atlah kamu
kepada Allah. Janganlah bermaksiat kepada-Nya, Suruhlah keluargamu untuk dzikir
mengingat Allah, niscaya Allah akan selamatkannya dari neraka.
مجاهد
: اتقوا الله وأوصوا اهليـكم بتقوى الله.
Mujahid berkata : Takwalah kepada Allah dan suruhlah keluargamu untuk takwa
kepada-Nya.
قتادة
: تأمرهم بطاعة الله وتنها هم عن معصية الله فإذا رأيت لك معصية قذعتهم عنها
وزجرتهم عنها
Qotadah berkata : Kau suruh
keluargamu untuk taat kepada Allah, kau cegah mereka supaya tidak maksiat. Jika
kamu lihat maksiat di antara keluargamu, maka ingatkan mereka dan tinggalkan
kemaksiatannya.
الضحاك
: حق على المسلم ان يعلم اهله من قرابته وامائه وعبيده ما فرض الله عليهم وما
نهاهم الله عنه.
Adh-Dhohak berkata : Hak seorang
muslim adalah supaya mengajari keluarga dan sanak kerabatnya tentang kewajiban
mereka kepada Allah dan memberitahu larangan-larangan-Nya.
الفقهاء
: وهكذا فى الصوم, ليكون ذلك تمرينا له على العبادة لكى يبلغ وهو مستمر على
العبادة والطاعة ومجانبة المعصية وترك المنكر.
Ulama Fiqih berkata : Demikian juga seperti mengajarkan masalah-masalah shoum,
agar keluarga membiasakan ibadah, agar mereka terus-menerus dalam kondisi
selalu ibadah, taat kepada Allah, menjauhi larangan dan meninggalkan
kemungkaran.
Al-Maroghi berkata : Hai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya,
hendaklah di antara kamu memberitahukan satu dengan yang lain, yaitu apa-apa
yang menyelamatkan kamu dari neraka, selamatkanlah diri kalian darinya, yaitu
dengan taat kepada Allah melaksanakan perintah-Nya, beritahulah keluargamu,
tentang ketaatan kepada Allah, karena dengan itu akan menyelamatkan jiwa mereka
dari neraka, berilah mereka nasehat dan pendidikan. Hendaklah seorang lelaki
itu membenahi dirinya dengan ketaatan kepada Allah, juga membenahi keluarganya
sebagai rasa tanggungjawabnya sebagai pemimpin dan yang dipimpinnya.
Al Qurthubi mengingatkan lagi : Hak anak terhadap orang tua, hendaklah orang
tua memberikan nama yang baik, mengajarkannya tulis menulis dan menikahkan bila
telah baligh. Tidak ada pemberian orang tua terhadap anak yang lebih baik
daripada mendidiknya dengan didikan yang baik. Perintahlah anak-anakmu sholat
jika sudah berumur 7 tahun, dan pukullah jika umur 10 th, jika meninggalkan
sholatnya, pisahkan tempat tidur mereka.
MENJAGA HARTA
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا
وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
bodah, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
untukmu sebagai penegak. Berikanlah rizki dan sandangilah mereka dari harta-harta tersebut dan
berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik.
Makna umum ayat 5:
Kita dilarang menyerahkan harta, uang, atau barang yang berharga yang
diamanatkan kepada kita kepada orang yang tidak mampu mengelolanya (menunaikan
hak-hak harta tersebut), baik karena masih kecil seperti anak yatim atau orang
yang memang bodoh tentang pengelolaan harta secara benar seperti orang gila
atau sejenisnya. Dan menjadi kewajiban bagi kita untuk memberi nafkah kepada
mereka, memberi pakaian, dan mencukupi kebutuhan mereka dari hasil pengelolaan
harta tersebut, dan berbicara kepada mereka dengan perkataan yang bagus. Kita
tidak boleh menyakiti mereka baik dengan kata-kata atau lebih dari itu, dengan
perlakuan fisik.
Penjelasan dan hikmah:
1.
السُّفَهَاءَ bentuk jamak dari kata
safih. Artinya orang yang bodoh. Banyak penafsirannya, di antaranya anak kecil,
anak yang belum berakal, orang gila, dsb. Orang yang mubadzirkan hartanya juga bisa masuk dalam kategori safih.
