6/13/16

Kecerdasan Emosional


1.      Pengertian Kecerdasan Emosional
Emosional dengan kata dasar emosi diambil dari bahasa latin emovere, yang diterjemahkan sebagai bergerak, menyenangkan, mengendalikan, atau mengagitasi. Sedangkan emosional sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan  dengan aspek apapun dari emosi; mencirikan keadaan, proses, dan ekspresi yang mengandung kualitas emosi.[1]
Emosi didefinisikan sebagai berbagai perasaan yang kuat berupa perasaan benci, takut, marah, cinta, senang, dan juga kesedihan.[2] Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik.[3]
Emosi dan akal adalah dua bagian dari satu keseluruhan. Emotional Intelegence menggambarkan kecerdasan hati dan Intelectual Intelegence  menggambarkan kecerdasan akal/otak. Kecerdasan intelektual dan   kecerdasan emosional adalah  sumber-sumber daya sinergis tanpa yang satu yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif. Cerdas intelektual tanpa cerdas emosional, kita dapat meraih nilai A dalam ujian tetapi akan membuat tidak berhasil dalam kehidupan. Wilayah kecerdasan emosional adalah hubungan pribadi dan antar pribadi, kecerdasan emosional bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial pribadi.[4]
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak  bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.[5]
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. [6]
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”. Kecerdasan antarpribadi merupakan kunci menuju pengetahuan diri, dan akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku.[7]
Menurut Daniel Goleman, koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.[8]
Berdasarkan uraian diatas, kecerdasan emosional mengaju pada kemampuan seseorang dalam mengkoordinasi suasana hatinya sehingga orang tersebut dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat. Kemampuan tersebut meliputi; kemampuan seseorang untuk mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotovasi diri sendiri, mengenal emosi orang lain (empati), dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain (ketrampilan sosial). Hal ini mengisyaratkan bahwa kemampuan dalam mengolah emosi inilah yang disebut kecerdasan emosional.
2.      Unsur-Unsur Kecerdasan Emosional
Adapun menurut Goleman terdapat 5 unsur kecerdasan emosional, diantaranya :
a.       Kemampuan Mengenali Emosi Diri
Kesadaran mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional. Orang-orang yang  memiliki keyakinan lebih tentang perasaanya adalah pilot  yang andal bagi mereka, karena mereka memiliki kepekaan lebih terhadap perasaan yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.[9]
Ada tiga kemampuan yang merupakan ciri-ciri mengenali emosi  diri sendiri (kesadaran diri), yaitu:
1)      Kesadaran emosi, yaitu  mengenali emosi diri dan mengetahui pengaruh emosi itu terhadap kinerjanya.
2)      Penilaian diri secara teliti, yaitu mengetahui kelebihan dan kekurangan diri dan mampu belajar dari pengalaman.
3)      Percaya diri, yaitu keberanian yang datang dari keyakinan diri terhadap harga diri dan kemampuan sendiri.[10]
b.      Kemampuan Mengelola Emosi Diri
Menangani perasaan agar dapat terungkap secara tepat. Kecakapan ini tergantung pada kemampuan mengenali emosi  diri. Termasuk dalam kecakapan ini adalah bagaimana menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar ini. Orang-orang yang tidak cakap dalam keterampilan ini akan terus-menerus melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dalam keterampilan ini dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan keruntuhan dalam kehidupan.[11]
Ada lima kemampuan utama yang merupakan ciri-ciri mengelola emosi (pengendalian diri), yaitu:
1)      Kendali diri, yaitu menjaga agar emosi dan impuls yang negatif tetap terkendali.
2)      Dapat dipercaya, yaitu menunjukkan integritas dan kejujuran.
3)      Kewaspadaan, yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
4)      Adaptasi, yaitu keluwesan dalam menghadapi tantangan dan perubahan serta dapat beradaptasi dengan mudah.
5)      Inovasi, yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan, pendekatan-pendekatan dan informasi baru.[12]
c.       Kemampuan Memotivasi Diri Sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting kaitannya dengan perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Mengendalikan emosi diri meliputi menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Disamping itu mampu menyesuaikan diri  dalam flow (hanyut dalam pekerjaan) memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang yang memiliki ketrampilan ini jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.[13]
Ada empat kecakapan utama dalam kemampuan memotivasi diri sendiri dan orang lain, yaitu:
1)      Dorongan berprestasi, yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
2)      Komitmen, yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran kelompok/ lembaga.
3)      Inisiatif, yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
4)      Optimis, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran meskipun ada halangan dan kegagalan.[14]
d.      Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain (Empati)
Empati dapat dipahami sebagai kemampuan mengenali perasaan orang lain dan memahami perspektif orang lain. Empati adalah kemampuan merespon perasaan orang lain dengan respon emosi yang sesuai keinginan orang tersebut. Berempati terhadap perasaan orang lain dijadikan dasar untuk membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Menurut Daniel Goleman ciri-ciri dari empati meliputi:
1)      Memahami orang lain, yaitu memahami perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
2)      Orientasi pelayanan, yaitu mengenali dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain.
3)      Mengembangkan orang lain, yaitu merasakan kebutuhan orang lain untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan mereka.  Mengatasi keragaman yaitu menumbuhkan keragaman melalui pergaulan dengan banyak orang.
4)      Kesadaran politik, yaitu mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.[15]
e.       Kemampuan Membina Hubungan Dengan Orang Lain (Berinteraksi Sosial)
Sebagian besar seni membina hubungan merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan sosial ini menunjang popularitas kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan dengan orang lain. Mereka adalah bintang-bintang pergaulan.[16]
Adapun ciri-ciri dari ketrampilan sosial yaitu:
1)      Pengaruh, yaitu ketrampilan menggunakan perangkat persuasi secara aktif untuk mempengaruhi orang lain ke arah yang positif.
2)      Komunikasi, yaitu mendengarkan secara terbuka dan mengirim pesan secara lugas, padat dan meyakinkan.
3)      Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan.
4)      Kepemimpinan yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok.
5)      Katalisator perubahan yaitu mengelola dan mengawali perubahan.
