ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab
(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk
bagi mereka yang bertakwa”
(QS
2:2).
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan hidayah bagi manusia dan seluruh
makhluq yang bertaqwa di atas bumi ini.[1] Seluruh alam
yang luas beserta isinya dari bumi, laut dan segala isinya akan menjadi kecil
dihadapan manusia yang lemah, karena ia telah diberi keistimewaan-keistimewaan
seperti kemampuan berpikir untuk mengelola seluruh yang ada dihadapannya. Akan
tetapi Allah tidak akan membiarkan manusia tanpa adanya wahyu pada setiap masa,
agar mendapat petunjuk dan menjalankan kehidupannya dengan benar. Maka Allah
mengutus Rasul-Nya dengan mu’jizat yang sesuai dengan kecanggihan kaum pada
masanya, agar manusia mempercayai bahwa ajaran yang ia bawa datang dari Allah
SWT.
Oleh karena akal manusia pada masa pertama perkembangannya lebih dapat
menerima mu’jizat yang bersifat materi seperti mukjizat tongkat Nabi Musa yang
bisa berubah menjadi ular besar, mukjizat Nabi Isa dapat menghidupkan orang
yang mati dengan izin Allah, dapat menyembuhkan orang buta maka setiap Rasul
pun diutus dengan mukjizat yang sesuai dengan kemampuan kaumnya agar mudah
diterima. Ketika akal manusia mencapai “kesempurnaannya”, Allah memberikan
risalah Muhammad yang kekal kepada seluruh umat manusia yang tidak terbatas
pada kaum di masanya saja. Maka mukjizatnya adalah mukjizat yang kekal sesuai
dengan kematangan perkembangan akal manusia.[2]
Utusan ini akan dihadapkan dengan
ketidakpercayaan sebagaimana yang telah dihadapi oleh semua para rasul. Allah
telah mengetahui semua itu, justeru itu, Dia telah memperkuatkan para rasul
dengan bantuan daripada-Nya untuk para rasul tersebut, bantuan ini terealisasi
di dalam bentuk mukjizat, mengikut apa yang diistilahkan oleh orang ramai
dengan mereka menamakannya dengan المعجزة [al-mu’jizah] dan
Al-Quran pula telah menamakannya sebagai بَيِّنَةٍ
[bayyinah], بُرْهَانٍ [burhan], سُلْطَانٍ
[sultan] dan آيَةٍ [ayat].[3] Semua mukjizat atau
keterangan-keterangan tersebut ditegaskan dalam Al Qur’an.[4]
Allah menjadikan keterangan ini
sesuai untuk setiap kaum supaya ia menjadi lebih kuat untuk menegakkan bukti
kebenaran utusan tersebut, Nabi Musa -عليه السلام-, dimana pada masa itu masyhur dengan ilmu
sihir, maka Allah menjadikan mukjizat untuk Nabi Musa -عليه السلام-
sesuai dengan ilmu ini.[5]
Mukjizat berasal dari kata Al I’jaz yang artinya melemahkan atau
mengalahkan. Menurut Imam As Suyuti[6], mukjizat dalam
pemahaman syara’ adalah kejadian yang melampaui batas kebiasaan, didahului oleh
tantangan, tanpa ada tandingan.
Menurut Ibnu Khaldun[7], mukjizat adalah
perbuatan-perbuatan yang tidak mampu ditiru oleh manusia, maka ia dinamakan
mukjizat, tidak masuk ke dalam kategori yang mampu dilakukan oleh hamba dan
berada diluar standart kemampuan mereka.
Muhammad Kamil Abdush Shamad[8], menerangkan bahwa
mukjizat ada yang bersifat material yang dicerna panca indera namun melawan
hukum alam yang ada dan mukjizat yang bersifat rasional, semua direspon oleh
daya nalar sesuai dengan kemampuan dan pemahamannya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil sebuah pengertian
mendasar bahwa mukjizat merupakan kejadian yang luar biasa, melebihi standart
kemampuan manusia yang berlaku secara umum.