2.
Disebutkan أَمْوَالَكُمُ, padahal sebenarnya itu harta yang dititipkan pada kita. Ini tujuannya
supaya yang mendapatkan amanah untuk mampu menjaga harta anak yatim itu seperti
serasa miliknya sendiri sehingga tidak menggunakannya semaunya atau melakukan
berbagai penyelewengan.
3.
الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا harta tersebut Allah jadikan
untukmu sebagai penegak, pemegang amanah. Artinya, kamu diberi hak atau tugas
untuk mengelola, menjaganya dengan baik agar tidak tersia-sia. Hal ini
meninjukkan kepada kita,
bahwa untuk menyerahkan harta itu harus kepada orang yang
benar-benar bisa amanah
dan mengelola terhadap harta tersebut dengan
baik. Kalau mau investasi, harus tahu bahwa orang tsb bisa mengelola harta
dengan baik, sehingga harta kita akan terus berkembang. Artinya orang
yang mendaptkan amanah untuk menjaga harta anak yatim itu dianggap mampu mengelola dan mengembangkan harta
tersebut, supaya bisa memberi rizki kepada mereka.
4. Penggunaan kata فِيهَا
“fiha”, bukan “minha”, padahal secara maksud pengertian
adalah penuhilah kebutuhan anak-anak yatim tadi dari harta yang
dititipkan kepadamu. Menurut Imam Zamakhsyari,
lafal ini (فِيهَا) menunjukkan bahwa wali anak yatim
diharapkan tidak memberi nafkah kepada mereka dari pokok harta mereka, tetapi
dari hasil pengembangan harta anak yatim.
Karena kalau diambil dari pokok
harta, lama kelamaan harta mereka akan habis sebelum mereka dewasa. Beginilah Islam itu mengajrkan
tentang masa depan. Pemikiran ini juga yang dilakuakn
Nabi Yusuf. Dia menyuruh untuk menanan dan disimpan untuk periode 7 th.
5. Ayat ini tidak hanya
ditujukan kepada wali tetapi juga kepada siapapun yang mengasuh anak yatim,
seperti yayasan panti asuhan anak yatim. Juga tidak hanya berlaku
untuk anak yatim, tapi untuk anak sendiri juga begitu. Misalnya anak mempunyai
penghasilan, maka orang tua tidak boleh mengambil hartanya karena itu adalah
hak anak, walaupun ada sedikit perbedaan hukum, karena pada hakikatnya “anta
wa maluka li abika” kamu dan hartamu adalah milik ayahmu (HR. Ibnu Majah). Walaupun begitu tetap kita diperintahkan untuk tidak
semena-mena
terhadap harta anak sendiri.
6. Biasanya, wali atau pengurus anak yatim sering diuji kesabaran dan
keikhlasannya oleh Allah. Bisa saja melalui kenakalan mereka –mungkin karena
kejiwaan mereka yang tidak seimbang karena ditinggal ayahnya- atau melalui
perasaan capek mengurus harta mereka. Di ayat ini Allah memerintahkan kepada
wali untuk menahan diri dan bersabar dalam menghadapi mereka dengan menjaga
perkataan, tidak menyakiti atau menzhalimi mereka dalam bentuk apapun. bahkan
kita sangat dianjurkan untuk mendoakan mereka. Anak yatim sangat dihargai dan
dijaga haknya oleh Allah. maka kita sebagai hambaNya yang taat kepadaNya,
hendaknya kita jaga hak anak yatim pula.
7. Pernyataan “ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا” (dan berkatalah kepada
mereka dengan perkataan yang baik), karena terkadang terjadi dari segi materi
sudah dicukupi, tapi omongannya menyakitkan. Disamping itu, hal ini karena umumnya
reaksi yang mudah diumbar dan sulit dikendalikan ketika orang yang marah adalah
ucapan yang keluar dari mulut. Karena itu, penyebutan perkataan dalam ayat
ini lebih dipertegas. Namun yang jelas, perintah berbuat baik tidak hanya
terbatas pada ucapan, tetapi segala bentuk ucapan dan tindakan harus membuat
nyaman bagi anak yatim.