6)      Kolaborasi dan kooperasi, yaitu bekerja bersama orang lain menuju sasaran bersama. Keterampilan ini meliputi kecakapan seseorang dalam menyeimbangkan pemusatan perhatian, kolaborasi, mempromosikan kerjasama yang bersahabat, dan menumbuhkan peluang-peluang untuk kolaborasi.
7)      Kemampuan tim, yaitu menciptakan sinergi dalam upaya meraih sasaran kolektif. Orang dalam kecakapan ini mampu menjadi teladan dalam tim, mendorong setiap anggota agar berpartisipasi secara aktif, dan membangun identitas tim dengan semangat kebersamaan dan komitmen.[17]
3.      Usaha-Usaha Pengembangan Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional tidak berkembang secara alamiah, artinya kematangan seseorang tidak didasarkan pada perkembangan usia biologisnya. Oleh karena itu, EQ harus dipupuk dan diperkuat melalui proses pelatihan dan pendidikan yang berkesinambungan.[18]
John Gottman dan Joan De Claire menawarkan lima langkah penting dalam mendidik emosi anak, yaitu:
a.       Menyadari emosi anak.
Dalam hal ini terlebih dahulu orang tua harus sadar secara emosional sehingga siap menjadi pelatih emosi. Kesadaran emosi berarti orang tua mengenali kapan anak mereka merasakan emosi, mengidentifikasi perasaan dan peka akan hadirnya emosi pada orang lain. Orang tua tidak mudah memahami emosi anak karena mereka sering mengungkapkan emosi secara tidak langsung.
b.      Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar.
Orang tua harus mengenali emosi negatif anak mereka sebagai peluang untuk menjalin ikatan dan mengajar. Ketika anak dalam masa krisis yang menyulut emosi negatif mereka, orang tua harus memanfaatkannya sebagai peluang untuk berempati, membangun kedekatan dengan mereka dan mengajarkan mereka menangani perasaan mereka.
c.       Mendengarkan dengan empati dan meneguhkan emosi anak.
Dalam hal ini orang tua dapat mengamati petunjuk fisik emosi anak dan menggunakan imajinasi mereka untuk melihat situasi yang dihadapi dari sudut pandang anak itu. Namun yang paling penting orang tua menggunakan hatinya untuk merasakan apa yang dirasakan oleh anak mereka.
d.      Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata.
Membantu anak menemukan kata-kata untuk melukiskan apa yang sedang dirasakan berarti membantu anak menyusun kata-kata untuk mengungkapkan emosi mereka.
e.       Menentukan batas-batas sambil membantu anak menyelesaikan masalah.
Ada lima tahap yang harus dilalui orang tua dalam membantu anak memecahkan masalahnya meliputi: menentukan batas-batas, menentukan sasaran, memikirkan solusi dari masalah, mengevaluasi solusi yang disarankan berdasarkan nilai yang dijunjung keluarga, dan membantu anak memilih solusi yang tepat.[19]
Salah satu usaha dalam pengembangan kecerdasan emosional di sekolah, guru senantiasa melakukan komunikasi dengan peserta didik. Menurut Mansyur Isna, ada beberapa cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional peserta didik, yaitu:
a.       Sekolah harus menciptakan rasa nyaman bagi peserta didik, yaitu: atmosfer yang demokratis dan guru yang memahami kondisi peserta didik.
b.      Sekolah harus menciptakan self efficacy (rasa mampu melaksanakan tugas dari guru) kepada peserta didik, langkah-langkahnya adalah:
1)      Guru harus menjaga perasaan peserta didik.
2)      Guru tidak boleh mengejek peserta didik.
3)      Guru harus memberi kesempatan peserta didik menjawab pertanyaan.
4)      Guru harus memberi kesempatan peserta didik mengungkapkan perasaan (emosi) yang sedang dirasakan.
5)      Guru harus bersedia dikritik peserta didik tanpa menunjukkan rasa marah atau jengkel. Peserta didik akan memiliki kemampuan mengendalikan emosi apabila guru terlebih dahulu memilikinya.
c.       Guru harus dapat membantu peserta didik menyalurkan emosi mereka lewat kegiatan yang positif dan membangun.[20]
Dalam mendidik anak agar memiliki kecerdasan emosional yang tinggi tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta yang utama adalah kesadaran dalam diri.
Untuk melatih kesadaran dalam diri bisa melalui beberapa ketrampilan-ketrampilan dan permainan yang menantang dan menyenangkan oleh orang tua dan pendidik.
4.      Manfaat Kecerdasan Emosional
Goleman menyatakan bahwa setinggi-tingginya kecerdasan intelektual menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses individu dalam hidup. Sedangkan 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk diantaranya kecerdasan emosional.[21]
Utsman Najati dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, mengatakan bahwa emosi-emosi yang ada pada manusia sangat bermanfaat apabila dalam pengekspresiannya dimunculkan dengan tepat. Misalnya emosi marah, marah merupakan suatu emosi penting yang mempunyai fungsi esensial bagi kehidupan manusia, yakni membantu dalam menjaga dirinya. Emosi marah yang menguasai diri seseorang bisa membuat seseorang tersebut kehilangan kemampuan berpikir sehatnya, karena ketika seseorang sedang marah, dia melakukan tindakan-tindakan fisik untuk mempertahankan diri atau menaklukkan hambatan-hambatan yang menghadang dalam upayamerealisasikan tujuannya.[22]
Emosi-emosi yang ada pada diri manusia sangat beragam, meliputi emosi marah, takut, cinta, malu, kegembiraan, kebencian, cemburu, penyesalan, sedih, dan emosi-emosi lainya. Semua emosi-emosi tersebut bisa menjadi sebuah dorongan positif apabila dimunculkan dengan terkendali.[23]
Berkaitan dengan itu Coleman dan Hammen menyebutkan, setidaknya ada 4 manfaat emosi. Pertama, emosi adalah pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi, kita tidak sadar atau mati. Hidup berarti merasai, mengalami, bereaksi, dan bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisasi energy kita; marah menggerakkan kita untuk menyerang; takut menggerakkan kita untuk lari; dan cinta mendorong kita untuk mendekat dan bermesraan. Kedua, emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri kita dapat diketahui dari emosi kita. Jika marah, kita menggetahui bahwa kita dihambat atau diserang oleh orang lain; sedih berarti kita kehilangan sesuatu yang kita sayangi; bahagia berarti kita memperoleh sesuatu yang kita senangi; atau berhasil menghindari hal yang kita benci. Ketiga, emosi bukan saja membawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Beberapa penelitian membuktikan bahwa ungkapan emosi dapat dipahami secara universal. Dalam retorika diketahui bahwa pembicaraan yang menyertakan seluruh emosi dalam pidato dipandang lebih hidup, lebih dinamis, dan lebih menyakinkan. Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita. Kita mendambakan kesehatan dan mengetahuinya ketika kita merasa sehat wal’afiat. Kita mencari keindahan dan memperolehnya ketika kita merasakan kenikmatan estetis dalam diri kita.[24]
Apabila manusia menjalani kehidupan tanpa adanya emosi merupakan kehidupan tanpa kesan, karena suatu peristiwa tentu disertai emosi, maka peristiwa tersebut mempunyai kesan yang kuat dalam diri seseorang. Akan tetapi apabila ledakan emosi berlebihan, sehingga mengalahkan nalar yang rasional, maka kurang baik bagi kehidupan dan itulah yang perlu dilatih, dicerdaskan sebagaimana teori kecerdasan emosional.