B. Kemukjizatan Ilmiah
Istilah Al
I’jaz Al ‘Ilmiy (kemukjizatan ilmiah) Al Qur’an mengandung makna bahwa sumber
ajaran agama tersebut telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah
yang kelak ditemukan dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan
terbukti tidak dapat dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang ada
pada jaman Rasulullah saw. [9]
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al Qur’an dan alam raya
dipadukan melalui mukjizat Al Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah)
dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing
mengakui dan membenarkan mukjizat yang lain agar keduanya menjadi pelajaran
bagi setiap orang yang mempunyai akal dan hati bersih atau orang yang mau
mendengar. Beberapa dalil kuat telah membuktikan bahwa Al Qur’an tidak mungkin
datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak adanya pertentangan diantara
ayat-ayatnya, bahkan sistem yang rapi dan cermat yang terdapat di alam raya ini
juga tidak mungkin terjadi, kecuali dengan kehendak Allah yang menciptakan
segala sesuatu dengan cermat.[10]
Syeikh Abdul Majid Az-Zindani, mengulas tentang mukjizat ilmiah dalam Al
Qur’an,
“...Yaitu ilmu uji kaji modern
datang dan mendalami kajian-kajian yang luas di dalam pelbagai bidang, dengan
bantuan alat-alat yang canggih, dan setelah beberapa pengembaraan yang
menjabarkan berserta seangkatan pengkaji, terbentuklah satu bahagian di samping
satu bahagian (yang lain) dan apabila fakta tersebut telah siap sempurna,
tiba-tiba didapati ianya telah pun dinyatakan di dalam kitab Allah (Al-Quran)
sebelum 1400 tahun [yang lalu]. Lalu orang ramai pun mendapat tahu bahawa
Al-Quran ini diturunkan dengan ilmu Allah, dan bukannya [datang] dari sisi
seorang utusan yang [berada] di zaman .. sebelum 1400 tahun di hari yang tidak
ada sebarang perkakas kajian saintifik atau peralatan kajian ..”[11]
Ketika fakta tersebut telah muncul maka akan muncul pula sebuah
pertanyaan[12],
a. Dapatkah hal ini
mejadi sebuah kejadian yang kebetulan bahwa akhir-akhir ini penemuan informasi
secara ilmiah dari lapangan yang berbeda yang tersebutkan di dalam al-Quran
yang telah turun pada 14 abad yang lalu?
b. Dapatkah al-Quran
ini ditulis atau dikarang Nabi Muhammad SAW atau manusia yang lain?
Dalam buku At
Tafkir Faridhah Islamiyah (berpikir sebuah kewajiban Islam), Abbas
Mahmud Aqqad menyebutkan dua macam mukjizat yang harus dibedakan, yang pertama
mukjizat yang mengarah ke akal, dapat ditemukan oleh siapapun yang ingin
mencarinya, mukjizat ini adalah keteraturan gejala-gejala alam dan kehidupan
yang tidak berubah berupa sunnatullah.[13]
Yang kedua adalah mukjizat yang berupa segala sesuatu diluar kebiasaan.
Mukjizat ini membuat akal manusia tercengang dan memaksanya untuk tunduk dan
menyerah.[14]
Hal yang dapat kita jadikan i’tibar dalam mukjizat ilmiah pada Al Qur’an
adalah motivasi/dorongan yang kuat bagi manusia untuk selalu memperhatikan
ayat-ayatNya (tadabbur).[15]
Tentusaja memperhatikannya seiring dengan kemauan untuk memikirkannya dan
mengingat penciptanya.[16]
Dari sini pula dengan mengkaji mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an mampu
menumbuhkan keimanan dan rasa syukur pada Allah sebagaimana pernah disampaikan
oleh Prof. Abdul Karim Al Khathib, “Mukjizat Al Qur’an terletak pada kepioniran
dalam menyatakan hal-hal yang baru saja ditemukan oleh penilitian ilmiah”.
Kemudian Prof. Al Khathib menerangkan, “Maksud utama kami dalam
menganalisis mukjizat Qur’ani adalah menciptakan hubungan yang erat dengan kitab
Allah dalam hati seorang muslim. Kami ingin menanamkan iman terhadap Kitab
Allah berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan perasaan yang murni terhadap
ayat-ayat dan kalimat-kalimatNya.
Meskipun demikian, kami menemukan isyarat-isyarat Al Qur’an yang bersifat
ilmiah. Hal ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari kalangan para
peneliti Eropa. Karena, isyarat yang dikandung Al Qur’an sejak lima belas abad
yang lalu ditemukan dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan modern sekarang.[17]
Meskipun telah banyak bukti-bukti ilmiah tentang kebenaran Al Qur’an,
para pemuja materialisme, para sekuler dan para ateis, tentu saja masih terus
membantah kebenaran-kebenaran Al Qur’an karena ketakutan akan implikasi
mengakui keberadaan Sang Pencipta. Selain itu, mereka selalu melakukan
pembenarannya atas bukti-bukti logika (baca: matematis, empiris, biologis, sosiologis)
sebagai dasar pijakan postulatnya.[18]
Menurut Muhammad Kamil Abdush Shamad[19], tujuan dari kajian
mukjizat ilmiah Al Qur’an adalah untuk meluaskan cakupan hakikat dari ayat-ayat
Al Qur’an, kemudian memperdalam makna-makna yang terkandung di dalamnya
sehingga mengakar dalam jiwa dan pemikiran manusia dengan cara mengambil hikmah
dari eksplorasi keilmuan kotemporer yang tercakup dalam makna-maknanya.
Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad Sirsin[20], bertujuan
memperdalam makna-makna melalui proses analisis terhadap variabel-variabel yang
detail. Juga melalui perbandingan mendalam terhadap kritikan para pakar yang
profesional di bidangnya serta para peneliti alam dan kehidupan dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan.