8. Ayat ini merupakan
pengajaran bagi kita untuk menjaga harta. Kalau punya rizki banyak, dapat investasikan. Jangan hanya
dibiarkan menumpuk.
Karena kalau hanya disimpan saja tidak akan membawa manfaat pada orang lain.
Makanya kalau menyimpan harta, harus dizakati agar membawa manfaat kepada orang
lain. Dengan
demikian Islam tidak hanya mengurusi masalah ibadah ritual seperti shalat saja –sebagaimana
disalah pahami oleh musuh Islam dan sebagian umat Islam-, melaikan juga masalah investasi harta dan
lainnya. Wallahu `alam bish shawab.
MENJAGA KELUARGA
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
وَلاَنِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ
الْفُسُوْقُ بَعْدَاْلإِيْمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ () يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ
الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَتَجَسَّسُوْاوَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ
مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ()
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ()
(11).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum
yang lain (karena) boleh jadi mereka yang yang diolok-olok lebih baik dari
mereka yang mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita
lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih baik dari wanita
yang mengolok-olok dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan yang
buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim. (12). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya,
dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (13) Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seseorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan adab-adab (pekerti) yang
harus berlaku diantara sesama mukmin, dan juga menjelaskan beberapa fakta yang
menambah kukuhnya persatuan umat Islam, yaitu:
a.
Menjauhkan
diri dari berburuk sangka kepada yang lain.
b.
Menahan
diri dari memata-matai keaiban orang lain.
c.
Menahan
diri dari mencela dan menggunjing orang lain.
Dan
dalam ayat ini juga, Allah menerangkan bahwa semua manusia dari satu keturunan,
maka kita tidak selayaknya menghina saudaranya sendiri. Dan Allah juga
menjelaskan bahwa dengan Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku
dan bergolong-golong tidak lain adalah agar kita saling kenal dan saling
menolong sesamanya. Karena ketaqwaan, kesalehan dan kesempurnaan jiwa itulah
bahan-bahan kelebihan seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Kita
tidak boleh saling menghina diantara sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh
Allah sebagai peringatan dan nasehat agar kita bersopan santun dalam pergaulan
hidup kaum yang beriman. Dengan hal ini berarti Allah melarang kita untuk
mengolok-olok dan menghina orang lain, baik dengan cara membeberkan keaiban,
dengan mengejek ataupun menghina dengan ucapan / isyarat, karena hal ini dapat
menimbulkan kesalah-pahaman diantara kita.
عَسَى اَنْ
يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
Allah
melarang kita menghina sesamanya karena boleh jadi orang yang dihina itu lebih
baik dan lebih mulia disisi Allah kedudukannya dari pada yang menghina.
وَلاَنِسَاءُ
مِنْ نِسَاءِ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Orang
yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa
akan kesalahan dan kekhilafan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam
sabda Nabi:
الكِبْرُ
بَطْرُالْحَقِّ وَغَمْصُ النَاسِ
“Kesombongan
itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
Dalam
penggalan ayat ini Allah melarang kita mencela orang lain karena mencela orang
lain sama saja mencela diri sendiri, karena orang-orang mukmin itu bagaikan
satu badan. firman Allah SWT yang menerangkan tentang balasan bagi orang yang
suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ
لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Neraka
wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan mencela orang”. (al-Humazah:
1)
Adapun dari arti هُمَزَةٍ yaitu mencedera,
yakni memukul dengan tangan, sedangkan لُمَزَةٍ yaitu mencela
dengan mulut.[5]
وَلاَتَنَابَزُوْا
بِاْلاَلْقَابِ
Allah
melarang kita memanggil orang lain dengan gelaran-gelaran yang mengandung
ejekan-ejekan, karena hal ini termasuk menjelekkan seseorang dengan sesuatu
yang telah diperbuatnya. Sedangkan orang yang dihina itu telah bertaubat, tapi
jika gelaran (panggilan) itu mengandung pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu
tidak di benci sebagaimana gelar yang diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ
الإِسْمُ الْفُسُوْقَ بَعْدَاْلإِيْمَانِ
Allah
melarang kita memanggil orang dengan kata “fasik” setelah ia sebulan masuk
Islam atau beriman.
