1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Emosional dengan kata dasar emosi diambil dari bahasa latin emovere,
yang diterjemahkan sebagai bergerak, menyenangkan, mengendalikan, atau
mengagitasi. Sedangkan emosional sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan aspek apapun dari
emosi; mencirikan keadaan, proses, dan ekspresi yang mengandung kualitas emosi.[1]
Emosi didefinisikan sebagai berbagai perasaan yang kuat berupa
perasaan benci, takut, marah, cinta, senang, dan juga kesedihan.[2]
Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merujuk kepada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain. Kecerdasan
emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi
dengan kecerdasan akademik.[3]
Emosi dan akal adalah dua bagian dari satu keseluruhan. Emotional
Intelegence menggambarkan kecerdasan hati dan Intelectual Intelegence menggambarkan kecerdasan akal/otak.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional adalah sumber-sumber daya
sinergis tanpa yang satu yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif.
Cerdas intelektual tanpa cerdas emosional, kita dapat meraih nilai A dalam
ujian tetapi akan membuat tidak berhasil dalam kehidupan. Wilayah kecerdasan
emosional adalah hubungan pribadi dan antar pribadi, kecerdasan emosional
bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan
kemampuan adaptasi sosial pribadi.[4]
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan,
tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah
setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa
kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif,
namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual
maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor
keturunan.[5]
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari kecerdasan antar
pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan.
Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi
terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model
diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk
menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. [6]
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar
pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat
suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”. Kecerdasan
antarpribadi merupakan kunci menuju pengetahuan diri, dan akses menuju
perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan
tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku.[7]
Menurut Daniel Goleman, koordinasi suasana hati adalah inti dari
hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan
suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan
memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri
dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengemukakan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional
tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah
kepuasan dan mengatur suasana hati.[8]
Berdasarkan uraian diatas, kecerdasan emosional mengaju pada
kemampuan seseorang dalam mengkoordinasi suasana hatinya sehingga orang
tersebut dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat. Kemampuan tersebut
meliputi; kemampuan seseorang untuk mengenal emosi diri, mengelola emosi,
memotovasi diri sendiri, mengenal emosi orang lain (empati), dan kemampuan
untuk membina hubungan dengan orang lain (ketrampilan sosial). Hal ini
mengisyaratkan bahwa kemampuan dalam mengolah emosi inilah yang disebut
kecerdasan emosional.
2. Unsur-Unsur Kecerdasan Emosional
Adapun
menurut Goleman terdapat 5 unsur kecerdasan emosional, diantaranya :
a. Kemampuan Mengenali Emosi Diri
Kesadaran mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional. Orang-orang
yang memiliki keyakinan lebih tentang
perasaanya adalah pilot yang andal bagi
mereka, karena mereka memiliki kepekaan lebih terhadap perasaan yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah
pribadi.[9]
Ada tiga kemampuan yang merupakan ciri-ciri mengenali emosi diri sendiri (kesadaran diri), yaitu:
1)
Kesadaran
emosi, yaitu mengenali emosi diri dan
mengetahui pengaruh emosi itu terhadap kinerjanya.
2)
Penilaian
diri secara teliti, yaitu mengetahui kelebihan dan kekurangan diri dan mampu
belajar dari pengalaman.
3)
Percaya
diri, yaitu keberanian yang datang dari keyakinan diri terhadap harga diri dan
kemampuan sendiri.[10]
b.
Kemampuan
Mengelola Emosi Diri
Menangani perasaan agar dapat terungkap secara tepat. Kecakapan
ini tergantung pada kemampuan mengenali emosi
diri. Termasuk dalam kecakapan ini adalah bagaimana menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan dan akibat-akibat
yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar ini. Orang-orang yang
tidak cakap dalam keterampilan ini akan terus-menerus melawan perasaan murung,
sementara mereka yang pintar dalam keterampilan ini dapat bangkit kembali
dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan keruntuhan dalam kehidupan.[11]
Ada lima kemampuan utama yang merupakan ciri-ciri mengelola emosi
(pengendalian diri), yaitu:
1)
Kendali
diri, yaitu menjaga agar emosi dan impuls yang negatif tetap terkendali.
2)
Dapat
dipercaya, yaitu menunjukkan integritas dan kejujuran.
3)
Kewaspadaan,
yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
4)
Adaptasi,
yaitu keluwesan dalam menghadapi tantangan dan perubahan serta dapat
beradaptasi dengan mudah.