Kita juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan asumsi dan hipotesis
ilmiah yang masih berupa bahan perdebatan dan masih diuji diantara para pakar.
Karenanya, tidak pantas orang yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha
memaksakan Al-Qur’an untuk menguatkan teorinya. Sebab, bisa jadi asumsi dan
teori mentah itu nanti terbukti tidak benar, lalu akhirnya mengkambinghitamkan
Al-Qur’an[21]. Namun hal ini dapat
dijelaskan dalam kerangka bahwa[22]:
1. Tidak ada
kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Al Qur’an karena
berasal dari satu sumber.
2. Tafsir ilmu tidak
akan mempengaruhi originalitas karena nash tidak mengalami perubahan sesuai
teks aslinya. Tafsiran yang diberikan yang akan disalahkan[23]
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi
dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an[24],
dikarenakan Al Qur’an adalah mukjizat maka nashnya harus tetap dan tidak
berubah-ubah, kalau tidak maka hilanglah mukjizatnya.
Oleh karena itu, kalau nash tidak secara tegas menunjukkan pada salah
satu teori ilmu sains, maka tidak selayaknya bagi kita untuk memaksakannya,
baik untuk menetapkan maupun untuk menafikkan. Karena itu kita harus mencari
ilmu dari jalannya masing-masing, ilmu astronomi didapatkan dari penelitian,
ilmu kedokteran didapat dari hipotesis dan uji coba. Dengan demikian, niscaya
Al Qur’an akan selalu terjaga, tidak dipergunakan untuk memperdebatkan teori
ini, yang mana semua teori ini bisa diterima juga bisa ditolak serta bisa pula
diganti, sebagaimana juga tidak layak bagi seseorang yang tidak mengetahui
hakikat ilmu tertentu untuk menolak mentah-mentah selagi tidak secara tegas
bertentangan dengan nash yang shohih.[25]
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan pada manusia dalam menulis
kitab bisa saja terjadi, seperti apa yang telah dikatakan oleh Al Qodhi Al
Fadhil Abdur Rahim bin Ali Al Baisani, “ Saya melihat bahwasanya tidak ada
seorangpun yang menulis sebuah kitab kecuali besoknya dia akan berkata :
‘Seandainya tempat ini diubah niscaya akan lebih baik, seandainya ditambah
dengan begini maka akan lebih bagus, seandainya ini dikedepankan niscaya akan
lebih utama, dan seandainya yang ini dibuang niscaya akan lebih indah.’ Ini
semua adalah dasar yang paling kuat bahwa manusia adalah makhluk yang serba
kurang.”[26]
Dari sisi lain bahwa pemahaman baru terhadap ayat itu tidak boleh
membatalkan pemahaman lama. Dengan ungkapan lain, kita tidak layak menuduh umat
sejak jaman sahabat, bahkan sejak jaman Nabi saw, salah dalam memahami satu
ayat, kemudian mengklaim bahwa yang benar adalah pemahaman yang dimiliki si
penafsir baru itu. Selayaknya dikatakan, makna baru ini merupakan tambahan yang
digabungkan dengan pemahaman lama, dan bukan membatalkannya. Sebab diantara
keistimewaan Al-Qur’an, keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis tergali.
Kemukjizatan ilmu pada Al Qur’an memang tidak memposisikan Al Qur’an
sebagai kitab sains. Namun dapat memberikan isyarat atau petunjuk untuk
melakukan kajian lebih jauh terhadap pengembangan sains.
Isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung prinsip-prinsip/kaidah-kaidah
dasar ilmu pengetahuan di setiap jaman dan kebudayaan. Hal ini membawa maksud
bahwa :
-
Ayat yang memberikan
isyarat tidak harus terperinci, sehingga para ilmuwan bisa mengkajinya atau
memperinci dengan melakukan penelitian.
-
Mukjizat ilmiah Al
Qur’an tidak hanya untuk waktu tertentu saja yaitu ketika terjadi penentangan,
namun berlaku juga ke masa yang akan datang.
Pada
satu masa beberapa mukjizat dirasa kurang masuk akal atau bertentangan dengan
nalar dan logika. Tetapi kapasitas nalar dan intelektual yang dimiliki tidaklah
sama, tergantung pada daya pikir seseorang.
C. Penutup
Dapat disimpulkan bahwa mukjizat ilmiah pada Al Quran dapat memperkuat
keimanan terhadap Al Qur’an sebagai wahyu Allah. Kalaupun terdapat pertentangan
sesungguhnya lebih terletak pada jangkauan penafsiran atau teknologi yang
mendukung eksplorasi sains. Dari pendekatan arah yang lain mukjizat ilmiah yang
ada pada Al Qur’an dapat memberikan motivasi dan memberikan isyarat bagi
pengembangan sains. Walaupun tentusaja harus dilakukan dengan cermat dan
menyeluruh serta didasari dengan kaidah penafsiran yang benar.
WALLAHU ‘A’LAM
No comments:
Post a Comment