Para
ulama’ mengharamkan kita memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak di
sukai.
وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Ayat
ini di turunkan mengenai “Shafiyah binti Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang
mengadu kepada Rasul bahwa isteri Rasul yang lain mengatakan kepadanya. Hai
orang Yahudi, hai anak dari orang Yahudi, mendengar itu, Rasul berkata: mengapa
kamu tidak menjawab: ayahku Harun, pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina
orang lain tapi tidak bertaubat, maka mereka termasuk orang dholim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ
Dalam
ayat ini Allah melarang bahkan mengharamkan kita berprasangka buruk atau
berfikiran negatif terhadap orang yang secara lahiriyah tampak baik dan
memegang amanat, atau kita tidak boleh menfitnah seseorang, karena menfitnah
itu bukan saja menyakiti seseorang dari lahirnya saja tapi juga menyakiti
bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ اِثْمُ
Allah
melarang kita berburuk sangka terhadap orang lain karena sebagian dari buruk
sangka itu dosa.
Prasangka
adalah dosa, karena prasangka adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa
memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang baik.
Dalam
hal ini prasangka yang di larang adalah prasangka buruk yang dapat menimbulkan
tuduhan kepada orang lain, sedangkan prasangka tentang perkiraan itu tidak di
larang.
Sebagaimana
terdapat dalam suatu hadits :
ثَلاَثٌ
لَأَزِمَّاتٌ ِلأُمَتِّى : الطِبْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُالظَّنِّ
“Tiga
macam membawa krisis bagi umatku, yaitu memandang kesialan, dengki, dan buruk
sangka”.[6]
وَلاَتَجَسَّسُوْ
Allah
melarang kita mencari-cari keaiban dan menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika
kita memata-matai seseorang atau musuh agar tidak terjadi kejahatan, maka itu
di perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Allah
melarang mencela orang di belakangnya atau menggunjing tentang sesuatu yang
tidak di sukainya.
Menurut
para ulama’, mencela yang dibenarkan adalah jika bertujuan untuk :
a.
Untuk
mencari keadilan,
b.
Untuk
menghilangkan kemungkaran,
c.
Untuk
meminta fatwa atau mencari kebenaran,
d.
Untuk
mencegah manusia berbuat salah,
e.
Untuk
membeberkan orang yang tidak malu-malu melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ
اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
Allah
melarang kita membicarakan keburukan seseorang, karena hal itu sama halnya
dengan makan bangkai saudaranya yang busuk. Allah melarang hal ini karena
perbuatan ini merupakan penghancuran pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ
اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Dalam
ayat ini Allah menyuruh kita bertaubat dari kesalahan yang telah kita perbuat
dengan di sertai penyesalan dan bertaubat (taubat an-nasukha). Dalam
ayat ini Allah juga memberitahukan bahwasanya Allah senantiasa membuka pintu
kasih sayangnya, membuka pintu selebar-lebarnya dan menerima kedatangan para
hambanya yang ingin bertaubat supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
يَاَيُّهَاالنَّاسُ
اِنَّا خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى
Dalam
ayat ini mengandung dua penafsiran, yaitu :
a.
Seluruh
manusia diciptakan pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Adam dan dari
seorang perempuan, yaitu Hawa.
b.
Segala
manusia sejak dulu sampai sekarang terjadi dari seorang laki-laki dan
perempuan.
وَجَعَلْنَكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
Allah
menjadikan manusia dari berbagai macam suku dan bangsa agar kita saling
mengenal. Ayat ini merupakan dasar demokrasi yang benar di dalam Islam, dengan
menghilangkan kasta dan perbedaan.
اِنْ
اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
Semua
manusia di sisi Allah SWT itu sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Taqwa
adalah suatu prinsip umum yang mencakup takut kepada Allah dan mengerjakan apa
yang diridhoinya yang melengkapi kebaikan dunia dan akhirat. Kemuliaan hati
yang di anggap bernilai adalah kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan
pada Allah.
اِنَّ اللهَ
عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu baik yang tampak ataupun tersembunyi. Dan
bahwa Allah adalah sebaik-baiknya Sang Pencipta.
No comments:
Post a Comment