5)
Inovasi,
yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan, pendekatan-pendekatan dan
informasi baru.[12]
c.
Kemampuan
Memotivasi Diri Sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang
sangat penting kaitannya dengan perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai
diri sendiri dan untuk berkreasi. Mengendalikan emosi diri meliputi menahan
diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan
keberhasilan dalam berbagai bidang. Disamping itu mampu menyesuaikan diri dalam flow (hanyut dalam
pekerjaan) memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang
yang memiliki ketrampilan ini jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun
yang mereka kerjakan.[13]
Ada empat kecakapan utama dalam kemampuan memotivasi diri sendiri
dan orang lain, yaitu:
1)
Dorongan
berprestasi, yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar
keberhasilan.
2)
Komitmen,
yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran kelompok/ lembaga.
3)
Inisiatif,
yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
4)
Optimis,
yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran meskipun ada halangan dan
kegagalan.[14]
d.
Kemampuan
Mengenali Emosi Orang Lain (Empati)
Empati dapat dipahami sebagai kemampuan mengenali perasaan orang
lain dan memahami perspektif orang lain. Empati adalah kemampuan merespon
perasaan orang lain dengan respon emosi yang sesuai keinginan orang tersebut.
Berempati terhadap perasaan orang lain dijadikan dasar untuk membangun hubungan
interpersonal yang sehat.
Menurut Daniel Goleman ciri-ciri dari empati meliputi:
1)
Memahami
orang lain, yaitu memahami perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat
aktif terhadap kepentingan mereka.
2)
Orientasi
pelayanan, yaitu mengenali dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain.
3)
Mengembangkan
orang lain, yaitu merasakan kebutuhan orang lain untuk mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan mereka. Mengatasi
keragaman yaitu menumbuhkan keragaman melalui pergaulan dengan banyak orang.
4)
Kesadaran
politik, yaitu mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya
dengan kekuasaan.[15]
e.
Kemampuan
Membina Hubungan Dengan Orang Lain (Berinteraksi Sosial)
Sebagian besar seni membina hubungan merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Keterampilan sosial ini menunjang popularitas
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang hebat dalam
keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan
dengan orang lain. Mereka adalah bintang-bintang pergaulan.[16]
Adapun ciri-ciri dari ketrampilan sosial yaitu:
1)
Pengaruh,
yaitu ketrampilan menggunakan perangkat persuasi secara aktif untuk
mempengaruhi orang lain ke arah yang positif.
2)
Komunikasi,
yaitu mendengarkan secara terbuka dan mengirim pesan secara lugas, padat dan
meyakinkan.
3)
Manajemen
konflik, yaitu merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan.
4)
Kepemimpinan
yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok.
5)
Katalisator
perubahan yaitu mengelola dan mengawali perubahan.
6)
Kolaborasi
dan kooperasi, yaitu bekerja bersama orang lain menuju sasaran bersama.
Keterampilan ini meliputi kecakapan seseorang dalam menyeimbangkan pemusatan
perhatian, kolaborasi, mempromosikan kerjasama yang bersahabat, dan menumbuhkan
peluang-peluang untuk kolaborasi.
7)
Kemampuan
tim, yaitu menciptakan sinergi dalam upaya meraih sasaran kolektif. Orang dalam
kecakapan ini mampu menjadi teladan dalam tim, mendorong setiap anggota agar
berpartisipasi secara aktif, dan membangun identitas tim dengan semangat
kebersamaan dan komitmen.[17]
3. Usaha-Usaha Pengembangan Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional tidak berkembang secara alamiah, artinya
kematangan seseorang tidak didasarkan pada perkembangan usia biologisnya. Oleh karena
itu, EQ harus dipupuk dan diperkuat melalui proses pelatihan dan pendidikan yang berkesinambungan.[18]
John Gottman dan Joan De Claire menawarkan lima langkah penting
dalam mendidik emosi anak, yaitu:
a.
Menyadari
emosi anak.
Dalam hal ini terlebih dahulu orang tua harus sadar secara
emosional sehingga siap menjadi pelatih emosi. Kesadaran emosi berarti orang
tua mengenali kapan anak mereka merasakan emosi, mengidentifikasi perasaan dan
peka akan hadirnya emosi pada orang lain. Orang tua tidak mudah memahami emosi
anak karena mereka sering mengungkapkan emosi secara tidak langsung.
b.