[1] Arthor S. Reber dan Emily S. Reber, Kamus Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 313
[2] Achmad Juntika Nurihsan & Mubiar Agustin, Dinamika Perkembangan Anak & Remaja Tinjauan Psikologi, Pendidikan, dan Bimbingan, (Bandung : Refika Aditama, 2013), Cet. 2, hlm 41
[3] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, Terj. Alex Tri
Kentjono Widodo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 513
[4] Jeane Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), hlm. 27
[5]  Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 10
[6] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm. 52
[7] Ibid., hlm. 53
[8]  Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ, terj.
T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia,1996), hlm. 36.
[9] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 404
[10] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi, hlm.42.
[11] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ, hlm. 404

[12] Harry Alder, Boost Your Intelligence: Pacu  EQ dan  IQ Anda, terj.  Christina
Prianingsih, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 125
[13] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ, hlm. 405
[14] Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, Hlm. 43.

[15] Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, Hlm.219.
[16] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ, hlm. 405
[17] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi, hlm. 271
[18] Agus Nggermanto, Quantum Quotient, Kecerdasan Quantum, Cara Cepat Melejitkan IQ,
EQ, dan SQ secara Harmoni, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2001),  hlm. 100
[19] John Gottman dan Joan De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 73-104
[20] Mansyur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001),
hlm. 90-91
[21] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting daripada EQ, hlm 44
[22] Usman Najati, Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi Usmani, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), hlm.77.
[23] Usman Najati, Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi Usmani, hlm. 66.

[24] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), Cet. 1., hlm. 400

No comments:


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA<><><><><>Semoga Kehadiran Kami Bermanfaat Bagi Kita Bersama
banner