Mengakui
emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar.
Orang tua harus mengenali emosi negatif anak mereka sebagai
peluang untuk menjalin ikatan dan mengajar. Ketika anak dalam masa krisis yang
menyulut emosi negatif mereka, orang tua harus memanfaatkannya sebagai peluang
untuk berempati, membangun kedekatan dengan mereka dan mengajarkan mereka
menangani perasaan mereka.
c.
Mendengarkan
dengan empati dan meneguhkan emosi anak.
Dalam hal ini orang tua dapat mengamati petunjuk fisik emosi anak
dan menggunakan imajinasi mereka untuk melihat situasi yang dihadapi dari sudut
pandang anak itu. Namun yang paling penting orang tua menggunakan hatinya untuk
merasakan apa yang dirasakan oleh anak mereka.
d.
Menolong
anak memberi nama emosi dengan kata-kata.
Membantu anak menemukan kata-kata untuk melukiskan apa yang sedang
dirasakan berarti membantu anak menyusun kata-kata untuk mengungkapkan emosi
mereka.
e.
Menentukan
batas-batas sambil membantu anak menyelesaikan masalah.
Ada lima tahap yang harus dilalui orang tua dalam membantu anak
memecahkan masalahnya meliputi: menentukan batas-batas, menentukan sasaran,
memikirkan solusi dari masalah, mengevaluasi solusi yang disarankan berdasarkan
nilai yang dijunjung keluarga, dan membantu anak memilih solusi yang tepat.[19]
Salah satu usaha dalam pengembangan kecerdasan emosional di
sekolah, guru senantiasa melakukan komunikasi dengan peserta didik. Menurut
Mansyur Isna, ada beberapa cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional peserta
didik, yaitu:
a.
Sekolah
harus menciptakan rasa nyaman bagi peserta didik, yaitu: atmosfer yang
demokratis dan guru yang memahami kondisi peserta didik.
b.
Sekolah
harus menciptakan self efficacy (rasa mampu melaksanakan tugas dari
guru) kepada peserta didik, langkah-langkahnya adalah:
1)
Guru
harus menjaga perasaan peserta didik.
2)
Guru
tidak boleh mengejek peserta didik.
3)
Guru
harus memberi kesempatan peserta didik menjawab pertanyaan.
4)
Guru
harus memberi kesempatan peserta didik mengungkapkan perasaan (emosi) yang
sedang dirasakan.
5)
Guru
harus bersedia dikritik peserta didik tanpa menunjukkan rasa marah atau
jengkel. Peserta didik akan memiliki kemampuan mengendalikan emosi apabila guru
terlebih dahulu memilikinya.
c.
Guru
harus dapat membantu peserta didik menyalurkan emosi mereka lewat kegiatan yang
positif dan membangun.[20]
Dalam mendidik anak agar memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat,
serta yang utama adalah kesadaran dalam diri.
Untuk melatih kesadaran dalam diri bisa melalui beberapa
ketrampilan-ketrampilan dan permainan yang menantang dan menyenangkan oleh
orang tua dan pendidik.
4. Manfaat Kecerdasan Emosional
Goleman menyatakan bahwa setinggi-tingginya kecerdasan intelektual
menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses individu
dalam hidup. Sedangkan 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk
diantaranya kecerdasan emosional.[21]
Utsman Najati dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an dan Ilmu
Jiwa, mengatakan bahwa emosi-emosi yang ada pada manusia sangat bermanfaat
apabila dalam pengekspresiannya dimunculkan dengan tepat. Misalnya emosi marah,
marah merupakan suatu emosi penting yang mempunyai fungsi esensial bagi
kehidupan manusia, yakni membantu dalam menjaga dirinya. Emosi marah yang
menguasai diri seseorang bisa membuat seseorang tersebut kehilangan kemampuan
berpikir sehatnya, karena ketika seseorang sedang marah, dia melakukan
tindakan-tindakan fisik untuk mempertahankan diri atau menaklukkan
hambatan-hambatan yang menghadang dalam upayamerealisasikan tujuannya.[22]
Emosi-emosi yang ada pada diri manusia sangat beragam, meliputi
emosi marah, takut, cinta, malu, kegembiraan, kebencian, cemburu, penyesalan,
sedih, dan emosi-emosi lainya. Semua emosi-emosi tersebut bisa menjadi sebuah
dorongan positif apabila dimunculkan dengan terkendali.[23]
Berkaitan dengan itu Coleman dan Hammen menyebutkan, setidaknya
ada 4 manfaat emosi. Pertama, emosi adalah pembangkit energi (energizer).
Tanpa emosi, kita tidak sadar atau mati. Hidup berarti merasai, mengalami,
bereaksi, dan bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisasi energy kita;
marah menggerakkan kita untuk menyerang; takut menggerakkan kita untuk lari;
dan cinta mendorong kita untuk mendekat dan bermesraan. Kedua, emosi
adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri kita dapat
diketahui dari emosi kita. Jika marah, kita menggetahui bahwa kita dihambat
atau diserang oleh orang lain; sedih berarti kita kehilangan sesuatu yang kita
sayangi; bahagia berarti kita memperoleh sesuatu yang kita senangi; atau
berhasil menghindari hal yang kita benci. Ketiga, emosi bukan saja
membawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga pembawa pesan
dalam komunikasi interpersonal. Beberapa penelitian membuktikan bahwa ungkapan
emosi dapat dipahami secara universal. Dalam retorika diketahui bahwa
pembicaraan yang menyertakan seluruh emosi dalam pidato dipandang lebih hidup,
lebih dinamis, dan lebih menyakinkan. Keempat, emosi juga merupakan sumber
informasi tentang keberhasilan kita. Kita mendambakan kesehatan dan
mengetahuinya ketika kita merasa sehat wal’afiat. Kita mencari keindahan dan
memperolehnya ketika kita merasakan kenikmatan estetis dalam diri kita.[24]
Apabila
manusia menjalani kehidupan tanpa adanya emosi merupakan kehidupan tanpa kesan,
karena suatu peristiwa tentu disertai emosi, maka peristiwa tersebut mempunyai
kesan yang kuat dalam diri seseorang. Akan tetapi apabila ledakan emosi
berlebihan, sehingga mengalahkan nalar yang rasional, maka kurang baik bagi
kehidupan dan itulah yang perlu dilatih, dicerdaskan sebagaimana teori
kecerdasan emosional.
[1] Arthor S. Reber dan Emily S. Reber, Kamus Psikologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 313
[2] Achmad Juntika Nurihsan &
Mubiar Agustin, Dinamika Perkembangan Anak & Remaja Tinjauan Psikologi,
Pendidikan, dan Bimbingan, (Bandung : Refika Aditama, 2013), Cet. 2, hlm 41
[3] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak
Prestasi, Terj. Alex Tri
Kentjono Widodo, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000), hlm. 513
[4] Jeane
Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung: Mizan Media Utama,
2000), hlm. 27
[5] Lawrence E. Shapiro,
Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 10
[6] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. T.
Hermaya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm. 52
[7] Ibid., hlm. 53
[8] Daniel Goleman,
Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ, terj.
T. Hermaya, (Jakarta:
Gramedia,1996), hlm. 36.
[9] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih
Penting daripada EQ, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 404
[10] Daniel
Goleman, Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi, hlm.42.
[11] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih
Penting daripada EQ, hlm. 404
[12] Harry Alder, Boost Your Intelligence: Pacu EQ dan
IQ Anda, terj. Christina
Prianingsih, (Jakarta: Erlangga, 2001),
hlm. 125
[13] Daniel
Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ,
hlm. 405
[14] Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, Hlm.
43.
[15] Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, Hlm.219.
[16] Daniel
Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ,
hlm. 405
[17] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional untuk Mencapai
Puncak Prestasi, hlm. 271
[18] Agus Nggermanto, Quantum Quotient, Kecerdasan Quantum,
Cara Cepat Melejitkan IQ,
EQ, dan SQ secara Harmoni, (Bandung: Nuansa
Cendekia, 2001), hlm. 100
[19] John Gottman dan Joan De Claire, Kiat-kiat Membesarkan
Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya,
(Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 73-104
[20] Mansyur Isna, Diskursus Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001),
hlm. 90-91
[21] Daniel
Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ,
hlm 44
[22] Usman Najati, Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad
Rofi Usmani, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), hlm.77.
[23] Usman Najati, Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad
Rofi Usmani, hlm. 66.
[24] Alex Sobur, Psikologi Umum
Dalam Lintas Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), Cet. 1., hlm. 400
No comments:
Post a Comment